Ber-Islam secara Kaffah, Apakah Islam Moderat Hanya Setengah-setengah?

Penulis: Nahdliyatu Rohmah, Editor: Sirli  Amry

“Jika kamu memusuhi orang yang berbeda agama dengan kamu berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah tapi agama. Pertuhankanlah Allah bukan yang lainnya. Pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah kamu harus menerima semua makhluk“ (Gus Dur).

Pernyataan Gus Dur, seorang tokoh Muslim Indonesia yang dijuluki Bapak Pluralisme, menyiratkan perlunya menerima segala bentuk keberagaman sebagai bukti mempertuhankan Allah SWT.  Keberagaman merupakan sebuah keniscayaan dari kehendak Yang Maha Kuasa. Islam adalah agama yang mengajarkan moderasi (wasatiyyah).

Perbedaan bahasa, ras, suku, budaya, dan agama harus dihormati serta dijunjung tinggi sebagai bentuk penghargaan terhadap kemanusiaan. Namun, kenyataannya perbedaan tersebut justru akan menciptakan sekat. Bahkan masih banyak yang beranggapan ketika beda agama membuat kita berbeda, padahal esensi kemanusiaan harusnya melampaui sekat-sekat keyakinan. 

Dalam usaha mencapai keharmonisan hidup berbangsa dan beragama, diperlukan moderasi beragama yang merupakan sikap yang sedang atau seimbang, tanpa berlebihan. Tidak mengklaim diri atau kelompoknya yang paling benar, tidak menggunakan legitimasi teologis yang ekstrem, tidak menggunakan paksaan apalagi kekerasan, dan netral serta tidak berafiliasi dengan kepentingan politik atau kekuatan tertentu. Islam yang utuh atau berislam secara kaffah tidak berarti memusuhi non-Muslim.

Umat Islam yang moderat paham bahwa berinteraksi dan berkomunikasi dengan berbeda agama merupakan sebuah keniscayaan. Apakah Islam kaffah bertentangan dengan Islam moderat? Istilah “kaffah” dalam Islam merujuk pada penerapan ajaran agama secara totalitas di setiap aspek kehidupan. Namun, banyak yang salah kaprah memahami konsep moderat dalam Islam sebagai sesuatu yang setengah-setengah. Faktanya, Islam moderat justru adalah bentuk ideal beragama yang menekankan keseimbangan, keterbukaan, dan toleransi tanpa mengabaikan prinsip-prinsip syariah.

Baca Juga:  Gus Dur: Pengaruh, Perspektif, dan Pemikiran tentang Pendidikan Islam

Islam moderat, berakar pada semangat wasathiyah (jalan tengah), memungkinkan umat Islam berpegang teguh pada ajaran agama sambil beradaptasi dengan dinamika sosial. Moderasi dalam Islam mengutamakan toleransi dalam perbedaan dan keterbukaan terhadap keberagaman. Baik itu dalam mazhab yang beragam maupun dalam beragama yang beragam. Perbedaan bukan penghalang untuk menjalin kerja sama dengan asas kemanusiaan. Moderasi bukan berarti mengurangi ajaran Islam, melainkan memahami dan menjalankannya secara kontekstual, menghargai perbedaan, dan mempromosikan dialog yang damai. Ini adalah pengejawantahan dari konsep rahmatan lil ‘alamin yang membawa misi kedamaian bagi seluruh alam. Perlu digarisbawahi bahwa moderasi beragama artinya cara kita beragama yang dimoderatkan bukan agama yang dimoderasikan.

Ajaran Islam moderat tidak hanya mementingkan hubungan baik kepada Allah, tapi juga hubungan baik kepada sesama manusia. Dalam pelajaran matematika kita kenal dengan sistem koordinat yang menghasilkan titik persimpangan. Di sinilah kedua sumbu bertemu menggambarkan kehidupan seimbang. Keseimbangan antara hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia. Tidak hanya terhadap sesama umat, tapi juga terhadap sesama yang berbeda agama. Selain itu, moderasi Islam tercerminkan dalam sikap yang tidak mudah untuk menyalahkan bahkan mengkafirkan orang atau kelompok dengan pandangan yang berbeda. Moderasi Islam lebih menekankan persaudaraan berdasarkan asas kemanusiaan daripada asas keimanan atau kebangsaan. 

Baca Juga:  Sepuluh Pemikiran Gus Dur tentang Moderasi Agama

Lantas, apakah moderat dianggap sebagai konsep asing atau pemikiran Barat? Jika moderat dianggap asing, apakah Islam kaffah juga dianggap asing dan Barat? Ber-Islam secara kaffah tidak harus berarti ekstrem atau kaku dalam menjalani agama, melainkan bersikap inklusif dan menebar misi kedamaian. Islam moderat bukanlah Islam yang setengah-setengah, melainkan bentuk komitmen penuh pada nilai-nilai keadilan, kebijaksanaan, dan kemanusiaan dalam kerangka ajaran Islam yang holistik.

Islam moderat sebenarnya adalah cara berpikir dan beragama dengan mengacu pada sifat umat Islam yang moderat yang berasal dari al-Quran. Sikap moderat dalam beragama berasal dari konsep “tawasuth.” Kita disarankan untuk tidak berlebihan dalam beragama atau bersikap ekstrim (ghuluw). Allah memerintahkan bersikap “tawazun” (seimbang) sebagaimana Surat Ar-Rahman: “Dan Allah meninggikan langit dan meletakkan timbangan. Agar Anda jangan melampaui timbangan (keseimbangan).”.

Dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8, Allah menegaskan umat Islam diperbolehkan berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang yang tidak memerangi atau mengusir mereka karena agama. Maka, menganggap musuh umat yang berbeda bukan hanya melawan pemikiran yang moderat, tetapi juga melawan perintah Allah dalam al-Quran. Begitu juga, Islam yang utuh atau berislam secara kaffah tidak berarti memusuhi non-Muslim. Salah besar jika menganggap Muslim sejati berarti hanya bergaul dan berinteraksi dengan umat Islam dan menolak non-Muslim. Pemikiran berislam yang tidak jelas seperti ini akan menyebabkan kesalahpahaman. 

Baca Juga:  Toleransi Harmoni: Jejak Gus Dur dalam Merajut Kebhinekaan

Bagaimana Rasulullah bisa berislam secara kaffah? Rasul memberi contoh langsung dengan menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Rasulullah mampu berinteraksi, bertemu, berdiskusi, bahkan menjalin kerjasama dan diplomasi dengan kekuatan politik yang memiliki keyakinan agama yang berbeda. Jika manusia memahami Islam kaffah sebagai berpikir ekslusif dan penuh kebencian, itu bukan Islam kaffah yang diperintahkan dalam Al-Quran, bisa jadi pemikiran ideologi tokoh tertentu. Justru, berislam secara kaffah harus mempunyai sifat umat yang washatan. Berislam secara kaffah harus tidak ekstrem spritualisme dan tidak ekstrem materialisme.

Intinya, berislam secara menyeluruh harus bersifat moderat, sesuai dengan ajaran Al-Quran dan sesuai dengan sikap yang ditunjukkan Rasulullah. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dengan menebar misi kedamaian. Jika masih menganggap yang berbeda adalah musuh maka mainnya kurang jauh.

Tahun Baru dan Persiapan Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Penulis: Azzam Nabil H, Editor: Sirli Amry

Tahun baru 2025 Masehi bukan hanya menjadi momentum yang membahagiakan bagi umat Kristiani, namun juga bagi umat muslim. Bagaimana tidak? Tanggal 1 Januari 2025 ini bertepatan dengan masuknya bulan Rajab yang mana menjadi salah satu bulan yang mulia dalam kalender Hijriyah.

Rajab merupakan bulan ketujuh dalam kalender Islam yang penuh berkah. Umat Muslim dapat memanfaatkan bulan ini untuk introspeksi diri, meningkatkan kualitas ibadah, dan memperbaharui tekad untuk menjalani hidup yang lebih baik. Disamping itu, Bulan Rajab menjadi salah satu bulan haram diantara 4 bulan lainnya. Bulan haram ini dalam arti manusia sangat dilarang untuk melakukan perbuatan maksiat. Sebagaimana firman Allah dalam Surat At-Taubah ayat 36, Allah SWT telah berfirman:

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu mendzolimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”

Baca Juga:  Meraih Keberkahan Ramadhan Warga Desa Rowolaku: Tradisi dan Kebiasaan Menyucikan Jiwa

Empat bulan haram yang dimaksud dalam ayat ini yaitu bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadist Abu Bakrah bahwa Rasullullah SAW bersabda:

“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Satu bulan lagi adalah Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.”

Selain itu, Bulan Rajab juga menjadi bulan yang mulia karena terdapat peristiwa penting, yakni peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw., di mana Rasulullah SAW diangkat ke langit ke-7 dan menerima perintah untuk melaksanakan sholat lima waktu. Keistimewaan lain dari Bulan Rajab yakni menjadi waktu yang mustajab untuk berdoa dan beribadah, terutama pada malam pertama, di mana diyakini semua doa akan terkabul. Umat Muslim dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, mengingat bahwa doa pada malam pertama Rajab tidak akan tertolak. Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm juga menyebutkan bahwa doa diterima pada lima malam penting, salah satunya malam pertama Rajab.

Baca Juga:  Tradisi Tutupan: Fenomena Sosial dan Keagamaan di Pekalongan Menjelang Ramadhan

Datangnya bulan ini juga menandai kedekatan dengan Bulan Ramadhan, bulan penuh berkah yang sangat dinantikan umat Muslim. Oleh karena itu, banyak amalan yang dapat dilakukan di Bulan Rajab sebagai persiapan menuju Bulan Ramadhan. Beberapa amalan yang dapat dilakukan yaitu berpuasa sunnah, bersedekah, memperbanyak membaca al Quran, dan memperbanyak dzikir.

Amalan amalan ini diharapkan tidak hanya berhenti di Bulan Rajab saja. Disamping itu, kita perlu introspeksi dan berupaya untuk memperbaiki diri agar menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dengan berdoa dan muhasabah, juga dapat menjadi bekal untuk memantaskan diri bertemu dengan bulan suci Ramadhan.

Pandangan Islam tentang Hadiah Natal dalam Menjalin Kerukunan Umat Beragama

Penulis: Sirli Amry, Editor: Azzam Nabil H

Bulan Desember merupakan bulan yang sangat dinantikan oleh umat kristiani. Mengapa demikian? Karena pada tanggal 25 Desember, mereka menyambut perayaan besarnya, Hari Natal, hari raya umat kristiani. Dalam natal, saling bertukar kado sebagai hadiah adalah salah satu ciri khas perayaannya. Tradisi ini merupakan simbol penghormatan dan kasih sayang antara sesama umat kristiani. Selain itu, pemberian hadiah merupakan bentuk cara mereka mengungkapkan kegembiraan perayaan Hari Natal.

Lalu, Bagaimana jika seseorang yang menerima hadiah natal tersebut adalah orang muslim? Seperti apa hukumnya dalam perspektif islam?

Dikutip dari laman Jombang NU Online bahwa hukum menerima hadiah natal dari umat kristiani adalah boleh. Dalam hal ini, menerima kado dari umat kristiani bukan berarti kita meyakini atau memberikan pembenaran terhadap keyakinan agama lain, melainkan sebuah bentuk toleransi dengan saling menghormati perayaan antar umat beragama. Syekh Zakaria Al-Anshari dalam kitabnya Asna Al-Mathalib Fi Syarhi Raudhi Al-Thalib Juz II halaman 480 menjelaskan:

(وَيَجُوزُ قَبُولُ ‌هَدِيَّةِ ‌الْكَافِرِ) لِلِاتِّبَاعِ

Artinya: “Diperbolehkan menerima hadiah (kado) dari orang kafir karena ittiba’ (ikut sunnah kanjeng nabi).”

Menurut Syekh Zakaria Al Anshari, menerima hadiah dari orang kristen dengan tujuan mengikuti sunnah nabi Muhammad SAW (ittiba’) hukumnya adalah diperbolehkan. Selain penjelasan dari beliau terkait diperbolehkannya menerima hadiah dari saudara non-muslim, Ulama Lembaga Fatwa Mesir pun berpendapat bahwa menerima dan membawa hadiah kepada umat kristiani pada hakikatnya tidak dilarang dalam hukum Islam. Hal ini termasuk dalam bentuk perilaku moral yang baik. Pun demikian dengan hadiah yang diterima, tidak menjadi masalah jika hadiah tersebut bukanlah hadiah yang haram atau yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Baca Juga:  Menghargai dan Memperbarui: Kontribusi Islam dalam Pelestarian Budaya Lokal

Nabi Muhammad SAW pun pernah menerima hadiah dari non-muslim yang bahkan tidak hanya sekali. Kisah ini tercantum dalam hadits Riwayat Imam Al-Tirmidzi sebagai berikut:

 حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَعِيدٍ الْكِنْدِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ ثُوَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ كِسْرَى أَهْدَى لَهُ فَقَبِلَ وَأَنَّ الْمُلُوكَ أَهْدَوْا إِلَيْهِ فَقَبِلَ مِنْهُمْ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Sa’id Al Kindi berkata, telah menceritakan kepada kami, Abdurrahim bin Sulaiman dari Isra’il dari Tsuwair dari Bapaknya dari Ali berkata, “Raja Kisra memberikan hadiah kepada beliau lalu beliau menerimanya, dan Raja-raja juga memberikan hadiah kepada beliau lalu beliau menerimanya.”

Kisah Nabi Muhammad SAW kala menerima hadiah dari Kisra dan para raja menunjukkan bahwa hadiah dapat membangun hubungan sosial yang baik di kedua belah pihak. Islam memandang hadiah sebagai sarana untuk mempererat jalinan persaudaraan antar sesama umat manusia, bukan sebagai bagian dari ritual beribadah. Dengan memberikan hadiah, diharapkan dapat tercipta hubungan yang harmonis, saling menghormati, serta menambah eratnya persaudaraan antar sesama.

Baca Juga:  Potret Keharmonisan Toleransi dalam Keberagaman Agama di Desa Linggoasri

Nabi menerima hadiah tersebut tentu bukan karena motif keagamaan, melainkan bentuk penghargaan dan penerimaan niat baik dari pemberinya. Hal ini memperlihatkan bahwa hadiah dalam konteks ini bermakna universal dan mampu melampaui perbedaan agama, budaya, dan status sosial. Selama hadiah yang diterima tidak bertentangan dengan prinsip dan syariat, hukum menerima hadiah dalam Islam adalah diperbolehkan. Karena hal ini merupakan bagian dari adab dan etika dalam bermuamalah.

Membahas tentang bermuamalah, Allah tidak melarang umat Islam untuk menjaga hubungan baik dengan non-muslim. Hal ini tercantum jelas dalam Surat Mumtahanah (60) ayat 8 sebagai berikut:

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ۝٨

Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”

Baca Juga: Potret Keharmonisan Agama di Indonesia : Surabaya Suguhkan 6 Tempat Ibadah yang Berdampingan

Ayat ini menegaskan tentang pentingnya bersikap adil dan berbuat baik kepada non-muslim yang tidak memerangi umat Islam. Penting pula bagi orang awam seperti kita untuk memahami lebih dalam mengenai perspektif Islam dengan bijak dan toleran dalam rangka menjalin kerukunan antar umat beragama. Sikap bijak dan toleran seperti saling memberi hadiah membantu kita untuk menjaga harmoni dan kedamaian di tengah masyarakat yang beragam. Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa berbuat baik kepada sesama manusia. Menerima hadiah dari non-muslim dalam perayaan Natal, bukanlah bentuk pengakuan keyakinan agama lain, melainkan wujud dari akhlak mulia dan adab bermuamalah yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

Pemahaman yang keliru mengenai batasan-batasan ini sering kali memicu kesalahpahaman dan konflik yang sebenarnya dapat dihindari jika setiap individu memahami ajaran Islam dengan lebih mendalam. Oleh karena itu, bersikap bijak, memahami konteks, dan merujuk pada sumber-sumber terpercaya dalam ajaran Islam sangat penting untuk membangun hubungan yang harmonis dan penuh saling pengertian antarumat beragama.

Menghormati Ibu, Menghormati Kehidupan

Penulis: Azzam Nabil, Editor: Sirli Amry

Setiap tahun, kita merayakan Hari Ibu sebagai bentuk penghargaan kepada para ibu di seluruh dunia. Di setiap negara memiliki tanggal peringatan hari ibu yang berbeda-beda. Dalam hal ini, Indonesia menetapkan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Momen ini menjadi momen spesial untuk mengingat dan merayakan peran besar seorang ibu dalam kehidupan kita. Sebagai seorang anak, kita sering kali merasa berhutang budi kepada ibu, yang telah melahirkan, merawat, dan mendidik kita dengan penuh kasih sayang.

Bahkan dalam Islam, berbakti kepada orang tua, terutama ibu, diatur dengan sangat jelas dan tegas, bahkan menjadi salah satu amalan yang sangat dianjurkan. Konsep menghormati kepada kedua orang tua ini dikenal dengan “Birulwalidain“. Kata Birul walidain berasal dari bahasa Arab yang berarti berbuat baik kepada kedua orang tua. Dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, berbakti kepada orang tua, terutama ibu, dianggap sebagai salah satu kewajiban yang sangat penting bagi setiap Muslim. Bahkan, dalam banyak ayat dan hadits, Allah SWT memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orang tua setelah menyembah-Nya. Salah satu hadits yang sangat terkenal dan sering dikutip adalah:

“Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Ya Rasulullah, siapa yang paling berhak saya perlakukan dengan baik?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Sahabat itu bertanya lagi, ‘Setelah itu siapa, ya Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Sahabat itu bertanya lagi, ‘Setelah itu siapa, ya Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Baru setelah itu, Rasulullah menjawab, ‘Bapakmu.'” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)

Baca Juga :  Kisah Kehidupan Nabi Ibrahim Alaihissalam: Renungan Kurban untuk Mendekatkan Dirikepada Allah, Meningkatkan Kualitas Keluarga, dan Menyadari Pentingnya Peran Sebagai Orang Tua

Hadits ini dengan jelas menunjukkan betapa besar penghormatan dan perhatian yang harus kita berikan kepada ibu. Rasulullah SAW mengulang kata “ibu” sebanyak tiga kali sebelum menyebutkan “bapak”. Hal ini mengandung makna bahwa ibu memiliki hak yang lebih besar untuk dihormati dan dihargai dibandingkan dengan ayah.

Jika kita merenungkan hadits tersebut, kita akan memahami bahwa penghormatan kepada ibu bukan hanya tentang memberi hadiah atau ucapan di Hari Ibu. Penghormatan kepada ibu harus tercermin dalam setiap tindakan kita, baik saat kita masih bersama mereka maupun setelah mereka tiada. Berbakti kepada ibu tidak hanya terbatas pada kewajiban duniawi, tetapi juga merupakan bagian dari kewajiban agama yang sangat besar.

Ibu adalah sosok yang membawa kita ke dunia ini melalui proses yang sangat berat. Selama masa kehamilan, ia mengorbankan banyak hal, mulai dari kesehatan hingga kenyamanan tubuh, untuk memastikan anaknya lahir dengan selamat. Setelah itu, ia menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk merawat, mendidik, dan membimbing kita agar tumbuh menjadi pribadi yang baik.

Rasulullah SAW sendiri memberi contoh nyata tentang bagaimana beliau sangat menghormati ibunya, meskipun ibu Rasulullah telah wafat ketika beliau masih kecil. Beliau tetap mendoakan ibunya dan menunjukkan kasih sayang yang luar biasa terhadap ibu beliau.

Baca Juga:  Pengaruh Fatherless bagi Pertumbuhan Anak di Lingkungan Keluarga

Hari Ibu bisa menjadi momen yang sangat berarti jika kita gunakan untuk merenungkan kembali betapa besar pengorbanan ibu kita. Meskipun kita tidak perlu menunggu satu hari dalam setahun untuk menghormati ibu, tetapi Hari Ibu bisa menjadi pengingat bahwa kita harus terus berbakti kepada ibu kita setiap hari. Jika ibu kita masih ada, manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk menunjukkan rasa sayang dan bakti kita kepada mereka.

Bagi mereka yang ibu atau orang tua sudah tiada, kita masih bisa mendoakan mereka, beramal jariyah atas nama mereka, dan terus mengenang jasa-jasa mereka. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dengan susah payah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku lah tempat kembali.” (Q.S. Luqman: 14)

Berdasarkan ayat tersebut, sudah sepatutnya Hari Ibu ini bukan hanya sekadar seremonial saja, namun juga refleksi bagi kita, sebagai seorang anak agar selalu menghormati dan menyayangi kedua orang tua kita, terutama ibu. Mengingat jasanya yang sangat luar biasa dan tak tergantikan.

Jaga Dana Rakyat Menuju Indonesia Emas 2045: Strategi Mitigasi Resiko Kecurangan

Penulis: Afina Athiyyatul Karima, Editor: Sirli Amry

Indonesia emas 2045 merupakan visi ambisius yang menuntut pengelola sumber daya yang efektif dan efisien. Dana rakyat hakikatnya digunakan sebagai tulang punggung pembangunan negara yang harus dikelola dengan hati-hati dan transparan. Namun, apa daya banyak ancaman korupsi dan kecurangan yang terus menghantui dan mengancam tercapainya tujuan mulia tersebut. Karena adanya berbagai macam resiko korupsi, maka diperlukan mitigasi resiko kecurangan yang efektif.

Kenapa mitigasi resiko kecurangan bisa dikatakan penting?

Kecurangan dalam pengelolaan dana rakyat bukan hanya merugikan negara saja, tetapi juga akan menghambat kesejahteraan masyarakat. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat, justru telah tersedot untuk kepentingan pribadi oleh segelintir orang. Akibatnya, pembangunan menjadi tidak merata, kemiskinan semakin meluas, dan nilai kepercayaan publik terhadap pemerintah pun menurun. Strategi mitigasi risiko kecurangan dalam pengelolaan dana rakyat harus dipahami dan diterapkan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Al-Qur’an. Seperti dalam Q.S Al-Baqarah ayat 188, yang berbunyi:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَࣖ ۝١٨٨

Artinya: “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Baca Juga : Korupsi Wujud Nyata Hilangnya Rasa Nasionalisme

Ayat di atas mengandung larangan yang tegas terhadap praktik pengambilan harta secara tidak sah atau dengan cara yang batil. Ayat ini juga menekankan pentingnya kejujuran dan integritas dalam pengelolaan harta, termasuk dana rakyat yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik.

Jika ditelisik lebih dalam ternyata kasus yang imbasnya berujung nyata pada masyarakat dan yang paling bisa kita rasakan yaitu korupsi. Meskipun Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) di Indonesia pada tahun 2024 menurun yaitu sebesar 3,85% pada skala 0 sampai 5. Tetapi, tidak bisa dipungkiri menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan adanya penurunan kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca dilakukannya revisi undang-undang. Survei yang dilakukan guna melihat seberapa tingkat kepercayaan publik terhadap institusi mulai dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), presiden, kejaksaan Agung, Mahkamah Konstitusi (MK), Pengadilan, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Partai Politik (Parpol). Namun, pada survei tersebut presentase tingkat kepercayaan publik terhadap institusi KPK unggul diurutan nomor dua setelah DPR yaitu 9,6.

Korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan bahkan yang paling sering kita temui yaitu kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum kepala desa atau perangkat desa. Dana desa yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa justru seringkali disalahgunakan oleh oknum tersebut. Modus operandinya pun beragam, mulai dari adanya penggelembungan anggaran, penyaluran dana tidak sesuai peruntukan, hingga penyuapan. Kasus ini menjadi bukti nyata betapa rentannya dana rakyat terhadap tindakan korupsi.

Baca Juga:  Pilkada 2024 dan Relevansinya dengan Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf Tentang Negara

Pada masa pandemi Covid-19, pemerintah pusat dan daerah saat itu melakukan yang disebut dengan refocusing anggaran. Namun, pembangunan infrastruktur yang masih banyak menelan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja  Negara Indonesia (APBN) tetap dijalankan oleh pemerintah. Akibatnya, kepercayaan publik lagi dan lagi menurun terkhusus kepada para aktor kebijakan yang masih kurang sensitif dengan kepentingan utama masyarakat, yaitu menjamin adanya layanan kesehatan yang berkualitas dan juga pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat melalui bantuan sosial (bansos). Kasus penyalahgunaan  dana bantuan sosial (bansos) ini menjadi sorotan tajam pada waktu itu. Praktik manipulasi data penerima, pemotongan bantuan, hingga penyelewengan anggaran yang dilakukan para aktor yang tidak jujur dan tidak bertanggung jawab.

Strategi mitigasi resiko kecurangan

Untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 diperlukan upaya serius dalam mencegah dan memberantas kecurangan. Beberapa strategi yang dapat diterapkan antara lain:

Pertama, BPK, KPK, dan inspektorat harus dilengkapi dengan sumber daya manusia yang kompeten dan teknologi yang memadai untuk melakukan pengawasan yang lebih efektif. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi lagi penyelewengan yang dilakukan oleh aktor yang tidak bertanggung jawab dan tidak jujur.

Baca Juga:  Mengapa Kelas Menengah Terpinggirkan di Tengah Gejolak Ekonomi?

Kedua, Buat sistem informasi manajemen yang terintegrasi. Dengan penggunaan sistem informasi manajemen yang terintegrasi dapat membantu melacak aliran dana dan mendeteksi potensi penyimpangan. Keterbukaan informasi kepada masyarakat akan jauh lebih baik karena tingkat kepercayaan publik pun akan meningkat.

Terakhir, Perlunya melibatkan masyarakat untuk berperan aktif dalam suatu pembangunan. Baik dari proses perencanaan, pelaksaanaan, dan pengawasan pembangunan agar masyarakat mengetahui sejauh mana lembaga keuangan negara dalam mengelola uang rakyat.

Dalam upaya mencegah dan memberantas korupsi di suatu negara adalah tugas seluruh masyarakat bersama. Pemerintah, lembaga pengawas, masyarakat, dan sektor swasta harus bersinergi untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Penerapan strategi mitigasi kecurangan yang komprehensif, kita sebagai rakyat dapat memastikan bahwa dana rakyat digunakan secara efektif dan efisien untuk kepentingan seluruh rakat Indonesia.

Teori Chaos: Ketidakteraturan yang Menata Kehidupan

Penulis : Muhammad Kildah Namariq, Editor : Amarul Hakim

Kepak sayap seekor kupu-kupu di Brazil dapat menyebabkan tornado di Texas, Amerika Serikat, sebuah fenomena yang terdengar tidak masuk akal. Meski begitu, fenomena yang sering disebut sebagai butterly effect ini merupakan landasan dari teori chaos, konsep matematika yang menjelaskan bagaimana perubahan kecil pada nilai awal dapat memberikan hasil yang terpaut jauh nilainya. Teori chaos muncul dari penelitian meteorologi Edward Lorenz pada tahun 1960-an. Melalui eksperimennya pada model prediksi cuaca, Lorenz menemukan bahwa perbedaan yang sangat kecil pada data awal memberikan perbedaan yang sangat signifikan pada hasil simulasi. Penemuan ini bertolak belakang dengan konsep deterministik yang populer pada saat itu.

Selama berabad-abad, konsep deterministik mendominasi pemahaman mengenai alam semesta. Konsep ini mengasumsikan bahwa setiap peristiwa dapat dilacak kembali sebab spesifiknya dan dapat diprediksi dengan akurat jika semua informasi yang relevan diketahui. Namun, teori chaos membawa pandangan baru dengan menunjukkan bahwa dalam sistem yang tampak sederhana sekalipun, ketidakpastian dan ketidakteraturan dapat muncul.

Adanya variabel stokastik yang bersifat acak, tidak teratur, dan tidak terduga, dalam model teori chaos membuat nilai output-nya sulit diprediksi, bahkan dengan informasi yang sangat detail sekalipun mengenai kondisi awal. Pada kasus ramalan cuaca, pola cuaca yang tidak teratur menjadi jawaban mengapa ahli meteorologi hanya bisa memperkirakan cuaca mendatang dalam jangka waktu yang terbatas.

Baca juga : Refleksi Pemikiran Politik Menurut Imam Al Ghazali dalam Konteks Nilai-Nilai Islam dan Relevansinya pada Era Modern

Aplikasi Teori Chaos di Berbagai Disiplin Ilmu

Teori chaos, yang awalnya muncul dari eksperimen meteorologi, terus berkembang dan diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu. Di bidang ekologi, teori chaos memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai dinamika populasi dalam ekosistem. Hubungan mangsa dan pemangsa, yang seringkali dianggap sebagai interaksi yang sederhana, ternyata menunjukkan perilaku chaotic (kacau). Kemampuan untuk mengendalikan chaos (kekacauan) sangat penting sebagai upaya pengelolaan dan pelestarian keanekaragaman hayati karena dapat memprediksi potensi kepunahan atau ledakan populasi (Din & Saeed, 2017).

Selain itu, di bidang keuangan, manifestasi chaos terdapat pada volatilitas harga saham. Sifat pasar saham yang chaotic dapat dikaitkan dengan perilaku dan sentimen investor. Kebijakan geopolitik dan sentimen media juga berdampak signifikan terhadap fluktuasi harga saham (Jufang, 2021). Para ekonom dapat memanfaatkan teori chaos dalam mengembangkan model peramalan dan strategi manajemen risiko yang efektif untuk menghindari risiko akibat fluktuasi pasar saham.

Di dunia medis, teori chaos berguna bagi para dokter dalam meningkatkan strategi diagnosis dan pengobatan. Aktivitas organ biologis dapat menunjukkan perilaku chaotic, misalnya aktivitas jantung dan otak. Dengan menggunakan alat elektrokardiogram (EKG), aktivitas jantung dapat direkam. Begitupun aktivitas listrik otak dapat diperiksa menggunakan alat elektroensefalogram (EEG). Rekaman data runtun waktu organ biologis tersebut dapat mendeteksi perilaku chaotic, misalnya aritmia jantung dan pola abnormal gelombang otak, sehingga kondisi patologis organ tubuh dapat diidentifikasi dan digunakan sebagai indikator penyakit (Kargarnovin dkk., 2023).

Baca juga : Orkestra Meteor Orinoid: Konfigurasi Nyata Kebesaran Allah SWT

Implikasi Etis dan Refleksi Diri

Teori chaos menjelaskan bahwa tindakan kecil dapat memiliki dampak besar yang tidak terduga. Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini membawa implikasi etis yang penting. Setiap tindakan kecil individu dapat membawa dampak besar bagi masyarakat maupun lingkungan. Misalnya, upaya sederhana seperti menggunakan transportasi umum atau mendaur ulang sampah dapat berkontribusi signifikan terhadap pelestarian lingkungan jika dilakukan secara massal.

Analogi yang sama juga relevan dengan isu-isu keadilan sosial. Kebijakan publik terkait distribusi kekayaan, akses pendidikan, atau pemerataan layanan kesehatan harus dirancang seadil mungkin agar daerah yang sudah tertinggal tidak semakin tertinggal.

Dalam konteks yang lebih personal, teori chaos dapat memberikan pemahaman yang berharga dalam berefleksi diri. Perilaku manusia dapat bersifat kompleks dan tidak dapat diprediksi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor internal seperti pasang-surut emosi dan tingkatan stres, serta beberapa faktor eksternal, seperti pengalaman masa lalu dan interaksi sosial. Misalnya, seorang suami dengan tingkat stres tinggi sepulang kerja berpotensi membawa perilaku chaotic di rumah jika berhadapan dengan istrinya yang sedang mengalami pasang-surut emosi akibat siklus hormonal.

Baca juga : Strategi Penaklukan Andalusia oleh Thariq bin Ziyad: Kebijakan, Taktik Militer, dan Dampak Sosial-Politik

Teori chaos memberikan pelajaran yang berharga bagi manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Perilaku chaotic dalam diri, selain dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, juga membawa konsekuensi internal dan eksternal pula. Ketidakteraturan, kompleksitas, dan ketidakterdugaan merupakan hal alamiah yang melekat pada kehidupan manusia. Namun, bukan berarti hal tersebut tidak dapat diatasi. Dengan berupaya mawas diri, bersikap adaptif, dan bertindak solutif, manusia dapat membangun harmoni dalam menjalani kehidupan ini.

Ketidakteraturan yang dijelaskan oleh teori chaos juga dapat memberikan perspektif baru dalam memahami dinamika sosial, termasuk dalam kehidupan beragama. Dalam konteks moderasi beragama, teori ini mengingatkan kita bahwa tindakan kecil dalam menjaga sikap toleransi, menghargai perbedaan, dan menjunjung dialog antaragama dapat berdampak signifikan dalam menciptakan harmoni sosial.

Ketidakteraturan yang kerap muncul akibat perbedaan keyakinan dan praktik keagamaan dapat diredam melalui pendekatan yang adaptif, inklusif, dan solutif. Moderasi beragama, dengan menekankan keseimbangan antara keyakinan pribadi dan keterbukaan terhadap keberagaman, menjadi jalan untuk membangun masyarakat yang tidak hanya damai tetapi juga resilient menghadapi kompleksitas dunia modern.

Referensi

Din, Q., & Saeed, U. (2017). Bifurcation Analysis and Chaos Control in A Host-Parasitoid Model.

Mathematical Methods in the Applied Sciences, 40(14), 5391–5406.

Jufang, Z. (2022). Media Sentiment, Government Supervision Strategy, and Stock Price Fluctuation Risk. Discrete Dynamics in Nature and Society.

Kargarnovin, S. dkk. (2023). Evidence of Chaos in Electroencephalogram Signatures of Human Performance: A Systematic Review. Brain Sci, 13(5), 813.

Lorenz, E. N. (1995). The Essence of Chaos. Washington: University of Washington Press.

Stewart, I. (2002). Does God Play Dice? The New Mathematics of Chaos. London: Penguin Books.

Mengapa Kelas Menengah Terpinggirkan di Tengah Gejolak Ekonomi?

Penulis : Achmad Mafatikhul Huda, Editor : Amarul Hakim

Dalam dinamika ekonomi global yang penuh ketidakpastian,  kelas menengah kerap menjadi pihak yang paling terdampak. Mereka berada di tengah-tengah, tidak cukup miskin untuk menerima bantuan langsung dari pemerintah, tetapi juga tidak cukup kaya untuk menikmati stabilitas finansial. Ironisnya, dalam perspektif Islam, situasi ini mencerminkan pengabaian terhadap prinsip-prinsip keseimbangan sosial dan ekonomi yang diajarkan oleh Al-Qur’an.

Salah satu alasan utama mengapa kelas menengah terpinggirkan adalah ketimpangan ekonomi yang terus melebar. Kekayaan dunia semakin terkonsentrasi pada segelintir orang kaya, sementara kelompok rentan, termasuk kelas menengah, justru semakin terbebani. Sistem kapitalisme modern, yang sering kali mengutamakan kepentingan pemodal besar, menciptakan ketidakadilan struktural.

Islam menentang eksploitasi semacam ini. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan umat manusia untuk tidak membiarkan kekayaan di Q.S Al-Hasyr: 7

Baca juga : Pilkada 2024 dan Relevansinya dengan Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf Tentang Negara

مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ (QS Al-Hasyr: 7).

Prinsip ini menegaskan pentingnya distribusi kekayaan yang adil, termasuk melalui seperti zakat, infak, dan sedekah. Sayangnya, implementasi ini seringkali kurang maksimal di banyak negara Muslim maupun non Muslim.

Kelas menengah seringkali menjadi landasan utama perekonomian, baik sebagai tenaga kerja maupun konsumen. Namun, gejolak ekonomi seperti inflasi, kenaikan suku bunga, dan krisis ekonomi membuat mereka menanggung beban hidup yang tidak proporsional. Ketika biaya hidup naik, tabungan mereka tergerus, dan kemampuan mereka untuk meningkatkan taraf hiduppun terhambat.

Islam mengajarkan pentingnya pengelolaan ekonomi yang meringankan beban masyarakat. Dalam hadisnya, Rasulullah SAW bersabda:

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR Ahmad).

Baca juga : Sumbangsih Pemikiran Kritis Fatima Mernissi dalam Meretas Isu Klasik Kesetaraan Gender Melalui Perspektif Al-Qur’an

Prinsip ini menuntut pemerintah dan pengusaha untuk menciptakan kebijakan yang berpihak pada kepentingan bersama, bukan hanya pada keuntungan pribadi.

Dalam era modern, Islam menawarkan solusi untuk mengatasi marginalisasi kelas menengah. Pertama, negara harus memprioritaskan penerapan sistem zakat yang terstruktur dan transparan untuk redistribusi kekayaan. Zakat bukan hanya kewajiban individual, tetapi juga alat untuk memperkuat perekonomian masyarakat.

Kedua, Islam mengajarkan pentingnya keadilan dalam transaksi ekonomi. Larangan riba, misalnya, dirancang untuk melindungi masyarakat dari eksploitasi oleh lembaga keuangan. Sistem perbankan syariah yang bebas bunga menjadi alternatif yang lebih berkeadilan, terutama bagi kelas menengah yang seringkali terjebak dalam utang berbunga tinggi.

Ketiga, solidaritas sosial harus diperkuat. Pemerintah, komunitas, dan individu perlu bekerja sama menciptakan lingkungan yang saling mendukung. Seperti membuka peluang usaha mikro dan memberikan subsidi yang tepat sasaran. Hal ini sesuai dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang menempatkan kepentingan bersama di atas segalanya.

Terpinggirkannya kelas menengah di tengah gejolak ekonomi bukanlah hal yang tak terhindarkan. Dalam Islam, prinsip keadilan sosial, keseimbangan, dan solidaritas menawarkan solusi nyata untuk mengatasi tantangan ini. Sebagai umat Muslim, sudah seharusnya kita mendorong penerapan nilai-nilai ini dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sehingga tercipta sistem ekonomi yang lebih adil dan manusiawi.

Baca juga : Menunda Ikatan: Mengapa Generasi Z Memilih Karir dan Kebebasan di Atas Pernikahan?

Dengan kembali kepada ajaran Islam, kita tidak hanya dapat mengurangi penderitaan kelas menengah, tetapi juga membangun fondasi masyarakat yang lebih kuat dan berkeadilan. Allah berfirman,

لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗۚ وَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ (QS Ar-Ra’d: 11).

Mari bersama-sama berupaya mengubah keadaan ini dengan memulai dari langkah kecil yang berdampak besar.

Desain Masjid: Simbol Iman atau Keberagamaan?

Penulis : Ibnu Salim; Editor: Ika Amiliya

Moderasi beragama telah menjadi diskursus penting dalam konteks keberagaman di Indonesia, termasuk dalam hal desain bangunan masjid. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah masjid boleh menyerupai bentuk bangunan tertentu yang diasosiasikan dengan tradisi atau simbol budaya lainnya? Pertanyaan ini tidak hanya menyangkut estetika, tetapi juga menyentuh aspek teologis, budaya, dan pemahaman masyarakat tentang makna keberagamaan.

Sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah menentukan bagaimana bentuk fisik masjid harus dibuat. Masjid Nabawi pada awal pembangunannya sangat sederhana, berupa struktur dengan atap pelepah kurma. Dalam perkembangannya, desain masjid beradaptasi dengan tradisi lokal. Kubah, misalnya, sebenarnya bukan tradisi asli Islam, melainkan berasal dari tradisi Bizantium yang kemudian diadopsi oleh Kekhalifahan Otan. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk fisik masjid bukanlah elemen sakral dalam Islam, melainkan wadah yang bisa beradaptasi dengan budaya setempat.

Baca juga: Masjid Lerabaing Alor : Keunikan, Misteri, dan Saksi Bisu Toleransi di Nusa Tenggara Timur

Arsitek Adhi Moersid, perancang Masjid K.H. Hasyim Asy’ari, Jakarta, menegaskan bahwa tuduhan masjid tersebut menyerupai simbol salib adalah hoaks. Desain masjid yang diberi sentuhan ornamen Betawi dengan konsep urban agriculture justru menunjukkan upaya untuk merepresentasikan identitas lokal. Adhi juga menyatakan bahwa membangun masjid harus didasari cinta, kesungguhan, dan kejujuran, sehingga menghasilkan karya yang dapat diterima masyarakat luas. Ini menjadi pelajaran bahwa desain masjid tidak harus berkiblat pada satu gaya tertentu, apalagi memaksakan konsep “kubah” sebagai simbol keislaman.

Kiai Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal, dalam tausiyahnya pernah menekankan pentingnya menyesuaikan desain masjid dengan budaya lokal. Beliau menyebutkan bahwa di Bali atau Papua, masjid sebaiknya mengadopsi ornamen lokal agar masyarakat setempat tidak merasa asing. Masjid yang relevan dengan budaya lokal justru mempermudah dakwah Islam karena membangun kedekatan emosional. Masjid Muhammad Cheng Hoo di Batam adalah contoh konkret bagaimana unsur budaya Tionghoa dapat berpadu dengan nilai-nilai Islam, menciptakan harmoni antara Muslim dan komunitas Tionghoa.

Namun, kontroversi seperti desain Masjid K.H. Hasyim Asy’ari menunjukkan bahwa moderasi beragama belum sepenuhnya dipahami. Tuduhan bahwa masjid menyerupai simbol tertentu mencerminkan pola pikir yang cenderung eksklusif dan sempit. Pandangan semacam ini mengabaikan bahwa Islam adalah agama yang inklusif, yang menerima keragaman budaya selama tidak bertentangan dengan prinsip tauhid.

Baca juga: Ini Dia Alasan Habib Umar Memberikan Nama Abu Bakar Ash-Siddiq Kepada Seorang Mualaf yang diislamkannya Di Masjid Istiqlal

Dalam moderasi beragama, penting untuk membangun pemahaman bahwa bentuk fisik masjid bukanlah representasi keimanan, melainkan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mempertanyakan desain masjid dengan pendekatan sempit justru berpotensi menciptakan polarisasi dan mengabaikan esensi utama masjid sebagai tempat ibadah.

Maka, moderasi beragama dalam pembuatan masjid seharusnya diarahkan pada penerimaan terhadap keragaman desain yang mencerminkan identitas lokal, tanpa kehilangan nilai-nilai Islam. Perdebatan tentang masjid yang “menyerupai” bangunan budaya lain atau agama lain harus dilihat dari sudut pandang niat dan fungsi. Selama desain tersebut bertujuan untuk mempermudah dakwah dan mempererat hubungan masyarakat, tidak ada alasan untuk menolaknya.

Moderasi beragama juga membuka peluang bagi masjid untuk menjadi ruang inklusif yang menarik perhatian khalayak luas. Desain masjid yang menyerupai elemen tertentu tidak hanya menarik umat Islam, tetapi juga komunitas dari agama lain. Ketertarikan ini sering kali bermula dari pertanyaan sederhana: Mengapa masjid ini berbeda? atau Apa filosofi di balik desainnya? Dari rasa ingin tahu tersebut, dialog lintas agama dapat terbangun, yang pada akhirnya menjadi peluang untuk memperkenalkan nilai-nilai Islam secara santun dan damai. Masjid pun tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol keterbukaan yang mengundang harmoni dan saling pengertian di tengah keberagaman.

Baca juga: Potret Keharmonisan Agama di Indonesia : Surabaya Suguhkan 6 Tempat Ibadah yang Berdampingan

Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia membutuhkan moderasi beragama yang tidak hanya mengedepankan toleransi, tetapi juga pemahaman mendalam terhadap keberagaman budaya. Desain masjid yang adaptif adalah wujud nyata dari semangat moderasi beragama ini. Jangan biarkan perdebatan estetika fisik menghalangi esensi Islam sebagai rahmat bagi semesta.

 

Citra Vs Realitas: Gen Z Berdarah-Darah Bangun Citra di Media Sosial?

Penulis: Ika Amiliya Nurhidayah, Editor: Ibnu Salim

Digitalisasi yang semakin masif membuat Gen Z memiliki chemistry yang tidak biasa dengan teknologi dan media sosial. Mereka menjadikan Instagram, TikTok, dan Twitter sebagai ajang kurasi visual untuk menjunjung tinggi citra, mengekspresikan diri, bahkan menggali validasi sosial. Fenomena ini memantik Gen Z untuk membangun citra yang ideal, sebagaimana tendensi sosial yang terus menghantui mereka di dunia maya. Orang-orang melabeli mereka sebagai generasi yang aktif, kreatif, adaptif, serta label-label fantastis lainnya.

Namun siapa sangka jika ternyata terdapat sesuatu yang tersembunyi di balik potret kehidupan mereka yang nyaris sempurna? Di balik kungkungan media sosial, ada realitas hidup yang tidak selalu terlihat oleh mata. Mereka harus bekerja keras, bahkan “berdarah-darah,” untuk mempertahankan citra yang mereka bangun. Banyak dari mereka mengalami tekanan untuk terus mempertahankan standar citra ideal yang mereka bangun. Kondisi ini sering memicu rasa cemas berlebihan yang dikenal sebagai Fear of Other People’s Opinion (FOPO). FOPO membuat mereka takut terhadap kritik atau penilaian negatif dari orang lain, sehingga terus-menerus mengejar validasi sosial.

Baca juga:  Strategi dan Media Dakwah di Era Digital

Padahal dalam Islam, manusia diharuskan takut pada Allah SWT alih-alih takut kepada sesama manusia. Hal tersebut dijelaskan dalam penggalan Q.S. Al-Ma’idah ayat 44:

فلاتخشواالناس واخشون ولاتشترواباياتي ثمنا قليلا

Artinya: “Karena itu janganlah kamu takut kepadakepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.”

Pesan ini mengingatkan umat manusia, termasuk Gen Z, bahwa fokus utama mereka seharusnya bukan pada validasi sosial, melainkan pada tujuan hidup yang lebih hakiki, yaitu mencari keridhaan Allah SWT.

Fenomena ini diperkuat dengan survei American Psychological Association yang menyatakan bahwa, individu yang selalu ingin tampil sempurna di media sosial cenderung memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi. Oleh karenanya, demi mengikuti tren dan menciptakan personal branding yang ideal, Gen Z sering kali mengalami tekanan mental, depresi, dan tidak percaya diri. Lalu sebenarnya apa yang membuat Gen Z seberdarah-darah itu dalam mempertahankan citra di media sosial?

Dunia kerja merupakan salah satu tantangan terbesar Gen Z di balik kehidupan dunia mayanya yang penuh warna. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sebanyak 9.89 juta penduduk Indonesia yang berusia 15-24 tahun terindikasi menganggur atau berasa dalam kategori Not Employment, Education, or Training (NEET). Lantas mengapa angka pengangguran di kalangan Gen Z bisa setinggi itu?

Baca Juga:  Transformasi Sosial dan Revolusi Digital: Dampaknya Pada Pendidikan dan Tenaga Kerja di Masa Depan

Ketatnya persaingan di dunia kerja dan keterbatasan persediaan lapangan kerja yang sesuai dengan minat dan skill yang mereka punya adalah alasannya. Mereka yang berambisi pada kesuksesan dengan bakat pada akhirnya akan terus menunggu pekerjaan tanpa kepastian. Mereka berusaha meningkatkan kualitas diri dengan skill baru agar tetap relevan di pasar kerja, dengan tetap menjaga citra di media sosial. Tekanan ini menimbulkan perasaan lelah, cemas, bahkan kehilangan tujuan.

Sedangkan mereka yang berorientasi pada materi akan berusaha mencari pekerjaan apapun yang menghasilkan uang. Dan keadaan itu pun tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap menunjukkan eksistensi di media sosial dengan gaya hidup glamor dan kekayaan berlimpah. Seperti fenomena yang muncul di TikTok akhir-akhir ini, di mana Gen Z memperlihatkan gaya hidup mereka yang glamor dan fashionable dengan pekerjaan yang hanya sebagai penjual gorengan misalnya. Fenomena ini menunjukkan betapa sebenarnya mereka berdarah-darah untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, dan betapa citra fantastis di media sosial tidak melulu merepresentasikan realitas kehidupan seseorang.

Baca Juga:  Peran Dosen dalam Transformasi Sosial dan Pengabdian Masyarakat Berbasis Moderasi Beragama

Kesenjangan antara citra dan realitas ini tentu menciptakan dilema yang mendalam bagi Gen Z. Media sosial tak ubahnya menjadi jalan keluar bagi mereka untuk melarikan diri dari kenyataan hidup, namun di sisi lain justru memperparah tekanan. Pada akhirnya, media sosial menjadi pedang bermata dua bagi Gen Z. Di satu sisi, media sosial menjadi wadah bagi mereka untuk menggali informasi, menunjukkan eksistensi, dan menjalin hubungan. Namun, di sisi lain, media sosial juga menekan mereka untuk selalu terlihat sempurna.

Kesadaran tentang kesenjangan antara citra dan realitas sangat penting bagi Gen Z. Media sosial memang menjadi alat yang efektif untuk berekspresi, tetapi seharusnya tidak menjadi sumber tekanan untuk selalu terlihat sempurna. Gen Z perlu mengingat bahwa hidup tidak selalu berjalan sempurna, dan keberanian untuk menunjukkan diri secara autentik adalah kunci menuju kebahagiaan yang sejati. Dengan memegang nilai-nilai spiritual dan kesadaran diri, Gen Z dapat menciptakan harmoni antara kehidupan digital dan dunia nyata.