Penulis : Bunga Erna, Editor : Dina Fitriana
Mengeramatkan sesuatu adalah praktik yang sering kali menimbulkan perdebatan dalam masyarakat, terutama di kalangan umat Islam. Pendekatan terhadap praktik ini dapat bervariasi tergantung pada pemahaman individu terhadap ajaran agama dan pengaruh budaya setempat. Dalam artikel ini, akan dibahas mengenai pemahaman bahwa mengeramatkan sesuatu bukanlah sebuah kesyirikan, namun juga bukan termasuk sunnah dalam Islam.
Sebagai umat Islam, penting untuk memahami makna dari kedua konsep tersebut dalam perspektif Islam. Kesyirikan merupakan salah satu dosa terbesar dalam agama Islam, yang dijelaskan sebagai menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu atau seseorang. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar tauhid, yang mengajarkan bahwa hanya Allah SWT yang layak untuk disembah. Sementara itu, sunnah merujuk pada praktik-praktik atau tindakan yang dilakukan atau disarankan oleh Nabi Muhammad SAW dan dianggap sebagai teladan yang harus diikuti oleh umat Islam.
Mengeramatkan sesuatu seringkali diasumsikan dengan praktik kepercayaan yang melekat pada kebudayaan lokal. Hal ini seperti meyakini bahwa benda-benda atau tempat-tempat memiliki kekuatan atau keberkahan tertentu seperti di Makam para wali dan kyai. Misalnya, ada yang percaya bahwa mengeramatkan sebuah batu, pohon atau air tertentu dapat memberikan perlindungan atau keberuntungan dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan bahwa kekuatan sejati hanya berasal dari Allah SWT, tetapi ada juga mengeramatkan sesuatu tapi tidak termasuk kedalam kesyirikan.
Baca Juga : Mengenal Syekh Nujumudin : Ulama Sufi Pembabad dan Penyebar Islam di Watusalam
Dalam menjelaskan mengeramatkan sesuatu, terdapat beberapa pandangan yang perlu dipertimbangkan. Pertama, ada pandangan yang menolak praktik tersebut secara mutlak, menganggapnya sebagai bentuk kesyirikan karena menempatkan kepercayaan dan harapan pada sesuatu selain Allah SWT, seperti percaya kepada dukun, pohon, dan bang-barang yang dianggap dapat mendapatkan barokah. Pandangan ini didasarkan pada prinsip tauhid yang mendasari agama Islam dan perintah untuk menjauhi segala bentuk syirik. Sedangkan mengeramatkan sesuatu yang tidak bertentangan kepada ajaran islam yakni seperti mengeramatkan sesuatu dengan maksud mengharap barokah tetapi tahu bahwa barokah itu tetap datangnya dari Allah SWT.
Di dalam kitab Annurul Mubin karya K.H. Hasyim Asy’ari diceritakan dalam hadis, ada sahabat bernama Abi Mahdhuroh memiliki jambul kepala bagian depannya. Ketika penutup kepalanya di lepas maka jambul tersebut akan jatuh menyentuh tanah. Karena panjangnya jambul itu pun akhirnya disentuh oleh Rasulullah. Seketika Abi Mahdhuroh ini tidak mau memotongnya karena bekas sentuhan dari Nabi Muhammad SAW.
Selain itu, terdapat pula kisah dari seorang sahabat bernama Khalid bin Walid, di dalam penutup kepala sahabat Khalid bin Walid ini terdapat potongan dari rambut Rasulullah SAW. Ketika itu terjadi perang antara umat muslim dan kaum kafir kemudian terjatuh penutup kepalanya dan mencari-cari hingga umat Islam sedikit mengalami kewalahan saat perang. Ketika ditanya oleh sahabat lain, Khalid bin Walid pun berkata bahwa aku sangat memuliakan Baginda Nabi Muhammad SAW dan mengharapkan barokah dari potongan rambut Nabi. Khalid pun terus mencarinya karena Ia khawatir jika rambut tersebut akan digunakan orang kafir yang tidak jelas.
Baca Juga : Perspektif Islam tentang Tradisi Lokal dan Pemaknaan Tradisi Rebo Wekasan di Pekalongan
Dari dua cerita tersebut maka mengeramatkan sesuatu itu bukanlah hal yang syirik, masih banyak cerita sahabat yang mengeramatkan sesuatu dan Rasulullah SAW tidak melarangnya. Tidak semua bentuk mengeramatkan sesuatu dapat dianggap sebagai kesyirikan. Misalnya, mengeramatkan Al-Qur’an atau tempat-tempat suci seperti Masjidil Haram di Makkah tidak dianggap sebagai bentuk kesyirikan, karena niatnya murni untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pandangan ini mencoba untuk membedakan antara penghormatan dan pengabdian kepada Allah SWT dengan menyekutukan-Nya kepada sesuatu yang lain.
Namun demikian, walaupun tidak dianggap sebagai kesyirikan, praktik mengeramatkan sesuatu tetap dapat menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Di Pulau Jawa saja banyak terjadi pertikaian terkait perbedaan antara agama dan budaya daerah setempat. Beberapa ulama menekankan bahwa mengeramatkan sesuatu hanya boleh dilakukan jika ada dasar syar’i yang kuat dengan mendukungnya, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW atau sahabat-sahabat beliau. Mereka mengingatkan bahwa menempatkan kepercayaan yang berlebihan pada sesuatu yang tidak memiliki dasar agama dapat mengarah pada kesesatan. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa asalkan praktik tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak menimbulkan kesan menyekutukan Allah SWT, maka praktik mengeramatkan sesuatu dapat diterima. Setiap budaya memiliki tradisi dan kepercayaannya sendiri yang tidak selalu bertentangan dengan Islam, asalkan tidak mengabaikan prinsip-prinsip dasar ajaran agama.
Dalam konteks ini, penting untuk mengutamakan niat dan tujuan di balik setiap praktik atau kepercayaan. Jika niatnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengikuti ajaran-Nya, maka praktik tersebut dapat menjadi bagian dari ibadah yang sah. Namun, jika niatnya adalah untuk mendapatkan kekuatan atau keberuntungan dari sesuatu yang lain selain Allah SWT, maka hal tersebut dianggap sebagai bentuk kesyirikan. Selain itu, perlu juga diperhatikan bahwa Islam memiliki prinsip-prinsip fleksibilitas dalam menghadapi perbedaan budaya dan tradisi. Namun, prinsip-prinsip ini tidak boleh bertentangan dengan ajaran dasar agama, karena penting bagi umat Islam untuk memahami ajaran agama dengan benar dan kritis, serta mempertimbangkan konteks budaya tempat mereka tinggal.
Mengeramatkan sesuatu tidak bisa dipandang secara satu dimensi sebagai kesyirikan atau sunnah dalam Islam. Penting untuk memahami konteks budaya dan niat di balik praktik tersebut, serta memastikan bahwa tidak ada yang menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu yang lain. Dengan demikian, umat Islam dapat mengambil sikap yang tepat sesuai dengan ajaran agama dan prinsip-prinsip tauhid.