Mengeramatkan Sesuatu dalam Perspektif Islam: Memahami Perbedaan Antara Kesyirikan, Penghormatan, dan Sunnah Berdasarkan Niat dan Konteks Budaya

Penulis : Bunga Erna, Editor : Dina Fitriana

Mengeramatkan sesuatu adalah praktik yang sering kali menimbulkan perdebatan dalam masyarakat, terutama di kalangan umat Islam. Pendekatan terhadap praktik ini dapat bervariasi tergantung pada pemahaman individu terhadap ajaran agama dan pengaruh budaya setempat. Dalam artikel ini, akan dibahas mengenai pemahaman bahwa mengeramatkan sesuatu bukanlah sebuah kesyirikan, namun juga bukan termasuk sunnah dalam Islam.

Sebagai umat Islam, penting untuk memahami makna dari kedua konsep tersebut dalam perspektif Islam. Kesyirikan merupakan salah satu dosa terbesar dalam agama Islam, yang dijelaskan sebagai menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu atau seseorang. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar tauhid, yang mengajarkan bahwa hanya Allah SWT yang layak untuk disembah. Sementara itu, sunnah merujuk pada praktik-praktik atau tindakan yang dilakukan atau disarankan oleh Nabi Muhammad SAW dan dianggap sebagai teladan yang harus diikuti oleh umat Islam.

Makam Keramat di Gunung Kendeng, Boyolali. Sumber Foto: Soloraya.solopos.com

Mengeramatkan sesuatu seringkali diasumsikan dengan praktik kepercayaan yang melekat pada kebudayaan lokal. Hal ini seperti meyakini bahwa benda-benda atau tempat-tempat memiliki kekuatan atau keberkahan tertentu seperti di Makam para wali dan kyai. Misalnya, ada yang percaya bahwa mengeramatkan sebuah batu, pohon atau air tertentu dapat memberikan perlindungan atau keberuntungan dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan bahwa kekuatan sejati hanya berasal dari Allah SWT, tetapi ada juga mengeramatkan sesuatu tapi tidak termasuk kedalam kesyirikan.

Baca Juga : Mengenal Syekh Nujumudin : Ulama Sufi Pembabad dan Penyebar Islam di Watusalam

Dalam menjelaskan mengeramatkan sesuatu, terdapat beberapa pandangan yang perlu dipertimbangkan. Pertama, ada pandangan yang menolak praktik tersebut secara mutlak, menganggapnya sebagai bentuk kesyirikan karena menempatkan kepercayaan dan harapan pada sesuatu selain Allah SWT, seperti percaya kepada dukun, pohon, dan bang-barang yang dianggap dapat mendapatkan barokah. Pandangan ini didasarkan pada prinsip tauhid yang mendasari agama Islam dan perintah untuk menjauhi segala bentuk syirik. Sedangkan mengeramatkan sesuatu yang tidak bertentangan kepada ajaran islam yakni seperti mengeramatkan sesuatu dengan maksud mengharap barokah tetapi tahu bahwa barokah itu tetap datangnya dari Allah SWT.

Di dalam kitab Annurul Mubin karya K.H. Hasyim Asy’ari diceritakan dalam hadis, ada sahabat bernama Abi Mahdhuroh memiliki jambul kepala bagian depannya. Ketika penutup kepalanya di lepas maka jambul tersebut akan jatuh menyentuh tanah. Karena panjangnya jambul itu pun akhirnya disentuh oleh Rasulullah. Seketika Abi Mahdhuroh ini tidak mau memotongnya karena bekas sentuhan dari Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, terdapat pula kisah dari seorang sahabat bernama Khalid bin Walid, di dalam penutup kepala sahabat Khalid bin Walid ini terdapat potongan dari rambut Rasulullah SAW. Ketika itu terjadi perang antara umat muslim dan kaum kafir kemudian terjatuh penutup kepalanya dan mencari-cari hingga umat Islam sedikit mengalami kewalahan saat perang. Ketika ditanya oleh sahabat lain, Khalid bin Walid pun berkata bahwa aku sangat memuliakan Baginda Nabi Muhammad SAW dan mengharapkan barokah dari potongan rambut Nabi. Khalid pun terus mencarinya karena Ia khawatir jika rambut tersebut akan digunakan orang kafir yang tidak jelas.

Baca Juga : Perspektif Islam tentang Tradisi Lokal dan Pemaknaan Tradisi Rebo Wekasan di Pekalongan

Dari dua cerita tersebut maka mengeramatkan sesuatu itu bukanlah hal yang syirik, masih banyak cerita sahabat yang mengeramatkan sesuatu dan Rasulullah SAW tidak melarangnya. Tidak semua bentuk mengeramatkan sesuatu dapat dianggap sebagai kesyirikan. Misalnya, mengeramatkan Al-Qur’an atau tempat-tempat suci seperti Masjidil Haram di Makkah tidak dianggap sebagai bentuk kesyirikan, karena niatnya murni untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pandangan ini mencoba untuk membedakan antara penghormatan dan pengabdian kepada Allah SWT dengan menyekutukan-Nya kepada sesuatu yang lain.

Tradisi Nyadran Kyai Kramat di Temanggung Jawa Tengah Sumber Foto : foto.bisnis.com

Namun demikian, walaupun tidak dianggap sebagai kesyirikan, praktik mengeramatkan sesuatu tetap dapat menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Di Pulau Jawa saja banyak terjadi pertikaian terkait perbedaan antara agama dan budaya daerah setempat. Beberapa ulama menekankan bahwa mengeramatkan sesuatu hanya boleh dilakukan jika ada dasar syar’i yang kuat dengan mendukungnya, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW atau sahabat-sahabat beliau. Mereka mengingatkan bahwa menempatkan kepercayaan yang berlebihan pada sesuatu yang tidak memiliki dasar agama dapat mengarah pada kesesatan. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa asalkan praktik tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak menimbulkan kesan menyekutukan Allah SWT, maka praktik mengeramatkan sesuatu dapat diterima. Setiap budaya memiliki tradisi dan kepercayaannya sendiri yang tidak selalu bertentangan dengan Islam, asalkan tidak mengabaikan prinsip-prinsip dasar ajaran agama.

Dalam konteks ini, penting untuk mengutamakan niat dan tujuan di balik setiap praktik atau kepercayaan. Jika niatnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengikuti ajaran-Nya, maka praktik tersebut dapat menjadi bagian dari ibadah yang sah. Namun, jika niatnya adalah untuk mendapatkan kekuatan atau keberuntungan dari sesuatu yang lain selain Allah SWT, maka hal tersebut dianggap sebagai bentuk kesyirikan. Selain itu, perlu juga diperhatikan bahwa Islam memiliki prinsip-prinsip fleksibilitas dalam menghadapi perbedaan budaya dan tradisi. Namun, prinsip-prinsip ini tidak boleh bertentangan dengan ajaran dasar agama, karena penting bagi umat Islam untuk memahami ajaran agama dengan benar dan kritis, serta mempertimbangkan konteks budaya tempat mereka tinggal.

Mengeramatkan sesuatu tidak bisa dipandang secara satu dimensi sebagai kesyirikan atau sunnah dalam Islam. Penting untuk memahami konteks budaya dan niat di balik praktik tersebut, serta memastikan bahwa tidak ada yang menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu yang lain. Dengan demikian, umat Islam dapat mengambil sikap yang tepat sesuai dengan ajaran agama dan prinsip-prinsip tauhid.

Transformasi Sosial dan Revolusi Digital: Dampaknya Pada Pendidikan dan Tenaga Kerja di Masa Depan

Penulis : Jihan Nabila Safinatunnaja, Editor : Ibnu Salim

Pada saat ini kita sedang berada di era transformasi yang dipicu oleh perubahan sosial dan revolusi digital. Masyarakat kini mengadopsi gaya hidup baru seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi. Teknologi telah menjadi alat bantu utama dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari cara kita berkomunikasi hingga cara kita bekerja dan belajar. Revolusi digital tidak hanya mengubah cara pandang sosial dan ekonomi kita, tetapi juga membawa perubahan signifikan dalam sektor pendidikan dan pasar tenaga kerja. Inovasi seperti kecerdasan buatan, big data, dan Internet of Things (IoT) semakin meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan, menciptakan peluang baru sekaligus menantang norma-norma lama.

Perubahan sosial yang kita alami mencakup pergeseran demografi, globalisasi, dan peningkatan kesadaran akan keberagaman. Pergeseran demografi, seperti populasi yang menua dan urbanisasi, menghadirkan tantangan baru bagi sistem pendidikan dan tenaga kerja. Misalnya, populasi yang menua memerlukan penyesuaian dalam kebijakan tenaga kerja dan layanan kesehatan, sementara urbanisasi menuntut pembangunan infrastruktur yang lebih baik di kota-kota besar. Globalisasi, di sisi lain, membuka peluang kerjasama dan perdagangan baru yang bisa mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Namun, globalisasi juga menimbulkan kekhawatiran tentang hilangnya pekerjaan lokal akibat persaingan internasional dan otomatisasi.

Baca Juga : Strategi dan Media Dakwah di Era Digital

Meningkatnya kesadaran akan keberagaman menuntut pendidikan yang lebih inklusif dan adaptif terhadap berbagai budaya dan latar belakang. Sekolah dan institusi pendidikan kini harus lebih responsif terhadap kebutuhan siswa dari berbagai etnis, agama, dan latar belakang sosial-ekonomi. Pendidikan yang inklusif tidak hanya berarti akses yang lebih luas, tetapi juga kurikulum yang menghargai perbedaan dan mempromosikan toleransi. Dalam konteks ini, revolusi digital juga dapat memainkan peran penting dengan menyediakan alat dan platform yang mendukung pembelajaran yang dipersonalisasi dan inklusif. Dengan demikian, era transformasi ini, meskipun penuh tantangan, juga menawarkan peluang besar untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan.

Revolusi digital, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seperti kecerdasan buatan, robotika, dan Internet of Things (IoT), menawarkan peluang untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Namun, otomatisasi dan hilangnya pekerjaan menjadi kekhawatiran yang nyata, mengingat cara kita bekerja, belajar, dan berkomunikasi terus berubah.

Implikasi perubahan sosial dan revolusi digital bagi pendidikan sangat signifikan. Sistem pendidikan harus beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja masa depan, dengan penekanan lebih besar pada pengembangan keterampilan abad ke-21 seperti pemikiran kritis, kreativitas, pemecahan masalah, dan kolaborasi. Pendidikan inklusif juga menjadi sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang, terlepas dari latar belakang budaya atau kebutuhan khusus mereka.

Baca Juga : Kesenjangan Digital Di Daerah Pelosok Sebagai Tantangan Peningkatan Mutu Pendidikan

Di sisi tenaga kerja, kombinasi keterampilan yang dibutuhkan di masa depan berbeda dari saat ini. Pekerja perlu memiliki keterampilan teknis seperti pemrograman, analisis data, dan desain digital, yang semakin diminati. Selain itu, keterampilan lunak seperti komunikasi efektif, kerja sama tim, dan kepemimpinan menjadi semakin penting.

Era digital yang kompleks dan cepat berubah menuntut komitmen terhadap pembelajaran sepanjang hayat. Pekerja harus terus memperbarui pengetahuan dan keterampilan mereka agar tetap relevan dan kompetitif di pasar kerja. Kesediaan untuk mempelajari hal-hal baru, beradaptasi dengan teknologi terbaru, dan mengembangkan pola pikir yang terbuka terhadap perubahan adalah kunci utama keberhasilan.

Perubahan sosial dan revolusi digital menawarkan tantangan dan peluang bagi pendidikan dan tenaga kerja masa depan. Dengan persiapan yang matang, sistem pendidikan yang adaptif, serta tenaga kerja yang tangguh dan siap belajar, Indonesia dapat memanfaatkan peluang ini untuk menciptakan masa depan yang lebih cerah dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk bersama-sama menyusun strategi guna mempersiapkan pendidikan dan tenaga kerja yang siap menghadapi masa depan yang penuh dengan perubahan dan peluang ini.

Baca Juga : Akankah AI dapat Menggantikan Peran Seorang Guru dalam Pendidikan?

Sedekah Dalam Perayaan Kelulusan Menghindari Konvoi yang Merugikan

Penulis: Saeful Anwar; Editor : Azzam Nabil Hibrizi

Kelulusan merupakan momen penting dalam kehidupan setiap siswa. Selain itu, momen ini juga menjadi sebuah tonggak yang menandai berakhirnya masa belajar dan awal dari babak baru dalam kehidupan. Konvoi kelulusan di zaman sekarang sering kali menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Di satu sisi, konvoi ini merupakan ekspresi kebahagiaan dan rasa syukur para siswa yang telah menyelesaikan masa studi mereka. Dengan konvoi, mereka merayakan pencapaian penting bersama teman-teman seangkatan, mempererat ikatan emosional, dan menciptakan kenangan yang tak terlupakan.

Namun, tradisi konvoi kelulusan yang sering kita lihat di jalanan saat ini menghadirkan berbagai risiko dan dampak negatif yang seharusnya bisa kita hindari. Konvoi kelulusan sering kali menimbulkan masalah, seperti kemacetan lalu lintas, kebisingan, dan perilaku tidak tertib dari peserta konvoi dapat mengganggu kenyamanan umum dan membahayakan keselamatan. Tidak jarang juga terjadi insiden kecelakaan karena konvoi dilakukan tanpa pengawasan yang memadai. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa konvoi tersebut dapat menginspirasi perilaku yang kurang bertanggung jawab, seperti balapan liar atau vandalisme.

Baca Juga: Menjaga Lidah, Prinsip Moral yang Universal

Dampak-dampak negatif dari konvoi tersebut yang kemudian dalam hal ini disebut sebagai sebuah mudharat, atau keburukan. Sehingga sebagaimana kaidah fiqh menyebutkan bahwasannya kemudharatan haruslah dihilangkan. Oleh karena itu, sebagai pengganti dari kegiatan konvoi, alangkah lebih baik apabila momen kelulusan ini di isi dengan hal-hal positif dalam upaya mengimplementasikan rasa syukur kepada Allah Swt. atas rahmat dan karunia-Nya seseorang diberikan rezeki berupa kelulusan setelah menempuh pendidikan.

Baca Juga: Memprediksi Masa Depan Pendidikan: Tren Digital dalam Mempersiapkan Perubahan

Hal-hal positif yang dapat dilakukan salah satunya adalah bersedekah. Sebab, sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 261, yang artinya “Apabila harta yang disedekahkan halal dan diniatkan semata-mata karena Allah, bersedekah sebagai bukti rasa syukur kepada-Nya, bersedekah di waktu lapang maupun sempit, serta selalu memohon ampunan dari Allah, menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain, dan senantiasa berbuat kebaikan.”

Dari ayat tersebut dapat dimaknai dan dikaitkan dengan momen kelulusan ini, yakni sebagai ungkapan syukur maka sedekah dapat menjadi jalan terbaik daripada melakukan konvoi. Kegiatan sedekah ini dapat dilakukan bersama-sama, ataupun mandiri. Sedekah bersama-sama ini dapat berupa membagikan jajan/makanan gratis dijalanan, mengumpulkan dana untuk anak-anak panti asuhan, dan lain sebagainya. Sedangkan sedekah mandiri dapat dilakukan menyesuaikan situasi dan kondisi seseorang.

والله أعلم بالصواب

Menjaga Lidah, Prinsip Moral yang Universal

Penulis: Serena Salsabila; Editor: Sirli Amry

Ghibah atau berbicara buruk tentang orang lain adalah perilaku yang sangat dihindari oleh banyak agama dan budaya. Ghibah dapat menimbulkan dampak yang negatif yang beragam. Salah satunya adalah rusaknya hubungan sosial, baik dalam pertemanan, kekeluargaan, maupun hubungan sosial lainnya. Selain merusak hubungan sosial, ghibah juga dapat merusak kesehatan mental dan emosional, serta menciptakan lingkungan yang tidak sehat.

Menjaga lidah bukan hanya tentang menahan diri untuk tidak berbicara buruk tentang orang lain, tetapi juga membangun sikap yang penuh dengan kebaikan dan kejujuran. Sikap seperti ini merupakan bentuk penghormatan terhadap hak-hak orang lain. Selain itu, juga merupakan upaya untuk menciptakan hubungan yang lebih baik dalam masyarakat.

Salah satu alasan utama untuk menjaga lidah adalah untuk mencegah ghibah. Ghibah tidak hanya merusak hubungan antar individu, tetapi juga dapat menciptakan ketegangan dan konflik dalam masyarakat. Ketika kita berbicara buruk tentang orang lain, kita tidak hanya merugikan orang yang kita bicarakan, tetapi juga diri kita sendiri.

Baca juga: Menyoroti Bahaya Bermain Game Online Dampaknya Terhadap Kesehatan Mental Dan Sosial

Selain itu, menjaga lidah juga dapat meningkatkan kualitas hidup bersama. Dengan bertutur kata yang baik dan jujur, kita dapat menciptakan lingkungan yang positif dan mendukung. Sikap positif dan komunikasi yang baik akan menciptakan hubungan yang lebih harmonis dan penuh kasih dalam masyarakat.

Bertutur kata yang baik memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk hubungan antar  manusia. Firman Allah dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah (2:262) menyatakan, “Kata-kata yang baik dan pengampunan lebih baik daripada sedekah yang diiringi celaan.” Kata-kata yang baik mampu menyentuh hati orang lain dan membawa kebaikan dalam hubungan sosial. Sebagaimana yang disebutkan dalam Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim, “Seseorang berkata dengan suatu kata yang tidak memperhatikan kadar beratnya, sehingga akibatnya ia terjerumus ke dalam neraka lebih dalam dari jarak antara timur dan barat.” Hal ini menegaskan tanggung jawab besar yang kita miliki atas setiap kata yang keluar dari mulut kita.

Di akhirat nanti, setiap kata yang kita ucapkan akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana yang disebutkan dalam Surah Qaf (50:18), “Tidaklah ia berbicara dengan suatu ucapan melainkan di sisinya ada penjaga yang siap.” Menjaga lidah bukan hanya tentang kehidupan dunia, tetapi juga persiapan untuk kehidupan akhirat.

Baca juga: Penanaman Nilai Moderasi Beragama Sejak Dini di Lingkungan Sekolah

Mengapa kita harus menjaga lidah? Karena dengan menjaga lidah, kita tidak hanya menghormati orang lain, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk diri kita sendiri dan orang lain. Dengan menjaga lidah, kita dapat mencegah ghibah dan meningkatkan kualitas hidup bersama. Sebab, ghibah itu sendiri sudah dijelaskan pula larangannya dalam QS. Al-Hujurat ayat (12), yang artinya “”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka buruk (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka buruk itu dosa. Dan janganlah sebagian kalian mencari-cari keburukan orang dan menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudanya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

Pentingnya menjaga lidah bukanlah sekadar ajaran agama, tetapi juga prinsip moral yang universal.  Maknanya, prinsip menjaga lidah ini berkaitan dengan berbagai hal dalam kehidupan manusia, karena kata-kata memiliki kekuatan untuk membentuk hal yang baik maupun buruk. Bahkan melalui kata-kata, orang dapat dengan mudah menjatuhkan orang lain. Oleh karena itu, kita harus bertanggung jawab atas setiap ucapan yang keluar dari mulut kita. Sehingga kita dapat menciptakan hubungan yang lebih baik dengan sesama manusia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat yang lebih baik pula.

Moderasi Beragama sebagai Upaya Mencegah Ekstremisme dan Radikalisme di Indonesia

Penulis : Jihan Nabila Safinnatunnaja, Editor : Dina Fitriana

Semua orang di dunia ini cenderung sepakat bahwa masyarakat lebih menyukai kedamaian dan kerjasama daripada konflik dan perselisihan. Akan tetapi pada kenyataannya seringkali kita jumpai konflik dan perselisihan di sekeliling kita. Islam mengalami proses penyesuaian dan adaptasi dengan budaya lokal ketika tiba di Indonesia pada abad ke-13. Namun, pada periode berikutnya, terutama pada masa penjajahan Belanda, muncul gerakan-gerakan keagamaan yang radikal. Hal itu mengarah pada pemahaman islam yang  lebih literal dan tidak toleran terhadap perbedaan.

Pada masa kemerdekaan, kebebasan ekspresi dan penyebaran agama yang diperbolehkan oleh negara menciptakan ruang bagi pemahaman islam yang lebih luas, baik yang moderat maupun ekstremis. Faktor-faktor sejarah seperti ini membentuk latar belakang  yang komplek untuk perkembangan ekstrimisme Islam di Indonesia. Ekstremis adalah seseorang yang menganut pandangan ekstrim. Individu seperti ini melampaui apa yang dianggap normal dan diharapkan. Sebaliknya, kelompok moderat mempunyai pandangan yang lebih lembut. Mereka tidak ekstrim dalam keyakinan dan tindakannya.

Baca Juga : Candi Wat Arun Bangkok: Kolaborasi Sempurna Estetika, Harmoni dan Spiritualitas

Pada beberapa dekade terakhir, nama Islam sering kali dikaitkan dengan aksi-aksi gerakan ekstrimis dan teroris yang terjadi di berbagai penjuru. Penggunaan simbol-simbol ajaran agama tersebut tidak hanya berdampak pada pelaku dan korbannya, melainkan terhadap  pihak-pihak yang justru tidak terlibat maupun tahu menahu akar persoalannya. Ekstrimisme memberikan gambaran bahwasannya agama memiliki  keterpurukan akan keyakinan  dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.  Mereka  memiliki keyakinan berlebihan yang ekstrim sehingga seseorang ataupun kelompok tertentu bisa saja mengalami collective punishment, dimana seseorang atau kelompoknya dihukum  secara kolektif bukan karena kesalahan sendiri, melainkan karena kesalahan orang lain.

Sebagian besar korban collective punishment ini adalah kaum perempuan dan anak-anak, mereka sasaran empuk berbagai bentuk tindakan kekerasan fisik maupun psikis, hal ini yang cenderung lemah, dan tidak berdaya dalam melakukan perlawanan terhadap serangan yang datang, apalagi jika dilakukan secara kolektif. Sehingga di tempat-tempat publik seperti lingkungan kerja, lingkungan masyarakat, bahkan di sekolah, perempuan dan anak-anak rentan mengalami collective punishment mulai dalam bentuk kekerasan verbal, kekerasan fisik, hingga pada aksi pembunuhan. Seperti yang diketahui, ekstremisme telah berkembang dengan laju yang meningkat secara signifikan dalam modus, kuantitas, dan kualitas.

Baca Juga : Meneladani Moderasi Beragama dalam Kehidupan Sehari-hari

Dengan meningkatnya ekstrimisme di indonesia, terdapat salah satu upaya pemerintah di Indonesia yakni Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Pemerintah DIY untuk memerangi ekstremisme. Organisasi pemuda dan tokoh masyarakat dari Kapanewon Kokap, Kabupaten Kulon Progo, merupakan mayoritas peserta yang hadir.  Acara ini diselenggarakan di Tabebuya Cafe, dalam Kegiatan ketiga dari dua belas kegiatan di Kabupaten Kulon Progo, yaitu Sosialisasi Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, dilaksanakan pada tahun 2023. Pernyataan tersebut mengungkapkan  bahwa “Tujuan dari proses sosialisasi ini adalah untuk mencegah radikalisme menyebar dan berkembang menjadi aksi terorisme dan ekstrimisme.”

Dengan ini, tujuan di balik fungsi moderasi beragama dalam budaya Indonesia adalah untuk menggagalkan munculnya karakter ekstremis.

Pertama, untuk menjaga keamanan dan perdamaian beragama, moderasi beragama dapat membantu kita memahami, menjaga perdamaian dan keamanan. Kedua, untuk menjaga pengembangan kemampuan literasi wawasan kebangsaan Indonesia, mulai dari sejarah bangsa, persatuan dan kesatuan bangsa, serta kesadaran akan sikap toleransi beragama, dapat membantu tercapainya moderasi beragama. Yang ketiga adalah mencegah radikalisme pada setiap orang dengan menciptakan lingkungan pertemanan, komunitas, dan pendidikan yang dapat mengubah persepsi kita tentang toleransi beragama, maka dapat mengubah persepsi kita tentang toleransi beragama. Keempat, memupuk budaya-budaya daerah yang terdapat di seluruh kota, pedesaan, dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Dengan demikian, melalui pendekatan moderasi beragama secara perlahan, seseorang dapat meningkatkan rasa hormat terhadap ras, etnis, dan budaya di Indonesia, sehingga dapat mewujudkan pemahaman masyarakat. Lalu seseorang pun bisa menjadi lebih terbuka dalam mengadopsi perspektif yang seimbang terhadap agama. Hal ini pun dapat mengembangkan cara berpikir dan bertindak atas klaim kebenaran agama.

Potret Keharmonisan Agama di Indonesia : Surabaya Suguhkan 6 Tempat Ibadah yang Berdampingan

Penulis : Difa Eka Livia, Editor : Dina Fitriana

Keanekaragaman suku, budaya, dan agama menjadi kekayaan intelektual yang dimiliki bangsa Indonesia, tetapi tidak sedikit timbul masalah yang mengakibatkan terpecah belah. Seperti kerukunan umat beragama di Royal Residence Wiyung, Surabaya yang bisa menjadi contoh toleransi antar umat beragama. Toleransi itu diwujudkan dengan 6 tempat ibadah berbeda yang berdiri saling berdampingan. Dalam kesehariannya, kota ini menjadi rumah bagi berbagai tempat ibadah yang berdiri berdampingan dengan damai, menciptakan lanskap yang menunjukkan toleransi antara umat beragama.

Enam tempat ibadah ini hanya berjarak sekitar 2 meter tanpa pagar atau pembatas. Menurut warga sekitar, saat masuk tempat ibadah yang berbeda, warga setempat saling sapa dan menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Ke-6 tempat ibadah tersebut sesuai dengan agama yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Enam rumah ibadah tersebut adalah Masjid Muhajirin, Vihara Buddhayana, Kapel Santo Yustinus untuk umat Katolik, dan Klenteng Ba De Miao. Kemudian Pura Sakti Raden Wijaya, serta GKI Wiyung Royal Residence untuk umat Kristen.

Berikut adalah enam tempat ibadah yang menjadi contoh nyata harmoni antarumat beragama di Kota Surabaya:

Masjid Muhajirin

Masjid Muhajirin, yang terletak di Jalan Muhajirin, adalah salah satu masjid terkemuka di Kota Surabaya. Sebagai tempat ibadah bagi umat Islam, masjid ini tidak hanya menjadi pusat kegiatan keagamaan tetapi juga menjadi simbol kerukunan antar umat beragama di kota ini. Terletak berdekatan dengan tempat-tempat ibadah lainnya, Masjid Muhajirin menjadi bagian integral dari keragaman keagamaan Surabaya.

Vihara Buddhayana

Vihara Buddhayana, yang berlokasi di Jalan Kayoon, adalah tempat ibadah utama bagi umat Buddha di Surabaya. Dikelilingi oleh lingkungan yang heterogen, vihara ini menjadi tempat untuk beribadah dan meditasi bagi umat Buddha, sambil mempromosikan dialog antarumat beragama dan toleransi di kota ini.

Kapel Santo Yustinus

Kapel Santo Yustinus, yang terletak di kompleks Sekolah Katolik Santa Ursula di Jalan Kayoon, adalah tempat ibadah Katolik yang terkenal di Surabaya. Meskipun berada di sekitar area yang ramai, kapel ini memberikan ruang bagi umat Katolik untuk merayakan kepercayaan mereka dengan damai dan aman.

Klenteng Ba De Miao

Klenteng Ba De Miao, yang terletak di Jalan Sunan Ampel, adalah klenteng yang menjadi tempat ibadah bagi umat Konghucu di Surabaya. Sebagai salah satu tempat ibadah tertua di kota ini, klenteng ini mencerminkan kerukunan antar umat beragama dan menjadi pusat aktivitas keagamaan bagi umat Konghucu.

Pura Sakti Raden Wijaya

Pura Sakti Raden Wijaya, yang terletak di Jalan Kalirungkut, adalah tempat ibadah Hindu yang penting bagi komunitas Hindu di Surabaya. Dengan arsitektur yang megah dan budaya yang kaya, pura ini menjadi tempat untuk merayakan ritual keagamaan dengan memupuk toleransi dan pengertian antar umat beragama.

GKI Wiyung Royal Residence

Gereja Kristen Indonesia (GKI) Wiyung Royal Residence, yang terletak di Jalan Wiyung Indah, adalah gereja yang memainkan peran penting dalam kehidupan keagamaan umat Kristen di Surabaya. Dengan menawarkan ruang untuk beribadah dan kegiatan keagamaan lainnya, gereja ini mendorong kerukunan antar umat beragama dan integrasi sosial di lingkungan sekitarnya.

Potret toleransinya begitu tinggi. Ada pengaturan jadwal jam ibadah sehingga tidak semua umat beragama datang di hari yang sama. Salah satu anggota kesekretariatan Vihara Buddhayana Royal, Adi mengatakan pengaturan jadwal diatur karena lahan parkir memang terbatas. Warga yang hendak beribadah boleh parkir di depan tempat ibadah manapun asal tidak mengganggu.

“Tidak hanya parkir, mereka juga bebas memakai toilet tempat ibadah manapun. Semua agama sama, ajarannya kebaikan. Yang berbeda hanya ritualnya saja,” tuturnya.

Dengan keberadaan tempat-tempat ibadah yang berdampingan di Kota Surabaya, tidak hanya mencerminkan toleransi agama tetapi juga memperkuat hubungan antar umat beragama. Dengan memelihara keragaman keagamaan dan menghargai perbedaan, Surabaya terus membangun pondasi yang kuat untuk perdamaian dan harmoni di tengah masyarakat yang beragam.

Candi Wat Arun Bangkok: Kolaborasi Sempurna Estetika, Harmoni dan Spiritualitas

Penulis: Prof. Dr. Muhlisin, M. Ag., Editor : Sirli Amry

Seri Rihlah moderasi beragama

Pada tanggal 11 September 2024, penulis mendapatkan kesempatan presentasi pada konferensi internasional di Krirk University Bangkok. Setelah kegiatan selesai, penulis berkesempatan mengunjungi Candi Wat Arun. Perjalanan pertama kali penulis dan rombongan dari UIN Gus Dur Pekalongan menginjakkan kaki di Candi Wat Arun, Bangkok, Thailand, memberikan kesan mendalam, baik dari segi estetika, arsitektur, maupun suasana spiritual. Menyusuri jalanan menuju candi, lingkungannya sangat hidup dan menarik, dengan perpaduan antara suasana spiritual dan kegiatan masyarakat lokal yang dinamis. Sebagai salah satu destinasi wisata yang populer, jalan menuju candi dipenuhi dengan turis, baik dari lokal maupun manca negara. Sepanjang jalan terdapat pedagang kaki lima yang menjual makanan lokal, minuman, serta souvenir khas Thailand, seperti kain tradisional dan miniatur candi.  Selama perjalanan menuju lokasi candi, penulis menyaksikan beberapa bangunan dengan arsitektur tradisional, termasuk kuil-kuil kecil lain di sekitarnya.

Dikenal sebagai Temple of Dawn atau Candi Fajar, Wat Arun berdiri megah di tepi Sungai Chao Phraya, menjadi salah satu ikon paling terkenal di Bangkok. Candi ini bukan hanya menawarkan keindahan visual yang penuh dengan pesona seni, tetapi juga menyimpan pesan mendalam tentang moderasi beragama yang tercermin dalam sejarah dan fungsinya sebagai tempat ibadah. Wat Arun memiliki arsitektur yang sangat unik, berbeda dengan banyak candi lain di Thailand. Dikenal karena prang (menara) pusatnya yang tinggi, candi ini dihiasi dengan detail mozaik yang terbuat dari porselen dan keramik warna-warni, memberikan kilau memikat ketika sinar matahari memantul di permukaannya. Setiap detail ornamen menunjukkan keahlian seni tradisional Thailand, sekaligus melambangkan harmonisasi antara alam dan spiritualitas. Pengunjung disuguhkan pemandangan indah dari puncak menara, di mana seluruh panorama Kota Bangkok terlihat, lengkap dengan sungai dan bangunan-bangunan modern yang mengelilingi kota ini.

Baca Juga : Harmoni Budaya dan Agama serta Tradisi Rumah Karang Memadu di Desa Panglipuran Bali

Di balik estetika ini, Wat Arun juga memancarkan rasa kedamaian dan harmoni, yang tidak hanya untuk umat Buddha, tetapi juga menarik wisatawan dari berbagai latar belakang agama. Pengunjung bukan hanya dari benua Asia, namun juga dari Amerika, Eropa, Australia dan Afrika. Hal ini mengingatkan penulis akan pentingnya keindahan visual dalam menciptakan rasa hormat dan keterbukaan antar agama. Setiap elemen dekoratif di candi ini seolah berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan manusia dengan dunia spiritual tanpa memandang latar belakang kepercayaan mereka.

Suasana Moderasi Beragama di Wat Arun.

Salah satu hal yang menarik dari pengalaman di Wat Arun adalah bagaimana tempat ini mengedepankan moderasi beragama. Meskipun Wat Arun adalah candi Buddha yang didedikasikan untuk Dewa Hindu, Dewa Arun (Dewa Fajar), candi ini juga menjadi simbol penghormatan lintas agama di Bangkok. Kehadiran wisatawan dari berbagai belahan dunia, dengan keyakinan yang berbeda, menciptakan suasana toleransi yang mendalam. Penulis dan rombongan menyaksikan bagaimana orang-orang dari berbagai latar belakang beribadah, mengambil foto, atau sekadar menikmati keindahan candi tanpa ada rasa keterasingan maupun kecurigaan. Moderasi beragama terlihat jelas dalam bagaimana Wat Arun, sebagai simbol keagamaan, tetap terbuka bagi siapa saja yang ingin merasakan ketenangan di dalamnya. Keberadaan candi di tengah kota yang modern ini seolah menyampaikan pesan bahwa agama dan spiritualitas bisa hidup berdampingan dengan kemajuan zaman. Wat Arun mengajarkan bahwa moderasi tidak hanya soal sikap menghargai agama lain, tetapi juga kemampuan untuk hidup dalam keseimbangan antara dunia spiritual dan dunia modern.

Pengalaman pertama penulis dan rombongan di Wat Arun tidak hanya membuka mata tentang kekayaan budaya Thailand, tetapi juga memberikan pelajaran penting tentang estetika dan moderasi beragama. Dalam konteks yang lebih luas, Wat Arun menggambarkan bahwa keindahan dan spiritualitas dapat bersatu untuk menciptakan suasana yang inklusif dan harmonis. Candi ini menunjukkan bagaimana Bangkok sebagai kota besar tidak kehilangan esensi spiritualnya, bahkan dalam lingkungan yang semakin multikultural.

Sebelum mengakhiri rihlah, penulis sempat bertemu dengan seorang mahasiswi dari Saudi Arabi, Naora yang mengunjungi Candi Wat Arun. Mahasiswi tersebut sedang mengikuti kegiatan pertukaran mahasiswa di Krirk University Bangkok. Dalam perbincangan singkat, Naora berseloroh “Sebagai mahasiswa yang datang dari budaya yang sangat berbeda, mengunjungi Wat Arun di Bangkok merupakan pengalaman yang sangat menarik. Arsitektur candi ini sangat indah dan unik, terutama stupa utamanya yang dihiasi dengan porselen warna-warni. Dari kejauhan, candi ini tampak megah, terutama saat matahari terbenam, ketika cahayanya memantul di permukaan Sungai Chao Phraya. Saya juga sangat terkesan dengan kedamaian dan ketenangan di sekitar candi, meskipun Bangkok adalah kota yang sangat sibuk. Rasanya seperti bisa menyaksikan harmoni antara kehidupan modern dan warisan budaya yang masih hidup sampai sekarang.” Pendapat ini mencerminkan kekaguman terhadap keunikan budaya Thailand serta pengalaman yang berbeda dari perspektif seorang mahasiswi Saudi yang tidak terbiasa dengan suasana dan arsitektur khas Asia Tenggara.

Baca Juga : Puncak Harmoni Agama Dalam Seni Dan Arsitektur Goa Sunyaragi Cirebon

Di akhir kunjungan, penulis merenungkan betapa pentingnya menjaga moderasi beragama, terutama di era globalisasi saat ini. Wat Arun merupakan salah satu contoh nyata bahwa melalui keterbukaan dan toleransi, kita dapat menemukan keindahan dan kedamaian di tengah perbedaan. Wat Arun bukan sekadar candi biasa, ia adalah simbol dari kesatuan dalam keragaman, baik dari segi budaya, agama, maupun sejarah. Kunjungan perdana ini menjadi pengingat kuat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara estetika dan spiritualitas, sekaligus menghargai nilai-nilai moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari.

 

Melindungi Anak dari Jerat Kekerasan: Dampak Penganiayaan dan Upaya Pencegahannya

Penulis : Silfiya Karima, Editor : Ika Amiliya Nurhidayah

Perlu kita ketahui bahwa penganiayaan adalah tindakan atau perilaku yang menyebabkan penderitaan, cedera atau kerugian fisik, emosional serta mental pada seseorang. Bentuknya dapat berupa kekerasan fisik, verbal, psikologis, seksual atau penelantaran. Penganiayaan sering kali melanggar hak seseorang dan memiliki dampak jangka panjang yang serius terhadap kesejahteraan dan kesehatan korban.

Dalam upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak dari segala tindak kekerasan, pemerintah Indonesia telah menyusun beberapa regulasi diantaranya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sebagai tindak lanjutnya telah direspon oleh berbagai pihak hampir seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota, melalui Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, dan Peraturan Bupati/Wali Kota dengan membentuk unit layanan penanganan kekerasan dengan beragam nama, seperti Women Crissis Center (WCC), Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang didalamnya terdiri dari unsur SKPD terkait, rumah sakit atau layanan medis, Aparat Penegak Hukum (APH), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Perlindungan Anak (LPA), dan Organisasi Keagamaan.  

Baca Juga: Kekerasan Terhadap Anak-anak: Pentingnya Seks Edukasi dan Parenting untuk Para Remaja

Seiring dengan terbentuknya lembaga layanan terpadu tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia telah mengembangkan sistem aplikasi pencatatan dan pelaporan kekerasan perempuan dan anak yaitu SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) yang dapat diakses oleh semua unit layanan penanganan korban kekerasan perempuan dan anak di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota secara up to date, real time, dan akurat. Menurut data yang diperoleh dari SIMFONI PPA ditemukan bahwa tingkat korban kekerasan terhadap anak di Indonesia mencapai rate ke 2 yaitu sekitar 400 anak.  

Dampak penganiayaan bagi anak di bawah umur dapat sangat serius dan beragam. Beberapa dampak yang mungkin terjadi termasuk cedera fisik dan luka-luka yang bisa menyebabkan rasa sakit dan masalah kesehatan jangka panjang, trauma psikologis dan emosional, seperti kecemasan, depresi, dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD), gangguan perkembangan sosial, kognitif, dan emosional, menurunnya performa akademis dan masalah perilaku di sekolah, serta mungkin sulit untuk membangun hubungan sosial yang sehat dan memiliki kepercayaan diri yang rendah. Penganiayaan pada anak di bawah umur dapat memiliki dampak jangka panjang yang serius, oleh karena itu penting untuk mendeteksi dan mencegahnya sejak dini serta memberikan dukungan dan perlindungan kepada anak yang terkena dampak. 

Ancaman penganiayaan bagi kesehatan mental anak dapat berdampak jangka panjang dan serius. Beberapa ancaman itu seperti trauma emosional yang berkelanjutan, seperti kecemasan, depresi, dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD), mungkin mengalami kesulitan dalam membangun identitas yang sehat dan positif serta memiliki persepsi diri yang rendah, dapat membuat anak sulit untuk mempercayai orang lain dan membangun hubungan yang sehat. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam membentuk ikatan interpersonal yang positif, dapat meningkatkan risiko anak mengalami gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, depresi, gangguan makan, dan gangguan kepribadian, dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik anak, baik karena cedera fisik langsung maupun karena dampak stres kronis pada tubuh mereka.

Penting bagi kita sebagai orang tua untuk mendeteksi dan mengatasi penganiayaan anak secepat mungkin untuk mencegah dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental dan fisik mereka. Mendukung anak dan memberikan akses kepada mereka untuk bantuan profesional dan dukungan emosional juga krusial dalam proses penyembuhan mereka. Mengatasi anak yang mengalami penganiayaan memerlukan kerja sama antara berbagai pihak, termasuk keluarga, pihak berwenang, profesional kesehatan, dan masyarakat secara luas. Dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, anak-anak yang mengalami penganiayaan memiliki peluang yang lebih baik untuk pulih dan berkembang secara positif. 

Baca Juga: Program Sekolah Ramah Anak (SRA) Dan Kontribusi Pemerintah Dalam Menurunkan Tingkat Kekerasan Terhadap Anak Di Indonesia

Pentingnya Memilih Pondok Pesantren: Banyak Orang Tua Takut Memasukan Anak di Pondok Pesantren

Penulis : Shovil Muna, Editor :  Ika Amiliya Nurhidayah

Dilansir dari Liputan6.com, terkuaknya kasus pencabulan 12 Santriwati oleh bapak-anak pengasuh pondok pesantren di Trenggalek, berawal dari curhatan sejumlah orang tua korban saat petugas sosial setempat melakukan sosialisasi. Dua oknum pengasuh pondok pesantren di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur yang diduga telah mencabuli belasan santrinya kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka tersebut sebelumnya diungkap Kapolres Trenggalek Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Gathut Bowo Supriyono, pada Jumat, 15 Maret. “Keduanya sudah ditahan pada Kamis (14/3) malam,” jelas Kapolres.

Selain itu dilansir dari dari BBC News Indonesia, kasus `Sini Jemput Bintang (seorang santri)…Aku Takut’ seorang santri bernama Bintang Balqis Maulana (14 tahun) meninggal diduga akibat penganiayaan di Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur tidak dapat dilepaskan dari lemahnya sistem pengawasan terhadap pesantren yang tidak berizin, kata pengamat. 

Kepolisian pun telah menetapkan empat pelaku sebagai tersangka, di mana salah satunya disebut masih kerabat korban. Akibatnya, kasus-kasus kekerasan di pesantren terutama yang tidak berizin berpotensi terus terjadi di masa yang akan datang. Untuk itulah, Kementerian Agama dituntut segera melakukan perbaikan dalam tata kelola pesantren. Salah satu caranya, menurut Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Sarmidi Husna adalah dengan mewajibkan setiap pesantren memiliki izin operasional dari Kementerian Agama (Kemenag).  

Baca juga : Kesenjangan Digital Di Daerah Pelosok Sebagai Tantangan Peningkatan Mutu Pendidikan

Pondok pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang melaksanakan beragam kegiatan pembelajaran agama Islam bagi santri, di bawah bimbingan atau asuhan kyai yang juga tinggal atau bermukim dalam satu lokasi yang sama. Sehingga pesantren menjadi lembaga pendidikan paling tua di Indonesia yang telah memberikan kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Di sisi lain, secara historis pesantren juga berkontribusi dalam membina dan mengembangkan masyakat di lingkungan sosialnya. Di Indonesia sendiri, ada banyak pondok pesantren, baik pesantren yang tradisional/klasik (salaf), modern, maupun yang semi tradisional-modern.  

Adapun tujuan pondok pesantren secara umun adalah membina warga negara agar memiliki kepribadian muslim yang taat terhadap ajaran-ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut dalam segala aspek kehidupannya, serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara. Sedangkan tujuan khusus pendidikan pesantren diantaranya yaitu: 

  1. Memberikan pendidikan kepada para santri sebagai anggota masyarakat agar mereka menjadi orang muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, memiliki akhlak mulia, memiliki kecerdasan, ketrampilan dan sehat lahir dan batin sebagai seorang warga negara yang berpancasila.

2. Memberikan pendidikan kepada para santri agar mereka menjadi manusia muslim yang dapat berperan sebagai kader-kader ulama dan mubaligh dengan berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengembangkan syariat-syariat Islam secara utuh dan dinamin.

Baca juga : Akankah AI dapat Menggantikan Peran Seorang Guru dalam Pendidikan?

3. Memberikan pendidikan kepada para santri agar mereka mendapatkan kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan sehingga bisa menumbuhkan manusia-manusia pembangunan bangsa dan negara.

4. Memberikan pendidikan kepada penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan/ masyarakat lingkungannya).

5. Memberikan pendidikan kepada para santri agar mereka menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan, terutama dalam pembangunan mental spiritual.

6. Memberikan pendidikan kepada para santri agar mereka mampu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat dalam rangka usaha pembangunan bangsanya.

Baca juga : Memprediksi Masa Depan Pendidikan: Tren Digital dalam Mempersiapkan Perubahan

Dari banyaknya kasus pondok pesantren, problem di atas terjadi karena banyak pesantren yang tidak memiliki izin dari Kemenag. Kondisi itu menyebabkan pengawasan menjadi lemah. Karena kalau tidak berizin, maka biasanya, kontrol, standarisasi itu tidak bisa dieksekusi, dan tidak terdata di sistem data Kemenag. Namun, untuk mendorong agar pesantren mau mengurus izin juga menjadi masalah yang lain.

Banyak pimpinan pesantren yang tidak mendaftarkan lembaganya karena dianggap sebagai milik pribadi. Perlu adanya semacam pencerahan kepada para pengurus, pengasuh bahwa jika  sudah didaftarkan kemudian jadi milik pemerintah, tidak. Justru dengan kita mendaftarkan, kita ada mitra kolaborasi, bekerja sama dengan eksternal untuk bisa membangun pesantren lebih baik dan lebih bermartabat yang bisa menjadi pilihan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi agar setiap pesantren mengurus izin operasional dari Kemenag. 

Untuk itu orang tua harus selektif dalam memilih pesantren bagi anak mereka yaitu seperti diantaranya nyaman, aman, legal atau terdaftar sehingga bisa mencegah hal yang tidak diinginkan. Terkadang banyak orang tua yang masih tergiur dengan biaya pesantren yang gratis tanpa mengetahui karakteristik pesantren, bagaimana sistem pesantren dan  mengenal pengasuh seperti apa, apakah dapat dipercaya semisal dengan mempunyai sanad yang sudah jelas. Karena zaman sekarang banyak pesantren berdiri tanpa diketahui asal usul sanad pesantren tersebut. Dengan mengetahui sanad tersebut kitab bisa mengetahui ilmu yang akan diajarkan seperti apa, sebab kita harus selektif memilih pesantren untuk anak kita agar ajaran-ajaran yang diterima tidak melenceng atau ajaran yang tidak jelas bahkan jangan sampai dengan aliran yang menyesatkan tidak sesuai dengan ajaran Al-qur’an dan Hadist.  

Baca juga : Refleksi Tahun Baru Islam dengan Pendidikan Kita Bangun Kemajuan Peradaban Islam

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang berorientasi pada kajian keagamaan yang bersumber pada Al-Quran dan hadits. Sampai saat ini, pesantren semakin menarik perhatian masyarakat karena menanamkan ketersambungan rantai atau sanad keilmuan untuk menjaga orisinalitas dan kevalidan keilmuan antara guru dan murid.

Dalam tradisi pesantren, ilmu menjadi bagian dari agama karena bersumber dari wahyu. Belajar, mengaji, mengkaji ilmu bagian dari ibadah, sehingga sumber ilmu betul-betul jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya, pesantren sanad keilmuan bagian dari agama. Dengan demikian sanad dan ijazah sangat penting untuk mempertahankan autentisitas dan orisinilitas ilmu, khusunya tentang agama Islam yang terus dipegang kuat dalam tradisi pesantren.  

Penjelasan di atas menegaskan bahwa setiap orang tua/santri harus memiliki guru yang mempunyai kemampuan dan sanad keilmuan yang jelas, karena sanad ilmu menunjukkan pentingnya otoritas seseorang dalam berilmu. Semakin disebut sumber ilmu itu, maka Rahmat Allah akan turun setiap kali menyebut nama-nama orang saleh.

Penanaman Nilai Moderasi Beragama Sejak Dini di Lingkungan Sekolah

Penulis : M. Shokhib Anwar, Editor : Ibnu Salim

SMPN 1 Wiradesa, salah satu sekolah negeri di Kabupaten Pekalongan, merupakan contoh teladan dalam penerapan moderasi beragama di lingkungan pendidikan. Meskipun mayoritas siswa beragama Islam, sekolah ini juga memiliki sejumlah siswa beragama Kristen. Perbedaan keyakinan ini tidak menghalangi terciptanya keharmonisan dan kenyamanan dalam proses belajar mengajar. Siswa-siswi di SMPN 1 Wiradesa saling menghormati dan menunjukkan kepedulian tinggi terhadap sesama.

Toleransi beragama antara umat Islam dan Kristen di sekolah ini menjadi fondasi dalam membentuk masyarakat yang inklusif dan damai. Moderasi beragama diperlukan untuk memastikan bahwa semua siswa, terlepas dari keyakinan mereka, merasa dihargai dan didukung dalam mengembangkan identitas agama mereka tanpa rasa takut akan diskriminasi atau penindasan.

Di SMPN 1 Wiradesa, pendekatan terhadap toleransi beragama dilakukan secara proaktif melalui program-program pendidikan yang mendorong pemahaman tentang masing-masing keyakinan, dialog antaragama yang terbuka, dan kerjasama dalam berbagai kegiatan bersama. Setiap pagi, siswa yang beragama muslim diwajibkan membaca Al-Qur’an dan Asmaul Husna, sementara siswa beragama Kristen mengikuti kajian rohani yang dipimpin oleh guru yang beragama Kristen. Praktik ini memastikan bahwa siswa non-Muslim tidak merasa terdiskriminasi karena perbedaan agama mereka. 

Baca Juga:Kemerdekaan Sebagai Paradigma Moderasi Beragama

Memahami persamaan dalam ajaran kedua agama, seperti cinta, kasih sayang, keadilan, dan perdamaian, adalah kunci untuk mengurangi kesalahpahaman dan memperkuat hubungan antarumat beragama di sekolah. Guru dan staf sekolah harus menjadi teladan dalam mempraktikkan toleransi dan menghormati keberagaman agama.

Selain itu, penting juga untuk memperhatikan kebutuhan individu dan memastikan bahwa setiap siswa merasa aman dan dihormati dalam lingkungan sekolah. Upaya ini meliputi pencegahan dan penanganan pelecehan atau diskriminasi berbasis agama serta penyediaan sumber daya dan dukungan bagi siswa yang membutuhkannya.

Secara keseluruhan, pendekatan yang mengedepankan toleransi beragama antara umat Islam dan Kristen di sekolah akan membantu membentuk generasi yang lebih terbuka, saling menghormati, dan memahami keberagaman agama dalam masyarakat. Moderasi agama di sekolah dengan siswa dari berbagai latar belakang keagamaan adalah bagian penting dari pendidikan yang inklusif dan maju. Hal ini bukan hanya tentang menghormati perbedaan, tetapi juga tentang membentuk generasi yang mampu hidup berdampingan dengan damai dalam masyarakat yang memiliki keragaman budaya dan agama.

Baca Juga : Peran Moderasi Beragama dalam Memerangi Fenomena Bullying di Lingkungan Masyarakat Heterogen

Di sekolah-sekolah seperti SMPN 1 Wiradesa, moderasi agama bukanlah sekadar konsep, melainkan praktik nyata dalam kegiatan sehari-hari. Guru dan staf sekolah bertanggung jawab menciptakan lingkungan yang mengedepankan pemahaman, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan agama. Mereka juga harus siap mengawasi dan memperhatikan siswa untuk mencegah terjadinya perpecahan atau pelecehan berbasis agama.

Sebagai pendidik, siswa diajarkan untuk melihat perbedaan agama sebagai kekayaan, bukan hambatan. Mereka belajar untuk bertanya, mendengarkan, dan memahami pandangan berbeda tanpa menghakimi atau memaksakan keyakinan mereka. Guru dan staf harus siap menghadapi perbedaan agama di antara siswa agar hubungan tetap harmonis tanpa membeda-bedakannya dan diskriminasi.

SMPN 1 Wiradesa secara tidak langsung mengajarkan nilai-nilai universal yang dianut oleh hampir semua agama, seperti kasih sayang, keadilan, dan perdamaian. Dengan memfokuskan pada kesamaan ini, mereka dapat membangun titik-titik persamaan yang kuat untuk saling terhubung dengan lebih baik. Sekolah ini harus menjadi contoh dalam menerapkan moderasi agama. Semua yang terlibat dari sekolah ini harus mempraktikkan nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Dengan demikian, sekolah dapat menciptakan masa depan yang memahami pentingnya kerjasama lintas agama dalam membangun masyarakat yang harmonis dan menerima keberagaman.