Serabi Likuran: Dari Tradisi Ramadhan Menuju Pendidikan Multikultural di Desa Penggarit

Penulis: Ulul Albab, editor: Ika Amiliya Nurhidayah

Indonesia dikenal sebagai negeri dengan sejuta budaya yang membentuk jati diri bangsa. Dari Sabang sampai Merauke, setiap daerah memiliki tradisi yang tak hanya indah secara estetika, tetapi juga kaya akan nilai pendidikan dan moralitas. Salah satunya adalah tradisi Serabi Likuran di Desa Penggarit, Pemalang, Jawa Tengah sebuah tradisi turun-temurun yang dihidupkan kembali sebagai bentuk literasi budaya dan penguatan karakter masyarakat. Tradisi ini bukan sekadar kegiatan membuat dan menikmati serabi di malam-malam ganjil Ramadhan, tetapi juga sarana menanamkan nilai-nilai toleransi, gotong royong, dan religiusitas di tengah masyarakat yang majemuk (Faisal, 2021).

Fenomena lunturnya karakter positif generasi muda akibat arus globalisasi telah menjadi kekhawatiran banyak pihak. Generasi muda kini mudah terpengaruh budaya asing yang tidak selaras dengan nilai-nilai luhur bangsa, seperti gaya hidup individualistik dan konsumtif (Ekorantt.com, 2023). Padahal, budaya lokal seperti Serabi Likuran sesungguhnya dapat menjadi pendidikan karakter alternatif yang mengajarkan rasa hormat, kebersamaan, dan kepedulian sosial. Dalam konteks pendidikan multikultural, tradisi ini mampu mempertemukan berbagai lapisan masyarakat tua-muda, kaya-miskin, bahkan antaragama dalam satu ruang kebersamaan yang harmonis. Di sinilah nilai-nilai pendidikan multikultural tumbuh secara alami dan kontekstual (Liputan6.com, 2022).

Tradisi Serabi Likuran telah menjadi simbol solidaritas sosial dan spiritual. Setiap tahun, menjelang sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, masyarakat Desa Penggarit berkumpul di sepanjang Jalan R. Sudibyo untuk memasak dan membagikan serabi. Prosesi ini dimulai sejak sore hari hingga menjelang waktu berbuka. Tradisi ini menjadi ajang silaturahmi dan bentuk rasa syukur atas nikmat Tuhan yang telah diberikan (Afrillia, 2022). Menurut Imam Wibowo, Kepala Desa Penggarit, kegiatan ini juga menjadi identitas budaya lokal yang memperkuat semangat kebersamaan dan mempererat hubungan sosial warga desa (G-News, 2023). Di tengah modernisasi yang kian menggerus tradisi, kehadiran Serabi Likuran menjadi wujud nyata pendidikan berbasis budaya yang memupuk rasa cinta terhadap warisan leluhur (Rokhim, 2024).

Baca juga: Menyelami Makna dan Keunikan di Balik Festival Bubur Suro Krapyak Kota Pekalongan

Lebih dari sekadar festival kuliner, Serabi Likuran juga mengandung nilai-nilai religius yang kuat. Tradisi ini dilaksanakan bertepatan dengan malam-malam Likuran, yang diyakini sebagai momen turunnya Lailatul Qadar. Masyarakat menjalankan kegiatan sosial dan spiritual secara bersamaan membuat serabi sambil menunggu berbuka, berdzikir, serta berdoa bersama. Aktivitas ini memperdalam rasa syukur dan memperkuat keimanan kepada Allah SWT (Bernardi, 2022). Dalam pandangan Putra (2017), tradisi seperti ini mencerminkan taqarrub ila Allah, yakni bentuk kedekatan spiritual dengan Sang Pencipta. Melalui kebersamaan religius seperti ini, masyarakat Desa Penggarit berhasil menghadirkan suasana Ramadhan yang hangat dan penuh makna, tanpa harus meninggalkan unsur kebudayaan lokal.

Nilai moral juga tampak nyata dalam pelaksanaan Serabi Likuran. Interaksi antara pedagang sepuh dan pembeli muda mencerminkan sikap saling menghormati dan kejujuran. Mereka berbicara dengan bahasa halus, menunjukkan sopan santun, dan menempatkan diri dengan rendah hati. Tradisi ini menanamkan prinsip andhap asor, yaitu kesopanan dan kerendahan hati dalam bermasyarakat. Melalui kegiatan ini, anak-anak dan remaja belajar pentingnya menghormati yang tua serta menjaga adab dalam berinteraksi. Nilai-nilai moral yang hidup dalam tradisi ini menjadi modal sosial yang penting dalam membangun masyarakat yang berkarakter (Astuti, 2017; Dirgantara, 2021).

Selain itu, semangat gotong royong menjadi jiwa utama dalam tradisi ini. Dari menyiapkan bahan, membuat adonan serabi, hingga menata meja jualan, semua dilakukan secara bersama-sama tanpa pamrih. Proses jual beli pun menggunakan “uang klithik” dari kayu sebagai alat tukar simbolik, menandakan kesetaraan dan solidaritas warga (Pemkab Pemalang, 2021). Keikutsertaan anak-anak, remaja, hingga lansia menunjukkan bahwa Serabi Likuran menjadi ruang lintas generasi untuk belajar bekerja sama, berbagi, dan saling membantu. Nilai gotong royong yang tertanam dalam tradisi ini sejatinya merupakan inti dari pendidikan multikultural—membentuk masyarakat yang saling mendukung dan menghargai perbedaan (Halo Semarang, 2021).

Baca juga: Nguri-Uri Budaya, Tradisi Baritan di Kanoman I Kembali Digelar

Yang tak kalah penting, Serabi Likuran juga menjadi wadah toleransi sosial dan budaya. Acara ini diikuti oleh warga dari berbagai latar belakang tanpa memandang status sosial maupun agama. Semua berkumpul dalam suasana damai dan penuh keakraban. Melalui tradisi ini, masyarakat belajar menghargai perbedaan dan mengedepankan harmoni dalam keberagaman (Sukarno, 2021). Tradisi ini membuktikan bahwa pendidikan multikultural tidak selalu harus dibangun melalui kurikulum formal, melainkan bisa tumbuh dari ruang budaya lokal yang hidup dan berakar di masyarakat. Dengan menjaga dan mengembangkan tradisi seperti Serabi Likuran, generasi muda tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan universal yang menjadi fondasi kehidupan bangsa yang rukun dan beradab.

Referensi

Afrillia, D. (2022). Serabi Likuran, Tradisi Warga Desa Penggarit Sambut Malam Lailatulqadar. Good News From Indonesia.

Astuti, A. Y. (2017). Analisis Faktor-Faktor Penyebab Degradasi Moral Remaja Dalam Perspektif Islam. IAIN Metro.

Bernardi, R. (2022). Serabi Likuran, Tradisi Unik Berbagi Makanan di Pengujung Ramadan. Detik Jateng.

Dirgantara, Y. (2021). Fanatisme Budaya Barat dan Dampak Degradasi Moral. Duta Damai Yogyakarta.

Ekorantt.com. (2023). Wabah Westernisasi di Kalangan Muda-mudi.

Faisal. (2021). Serabi Likuran, Tradisi di Desa Penggarit Pemalang yang Sempat Hilang Kini Dibangkitkan Lagi. Puskapik Pantura.

G-News. (2023). Lestarikan Budaya Lokal Penggarit, Imam Wibowo Gelar Tradisi Serabi Likuran.

Halo Semarang. (2021). Lestarikan Tradisi, Desa Penggarit Gelar Pasar Serabi Likuran.

Liputan6.com. (2022). Westernisasi adalah Peniruan Budaya Barat, Ketahui Penyebab dan Dampaknya.

Pemkab Pemalang. (2021). Serabi Likuran Tradisi Unik Desa Penggarit Sambut Lailatul Qadar.

Putra, A. (2017). Tradisi Keagamaan dan Nilai Religius dalam Perspektif Islam.

Rokhim. (2024). Srabi Likuran Tradisi Turun Temurun di Penggarit.

Sukarno, S. (2021). Tradisi Likuran di Pemalang, Membangun Keharmonisan Masyarakat lewat Serabi. iNews.id.

Menyelami Makna dan Keunikan di Balik Festival Bubur Suro Krapyak Kota Pekalongan

Penulis: Atika Puspita Rini, Editor: Ika Amiliya Nurhidayah

Menyambut tahun baru Hijriah menjadi hal yang penuh suka cita bagi setiap umat muslim. Seperti yang dirasakan oleh masyarakat Kota Pekalongan, khususnya wilayah Krapyak dalam menyambut acara tahunan ini.

Setiap memasuki bulan Muharram (Suro) masyarakat Kelurahan Krapyak mengadakan acara tahunan berupa Festival Bubur Suro. Sebuah acara yang kental akan tradisi ini lahir dari kebiasaan dan spiritual masyarakat. Sesuai penamaannya, Festival Bubur Suro diambil dari bulan pertama dalam kalender Jawa yaitu Suro.

Baca juga: Pawai Obor Warnai Semarak Muharram Remaja Masjid Al Muttaqien Desa Sidorejo

Tradisi yang diselenggarakan sejak tahun 2019 ini bukan hanya perayaan, namun menjadi wujud dari rasa syukur, kebersamaan, serta pelestarian budaya yang maknanya sangat mendalam bagi masyarakat sekitar.

Dalam pelaksanaan tradisinya, masyarakat Krapyak membagikan ribuan porsi bubur. Hal ini merupakan bentuk rasa syukur dan sedekah atas karunia Allah SWT. Ditinjau dari sisi historis, tradisi bubur suro ini merupakan interpretasi dari kisah Nabi Nuh dan pengikutnya, di mana kapal yang ditumpangi selamat dari bencana banjir bandang, kemudian mereka memasak makanan dengan bahan seadanya untuk dinikmati bersama. Seperti wadah yang digunakan untuk bubur tersebut yaitu takir yang berbentuk melengkung menyerupai kapal Nabi Nuh.

Tentunya bubur suro ini menggambarkan keberagaman, sebagaimana yang terdapat di dalam bubur yang terdiri dari macam-macam bahan, rempah, kacang-kacangan, dan diolah dengan tujuh toping lainnya. Dalam proses pembuatannya pun melibatkan banyak orang, tentunya tergambarkan betapa kuatnya nilai gotong royong dalam kehidupan masyarakat.

Keunikan juga tergambarkan dari rangkaian acara Festival Bubur Suro yang kental akan pelestarian budayanya. Seperti terselenggaranya acara tahun ini yang mengusung tema “Merawat Jejak Luhur” dengan menonjolkan nilai-nilai tradisi, serta kearifan lokal. Ornamen yang digunakan dalam dekorasi acara pun dirancang penuh dengan sentuhan lokal yang menggunakan bambu dan kayu sebagai konsep dekorasi utama. Rangkaian acara pun menjadi simbol betapa masih kuatnya pelestarian budaya yang tersaji dalam acara ini. Seperti Kirab Gunungan Bubur Suro yang memiliki simbol harapan dan doa, pentas budaya seni yang menghadirkan musik keroncong, hingga bazar makanan dari berbagai jenis generasi baik tradisional maupun modern. Kegiatan ini pastinya memberikan banyak peluang bagi masyarakat baik perekonomian serta rasa gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Krapyak.

Tradisi ini mengundang banyak antusiasme masyarakat serta menjadi kebanggaan lokal yang tentunya memberikan inspirasi bagi daerah lain untuk menjaga tradisi setempat. Festival Bubur Suro ini menjadi cerminan kearifan lokal serta semangat gotong royong masyarakat Krapyak Kota Pekalongan. Di balik pemaknaan sebuah bubur tersimpan rasa syukur, harapan, serta kebersamaan masyarakat yang selalu dirayakan secara turun-temurun.

“Nguri-Uri Budaya,” Tradisi Baritan di Kanoman I Kembali Digelar

Penulis dan Editor: Ika Amiliya Nurhidayah

Kulonprogo – Tradisi Baritan kembali digelar di Lapangan Sekaran, Dusun Kanoman I, Banjararum, Kulonprogo pada Minggu, (20/07). Tradisi ini merupakan perayaan tahunan yang dilakukan pada masa panen sebagai simbol rasa syukur kepada Tuhan.

Perwakilan warga Kanoman I Wiji Sutarma menjelaskan sejarah singkat perayaan Baritan, bahwa tidak ada sejarah konkret mengenai tradisi ini, namun yang pasti Baritan merupakan representasi rasa syukur warga atas hasil alam yang melimpah pada masa panen. Menurutnya, Kecamatan Kalibawang merupakan penghasil padi yang melimpah. Bahkan dahulu dikatakannya, salah satu kecamatan di Kabupaten Kulonprogo ini memiliki banyak lumbung padi.

“Mboten enten sejarah sing pesti tentang Baritan niki. Tapi sing jelas Baritan iku mbubarke peri lan setan lan dedongo marang Gusti Allah. Mediane kupat lan pelas, (Tidak ada sejarah pasti mengenai Baritan. Tapi yang jelas Baritan itu mengusir ‘peri’ dan setan dan berdoa kepada Allah. Medianya ketupat dan pelas),” jelas Sutarma.

Baca juga: Memelihara Tradisi dan Kebudayaan dalam Kearifan Lokal Jawa

Baritan dimulai pada pukul 9 pagi dengan kirab ketupat dan hasil alam. Acara kedua diisi dengan penampilan warok oleh bapak-bapak Kanoman I. Acara selanjutnya adalah perebutan gunungan ketupat dan hasil alam oleh masyarakat sekitar. Baritan kemudian dilanjutkan pada pukul 1 siang dengan penampilan kesenian Jathilan Tradisional dan Kreasi Baru oleh Turonggo Aji Pamekar.

Animo masyarakat sangat tinggi terhadap acara ini. Masyarakat dari berbagai kalangan memadati Lapangan Sekaran sejak pukul 10 pagi.

Baca juga: Korelasi Antara Tradisi Nyadran dengan Nilai-Nilai Moderasi Beragama

Turut hadir dalam perayaan Baritan Dinas Kebudayaan Kulonprogo, Camat Kalibawang Risdiyanto Nugroho, Lurah Banjararum Warudi, Bintara Pembina Desa (Babinsa), Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), serta tokoh-tokoh Kanoman I dan II.

Refleksi Kirab 1 Suro: Lebih dari Sekadar Tradisi, Sebuah Perjalanan Spiritual di Malam Tahun Baru Islam

Penulis: Rosyita Annisni, Editor: Muhamad Nurul Fajri

Setiap tahun baru Islam, tepatnya 1 Muharram yang biasanya dikenal sebagai 1 Suro dalam kalender Jawa, warga Surakarta biasanya ada sebuah prosesi sakral yang justru mengajarkan ketenangan dan makna hidup. Namanya Kirab 1 Suro, tradisi keraton yang sudah turun-temurun dan tetap hidup sampai sekarang. Esensi utama dari peringatan kirab Malam 1 Suro yaitu untuk “mapak” yang berati memulai tahun yang baru dengan perenungan dan keselamatan. Kirab pusaka adalah sebuah tradisi masyarakat Jawa dimana harus merenungi kehidupan tahun kemarin dan menapaki tahun yang akan datang dengan baik.Tema yang diangkat dalam Kirab 1 Suro Mangkunegaran tahun 2025 yang dilaksanakan 26 Juni 2025 mulai pada pukul 19.00 WIB yaitu “Atita, Atiki, dan Anagata“.

Atiti dengan maksud melambangkan menghargai masalalu, Atiki melambangkan masa kini yang harus disadari dan Anagata melambangkan harapan untuk masa depan. Rangkaian acaranya meliputi Kirab Pusaka Dalem yaitu prosesi kirab mengelilingi area Mangkunegaran dengan membawa pusaka kerajaan, Tapa Bisu yaitu tradisi diam seribu bahasa serta Doa dan Harapan: Masyarakat umum dapat ikut serta berdoa untuk masa depan yang lebih baik.

Kirab Pusaka Dalem adalah prosesi mengelilingi benteng keraton dan membawa berbagai pusaka keramat milik keraton. Pusaka yang dibawa diyakini mempunyai kekuatan spiritual dan sejarah panjang. Prosesi ini di iringi oleh Abdi dalem, prajurit keraton dan biasanya ada Kebo Bule Kyai Slamet yaitu Kerbau Putih yang menjadi simbol keberuntungan dan keselamatan.

Baca juga: Suronan: Memelihara Tradisi dan Kebudayaan dalam Kearifan Lokal Jawa

Rute kirab ini dimulai dari Jalan Supit Urang, melewati Alun-Alun Utara, lalu berjalan ke arah utara melalui Jalan Pakoe Boewono hingga Gapura Gladhag, dan dilanjutkan ke Jalan Jenderal Sudirman. Rombongan kemudian belok ke timur melalui Jalan Mayor Kusmanto.

Selanjutnya, prosesi bergerak ke arah selatan menyusuri Jalan Kapten Mulyadi, lalu menuju barat lewat Jalan Veteran, dan terus ke utara melalui Jalan Yos Sudarso. Setelah itu, rombongan melanjutkan perjalanan melewati Jalan Slamet Riyadi ke arah timur, masuk ke Jalan Brigjen Slamet Riyadi, lalu berbelok ke selatan ke Jalan Pakoe Boewono, sebelum akhirnya kembali ke kompleks Keraton Surakarta.

Kirab ini menempuh jarak sekitar 7 hingga 8 kilometer dan dilaksanakan tanpa alas kaki dan juga tanpa percakapan sedikit pun di antara para peserta yang biasa dinamakan tapa bisu. Hal ini untuk mengendalikan diri, mengasah kepekaan batin, dan benar-benar meresapi momen.

Dengan menahan bicara, bisa lebih fokus pada diri sendiri dan merenungkan hidup, meminta ampun atas kesalahan di tahun sebelumnya dan membuat niat baik dan baru pada tahun yang akan datang.

Yang menarik juga adalah Sosok Kebo Bule Kyai Slamet selalu menjadi pusat perhatian. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa Khususnya di Surakarta, Kerbau melambangkan ketekunan, kekuatan, dan kesuburan. Biasanya si Kebo Bule selalu ditempatkan di barisan di depan sebagai petunjuk jalan. Mitosnya, siapa pun yang dapat menyentuhnya dipercaya akan mendapat berkas dan keberuntungan.

Baca juga: Pawai Obor Warnai Semarak Muharram Remaja Masjid Al Muttaqien Desa Sidorejo

Selanjutnya masyarakat menulis harapan tujuannya seseorang tidak hanya merencanakan masa depan, tetapi juga melibatkan diri dalam proses introspeksi dan memperbaiki diri. Ini adalah cara untuk memulai tahun baru dalam kalender Jawa dengan semangat baru dan niat yang tulus.

Meskipun zaman sudah berubah, dan dunia makin digital, Kirab 1 Suro tetap punya tempat di hati masyarakat. Tradisi hidup yang terus dijaga oleh Keraton Surakarta sebagai pusat Kebudayaan Jawa. Bahkan kini kirab 1 Suro juga menjadi bagian dari agenda pariwisata nasional, didukung oleh program seperti Pesona Indonesia dan Agenda Solo.

Tahun baru Hijriah atau 1 Suro bukan hanya penanda waktu, tapi momen untuk memulai hidup yang lebih baik lagi. Momen seperti ini cocok menjadi refleksi pribadi. Sejauh apa kita melangkah ke depan? Apa yang perlu diperbaiki? Dan apa tujuan kita ke depan?

Dengan mengambil semangat dari Kirab 1 Suro yang menekankan pada ketenangan, penghormatan, dan spiritual kita dapat membuka lembaran baru dengan niat yang lebih baik dan hati yang lebih tenang serta memperbaiki apa yang kurang pada tahun lalu.

*Sumber gambar: cnnindonesia.com

Nilai-Nilai Asta Protas Kemenag Dalam Tradisi “Umbah Terpal” Warga Mushala Al-Asdiqa’ Kauman Batang

Penulis: Muhammad Alghiffary, Editor: Rifa’i Subhi

Tradisi “Umbah Terpal” merupakan salah satu tradisi lokal yang rutin dilaksanakan setiap lebaran idul adha  oleh warga mushala Al-Asdiqa’, Desa Kauman, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Tradisi “Umbah Terpal” adalah suatu kegiatan mencuci terpal yang digunakan untuk alas pengolahan daging kurban. Tradisi ini dilaksanakan di sungai Desa Pandansari, Kecamatan Warungasem, Kabupaten Batang sesaat setelah warga selesai membagikan daging kurban kepada masyarakat sekitar.

Tradisi “Umbah Terpal” diikuti oleh warga mushala al-Asdiqa’ dari berbagai latar belakang usia, pekerjaan, hingga perbedaan organisasi, seperti: Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyyah. Warga bergotong-royong mencuci terpal tanpa mempersoalkan status sosial. Masing-masing warga memiliki peran sendiri-sendiri saat membersihkan terpal. Orang dewasa berperan menyikat terpal sampai bersih. Anak-anak berperan menyiram terpal yang digelar di dinding sungai sampai tidak ada lagi sabun yang menempel. Adapun orang tua berperan menjemur terpal di sekitar sungai dan menunggunya hingga kering. Aktivitas tersebut merupakan cerminan dari kerukunan warga mushala al-Asdiqa’atau wujud internalisasi nilai-nilai peningkatan kerukunan di akar rumput.

Selain meningkatkan kerukunan warga mushala, tradisi “Umbah Terpal” juga mewujudkan cinta kemanusiaan, karena dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab kolektif terhadap kebersihan dan keberlanjutan fasilitas ibadah umat. Tidak ada salah satu orang yang dibebankan dalam tugas mencuci terpal. Nilai ini mencerminkan altruisme atau kepedulian sosial, bahwa kebersihan fasilitas ibadah merupakan urusan bersama dan tidak boleh dibebankan kepada segelintir orang saja. Kehidupan warga mushala yang rukun dan cinta kepada sesama tertuang dalam Asta Protas Kemenag point satu, yakni meningkatkan kerukunan dan cinta kemanusiaan.

Baca juga: Menteri Agama Ajak Bangun Fondasi Bangsa dengan Nilai Spiritual di Refleksi dan Proyeksi Kemenag 2025

Tradisi “Umbah Terpal” menjadi cerminan dari kesadaran ekologis yang selaras dengan prinsip-prinsip ekoteologi dalam Asta Protas Kemenag. Ekoteologi merupakan salah satu pendekatan teologis yang memandang alam sebagai bagian dari sistem keimanan dan spiritualitas manusia. Setelah proses penyembelihan hewan kurban, warga tidak serta merta meninggalkan alat dan fasilitas yang digunakan begitu saja. Mereka membawa terpal yang dijadikan alas pengolahan daging ke sungai Desa Pandansari untuk dicuci, dikeringkan, dan disimpan dengan rapi.

Tindakan ini menunjukkan kesungguhan warga dalam menjaga kebersihan lingkungan dan meminimalisir pembuangan sampah. Terpal yang sudah lusuh dan kotor tidak dibuang begitu saja. Terpal tersebut dibersihkan dan dirawat agar bisa dipakai kembali pada penyembelihan kurban tahun berikutnya. Sisa daging yang menempel di terpal di hanyutkan di sungai agar bisa menjadi pakan ikan. Hal ini merupakan cara sederhana warga dalam menjaga ekosistem ikan. Sukron, salah satu warga mushala al-Asdiqa’ menjelaskan, sisa-sisa daging yang menempel di terpal akan hanyut saat dibersihkan dan bisa dijadikan sebagai pakan ikan yang hidup di sungai tersebut.

Aktivitas yang dilakukan warga mushala al-Asdiqa’ merupakan aktivitas yang cukup penting namun sering terabaikan dalam praktik keagamaan. Menteri Agama, Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa mencintai lingkungan (Hablum Bi’ah) merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Sebagai khalifah di bumi, manusia harus selalu menjaga dan merawat bumi agar harmonisasi alam dapat terjaga dengan baik. Hal ini juga tercermin dalam kurikulum cinta yang digagas oleh Menteri Agama. Ada empat aspek yang ditekankan dalam kurikulum cinta, yaitu: membangun cinta kepada Allah (Hablum Minallah), membangun cinta kepada sesama manusia (Hablum Minannas), membentuk kepedulian terhadap lingkungan (Hablum Bi’ah), dan kecintaan terhadap bangsa (Hubbul Wathan).

Baca juga: Kasubdit Bimbingan Jamaah Haji Kemenag RI Soroti Peran Penting Pembimbing Manasik di Sertifikasi Profesional UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Kurikulum, sebagai ruh pendidikan, secara nyata telah diinternalisasi ke dalam kehidupan warga mushala, khususnya anak-anak. Pendidikan adalah suatu proses pembentukan karakter manusia agar menjadi sebenar-benarnya manusia. Pendidikan tidak hanya sebagai tempat transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga penanaman nilai-nilai kemanusiaan.  Anak-anak yang dilibatkan dalam proses ini sekaligus belajar tentang nilai-nilai empati, solidaritas, dan mencintai lingkungan sejak dini. Anak-anak diajarkan bahwa beragama tidak hanya sebuah ritual dalam bentuk hubungan dengan Tuhan saja, melainkan juga hubungan kepada sesama manusia dan alam. Beragama tidak hanya sekedar berdoa, shalat, pusasa, dan mengaji, melainkan juga menolong orang, merawat lingkungan, dan peduli kepada sesama. Hal ini tertuang dalam Asta Protas Kemenag, yakni mewujudkan pendidikan unggul, ramah, dan terintegrasi.

Tradisi “Umbah Terpal” juga merupakan bagian dari layanan keagamaan berdampak yang tertuang dalam Asta Protas Kemenag. Dalam hal ini, layanan keagamaan tidak hanya dimaknai sebagai pelayanan adiministratif semata. Lebih dari itu, layanan keagamaan berdampak adalah layanan yang memberi manfaat nyata bagi kemaslahatan umat. Tradisi “Umbah Terpal” menunjukkan bahwa pelayanan keagamaan tidak selesai di meja panitia kurban dan pembagian daging semata, melainkan bentuk fasilitasi persiapan pengolahan daging kurban di tahun berikutnya.

Layanan keagamaan ini berdampak ke berbagai aspek, diantaranya: ekologi, sosial, dan spiritual. Tradisi “Umbah Terpal” menjadikan lingkungan mushala, sebagai tempat menyimpan terpal, menjadi bersih dan sehat. Tradisi ini juga dapat meningkatkan kerukunan warga mushala dan membentuk kehidupan yang lebih harmonis. Selain itu, tradisi ini juga dapat membantu meningkatkan nilai spiritualitas dalam menjalankan amanah dari orang yang berkurban.

Berdasarkan penjelasan tersebut, tradisi “Umbah Terpal” tidak hanya menggambarkan aktivitas warga dalam membersihkan terpal di sungai, melainkan juga sebagai wujud internalisasi nilai-nilai moderasi beragama. Secara implisit, sebagaimana telah dijelaskan, tradisi “Umbah Terpal” menyimpan nilai-nilai yang terkandung dalam Asta Protas Kemenag, yaitu: meningkatkan kerukunan dan cinta kemanusiaan, penguatan ekoteologi, layanan keagamaan berdampak, serta mewujudkan pendidikan unggul, ramah dan terintegrasi.

Weton: Tradisi Luhur di Tengah Modernitas

Penulis: Azzam Nabil H., Editor: Tegar Rifqi

Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, weton memiliki makna yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Weton, yang merupakan gabungan dari hari dan pasaran dalam penanggalan Jawa, diyakini tidak hanya sebagai penanda hari lahir seseorang, tetapi juga sebagai dasar dalam menentukan berbagai aspek kehidupan, seperti kecocokan jodoh, waktu yang tepat untuk memulai usaha atau panen, hingga arah pembangunan rumah. Dalam masyarakat tradisional Jawa, weton bahkan menjadi dasar dalam ritual-ritual penting, seperti pernikahan dan kelahiran. Namun, lebih dari sekadar ramalan, masyarakat Jawa memaknai weton sebagai bagian dari kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Hal ini diperkuat oleh pendapat dari pakar filsafat Jawa Universitas Gadjah Mada, Dr. Iva Ariani, S.S., M.Hum., yang menyatakan bahwa weton merupakan bentuk dari “Ilmu Penanda”, yaitu metode masyarakat Jawa dalam membaca dan memahami situasi di sekitar mereka melalui pengalaman yang disebut sebagai “Ilmu Titen”.

Dalam perspektif filsafat, Ilmu Titen merupakan bentuk epistemologi tradisional yang digunakan oleh leluhur Jawa untuk mengenali pola-pola alam dan sosial berdasarkan pengalaman empiris. Contohnya, ketika masyarakat melihat banyak hewan turun dari gunung, mereka menafsirkan bahwa kemungkinan besar akan terjadi gempa bumi. Kepercayaan ini tidak muncul begitu saja, melainkan lahir dari pengamatan berulang kali terhadap fenomena alam yang konsisten. Pengetahuan semacam ini mirip dengan apa yang dalam sains modern disebut inductive reasoning, yakni menarik kesimpulan dari pola kejadian yang berulang.

Baca juga: Tradisi Perlon Unggahan Bonokeling oleh Masyarakat Desa Pekuncen, Kabupaten Banyumas

Namun demikian, Dr. Iva Ariani juga mengingatkan bahwa masyarakat tidak boleh menaruh kepercayaan secara mutlak terhadap hitung-hitungan weton. Ia menekankan pentingnya bersikap kritis dan bijaksana dalam menyikapi tradisi ini. Menurutnya, weton sebaiknya diposisikan sebagai alat bantu untuk meningkatkan kewaspadaan, bukan sebagai penentu mutlak takdir. Ia mengibaratkannya seperti ketika langit tampak mendung, maka kita bersiap membawa payung, bukan serta merta memastikan hujan akan turun. Dengan kata lain, weton bisa dijadikan sebagai sarana antisipatif yang membantu seseorang dalam mengambil keputusan yang lebih hati-hati. Pendekatan semacam ini mencerminkan bagaimana tradisi lokal dapat beriringan dengan sikap rasional, sehingga warisan budaya tetap relevan dalam kehidupan modern tanpa mengabaikan logika dan akal sehat.

Disamping itu, dalam sudut pandang Islam yang menjunjung nilai-nilai moderasi beragama, tradisi weton dipandang sebagai bagian dari kearifan lokal yang dapat diterima selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid. Islam moderat mengedepankan pendekatan yang menghargai budaya lokal tanpa mengabaikan nilai-nilai keislaman. Dalam konteks ini, weton tidak dilihat sebagai takhayul atau bentuk syirik selama dimaknai sebagai sarana refleksi dan antisipasi, bukan sebagai kepastian nasib. Tradisi semacam ini juga bisa menjadi media edukatif dan spiritual untuk menumbuhkan kehati-hatian dalam bertindak.

Baca juga: Tradisi Menyambut Ramadan: Nyekar, Padusan, dan Nyadran

Hal ini selaras dengan program prioritas Kementerian Agama (Kemenag) yang menekankan pentingnya penguatan moderasi beragama sebagai upaya strategis untuk meningkatkan kerukunan dan menghargai setiap perbedaan, terutama dalam konteks tradisi dan budaya yang telah melekat sebagai jati diri masyarakat Jawa. Selain itu, Menteri Agama, Nasaruddin Umar, juga mengajak umat beragama untuk menjaga kekompakan dalam keragaman dan saling menghargai tradisi yang ada di masyarakat. Pendekatan ini mencerminkan komitmen Islam moderat dalam merawat harmoni sosial melalui penghargaan terhadap budaya lokal yang telah menjadi bagian integral dari identitas masyarakat.

*Source: 
Menag Ajak Umat Kompak dan Saling Menghargai Keragaman Tradisi
PodcastUGM, Antara Weton, Zodiak dan Sains
*Ilustrasi: Nawacita.co

Harmonisasi Kebudayaan dan Agama: Praktik Moderasi Beragama dalam Kearifan Lokal Negeri di Atas Awan

Penulis: Fatimatuz Zahra, Editor: Muslimah

Foto: Wikipedia

Kearifan lokal menurut KBBI berarti kebijaksanaan, kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam berinteraksi. Kearifan lokal adalah berbagai gagasan-gagasan, nilai-nilai atau pandangan masyarakat yang dianggap memiliki sifat bijaksana dan bernilai baik. Secara umum kearifan lokal diikuti, dipercayai, dan menjadi ciri khas serta identitas masyarakat setempat. Kearifan lokal umumnya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya melalui cerita dari mulut ke mulut. Kearifan lokal merupakan warisan masa lalu yang berasal dari leluhur. Tidak hanya berbentuk sastra tradisional (sastra lisan maupun tulisan), kearifan lokal juga dapat berbentuk sebuah pandangan hidup, kesenian, kesehatan, arsitektur maupun cara berinteraksi dengan lingkungan. Maka, kearifan lokal dapat ditemukan pada cerita rakyat, peribahasa, lagu, permainan rakyat maupun kebiasaan yang sudah menjadi tradisi pada masyarakat setempat.

Sedangkan kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara. Moderasi beragama kemudian dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Secara umum, moderat berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara. Moderasi beragama kemudian dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama.

Baca juga: Mengembangkan Moderasi Beragama Melalui Interaksi Sosial yang Inklusif Dan Toleran

Salah satu praktik moderasi beragama dalam kearifan lokal negeri di atas awan yaitu Kesenian Kuda Kepang dan Tari Topeng (Lengger) dari Tunggu Seto Tempuran (TST), Desa Tempuran, Kecamatan Tlogo, Kabupaten Wonosobo. Perwujudan manusia yang memiliki kebudayaan dan keindahan masyarakat Wonosobo diekspresikan melalui seni tari, musik, maupun seni rupa. Lengger, berasal dari kata eling (mengingatkan) dan ngger, “ngger” adalah sebutan untuk anak kecil yang mempunyai arti kita harus selalu ingat kepada Allah SWT. pencipta alam semesta yang patut untuk disembah dan dipuji.

Tarian ini memberikan nasihat dan pesan kepada setiap orang untuk dapat bersikap mengajak dan membela kebenaran dan menyingkirkan kejelekan. Lengger merupakan tari tradisonal rakyat yang dipentaskan oleh dua orang, laki-laki dan perempuan, laki-laki memakai topeng dan perempuan mengenakan baju tradisional. Mereka menari selama 10 menit dalam setiap babak. Diiringi alunan musik gambang, saron, kendang, gong dan lainnya. Tari Lengger biasa dilakukan pada saat upacara ritual seperti bersih desa, ruwatan rambut gimbal, penyambutan tamu pernikahan, khitanan ataupun penyambutan Hari Raya Idulfitri.

Sebagai kebudayaan lokal, Tari Kengger mempunyai keunikan karena di dalamnya terkandung nilai-nilai seperti estetika, perjuangan, kejujuran, dan juga kepercayaan. Kesenian Tari Lengger berorientasi pada acara ritual ataupun pemujaan. Tari Lengger juga merupakan bentuk akulturasi dari warisan budaya Hindu dan Budha dengan kedatangan ajaran agama Islam oleh para wali terdahulu. Hal ini dibuktikan dengan nyanyian yang dialunkan oleh waranggono di antaranya yaitu :

“Poro dulur jeneng iro do elingo”
(Para saudaraku nama dia (Tuhan) pada ingatlah)
“Mumpung sih do iseh ono nang alam ndonyo”
(Manfaatkan situasi saat masih ada di alam dunia)
“Gusti Pengeran”
“Allah Allahu Allah lailahailallah”

Biasanya kesenian ini diadakan secara berkala setiap bulan, untuk hari-hari tertentu di desa setempat. Dibuka untuk umum tanpa adanya pungutan biaya, sehingga tak pernah sepi dari pengunjung setempat, walau hujan deras sekalipun masyarakat tetap antusias meramaikan acara. Kesenian Rayon Tunggul Seto Tempuran juga terkadang diundang untuk tampil di acara-acara desa yang lain. Upaya pengenalan kesenian ini juga sudah menjangkau media sosial berupa instagram dan threads: @tst_tunggulsetotempuran yang bertujuan untuk menjangkau masyarakat dengan skala yang lebih besar lagi.

Baca juga: Wayang sebagai Jembatan Harmoni antara Spiritualitas dan Sains dalam Budaya Jawa

Kesenian ini dibuka dengan penampilan jaranan anak-anak dengan alunan gamelan pada sore hari dan dilanjutkan dengan tarian lengger sampai menjelang maghrib. Lalu beristirahat pada waktu ba’da maghrib sampai isya’ dengan alunan gamelan. Selanjutnya dibuka kembali dengan inti acara yaitu tari kuda kepang orang dewasa yang sangat dinanti-nantikan oleh para pengunjung. Kemudian ditutup dengan Tari Lengger sampai penghujung acara pada dini hari.

Nah, bentuk praktik moderasi beragama dalam kearifan lokal negeri di atas awan ini selain dari akulturasi dan isi budayanya, dalam pelaksanaan acaranya juga termasuk bentuk praktik moderasi beragama. Pasalnya, saat waktu sholat datang dan adzan berkumandang, acara dihentikan serentak untuk menghormati datangnya waktu sholat dan memberi waktu istirahat untuk para pengunjung melaksanakan sholat. Dalam konteks ini, moderasi beragama tidak hanya menjadi jalan tengah antar umat beragama, tetapi juga menjadi jalan tengah dalam pelestarian kearifan lokal, agar senantiasa harmonis dan dapat hidup berdampingan antara keyakinan beragama dengan kebudayaan nenek moyang.

Refleksi Puasa: Dari Tradisi Nabi Hingga Makna Spiritual di Era Modern

Penulis: Muhammad Ash-Shiddiqy, Editor: Tegar Rifqi

Puasa, salah satu ibadah utama dalam Islam, memiliki sejarah panjang yang bermula dari tradisi Nabi Muhammad SAW dan para nabi sebelumnya. Sebelum puasa Ramadan disyariatkan, Nabi Muhammad SAW telah menjalankan puasa selama 13 tahun di Makkah dan hampir dua tahun pada awal kehidupannya di Madinah. Puasa yang beliau jalankan mengikuti tradisi Nabi Musa AS, yang juga dipraktikkan oleh bangsa Quraish, yaitu puasa pada tanggal 10 Muharram yang dikenal sebagai puasa Asyura. Tradisi ini mengungkap keterkaitan antara praktik puasa dalam Islam dengan tradisi puasa umat Yahudi dan Kristiani, setidaknya menurut versi sejarah Islam.

Kemudian, melalui turunnya ayat 183 surat Al-Baqarah, puasa Ramadan ditetapkan sebagai kewajiban bagi umat Muslim. Ayat tersebut menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Pernyataan ini tidak hanya menegaskan kewajiban berpuasa, tetapi juga mengaitkannya dengan tradisi spiritual umat terdahulu.

Baca juga: Keutamaan Awal Ramadan: Cara Niat Puasa di Malam Pertama Bulan Ramadan

Puasa juga menampakkan sisi kemanusiaannya. Dalam ayat-ayat selanjutnya—khususnya hingga ayat 186 surat Al-Baqarah—Allah SWT memberikan keringanan bagi mereka yang berhalangan menjalankan puasa, seperti orang sakit, musafir, atau wanita hamil dan menyusui, dengan alternatif fidyah berupa memberi makan orang miskin. Hal ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang berpihak pada kemanusiaan, di mana puasa bukan dimaksudkan untuk memberatkan, melainkan untuk menumbuhkan nilai ketakwaan, empati, dan kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, puasa menjadi sarana untuk merasakan penderitaan mereka yang kurang beruntung dan meningkatkan kepekaan sosial.

Di tengah arus modernitas yang serba cepat, puasa mengajarkan kita untuk melambatkan laju kehidupan. Ambisi untuk selalu melaju tanpa henti seringkali membuat kita lupa berhenti sejenak, merenung, dan menikmati hidup secara lebih bermakna. Puasa berperan sebagai “rem waktu” yang mengajarkan kita menahan diri, menanti waktu berbuka, serta merasakan setiap detik dengan intens, sehingga kita belajar untuk menghargai setiap momen dengan ketenangan dan kesadaran.

Baca juga: Ramadan Bulan Kebangkitan Ummat

Dalam menyambut Ramadan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar ibadah kita lebih maksimal. Ramadan adalah bulan yang penuh berkah, sehingga sebaiknya diisi dengan memperbanyak ibadah seperti shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, dan bersedekah. Kewajiban seperti puasa dan shalat berjamaah bagi laki-laki harus diprioritaskan, begitu pula shalat Tarawih dan tadarus Al-Qur’an sebagai ibadah sunnah yang sangat dianjurkan. Donasi buka puasa memang baik, tetapi hendaknya dilakukan dengan sederhana dan tidak berlebihan agar keikhlasan tetap terjaga.

Sepuluh hari terakhir Ramadan adalah waktu istimewa yang sebaiknya dimanfaatkan untuk meningkatkan ibadah, terutama dalam mencari malam Lailatul Qadar. Keluarga juga perlu dilibatkan dalam suasana Ramadan, dengan menanamkan nilai dan keutamaannya kepada istri dan anak-anak agar ibadah bersama menjadi lebih bermakna. Selain itu, menargetkan khatam Al-Qur’an minimal empat kali selama Ramadan bisa menjadi cara untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Berbuka puasa di rumah bersama keluarga lebih utama dan penuh berkah dibandingkan berbuka di luar. Ceramah Tarawih sebaiknya tidak terlalu panjang agar tidak memberatkan jamaah. Para imam shalat hendaknya memimpin dengan keikhlasan, bukan untuk mencari popularitas atau keuntungan materiil. Ramadan juga merupakan waktu yang tepat untuk melakukan muhasabah diri dan memperbanyak istighfar serta tobat sebagai bekal menuju kehidupan yang lebih baik.

Baca juga: Tradisi Menyambut Ramadan: Nyekar, Padusan, dan Nyadran

Puasa bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, melainkan juga merupakan sarana untuk mengasah spiritualitas, empati, dan kesadaran akan waktu. Dari tradisi Nabi Muhammad SAW hingga relevansinya di era modern, puasa mengajarkan kita untuk hidup lebih bermakna. Semoga Ramadan tahun ini menjadi momentum untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Tradisi Menyambut Ramadan: Nyekar, Padusan, dan Nyadran

Penulis: Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy,M.E; Editor: Azzam Nabil H.

Bulan Ramadan adalah bulan yang dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, menyambut Ramadan tidak hanya dilakukan dengan persiapan spiritual, tetapi juga melalui berbagai tradisi lokal yang kaya akan makna. Beberapa tradisi yang populer di masyarakat Indonesia antara lain perang petasan, kembang api, bersih-bersih masjid, hingga “Nyekar”. Tradisi-tradisi ini tidak hanya menjadi bagian dari budaya, tetapi juga memiliki nilai spiritual yang dalam.

Nyekar: Ziarah Kubur Sebelum Ramadan

Salah satu tradisi yang paling dikenal adalah Nyekar, yaitu ziarah ke makam leluhur seperti orang tua, nenek, kakek, buyut, atau saudara yang telah meninggal. Dalam tradisi ini, keluarga biasanya membacakan doa, seperti surat Yasin dan tahlil, serta menaburkan bunga di makam. Pertanyaan yang sering muncul adalah, mengapa Nyekar dilakukan sebelum Ramadan? Jawabannya sederhana: ini soal “roso” atau perasaan.

Ketika Ramadan tiba, semua amal ibadah dilipatgandakan pahalanya. Bahkan tidurnya orang yang berpuasa dianggap sebagai ibadah. Namun, bagaimana dengan orang-orang yang kita sayangi tetapi sudah meninggal? Mereka tidak bisa lagi menikmati “diskon pahala” atau “cuci gudang dosa” yang terjadi selama Ramadan. Oleh karena itu, sebagai bentuk rasa syukur dan kasih sayang, kita mengunjungi makam mereka dan mengirimkan doa. Doa anak sholeh adalah salah satu pahala yang terus mengalir bagi orang yang telah meninggal, selain sedekah jariyah dan ilmu yang bermanfaat.

Padusan: Membersihkan Diri Sebelum Ramadan

Selain Nyekar, ada juga tradisi “Padusan” yang populer di Jawa. Padusan berasal dari kata “adus” yang berarti mandi. Tradisi ini dilakukan sebagai simbol pembersihan diri secara fisik dan spiritual sebelum memasuki bulan Ramadan. Filosofi Padusan memiliki beberapa makna mendalam:

Makna mendalam dari filosofi tersebut yang pertama adalahPembersihan Diri: Padusan melambangkan pembersihan diri dari dosa dan kesalahan, sehingga kita bisa memulai ibadah dengan hati yang bersih.

Kedua, Pembaharuan Diri: Tradisi ini juga melambangkan pembaharuan diri, yaitu meninggalkan kebiasaan buruk dan memulai kebiasaan baru yang lebih baik. Ketiga, Pengukuhan Iman: Padusan dapat memperkuat iman dan meningkatkan kesadaran spiritual, sehingga kita lebih siap menghadapi tantangan hidup selama Ramadan.

Keempat, Pembersihan Jiwa: Padusan juga diartikan sebagai pembersihan jiwa dari kotoran batin seperti kesombongan, kebencian, dan keinginan yang tidak baik. Dan yang kelima adalah Persiapan untuk Ramadan: Secara khusus, Padusan adalah persiapan untuk menjalankan ibadah puasa dengan hati yang bersih dan jiwa yang suci.

Nyadran: Akulturasi Budaya Jawa dan Islam

Selain Nyekar dan Padusan, ada juga tradisi Nyadran yang merupakan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Nyadran biasanya dilakukan pada bulan Ruwah (menurut kalender Jawa) atau Sya’ban (menurut kalender Hijriyah). Tradisi ini juga dikenal sebagai Ruwahan karena dilakukan pada bulan Ruwah. Beberapa ciri khas Nyadran antara lain:

Ziarah Kubur: Seperti Nyekar, ziarah kubur adalah bagian penting dari Nyadran; Mandi di Sungai (Padusan): Membersihkan diri di sungai sebagai simbol pembersihan jiwa dan raga; Membersihkan Lingkungan: Kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan sekitar; Kenduri: Acara makan bersama sebagai bentuk syukur dan silaturahmi; Kirab dan Ujub: Prosesi budaya yang melibatkan masyarakat setempat.; Doa dan Tasyukuran: Acara doa bersama sebagai bentuk rasa syukur atas datangnya Ramadan.

Makna Nyadran

Nyadran bukan sekadar tradisi, tetapi juga ekspresi rasa gembira, syukur, dan kebahagiaan menyambut Ramadan. Tradisi ini mengandung nilai-nilai sosial budaya seperti gotong royong, pengorbanan, ekonomi, dan silaturahmi. Melalui Nyadran, masyarakat tidak hanya mempersiapkan diri secara spiritual, tetapi juga mempererat hubungan sosial antarwarga.

Tradisi-tradisi seperti Nyekar, Padusan, dan Nyadran adalah warisan budaya yang patut dilestarikan. Meskipun berasal dari budaya lokal, tradisi ini sejalan dengan nilai-nilai Islam. Mereka mengajarkan pentingnya membersihkan diri, mempererat silaturahmi, dan mempersiapkan hati untuk menyambut bulan suci Ramadan.

Jadi, sudah siap menjadi bagian dari “Golkar” (Golongan Nyekar)? Mari kita jaga tradisi lama yang baik ini, sambil terus memperkaya makna spiritualnya dalam kehidupan kita. Dengan begitu, Ramadan tidak hanya menjadi bulan penuh berkah, tetapi juga bulan yang penuh dengan kebersamaan dan kasih sayang.