Penulis: Muhamad Nurul Fajri, Editor: Azzam Nabil H.
Desa Jolotigo, merupakan sebuah desa yang secara geografis geografis masuk dalam wilayah Kecamatan Talun, Kabupaten Pekalongan. Salah satu dusun yang menarik dari desa ini adalah dusun Purbo, yang mana di dusun itu terdapat masjid yang diapit oleh dua gereja sekaligus. Masjid Al-Hidayah ini diapit oleh Gereja Kristen Jawa (GKJ) Purbo di sebelah timur, dan Gereja Bettle Indonesia (GBI) di sebelah selatan masjid.
Mengingat bahwa penduduk di dusun ini lebih banyak yang beragama kristen, yakni kurang lebih sebanyak 60%, dan sisanya beragama muslim. Dibalik jumlah penduduk yang beragama kristen lebih banyak daripada muslim, uniknya adalah, ketika penulis berkunjung ke dusun Purbo, dan mewawancarai beberapa tokoh di sana, menurut mereka, rasa toleransi dan saling memahami sangatlah dijunjung tinggi.
Kata Suyanta, seorang jemaat Gereja Kristen Jawa, ketika penulis tanyai perihal apakah para umat Kristiani terganggu dengan adanya suara toa masjid yang selalu bersuara di setiap azan shalat 5 waktu. Menurut Suyanta, umat kristen di sana, khususnya dia, tidak pernah terganggu dengan suara azan yang berkumandang. Dan bahkan, ketika waktu subuh, Suyanta menuturkan bahwa ia malah merasa terbantu dengan adanya bunyi toa masjid, sehingga bisa bangun tidur lebih pagi.
Baca juga: Ngaji Budaya: Ruang Bertemunya Tradisi Dan Moderasi Beragama Di Desa Jetaklengkong
Pendeta Alfius Sokidi, seorang pendeta di GKJ Purbo ini juga turut membenarkan pernyataan dari Suyanta. Ia berkata bahwa dengan adanya toa Masjid Al-Hidayah ini tidaklah mengganggu waktu istirahat umat kristen, justru malah membantunya. Dan memang budaya warga di sana yang sudah terbiasa bangun pagi, karena dahulunya orang di sana bekerja di pabrik teh yang selalu berangkan pada pukul 5 pagi.
Selain toa Masjid Al-Hidayah digunakan untuk azan, puji-pujian, dan iqamah saja, toa masjid ini juga digunakan sebagai pengumuman ketika ada orang meninggal. Menariknya, bukan hanya orang islam yang diumumkan di situ, ketika ada orang kristen yang meninggal, pun diumumkan lewat toa Masjid Al-Hidayah ini.
Menurut Bukhori, selaku pengurus Masjid Al-Hidayah dusun Purbo ini, ia sering dimintai tolong oleh warga sekitar, khususnya umat kristen untuk mengumumkan warga yang meninggal di dusun tersebut.
Katanya, ada ciri khas tersendiri ketika mengumumkan. Misalkan yang meninggal adalah seorang muslim, maka diawali dengan kata ‘innaa lillahi wa innaa ilaihi raajiuun’, dan jika yang meninggal adalah umat kristiani, maka kata yang diawali adalah ‘telah pulang ke rumah bapa’ atau ‘turut berduka cita’. Hal ini menunjukkan betapa harmonisnya kehidupan dua agama di sebuah dusun, tanpa ada perselisihan satu sama lain.
Baca juga: Harmonisasi Kebudayaan dan Agama: Praktik Moderasi Beragama dalam Kearifan Lokal Negeri di Atas Awan
Kondisi Sosial-Budaya
Dalam konteks sosial-budaya, masyarakat di dusun purbo sendiri sudah terbiasa dalam kegiatan gotong-royong yang dilaksanakan setiap Jum’at Kliwon. Biasanya, untuk memberi pengumuman kepada masyarakat untuk mengikuti gotong-royong, diberitahukan melalui toa Masjid Al-Hidayah. Semua warga turut serta dalam kegiatan ini, tanpa melihat latar bekalang agama atau struktur sosialnya.
Disamping itu, ketika perayaan idul fitri maupun natal, warga saling memberi ucapan selamat, baik itu selamat natal maupun selamat hari raya idul fitri. Dan seringakali umat islam di Dusun Purbo diundang untuk menghadiri perayaan natal di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Purbo setiap tahunnya, tidak terkecuali penulis juga yang tahun lalu turut diundang oleh Pdt. Alfius Sokidi dalam perayaan natal. Bagi penulis itu adalah toleransi yang luar biasa. Mereka tidak menjadikan agama sebagai pembatas dalam menjalin kerukunan. Yang dilihat adalah ‘manusianya’.
Pemakaman Umat Islam-Kristen
Selain toa Masjid Al-Hidayah yang menjadi simbol moderasi beragama di Dusun Purbo, Desa Jolotigo, ada hal yang menarik lagi yang perlu penulis sampaikan di sini, yakni terkait pemakaman yang ada di Dusun Purbo.
Biasanya, yang sering terjadi di banyak daerah, sebuah pemakaman umum seringkali digunakan oleh umat muslim saja. Ketika ada salah satu warga yang meninggal, dan itu kebetulan adalah non muslim, di beberapa kasus sering ditolak jika akan dimakamkan di situ, salah satunya kasus di Desa Ngares Kidul, Kabupaten Mojokerto Jawa Timur.
Berbeda halnya dengan yang terjadi di Dusun Purbo, pemakaman di sini dicampur, antara orang Islam dengan Kristen—bahkan makam orang kristen tetap menggunakan nisan berbentuk salib.
Dari Dusun Purbo ini bisa kita ambil pelajaran bahwa sebelum munculnya istilah “moderasi beragama”, di dusun ini sudah menerapkan nilai-nilai moderat dan kerukunan antar umat beragama sejak puluhan tahun silam.
Maka, seyogyanya moderasi beragama bukan hanya diucapkan secara lisan dan dibicarakan dalam seminar di ruang-ruang kelas saja, akan tetapi juga dipraktikan dalam kehidupan nyata.