Mengembangkan Moderasi Beragama Melalui Interaksi Sosial yang Inklusif Dan Toleran

Penulis Artikel : Pujiwati, Editor : Nafis Mahrusah

Desa Linggo Asri ialah desa yang memiliki perbedaan agama antar umat beragama, salah satunya yaitu moderasi beragama. Prinsip moderasi beragama berfokus dengan  dua hal, yakni memahami teks (kitab suci) keagamaan harus sesuai dengan konteks dan meyakini dari agama itu sendiri. Seorang non-Muslim di Desa Linggo Asri, baik individu maupun institusi agama lain, perlu mengambil bagian dalam menghidupi moderasi beragama.

Moderasi beragama adalah pendekatan yang seimbang dan moderat dalam menjalankan keyakinan agama, yang melibatkan toleransi, pemahaman, dan penghormatan terhadap keyakinan dan praktik agama lain. Keragaman budaya dan keyakinan di Linggo Asri memerlukan interaksi sosial yang harmonis. Islam memiliki konsep toleransi yang jelas, yaitu tidak ada paksaan dalam agama. Toleransi ini dapat diwujudkan dengan membina kerukunan hidup beragama.

Moderasi beragama dengan toleransi perlu dibangun kepada masyarakat untuk menghormati perbedaan dan mempersatukan masyarakat. Moderasi beragama dapat ditunjukkan melalui sikap tawazun (berkeseimbangan), i’tidal (lurus dan tegas), tasamuh (toleransi), musawah (egaliter), syura (musyawarah), ishlah (reformasi), aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), serta tathawwur wa ibtikar (dinamis dan inovatif). Oleh karena itu, desa ini disebut desa moderasi beragama.

Baca juga : Moderasi Beragama sebagai Pendorong Mobilitas Sosial di Era Modern

Konsepsi moderasi bukanlah hal yang baru bagi umat Islam karena semangat moderasi merupakan salah satu ajaran yang bersumber pada Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an, moderasi disebut sebagai al-wasatiyyah. Secara etimologis, kata ini berasal dari akar kata al-wasath yang memiliki arti “di antara”. Kata ini memiliki beberapa makna, yaitu: (1) berada di antara dua posisi; (2) pilihan, utama, dan terbaik; (3) adil; dan (4) berada di antara hal buruk dan hal baik. Raghib al-Ashfahani memaknai kata wasathiyyah sebagai titik tengah yang tidak condong ke kanan maupun ke kiri dan juga bermakna keadilan, persamaan, dan kemuliaan.

Yusuf Al-Qardhawi mendefinisikan wasathiyyah sebagai usaha menyeimbangkan dua sisi yang bertolak belakang (at-tawazun), misalnya egoisme dengan altruism. At-tawazun berarti memberikan proporsi secara proporsional. Misalnya, kata “dermawan”, sebagai sikap antara boros dan kikir, atau “pemberani”, sebagai sikap antara nekad (tahawur) dan penakut (al-jubn). Adapun lawan kata moderasi adalah tatharruf atau berlebihan, yang berarti ekstrim atau radikal.

Baca juga : Moderasi Beragama dalam Perspektif Hadis: Studi atas Konsep Wasathiyah

Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah disebut wasith, yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “wasit” yang artinya penengah, pemimpin, dan pemisah. Orang yang adil akan menjaga keseimbangan dan berada di tengah. Pertengahan itu dalam bahasa Arab disebut wasath. Kata wasath seringkali dilekatkan dengan kebaikan. Dalam hadits Nabi disebutkan “sebaik-baik urusan adalah yang ada di pertengahan”. Dalam Al-Qur’an kata wasatha disebutkan sebanyak lima kali antara lain:

  • Dalam surat al-Adiyat (100): masuknya pasukan ke tengah-tengah medan perang.
  • Dalam surat al-Qalam (68): 28 dan al-Baqarah (2): 238, yang berarti lebih adil dan berakal. 
  • Dalam surat al-Maidah (5): 89, berarti antara boros dan bakhil.

Pengarusutamaan moderasi beragama mengutamakan pada pembentukan paham maupun sikap sosial keberagamaan yang moderat, yakni menghormati kemajemukan sosial serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Pola interaksi mencerminkan komitmen kebangsaan dan akomodatif terhadap kearifan lokal. Moderasi menekankan pada nasionalisme dan tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan agama. Isolasi sosial di kalangan individu religius seringkali dipicu oleh fanatisme agama dan sikap individualisme yang berlebihan.

Baca juga : Nilai-Nilai Moderasi Beragama Dalam Budaya Halal Bihalal

Bertujuan untuk menyoroti pentingnya keseimbangan ibadah ritual dan interaksi sosial. Masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan, sosial, dan pendidikan berperan penting dalam memfasilitasi interaksi sosial dan memperkuat nilai kebersamaan. Kegiatan keagamaan seperti shalat berjamaah, dakwah, dan peringatan hari besar Islam, serta kegiatan sosial seperti kerja bakti, zakat, dan buka puasa bersama, semuanya berkontribusi pada pembentukan hubungan sosial yang kuat dan harmonis. Moderasi beragama penting dalam masyarakat Indonesia yang beragam. Tokoh agama bersama pemerintah berupaya mencegah radikalisme dan intoleransi, salah satunya melalui moderasi lintas agama.

Konsep Islam moderat relevan dalam konteks keberagaman di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, moderasi menjadi topik yang sangat menarik. Moderasi diyakini sebagai kunci menghindari ekstremisme. Namun, seringkali konsep ini disalahartikan sehingga memicu kontroversi. Kerukunan antar umat beragama penting dalam menjaga keharmonisan sosial di Indonesia yang majemuk. Di Desa Linggo Asri, Kabupaten Pekalongan, tingkat toleransinya sangat tinggi melalui kegiatan dialog interaktif dan partisipatif. Hasilnya meliputi terbentuknya persepsi yang lebih baik tentang toleransi, terwujudnya kerukunan, dan meningkatnya modal sosial masyarakat.

Langkah-langkah yang melibatkan pembina formal dan nonformal, meningkatkan pemahaman masyarakat, serta menyosialisasikan peraturan yang mendukung kerukunan telah membentuk lingkungan sosial yang harmonis dan toleran. Kesimpulannya, kerukunan antar umat beragama di Desa Linggo Asri menjadi modal sosial penting dalam menjaga kesatuan dan kedaulatan Indonesia.

Muslimah Berkarir: Refleksi Keadilan Dalam Benturan Norma dan Realitas

Penulis: Anindya Aryu Inayati*, Editor: Azzam Nabil H.

Seorang Muslimah yang berkarir seringkali dihadapkan pada dua jalur perjalanan yang mengandung tuntutan besar dan tampak saling bertentangan. Satu jalan adalah norma tradisional atau keagamaan yang menekankan peran domestik sebagai istri dan ibu. Jalan lain adalah realitas profesional yang menuntut keterlibatan penuh di ranah publik, seperti jam kerja panjang, mobilitas tinggi, dan independensi. 

Islam sebenarnya tidak melarang perempuan untuk bekerja. Sejarah mencatat banyak tokoh perempuan yang aktif di ranah publik, seperti Khadijah RA sebagai pebisnis, atau Asy-Syifa’ binti ‘Abdillah yang diberi kepercayaan oleh Umar bin Khattab untuk mengelola pasar. Sejarah juga mencatat bahwa arsitek Universitas Al-Qarawiyyin yang merupakan perguruan tinggi tertua di dunia, adalah seorang Wanita, yaitu Fatimah Al-Fihri. Namun, Islam juga menekankan bahwa perempuan memiliki tanggung jawab khusus dalam keluarga, terutama setelah menikah. 

Perempuan dalam Islam memiliki peran sentral dan mulia dalam rumah tangga, bukan sekadar sebagai pelaksana tugas domestik, melainkan sebagai penjaga kehormatan, pendidik generasi, dan sumber ketenangan bagi keluarga. Al-Qur’an dan hadis menegaskan bahwa istri adalah pendamping yang menghadirkan sakinah (ketenangan), serta ibu yang menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya, tempat nilai-nilai moral dan keimanan ditanamkan sejak dini. Posisi ini bukan bentuk subordinasi, melainkan amanah strategis yang menopang kestabilan sosial dan spiritual keluarga. Meski begitu, Islam tidak menutup pintu bagi perempuan untuk berkarya di ruang publik, selama tetap menjaga nilai-nilai syariat dan tidak mengabaikan tanggung jawabnya dalam keluarga. Dengan demikian, norma Islam tidak membatasi perempuan, melainkan menempatkan perannya secara proporsional, adil, dan kontekstual dalam membangun peradaban dimulai dari rumah.

Baca juga: Menunda Ikatan: Mengapa Generasi Z Memilih Karir dan Kebebasan di Atas Pernikahan?

Di sisi lain, ketika seorang Muslimah terjun di dunia kerja modern, ia dihadapkan pada tuntunan untuk dapat memberikan komitmen penuh dalam bentuk jam kerja panjang, mobilitas tinggi, dan kapasitas pengambilan keputusan yang otonom. Di sinilah benturan itu sering muncul. Perempuan yang mencoba menjalankan peran ganda kadang dipertanyakan loyalitasnya: dari sisi agama ia dinilai kurang prioritas pada keluarga, sementara dari sisi dunia kerja kadang dianggap kurang professional. 

Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bahwa Wanita memiliki hak untuk bekerja dan berkarir secara profesional dengan batasan-batasan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Al-Qardhawi mengutip hadits Nabi saw. yang menyatakan: “Barangsiapa yang berjalan untuk mencari rezeki yang halal dengan tujuan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya, maka dia berada pada jalan Allah” (HR. Ahmad dan Thabrani). Berdasarkan hadits ini, Al-Qardhawi berpendapat bahwa wanita yang bekerja untuk menafkahi diri dan keluarganya, atau untuk mengembangkan potensi diri dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, dapat dianggap sebagai amal saleh yang bernilai ibadah di sisi Allah Swt.

Selain itu, keterlibatan Wanita dalam dunia kerja profesional dapat dikaitkan dengan kaidah usul fikih yang menyebutkan:

مَاحُرِّمَ لِسَدِّ الذَرِيعَةِ أُبِيْحَ لِلْحَاجَةِ

Artinya: “Sesuatu yang dilarang sebagai upaya pencegahan, dibolehkan karena adanya kebutuhan”

Adanya pendapat yang melarang wanita muslimah bekerja di luar rumah dengan alasan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dan berpotensi mengganggu stabilitas keluarga, berubah menjadi kebolehan bagi Wanita untuk terlibat langsung dalam berbagai profesi strategis yang memang membutuhkannya. 

Baca juga: Busana dan Moralitas: Menghargai Keragaman dalam Penampilan di Tengah Masyarakat Plural

Lalu bagaimana mengenai profesionalitas kerja dan stabilitas keluarga? Haruskah memilih diantara keduanya?

Sebenarnya, Islam dan profesionalisme bisa saling melengkapi jika dimaknai secara kontekstual. Etika kerja Islam justru menuntut profesionalitas: amanah, jujur, bertanggung jawab. Maka, tantangan utama bukan pada syariat atau dunia kerja itu sendiri, tetapi pada bagaimana sistem sosial dan institusi kerja mampu menciptakan ruang yang adil dan fleksibel. Dalam Islam, profesionalitas kerja dan stabilitas keluarga bukanlah dua hal yang harus selalu dipertentangkan atau dipilih salah satunya, melainkan keduanya dapat dijalankan secara seimbang dengan manajemen waktu, tanggung jawab, dan niat yang baik. 

Islam mengajarkan prinsip tawazun (keseimbangan) dalam segala aspek kehidupan, termasuk antara karier dan keluarga. Perempuan yang bekerja tetap dapat profesional selama ia mengatur prioritas dan mendapatkan dukungan yang adil dari pasangan dan lingkungan. Sementara stabilitas keluarga tetap menjadi orientasi utama sebagai fondasi masyarakat. Jika terjadi benturan, Islam mendorong pengambilan keputusan berdasarkan maslahat (kemaslahatan) dan musyawarah, bukan paksaan atau tuntutan sosial semata. Dengan demikian, tidak selalu harus memilih salah satu, tetapi mencari jalan tengah yang adil dan berkelanjutan. Terlebih lagi, dalam masyarakat yang sehat, perempuan tidak dipaksa memilih antara keluarga dan karier, melainkan diberi dukungan untuk menata keduanya secara seimbang dan bermartabat.

*Dosen Fakultas Syariah
Ilustrasi oleh Artificial Intellegence (AI)

Moderasi Beragama sebagai Pendorong Mobilitas Sosial di Era Modern

Penulis: Syahrum Maulidal F., Editor: Azzam Nabil H.

Masyarakat adalah kumpulan individu yang saling berinteraksi dan memiliki kepentingan bersama. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat mengalami perubahan sosial yang tak terhindarkan. Perubahan ini tidak hanya menyangkut aspek struktural, tetapi juga menyentuh nilai-nilai budaya, ekonomi, dan religius yang membentuk wajah masyarakat modern. Dalam konteks ini, perubahan sosial tidak terjadi begitu saja. Ia bisa berasal dari dalam masyarakat sendiri seperti pertumbuhan jumlah penduduk, munculnya penemuan baru, konflik sosial, hingga revolusi budaya. Sementara dari luar, perubahan dapat didorong oleh peperangan, kondisi alam, maupun pengaruh budaya asing yang masuk melalui arus globalisasi. Di tengah dinamika ini, masyarakat dituntut untuk mampu beradaptasi dengan cepat tanpa kehilangan identitas dasarnya. Perubahan yang terjadi, cepat atau lambat, akan membentuk ulang struktur masyarakat, memengaruhi sistem nilai, dan membuka peluang bagi setiap individu untuk berpindah dalam struktur sosial.

Baca juga: Dakwah No Ribet: Antara Pahala, Views, dan Moderasi Beragama di TikTok

Berkaitan dengan ini, mobilitas sosial yang berkembang menjadi salah satu bentuk perubahan sosial dimana terdapat gejala yang mencerminkan keinginan alami manusia untuk memperbaiki status hidupnya. Ada dua bentuk utama mobilitas sosial, yaitu horizontal dan vertikal. Mobilitas horizontal terjadi ketika seseorang atau kelompok berpindah dalam satu lapisan sosial yang sejajar, tanpa mengubah kedudukan status sosialnya. Misalnya, seorang guru agama yang kemudian memutuskan menjadi pengusaha, namun tetap mempertahankan nilai-nilai keagamaan yang moderat dalam praktik usahanya. Contoh ini menunjukkan bahwa perpindahan peran sosial dapat berlangsung harmonis, tanpa harus menanggalkan prinsip-prinsip beragama yang inklusif dan toleran.

Sementara itu, mobilitas sosial vertikal menyangkut perubahan status sosial ke arah yang lebih tinggi (naik) atau lebih rendah (turun). Faktor-faktor yang memengaruhi mobilitas vertikal meliputi kekayaan, kekuasaan, dan pendidikan. Seseorang yang memiliki akses pendidikan tinggi cenderung memiliki peluang lebih besar untuk naik status sosialnya. Di sinilah moderasi beragama memainkan peran penting. Ketika seseorang menginternalisasi nilai-nilai agama yang moderat, terbuka terhadap perubahan, namun tetap teguh dalam prinsip moral, maka peluang untuk sukses secara sosial-ekonomi akan semakin terbuka. Seorang pemuda dari keluarga sederhana yang aktif dalam kegiatan keagamaan dan konsisten dalam belajar, misalnya, dapat meraih pendidikan tinggi dan menjadi manajer di perusahaan besar. Ini adalah bukti bahwa semangat moderasi dalam beragama tidak hanya memperkuat spiritualitas, tetapi juga mendukung pencapaian sosial yang lebih tinggi.

Baca juga: Peran Pendidikan dalam Mewujudkan Moderasi Beragama di Indonesia

Moderasi beragama menempatkan nilai-nilai seperti toleransi, keseimbangan, dan keadilan sebagai landasan dalam hidup bermasyarakat. Prinsip-prinsip ini sangat relevan di era globalisasi, di mana perbedaan keyakinan, budaya, dan gaya hidup semakin tampak. Dengan menerapkan sikap moderat, masyarakat tidak hanya mampu meredam potensi konflik, tetapi juga mendorong terciptanya ruang sosial yang adil dan inklusif. Dalam lingkungan yang demikian, mobilitas sosial menjadi lebih terbuka bagi siapa pun, tanpa diskriminasi berdasarkan agama atau latar belakang sosial.

Secara keseluruhan, perubahan sosial adalah keniscayaan yang diikuti oleh mobilitas dalam struktur masyarakat. Moderasi beragama berperan sebagai jembatan yang menghubungkan nilai-nilai tradisional dengan realitas modern yang dinamis. Dalam masyarakat yang plural dan terus berubah, moderasi tidak hanya menjadi ajaran, tetapi menjadi kebutuhan dalam membangun kehidupan yang harmonis dan berkemajuan. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai agama yang moderat ke dalam proses sosial, setiap individu memiliki kesempatan yang setara untuk tumbuh, berkembang, dan berpindah ke posisi sosial yang lebih baik dalam struktur masyarakat.

*Sumber ilustrasi: Artificial Intellegence

Peran Pendidikan dalam Mewujudkan Moderasi Beragama di Indonesia

Penulis : Ziatul Fakhiroh , Editor : Amarul Hakim

Sebagai negara dengan beragam agama, kelompok etnis dan budaya, Indonesia sering menghadapi tantangan dalam mempertahankan harmoni sosial. Dalam konteks ini, moderasi agama adalah salah satu kunci terpenting untuk mencegah konflik agama dan memperkuat persatuan nasional. Salah satu faktor yang dapat memainkan peran penting dalam mencapai moderasi agama adalah pendidikan. Pendidikan memiliki kekuatan, pola pikir, sikap dan perilaku individu yang pada akhirnya mempengaruhi dinamika masyarakat.

Pendidikan dapat berfungsi sebagai media untuk menyampaikan pemahaman yang lebih besar tentang toleransi, penghargaan atas perbedaan, dan pemahaman yang lebih dalam tentang pengajaran agama sedang. Pendekatan terintegrasi memungkinkan pendidikan untuk mengurangi kemungkinan radikalisasi karena memperkenalkan konsep moderasi agama sebagai jalan tengah untuk menghormati keragaman. Di sekolah, pesan toleransi dan moderasi agama dapat diajarkan tidak hanya pada masalah agama tetapi juga pada topik lain yang menyentuh kemanusiaan dan etika sosial.

Moderasi agama didasarkan pada pendidikan. Melalui kurikulum yang memprioritaskan pemahaman tentang pengajaran agama dan mengajarkan pentingnya rasa terima kasih atas perbedaan, generasi yang lebih muda memiliki dasar yang kuat untuk berkembang menjadi individu terbuka dan hidup dengan pihak lain. Misalnya, siswa dapat mengajarkan prinsip -prinsip moderasi agama seperti sekitar (seimbang), I’stidal (adil), dan tazamuh (toleransi) pada mata pelajaran kelas agama. Dengan cara ini, tidak hanya mempelajari agama dari perspektif doktrinal, tetapi juga dari aspek sosial yang lebih luas.

Baca juga : Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025: Mencerdaskan Bangsa dengan Budaya Moderasi Beragama

Selain itu, pendidikan juga berperan dalam pengenalan nilai-nilai pluralisme di Indonesia. Program pendidikan yang memprioritaskan keanekaragaman agama dan budaya tidak hanya dapat mengajarkan siswa untuk menghormati, tetapi juga merayakan perbedaan. Ini penting bagi kita untuk tumbuh dengan kesadaran bahwa Indonesia adalah negara berbasis perbedaan dan bahwa persatuan dicapai dengan mengakui perbedaan-perbedaan ini. Pembentukan universitas sama pentingnya untuk realisasi moderasi agama.

Lembaga pendidikan tinggi dapat mengundang siswa untuk memperdalam konsep moderasi agama dari perspektif sosiologis, politik dan antropologi. Mereka diharapkan tidak hanya memahami teori, tetapi juga menjadi agen perubahan sosial yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari–hari. Dengan demikian, moderasi agama dapat menjadi semacam “arus utama” yang diterima dan diterapkan tidak hanya oleh konsep teoretis tetapi juga oleh komunitas yang lebih luas.

Untuk mengakui hal ini, kerja sama antara pemerintah, lembaga pendidikan dan masyarakat sangat penting. Pemerintah harus memastikan bahwa dukungan untuk kurikulum dan pedoman yang dijadwalkan di sekolah dan lembaga pendidikan tinggi mencakup dukungan untuk nilai-nilai dan pedoman moderat agama yang menciptakan ruang yang aman untuk kebebasan beragama. Sementara itu, masyarakat juga harus aktif dalam mendukung pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai perdamaian dan toleransi.

Baca juga : Mencegah Perundungan di Sekolah Melalui Penguatan Pendidikan Keagamaan

Secara keseluruhan, pendidikan memainkan peran yang sangat penting dalam mencapai moderasi agama di Indonesia. Melalui pendidikan berdasarkan pemahaman yang benar tentang agama dan apresiasi untuk perbedaan, kita dapat menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai. Moderasi agama tidak hanya menghindari ekstremisme, tetapi juga menciptakan keseimbangan dalam hidup, menghormati kebebasan beragama, dan memprioritaskan perdamaian di tengah keragaman. Dengan pelatihan yang tepat, Indonesia bisa lebih padat sebagai media, toleran dan PBB.

Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025: Mencerdaskan Bangsa dengan Budaya Moderasi Beragama

Sumber gambar: hariane.com
Penulis: Muhlisin*
Editor: Ika Amiliya Nurhidayah.

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa para pahlawan dan peletak dasar sistem pendidikan nasional semenjak Indonesia merdeka. Pada tahun 2025, tema yang diusung oleh Pemerintah adalah “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua.” Tema tersebut menekankan bahwa kualitas pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab negara atau satuan pendidikan semata, melainkan merupakan tanggung jawab semua unsur masyarakat—keluarga, komunitas, pemerintah, dunia usaha, tokoh agama, dan media. Hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan inklusif dan kolaboratif, yang menjamin setiap anak mendapatkan hak atas pendidikan tanpa diskriminasi, termasuk dalam hal kepercayaan, budaya, dan keyakinan agama. Pendidikan bermutu bukan hanya soal prestasi akademik, tetapi juga mencakup pembangunan karakter yang toleran, inklusif, dan menghargai perbedaan. Di sinilah nilai-nilai moderasi beragama menjadi penting, karena moderasi beragama mengajarkan siswa untuk menghormati perbedaan keyakinan, sekaligus dapat mendorong dialog antarumat beragama dalam suasana yang egaliter dan konstruktif. Dengan demikian, pengembangan moderasi beragama merupakan bagian integral dari tujuan “pendidikan bermutu untuk semua.”

Moderasi beragama tidak berarti memoderasi keyakinan agama itu sendiri, tetapi lebih pada cara beragama yang mengedepankan sikap toleran, adil, dan menghormati perbedaan. Moderasi beragama menolak segala bentuk ekstrimisme dan kekerasan atas nama agama serta mendorong pemahaman bahwa agama, dalam bentuk apapun, pada dasarnya mengajarkan kebaikan dan kedamaian. Dalam konteks pendidikan, pendekatan ini sangat relevan dan mendesak untuk diarusutamakan demi menciptakan lingkungan pembelajaran yang harmonis, inklusif, dan berakar pada nilai-nilai kebangsaan.

Baca juga: Peran Pendidikan dalam Memperkuat Moderasi dan Multikulturalisme di Kalangan Siswa

Pendidikan sebagai Pilar Pemersatu Bangsa

Indonesia adalah negara dengan keragaman yang luar biasa—baik dari segi agama, suku, bahasa, hingga budaya. Lembaga pendidikan menjadi miniatur dari realitas kebangsaan tersebut. Dalam satu ruang kelas, siswa dari latar belakang yang berbeda berkumpul untuk belajar bersama. Oleh karena itu, lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam membentuk cara pandang generasi muda terhadap perbedaan. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga sarana pembentukan karakter. Semangat moderasi beragama dapat menjadi ruh dalam pembentukan karakter siswa, khususnya dalam mencegah tumbuhnya benih-benih intoleransi yang belakangan marak mengemuka. Moderasi beragama bukan sekadar jargon, melainkan strategi kebudayaan dan kebangsaan yang harus ditanamkan sejak dini.

Pendidikan merupakan fondasi utama dalam membentuk karakter, wawasan, dan semangat kebangsaan warga negara. Di tengah keragaman suku, agama, bahasa, dan budaya yang dimiliki Indonesia, pendidikan berperan sebagai pilar pemersatu bangsa. Melalui proses pendidikan, nilai-nilai dasar seperti Pancasila, toleransi, keadilan, serta cinta tanah air ditanamkan secara sistematis dan berkelanjutan kepada generasi muda. Satuan pendidikan bukan hanya tempat untuk mengasah kemampuan akademik, tetapi juga menjadi arena pembentukan identitas kebangsaan. Di sana, anak-anak diajarkan untuk menghargai perbedaan, memahami sejarah perjuangan bangsa, serta menumbuhkan rasa bangga terhadap Indonesia. Kurikulum yang inklusif dan guru yang inspiratif memiliki andil besar dalam menciptakan generasi yang tidak mudah terpecah oleh isu-isu SARA dan radikalisme. Dalam era disrupsi informasi dan polarisasi sosial yang kian tajam, pendidikan harus mampu menjadi benteng yang kokoh terhadap pengaruh yang merusak persatuan. Melalui pendidikan yang merata, adil, dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan, bangsa ini akan tetap utuh dan kuat menghadapi berbagai tantangan zaman. Dalam konteks ini, pendidikan bukan sekadar proses belajar, melainkan sarana strategis untuk menjaga dan memperkuat integrasi nasional.

Peran Guru dalam Menanamkan Moderasi Beragama

Salah satu elemen penting dalam penerapan moderasi beragama di satuan pendidikan adalah peran guru. Guru bukan hanya pendidik, tetapi juga pembimbing moral dan panutan dalam bersikap. Guru harus mampu menjadi model nyata dalam bersikap moderat, tidak mudah terprovokasi, menghargai keberagaman keyakinan siswanya, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal. Guru memiliki peran sentral dalam membentuk karakter dan cara pandang peserta didik terhadap keragaman, termasuk dalam aspek keagamaan. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, guru tidak hanya bertugas mentransfer ilmu, tetapi juga menjadi agen perdamaian dan penanam nilai-nilai moderasi beragama. Moderasi beragama menekankan pentingnya sikap toleran, menghindari sikap ekstrem, serta menghargai perbedaan keyakinan dengan tetap berpegang pada ajaran agama yang rahmatan lil ‘alamin.

Melalui pembelajaran di kelas, guru dapat menanamkan nilai moderasi beragama dengan pendekatan dialogis, inklusif, dan kontekstual. Pendidikan agama tidak semata-mata menjadi ruang dogmatis, melainkan juga wadah untuk membangun kesadaran hidup bersama secara damai. Guru juga dapat menghadirkan keteladanan dalam berperilaku, menunjukkan sikap terbuka, serta membimbing siswa agar mampu berpikir kritis dan empatik terhadap perbedaan. Di tengah maraknya polarisasi sosial dan konten keagamaan yang provokatif, peran guru menjadi sangat penting untuk memperkuat narasi kebangsaan yang moderat. Maka, menanamkan moderasi beragama sejak dini melalui pendidikan adalah investasi jangka panjang demi terciptanya generasi yang toleran, damai, dan cinta tanah air.

Baca juga: Teaching Religious Moderation in English Language Education: A Strategy for Promoting Tolerance among Students

Tantangan Moderasi Beragama pada Satuan Pendidikan

Meski semangat moderasi beragama telah menjadi bagian dari kebijakan negara melalui Kementerian Agama dan lintas kementerian, pelaksanaannya di lapangan masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu tantangan utama adalah masih adanya pemahaman sempit tentang keberagamaan, baik dari kalangan pendidik maupun peserta didik. Di beberapa daerah, praktik pendidikan masih didominasi oleh pendekatan eksklusif yang memandang agama secara hitam-putih, membangun dikotomi “kami” dan “mereka,” serta menolak dialog antaragama. Ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai dasar pendidikan nasional yang inklusif dan humanis.

Selain itu, tantangan lain datang dari pengaruh media sosial dan digital yang kerap menjadi ladang subur bagi penyebaran paham keagamaan yang ekstrem dan tidak toleran. Lembaga pendidikan harus mampu bertransformasi menjadi benteng moderasi dengan membekali siswa kemampuan berpikir kritis, literasi digital, serta sikap bijak dalam menyikapi arus informasi yang masif. Untuk memperkuat semangat moderasi beragama dalam pendidikan, diperlukan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, tokoh agama, hingga orang tua harus bersinergi dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang toleran dan inklusif. Satuan pendidikan dapat bekerja sama dengan pesantren, tempat ibadah, dan komunitas lintas iman dalam menyelenggarakan program pendidikan karakter berbasis keberagaman. Program pertukaran pelajar antarwilayah atau antaragama juga bisa menjadi wahana konkret untuk memperluas perspektif siswa dalam melihat perbedaan sebagai anugerah, bukan ancaman. Dialog antaragama dan kegiatan lintas budaya harus terus didorong agar siswa tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga arif secara sosial dan spiritual.

Satuan Pendidikan sebagai Laboratorium Moderasi Beragama

Sudah sepatutnya satuan pendidikan harus menjadi laboratorium perdamaian, tempat di mana nilai-nilai kemanusiaan universal diuji, dipraktikkan, dan diwariskan kepada generasi penerus bangsa. Pendidikan harus menjadi jalan panjang menuju masyarakat yang adil, damai, dan berkeadaban. Semangat moderasi beragama adalah bekal penting dalam perjalanan panjang itu. Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini hendaknya tidak hanya menjadi seremoni tahunan, tetapi momentum reflektif untuk menilai kembali sejauh mana lembaga pendidikan telah memainkan perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa secara holistik—tidak hanya dari aspek intelektual, tetapi juga moral dan spiritual. Pendidikan yang mencerdaskan tanpa membangun karakter adalah bangunan kosong tanpa fondasi.

Satuan pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi merupakan ruang strategis dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang dalam sikap sosial dan spiritual. Dalam konteks keberagaman Indonesia, satuan pendidikan idealnya berfungsi sebagai laboratorium moderasi beragama, tempat siswa belajar hidup berdampingan, menghargai perbedaan, dan menumbuhkan semangat toleransi. Sebagai laboratorium, satuan pendidikan menyediakan ruang praktik bagi peserta didik untuk mengalami langsung nilai-nilai moderasi: dari kegiatan pembelajaran lintas agama, diskusi terbuka, hingga kegiatan kebersamaan lintas latar belakang. Dalam suasana pendidikan yang sehat, siswa belajar bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kekayaan bangsa yang harus dirawat bersama. Lebih dari itu, budaya satuan pendidikan yang inklusif, kepemimpinan guru yang visioner, serta kurikulum yang kontekstual berperan penting dalam menanamkan sikap anti-ekstremisme dan cinta damai. Ketika satuan pendidikan mampu membangun suasana yang adil dan harmonis, maka ia berkontribusi nyata dalam mencetak generasi yang tidak hanya toleran, tetapi juga memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai kebangsaan. Menjadikan satuan pendidikan sebagai laboratorium moderasi beragama adalah langkah strategis dalam memperkuat keutuhan sosial dan menyiapkan masa depan Indonesia yang damai dan beradab.

Dengan demikian refleksi atas Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025 harus menjadi titik tolak bagi semua pihak untuk memperkuat komitmen dalam mencerdaskan bangsa melalui pendekatan yang lebih inklusif, humanis, dan berkeadaban. Moderasi beragama bukan hanya kebutuhan zaman, tetapi keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah keberagaman Indonesia. Mari kita jadikan lembaga pendidikan sebagai oase pengetahuan, ruang tumbuhnya toleransi, dan benteng terakhir dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

*Guru Besar FTIK UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan.

Musyawarah dan Gotong Royong: Modal Sosial Kultural Moderasi Beragama Bangsa Indonesia

Penulis: Zacky Al-Ghofir El-Muhtadi Rizal, Editor: Nehayatul Najwa

Moderasi beragama menjadi konsep penting dalam menjaga harmoni sosial di tengah keberagaman. Di Indonesia, musyawarah dan gotong royong telah menjadi bagian dari kehidupan sosial yang diwariskan secara turun-temurun. Sejak dahulu, kedua nilai ini telah melekat dalam budaya masyarakat sebagai bentuk kearifan lokal yang mendukung kebersamaan dan kerja sama. Dengan akar yang kuat dalam kehidupan masyarakat, musyawarah dan gotong royong menjadi modal sosial kultural yang berharga dalam memperkuat moderasi beragama.

Makna Musyawarah

Musyawarah merupakan proses diskusi dan perundingan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mencapai kesepakatan bersama. Musyawarah mengutamakan prinsip kebersamaan, saling menghargai, dan mencari keputusan terbaik yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam Islam, prinsip ini dikenal dengan istilah syura, yang berarti konsultasi atau perundingan dalam mengambil keputusan. Sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara hingga saat ini, musyawarah telah menjadi cara masyarakat menyelesaikan perbedaan dan menemukan solusi bersama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal keagamaan. Dalam konteks moderasi beragama, musyawarah memiliki peran yang sangat penting.

Baca Juga: Musyawarah dan Gotong Royong, Aspek Penguat Moderasi Beragama

Pertama, musyawarah membantu menghindari konflik dengan menciptakan ruang dialog yang memungkinkan setiap individu menyampaikan pendapatnya dengan tetap menghormati keberagaman pandangan. Ketika masyarakat terbiasa bermusyawarah, mereka akan lebih terbuka dalam menerima perbedaan dan mencari solusi yang adil dan seimbang.

Kedua, musyawarah membangun kesepahaman di antara kelompok-kelompok yang memiliki keyakinan berbeda. Melalui diskusi yang sehat dan terbuka, masyarakat dapat mencapai mufakat yang mencerminkan nilai-nilai keadilan dan keberagaman.

Ketiga, musyawarah menanamkan nilai kebersamaan, di mana setiap individu didorong untuk saling mendengarkan, menghargai, dan mencari titik temu demi kepentingan bersama. Dengan demikian, musyawarah bukan hanya sebagai alat pengambilan keputusan, tetapi juga sebagai sarana memperkuat harmoni sosial dan moderasi beragama.

Baca Juga: Sedekah Bumi: Tradisi Syukur, Kepedulian Sosial, dan Pelestarian Alam untuk Generasi Mendatang

Makna Gotong Royong

Gotong royong merupakan budaya kerja sama yang dilakukan secara sukarela untuk mencapai tujuan bersama. Dalam masyarakat Indonesia, gotong royong tidak hanya mencerminkan kerja sama dalam aspek sosial dan ekonomi, tetapi juga menjadi wujud solidaritas dalam berbagai situasi, termasuk dalam menjaga toleransi antarumat beragama. Nilai gotong royong menekankan semangat saling membantu tanpa memandang perbedaan agama, suku, atau latar belakang sosial. Gotong royong berperan besar dalam memperkuat moderasi beragama.

Pertama, nilai ini meningkatkan solidaritas sosial dengan mendorong masyarakat untuk bekerja sama dalam berbagai kegiatan, seperti membantu korban bencana, membangun tempat ibadah, atau mendukung program sosial bersama.

Kedua, gotong royong menjembatani perbedaan dengan menciptakan ruang interaksi yang lebih erat antarumat beragama. Saat masyarakat bekerja bersama dalam kegiatan sosial, mereka akan lebih memahami satu sama lain dan mengurangi prasangka yang dapat memicu perpecahan.

Baca Juga:Moderasi Beragama: Solusi untuk Kehidupan Harmonis di Masyarakat Multikultural

Ketiga, gotong royong menumbuhkan sikap toleransi karena setiap individu belajar untuk saling menghormati dan menghargai keberagaman yang ada di sekitarnya.

Musyawarah dan gotong royong bukan hanya sekadar tradisi, tetapi merupakan modal sosial kultural yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kedua nilai ini menjadi alat yang efektif dalam memperkuat moderasi beragama karena menumbuhkan sikap toleran, inklusif, dan menghargai perbedaan. Dengan menjaga dan memperkuat nilai musyawarah dan gotong royong, masyarakat Indonesia memiliki fondasi yang kokoh dalam membangun kehidupan yang harmonis dan penuh kedamaian. Oleh karena itu, pelestarian dan penguatan kedua nilai ini harus terus dilakukan agar moderasi beragama dapat berkembang secara berkelanjutan di tengah dinamika sosial yang terus berubah.

 

Moderasi Beragama Sebagai Landasan Dalam Mempererat Ukhuwah Islamiyah di Kalangan Generasi Z

Penulis: Hany Lidya P, Editor: Sirli Amry

Di negara Indonesia memiliki berbagai keberagaman budaya dan agama, sehingga moderasi beragama menjadi kunci untuk pemersatu antar sesama, terutama nilai dalam Ukhuwah Islamiyah yang harus selalu ditegakkan sepanjang hayat. Namun, di dalam pertumbuhan era globalisasi saat ini yang penuh dengan berbagai arus informasi, generasi Z menghadapi tantangan besar dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama secara moderat. Gen Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an dan awal 2010-an, berkembang di tengah kemajuan teknologi dan globalisasi yang memungkinkan mereka mengakses berbagai pemahaman keagamaan dari berbagai sumber.

Sayangnya, pemahaman yang mereka peroleh tidak seimbang dan benar, mereka juga rentan terhadap narasi ekstrim, yang dapat menyebabkan liberalisme dan radikalisme yang berlebihan. Seringkali, perbedaan pendapat agama yang seharusnya menjadi rahmat malah menjadi sumber konflik, terutama di dunia media sosial, dimana mudah sekali terjadi perdebatan didalamnya. Di tengah kondisi ini, moderasi beragama menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak bagi Gen Z. Konsep moderasi beragama bukanlah upaya untuk melemahkan keyakinan, tetapi justru untuk menanamkan pemahaman Islam yang lebih seimbang, toleran, dan inklusif. Oleh karena itu, moderasi beragama menjadi kunci untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah di antara mereka.

Baca Juga:  Peran Moderasi Beragama dan Nilai Tasamuh dalam Membangun Kerukunan Umat di Indonesia

Moderasi beragama sendiri merupakan cara beragama yang tidak ekstrim, yang tidak condong ke kiri maupun ke kanan. Moderasi beragama adalah jalan tengah di antara dua kutub ekstrim. Moderasi beragama mempunyai prinsip yaitu adil dan seimbang. Sebagaimana dinyatakan dalam Surah Al-Baqarah ayat 143, Al-Qur’an menggambarkan umat Islam sebagai ummatan wasathan, atau umat yang moderat. Moderasi beragama itu berarti menjalankan agama dengan pemahaman yang luas, menghormati perbedaan, dan tidak mudah terprovokasi oleh cerita yang memecah belah umat. Ini penting bagi Gen Z agar tidak terjebak dalam fanatisme berlebihan atau sikap acuh tak acuh terhadap nilai-nilai agama.

Pentingnya moderasi beragama bagi generasi Z, yakni untuk menghindari polarisasi dan konflik. Generasi Z hidup di era media sosial yang penuh dengan perdebatan agama. Perbedaan pendapat sedikit pun terkadang dapat menyebabkan konflik yang merusak ukhuwah Islamiyah jika tidak diimbangi dengan sikap moderat. Orang yang memiliki sikap moderat membantu mereka lebih bijak dalam menangani perbedaan dan tidak mudah tersulut oleh provokasi. Bukan hanya itu, moderasi beragama juga sangat penting bagi generasi Z guna menjaga toleransi antar-mazhab dan kelompok. Perbedaan ini dapat menyebabkan konflik jika tidak ada sikap moderat. Generasi Z, yang memiliki pemahaman tentang moderasi beragama, akan lebih mudah terlibat dalam diskusi tanpa menganggap diri mereka paling benar. Hal ini membuat generasi Z mampu menghindari sikap ekstrimisme di zaman sekarang.

Baca Juga:  Peran Pendidikan dalam Memperkuat Moderasi dan Multikulturalisme di Kalangan Siswa

Peran moderasi beragama dalam mempererat ukhuwah Islamiyah, menumbuhkan sikap saling menghormati. Melalui moderasi beragama, setiap Muslim berhak untuk menjalankan keyakinannya sesuai dengan keyakinannya selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan cara ini, persaudaraan sesama Muslim akan semakin erat, terlepas dari pendapat yang berbeda. Moderasi beragama memiliki peran dalam mempererat ukhuwah Islamiyah mencegah hoax dan ujaran kebencian, sebab media sosial sering digunakan untuk menyebarkan hoax dan kebencian terkait agama. Generasi Z yang moderat akan lebih kritis dalam menerima informasi dan tidak mudah menyebarkan hal-hal yang dapat menyebabkan konflik.

Ada beberapa cara untuk menerapkan moderasi beragama di kalangan generasi Z, dengan memahami Islam dari ulama atau sumber yang terpercaya sangat penting agar tidak terjebak dalam pemahaman yang sempit atau ekstrem. Para generasi Z harus menggunakan media sosial secara bijak, gen Z perlu lebih selektif dalam menyebarkan informasi keagamaan dan menghindari konten yang memecah belah umat, mengembangkan sikap kritis dalam menerima informasi, karena tidak semua informasi yang beredar di internet benar. Generasi Z sendiri harus memiliki sikap kritis dan tidak mudah percaya dengan narasi yang provokatif.

Konsep moderasi beragama sangat penting untuk mempererat ukhuwah Islamiyah, khususnya di kalangan generasi Z, yang hidup di era digital dengan arus informasi yang cepat. Generasi Z dapat membangun toleransi, saling menghormati, dan memperkuat persatuan dalam keberagaman dengan mengedepankan sikap moderat, yang berarti menyeimbangkan pemahaman agama mereka secara kontekstual dan tekstual. Generasi Z dapat menghindari perpecahan yang disebabkan oleh fanatisme berlebihan atau pemahaman yang sempit terhadap ajaran Islam karena memahami perspektif moderasi beragama yang mencakup pemahaman yang inklusif, tidak ekstrim, serta nilai-nilai keadilan dan kasih sayang.  Selain itu, pendidikan, lingkungan keluarga, dan media sosial sangat berpengaruh pada pemikiran moderat Generasi Z.

Baca Juga:  Tiga Pilar Moderasi Beragama sebagi Jalan Tengah Menuju Harmoni

Oleh karena itu, pendidikan formal dan nonformal, bimbingan orang tua, dan penggunaan media digital yang sehat harus dilakukan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai moderasi beragama. Generasi Z memiliki kemampuan untuk menjadi agen perubahan yang memperkuat ukhuwah Islamiyah, menjaga keseimbangan dalam masyarakat, dan mewujudkan kehidupan beragama yang damai dan berkeadaban dengan menggunakan moderasi beragama sebagai landasan.

Mengelola Sampah di Pekalongan: Solusi atau Sekadar Sanksi?

Oleh: Dr. H. Moch. Machrus, Lc, M.Si*
Editor: Fajri Muarrikh

Pemerintah Kota Pekalongan, dengan cepat mengusulkan denda bagi warga yang membuang sampah sembarangan. Sanksi ini, meski tampak sebagai langkah untuk menertibkan, justru memperlihatkan ketidakpahaman yang mendalam terhadap masalah sampah yang jauh lebih kompleks. Sanksi bukan penyelesaian—itu hanya tindak lanjut yang dangkal.

Pemkot harus sadar: masalah sampah bukan hanya tentang siapa yang membuangnya, tapi juga tentang kebiasaan, sistem, dan infrastruktur. Sanksi bisa saja efektif sesaat, tapi tanpa konsep jangka panjang, tidak akan ada perubahan berarti. Justru, pendekatan sanksi semata hanya akan memperburuk keadaan, sementara masalah utama seperti sistem pengelolaan sampah yang belum memadai tetap diabaikan.

Solusi Jangka Pendek: Segera dan Tepat

Pemerintah harus segera mengatasi krisis sampah yang terjadi hari ini. Itu harus dimulai dengan peningkatan sistem pengangkutan dan penyediaan tempat pembuangan sementara yang lebih banyak dan mudah diakses. Program pengelolaan sampah darurat—mungkin dengan menambah frekuensi pengangkutan sampah atau mendirikan area-area pembuangan sementara—harus dilaksanakan segera. Dana dan anggaran harus dialokasikan, dan langkah ini harus jelas terukur. Tanpa penyediaan infrastruktur yang mendukung pengelolaan sampah, kebijakan apapun hanya akan menjadi beban tambahan bagi masyarakat.

Namun, tidak cukup hanya dengan tindakan sementara. Pemkot harus segera merancang solusi jangka panjang yang lebih komprehensif. Pemkot perlu menyiapkan infrastruktur pengelolaan sampah yang efisien dan bisa berjalan berkelanjutan. Semua ini harus dikonsep dengan matang dan dieksekusi dengan serius. Tanpa langkah konkret, masalah sampah akan tetap berulang.

Budaya Mengelola Sampah: Dimulai dari Rumah

Setelah masalah struktural teratasi, langkah selanjutnya adalah membangun budaya pengelolaan sampah. Ini bukan soal kesadaran semata, tapi perubahan perilaku masyarakat. Sampah harus dimulai dari rumah. Pemerintah harus mendidik warga untuk memilah sampah dengan memberikan fasilitas pemilahan di tingkat rumah tangga. Kampanye tentang zero waste dan makan secukupnya harus dimulai—di kantor-kantor pemerintah, di lingkungan perumahan.

Jika budaya ini terbentuk, bukan hanya pemerintah yang berperan, tetapi warga sendiri yang akan merasa bertanggung jawab atas pengelolaan sampah mereka. Jika berhasil, volume sampah akan berkurang, dan pola konsumsi akan lebih bijak. Ini adalah langkah fundamental yang tak bisa diabaikan.

Teknologi: Meningkatkan Efisiensi dan Keberlanjutan

Dengan budaya yang sudah terbentuk, kini saatnya teknologi berperan. Teknologi pengolahan sampah harus diadopsi secara luas. Pemkot bisa mulai dengan mengimplementasikan teknologi TPS3R dan incinerator mini yang bisa langsung mengolah sampah di tingkat lokal. Solusi seperti ini mengurangi tumpukan sampah, meningkatkan efisiensi, dan yang paling penting, ramah lingkungan.

Namun, sekali lagi, teknologi saja tidak cukup. Tanpa budaya memilah yang mendalam di masyarakat, teknologi ini akan sia-sia. Jadi, harus ada sinergi antara teknologi dan budaya agar pengelolaan sampah berjalan lancar.

Sampah sebagai Ekonomi: Menilai Potensi dari Limbah

Pada akhirnya, yang perlu dipahami adalah bahwa sampah bukan masalah, melainkan bisa menjadi potensi ekonomi yang harus dikelola. Sampah organik bisa diubah menjadi kompos, pakan ternak, biogas, sementara sampah anorganik bisa didaur ulang dan dijual. Pemerintah perlu mengubah _mindset_ masyarakat—bukan lagi memandang sampah sebagai beban, tapi sebagai sumber daya.

Pemerintah bisa memberikan insentif kepada masyarakat atau pelaku usaha untuk mengolah sampah dan menjadikannya sebagai komoditas bernilai. Infrastruktur yang mendukung, seperti pusat daur ulang atau pasar produk daur ulang, harus ada. Semua ini akan menggerakkan roda ekonomi lokal dan mengurangi tekanan terhadap sistem pengelolaan sampah.

Tanggung Jawab Pemerintah: Waktunya Bertindak

Pemerintah tidak bisa lagi menghindar dari tanggung jawab untuk menyusun dan mengeksekusi solusi pengelolaan sampah yang lebih sistematis. Tidak ada lagi alasan untuk menunda. Kebijakan sanksi memang diperlukan, tetapi itu harus diiringi dengan kebijakan pengelolaan sampah yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Pemkot harus bertindak nyata dan bukan hanya sekadar berbicara. Sampah adalah masalah kita semua, dan hanya dengan kerja sama pemerintah dan masyarakat kita bisa menciptakan Pekalongan yang lebih bersih dan lebih baik.

*Pengurus PCNU Kota Pekalongan

Peran Moderasi Beragama dan Nilai Tasamuh dalam Membangun Kerukunan Umat di Indonesia

Penulis : Laila Qothrun Nada, Editor : Amarul Hakim

Indonesia merupakan negara kaya akan keberagamannya dari suku, bahasa, budaya dan agamanya. Keragaman inilah yang menjadikan bangsa Indonesia bersatu dan hidup berdampingan dengan segala perbedaan yang ada. Salah satu keragaman yakni banyaknya agama di Indonesia seperti agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Dari enam agama tersebut pastinya tidak terlepas dari konflik agama satu dengan agama lainnya dan interaksi masyarakat Indonesia terhadap masyarakat yang berbeda agama. Banyak konflik yang terjadi karena sangat fanatik terhadap agamanya sendiri juga terkadang penistaan terhadap agama. Konflik agama juga akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat Indonesia seperti memudarnya rasa toleransi.

Dari banyaknya keberagaman agama di Indonesia dan konflik yang terjadi munculah upaya-upaya untuk hidup bertoleransi dengan mewujudkan moderasi beragama. Moderasi beragama maksudnya adalah cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu betindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Moderasi beragama bukan untuk memoderasi agama melainkan mengamalkan dan memahami ajaran agama dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Peran moderasi beragama sebagai kontrol sosial dan memberikan sebuah wawasan kepada masyarakat untuk menjaga keharmonisan umat beragama, baik antar agama maupun dalam satu agama. Moderasi beragama dalam perspektif sosiologi mempunyai pengaruh terhadap struktur sosial, interaksi manusia dan pembentukan identitas. Hal ini dapat mewujudkan masyarakat yang rukun dan harmonis terhadap keberagaman agama.

Baca juga : Moderasi Beragama sebagai Landasan Kehidupan Multireligi di Desa Linggoasri

Akomodasi bentuk interaksi antar umat

Bentuk interaksi yang digunakan dalam proses interaksi moderasi beragama ini adalah akomodasi (accomodation) dalam bentuk toleransi. Akomodasi ini sama artinya dengan adaptasi, individu atau kelompok memasuki proses penyesuaia diri terhadap sekitar dari ketegangan. Akomodasi juga tidak menghilangkan atau meleburkan identitas masing-masing kelompok maupun individu. Toleransi ini merupakan bentuk dari akomodasi tanpa persetujuan yang resmi karena terjadi tanpa sengaja untuk  menjauhi konflik berupa sikap menghargai dan menghormati perbedaan orang lain.

Indonesia disetiap wilayah pastinya juga terdapat kehidupan yang mana daerah tersebut agama dan budaya masyarakat berbeda, maka dari itu masyarakat akan hidup berdampingan dan harus menghargai perbedaan satu sama lain. Adanya perbedaan ini bukan sebuah pemicu untuk menimbulkan konflik karena perbedaan tetapi bagaimana masyarakat  tersebut saling menerima perbedaan satu sama lain dan mencapai tujuan bersama. Karena perbedaan yang ada, maka diperlukan adaptasi agar dapat menyesuaikan lingkungan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah bersosialisasi dengan masyarakat sekitar yang memiliki keyakinan yang berbeda, sehingga dari situ dapat memahami setiap perbedaan dan membangun hubungan yang harmonis. Dengan kebiasaan ini, seseorang dapat lebih mengenali, memahami dan menyesuaikan diri di lingkungan pluralitas. Selain itu, pemahaman terhadap perbedaan juga dapat membantu menghindari pengaruh provokasi yang dapat menimbulkan perpecahan.

Nilai Tasamuh untuk mewujudkan keharmonisan

Tasamuh berasal dari bahasa arab dari kata “samaha” yang mempunyai arti tenggang rasa istilahnya adalah toleransi. Pengertian tasamuh sama artinya dengan toleransi yaitu sikap menghormati orang lain untuk melaksanakan hak-haknya, membiarkan orang berpendapat dan bebas dalam berkeyakinan, seseorang tidak dapat memaksakan kemauannya terhadap orang lain.

Baca juga : Keluarga dengan Nilai Keagamaan Kuat Lebih Harmonis dan Tangguh Hadapi Tekanan Ekonomi

Menerapkan sikap tasamuh di lingkungan multikultural sangat penting, dimulai dari kehidupan bertetangga atau dilingkungkan aktivitas seperti lingkungan kerja, sekolah dan sebaginya. Penerapan sikap tasamuh ini dapat meminimalisir konflik yang timbul karena perbedaan. Dengan menerapkan nilai ini akan menjaga hubungan antar umat dengan baik sehingga tercipta kerukunan dan keharmonisan.

Untuk mengoptimalkan praktek tasamuh dapat melalui forum-forum organisasi yang mana dalam anggota tersebut berisi masyarakat berbeda agama contohnya seperti Forum Kerukunan Umat Beragama(FKUB). Melaui forum-forum seperti ini masyarakat  akan berinteraksi dan menjalin kerjasama dengan baik untuk mencapai tujuan bersama dan di dalam forum tersebut seseorang akan belajar adaptasi terhadap sekitarnya sehingga akan terbiasa dan tumbuh sikap tasamuh.

Nilai-Nilai Moderasi Beragama Dalam Budaya Halal Bihalal

Penulis: Dewi Sarah, Editor: Sirli Amry

Bulan Ramadhan merupakan waktu yang penuh berkah dan pahala  bagi umat islam. Dimana pada bulan ini orang-orang dapat menjalankan ibadah puasa, meningkatkan ketakwaan, dan mempererat hubungan sosial. Salah satunya yakni Halal Bihalal, tradisi yang muncul setelah bulan suci Ramadhan. Tradisi ini seolah telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Halal Bihalal bukan hanya sekedar tradisi yang dilakukan setelah idul fitri, tetapi juga momentum untuk mempererat  silaturahmi dan sarana untuk saling memaafkan antar individu. Halal Bihalal mengandung nilai-nilai moderasi beragama yang sangat penting dalam membangun hubungan kerukunan antar umat beragama.

Halal Bihalal pertama kali dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah pada tahun 1946, di tengah situasi disentegrasi bangsa Indonesia. Pada Saat itu, Bung Karno mengundang KH. Wahab untuk memberikan masukan mengenai cara untuk memperkuat bangsa Indonesia. Dari saran tersebut, lahirlah tradisi halal bihalal yang bertujuan untuk membumikan ajaran ahlussunnah wal jamaah dan mempererat hubungan antar warga negara. Sejak saat itu, halal bihalal telah menjadi rutinitas yang dilaksanakan setiap tahunnya setelah Ramadhan, terutama di bulan syawal. Tradisi ini dianggap sebagai momen untuk saling memaafkan dan menjalin kembali hubungan yang mungkin telah renggang ataupun rusak.

Baca Juga:  Filosofi Ketupat: Simbol Kemenangan dan Kesucian di Hari Lebaran

Secara etimologis halal bihalal berasal dari kata “Halla” atau “Halala” yang berarti menyelesaikan kesulitan. Esensi ini sejalan dengan semangat moderasi beragama  yang menekankan pada upaya dalam menyelesaikan konflik, merajut kembali persaudaraan, dan menciptakan harmoni dalam perbedaan. Menurut Staf khusus Menteri Agama Bidang Media dan Komunikasi Publik, Wibowo Prasetyo, menyatakan bahwa halal bihalal adalah tradisi yang dapat memperkuat moderasi beragama. Menurutnya, pemahaman keagamaan yang moderat terus berkembang di Indonesia salah satunya karena adanya tradisi ini.

Didalam tradisi halal bihalal menyimpan nilai-nilai yang beragama seperti  toleransi, kerukunan, perdamaian, dan solidaritas. Tradisi ini menjadi wadah untuk masyarakat di indonesia untuk saling memahami dan menghargai tanpa memandang perbedaan status sosial, agama maupun etnis. Selain itu, tradisi ini juga dapat memperat tali persaudaraan dan kebersamaan antar masyarakat. Dalam tradisi ini pun terdapat sesi dimana masyarakat akan saling bersalaman sebagai tanda bahwa mereka saling memaafkan dan memperkuat tali silaturrahmi, sehingga tercipta suasana yang damai dan harmonis. Selain itu, tradisi ini juga dapat memperkuat solidaritas melalui adanya rasa kebersamaan atau kekompakan antar satu sama lain.

Baca Juga:  Mudik yang Sesungguhnya

Nilai-Nilai moderasi beragama dapat diwujudkan atau/ diimplementasikan dalam tradisi halal bihalalal melalui berbagai cara seperti menghargai keberagaman agama dan budaya sebagai kekayaan bangsa, membuka ruang dialog atau/ komunikasi untuk memperkuat pemahaman antar umat beragama dan dapat mengurangi prasangka buruk terhadap agama, serta menjaga ucapan dan tindakan atau tingkah laku agar tidak menimbulkan konflik yang dapat menyebabkan perpecahan.

Tradisi keagamaan sering menyampaikan pesan perdamaian, kesederhanaan, dan persaudaraan  yang dapat memperkuat sikap moderat dan juga toleransi. Ketika nilai-nilai agama selaras dengan nilai-nilai budaya yang mendorong kerukunan antar masyarakat. Masyarakat cenderung mengambil pendekatan yang moderat dalam menjalankan praktik keagamaan, kebudayaan dapat menjadi penggerak dalam moderasi beragama. Hal ini dapat menciptakan lingkungan yang mendukung dialog antar agama dan kesadaran akan pentingnya keberagaman dalam kehidupan beragama. Selain itu, halal bihalal juga dapat memperkuat rasa cinta tanah air serta dapat menumbuhkan semangat nasionalisme, melalui silaturahmi masyarakat dari berbagai latar belakang dan budaya dapat bersatu padu membangun bangsa.

Baca Juga:  Tiga Pilar Moderasi Beragama sebagi Jalan Tengah Menuju Harmoni

Tradisi halal bihalal adalah salah satu bentuk nyata dari implementasi nilai-nilai moderasi beragama dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan menerapkan sikap toleransi, kerukunan, perdamaian, dan juga solidaritas. Halal bihalal tidak hanya menjadi simbol ataupun momen keagamaan tetapi juga menjadi simbol budaya yang memperkuat kerukunan di tengah keberagaman. Tradisi ini mampu menjadi landasan bagi terciptanya masyarakat yang harmonis, damai dan bersatu meskipun berbeda-beda dalam keyakinan.