Penulis: Ulul Albab, editor: Ika Amiliya Nurhidayah
Indonesia dikenal sebagai negeri dengan sejuta budaya yang membentuk jati diri bangsa. Dari Sabang sampai Merauke, setiap daerah memiliki tradisi yang tak hanya indah secara estetika, tetapi juga kaya akan nilai pendidikan dan moralitas. Salah satunya adalah tradisi Serabi Likuran di Desa Penggarit, Pemalang, Jawa Tengah sebuah tradisi turun-temurun yang dihidupkan kembali sebagai bentuk literasi budaya dan penguatan karakter masyarakat. Tradisi ini bukan sekadar kegiatan membuat dan menikmati serabi di malam-malam ganjil Ramadhan, tetapi juga sarana menanamkan nilai-nilai toleransi, gotong royong, dan religiusitas di tengah masyarakat yang majemuk (Faisal, 2021).
Fenomena lunturnya karakter positif generasi muda akibat arus globalisasi telah menjadi kekhawatiran banyak pihak. Generasi muda kini mudah terpengaruh budaya asing yang tidak selaras dengan nilai-nilai luhur bangsa, seperti gaya hidup individualistik dan konsumtif (Ekorantt.com, 2023). Padahal, budaya lokal seperti Serabi Likuran sesungguhnya dapat menjadi pendidikan karakter alternatif yang mengajarkan rasa hormat, kebersamaan, dan kepedulian sosial. Dalam konteks pendidikan multikultural, tradisi ini mampu mempertemukan berbagai lapisan masyarakat tua-muda, kaya-miskin, bahkan antaragama dalam satu ruang kebersamaan yang harmonis. Di sinilah nilai-nilai pendidikan multikultural tumbuh secara alami dan kontekstual (Liputan6.com, 2022).
Tradisi Serabi Likuran telah menjadi simbol solidaritas sosial dan spiritual. Setiap tahun, menjelang sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, masyarakat Desa Penggarit berkumpul di sepanjang Jalan R. Sudibyo untuk memasak dan membagikan serabi. Prosesi ini dimulai sejak sore hari hingga menjelang waktu berbuka. Tradisi ini menjadi ajang silaturahmi dan bentuk rasa syukur atas nikmat Tuhan yang telah diberikan (Afrillia, 2022). Menurut Imam Wibowo, Kepala Desa Penggarit, kegiatan ini juga menjadi identitas budaya lokal yang memperkuat semangat kebersamaan dan mempererat hubungan sosial warga desa (G-News, 2023). Di tengah modernisasi yang kian menggerus tradisi, kehadiran Serabi Likuran menjadi wujud nyata pendidikan berbasis budaya yang memupuk rasa cinta terhadap warisan leluhur (Rokhim, 2024).
Baca juga: Menyelami Makna dan Keunikan di Balik Festival Bubur Suro Krapyak Kota Pekalongan
Lebih dari sekadar festival kuliner, Serabi Likuran juga mengandung nilai-nilai religius yang kuat. Tradisi ini dilaksanakan bertepatan dengan malam-malam Likuran, yang diyakini sebagai momen turunnya Lailatul Qadar. Masyarakat menjalankan kegiatan sosial dan spiritual secara bersamaan membuat serabi sambil menunggu berbuka, berdzikir, serta berdoa bersama. Aktivitas ini memperdalam rasa syukur dan memperkuat keimanan kepada Allah SWT (Bernardi, 2022). Dalam pandangan Putra (2017), tradisi seperti ini mencerminkan taqarrub ila Allah, yakni bentuk kedekatan spiritual dengan Sang Pencipta. Melalui kebersamaan religius seperti ini, masyarakat Desa Penggarit berhasil menghadirkan suasana Ramadhan yang hangat dan penuh makna, tanpa harus meninggalkan unsur kebudayaan lokal.
Nilai moral juga tampak nyata dalam pelaksanaan Serabi Likuran. Interaksi antara pedagang sepuh dan pembeli muda mencerminkan sikap saling menghormati dan kejujuran. Mereka berbicara dengan bahasa halus, menunjukkan sopan santun, dan menempatkan diri dengan rendah hati. Tradisi ini menanamkan prinsip andhap asor, yaitu kesopanan dan kerendahan hati dalam bermasyarakat. Melalui kegiatan ini, anak-anak dan remaja belajar pentingnya menghormati yang tua serta menjaga adab dalam berinteraksi. Nilai-nilai moral yang hidup dalam tradisi ini menjadi modal sosial yang penting dalam membangun masyarakat yang berkarakter (Astuti, 2017; Dirgantara, 2021).
Selain itu, semangat gotong royong menjadi jiwa utama dalam tradisi ini. Dari menyiapkan bahan, membuat adonan serabi, hingga menata meja jualan, semua dilakukan secara bersama-sama tanpa pamrih. Proses jual beli pun menggunakan “uang klithik” dari kayu sebagai alat tukar simbolik, menandakan kesetaraan dan solidaritas warga (Pemkab Pemalang, 2021). Keikutsertaan anak-anak, remaja, hingga lansia menunjukkan bahwa Serabi Likuran menjadi ruang lintas generasi untuk belajar bekerja sama, berbagi, dan saling membantu. Nilai gotong royong yang tertanam dalam tradisi ini sejatinya merupakan inti dari pendidikan multikultural—membentuk masyarakat yang saling mendukung dan menghargai perbedaan (Halo Semarang, 2021).
Baca juga: Nguri-Uri Budaya, Tradisi Baritan di Kanoman I Kembali Digelar
Yang tak kalah penting, Serabi Likuran juga menjadi wadah toleransi sosial dan budaya. Acara ini diikuti oleh warga dari berbagai latar belakang tanpa memandang status sosial maupun agama. Semua berkumpul dalam suasana damai dan penuh keakraban. Melalui tradisi ini, masyarakat belajar menghargai perbedaan dan mengedepankan harmoni dalam keberagaman (Sukarno, 2021). Tradisi ini membuktikan bahwa pendidikan multikultural tidak selalu harus dibangun melalui kurikulum formal, melainkan bisa tumbuh dari ruang budaya lokal yang hidup dan berakar di masyarakat. Dengan menjaga dan mengembangkan tradisi seperti Serabi Likuran, generasi muda tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan universal yang menjadi fondasi kehidupan bangsa yang rukun dan beradab.
Referensi
Afrillia, D. (2022). Serabi Likuran, Tradisi Warga Desa Penggarit Sambut Malam Lailatulqadar. Good News From Indonesia.
Astuti, A. Y. (2017). Analisis Faktor-Faktor Penyebab Degradasi Moral Remaja Dalam Perspektif Islam. IAIN Metro.
Bernardi, R. (2022). Serabi Likuran, Tradisi Unik Berbagi Makanan di Pengujung Ramadan. Detik Jateng.
Dirgantara, Y. (2021). Fanatisme Budaya Barat dan Dampak Degradasi Moral. Duta Damai Yogyakarta.
Ekorantt.com. (2023). Wabah Westernisasi di Kalangan Muda-mudi.
Faisal. (2021). Serabi Likuran, Tradisi di Desa Penggarit Pemalang yang Sempat Hilang Kini Dibangkitkan Lagi. Puskapik Pantura.
G-News. (2023). Lestarikan Budaya Lokal Penggarit, Imam Wibowo Gelar Tradisi Serabi Likuran.
Halo Semarang. (2021). Lestarikan Tradisi, Desa Penggarit Gelar Pasar Serabi Likuran.
Liputan6.com. (2022). Westernisasi adalah Peniruan Budaya Barat, Ketahui Penyebab dan Dampaknya.
Pemkab Pemalang. (2021). Serabi Likuran Tradisi Unik Desa Penggarit Sambut Lailatul Qadar.
Putra, A. (2017). Tradisi Keagamaan dan Nilai Religius dalam Perspektif Islam.
Rokhim. (2024). Srabi Likuran Tradisi Turun Temurun di Penggarit.
Sukarno, S. (2021). Tradisi Likuran di Pemalang, Membangun Keharmonisan Masyarakat lewat Serabi. iNews.id.
