Resensi Majalah Al-Mizan Edisi 29: Aksara Moderasi

Penulis: Syamsul Bakhri, Editor: Azzam Nabil H

Identitas Majalah yang akan saya Resensi adalah Majalah Al-Mizan; Edisi 29; Tema Aksara Moderasi; Penerbit Lembaga Pers Mahasiswa Al-Mizan UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan; Tahun Terbit 2024; dan Jumlah Halaman 47. Majalah Al-Mizan Edisi 29 mengusung tema “Aksara Moderasi,” yang berfokus pada semangat moderasi beragama di wilayah Pekalongan. Dalam edisi ini, redaksi berupaya menggali praktik nyata moderasi beragama dan aspek yang memperkuat harmoni di tengah masyarakat yang beragam. Pilihan tema ini relevan mengingat kompleksitas keberagaman di Indonesia, yang membutuhkan pendekatan inklusif untuk menciptakan toleransi dan kerukunan.

Dari segi sub-pembahasan, majalah ini mencakup beberapa kategori, yakni komik, esay, opini, sosok, infografis, puisi dan beberapa artikel utama yang membahas isu moderasi beragama di Pekalongan, khususnya di Desa Linggoasri dan Kutorojo. Artikel-artikel tersebut mengangkat bagaimana masyarakat dari berbagai agama, seperti Islam, Hindu, Budha dan Kepercayaan Kapribaden, hidup harmonis melalui kegiatan keagamaan dan sosial, seperti Nyadran, Legenonan, dialog lintas agama, dan gotong royong. Salah satu artikel utama adalah “Moderasi Beragama: Pilar Utama Keberagamaan dan Kerukunan Bangsa di Desa Linggoasri dan Kutorojo,” yang menyoroti nilai-nilai toleransi dan kebersamaan. Artikel ini menampilkan cerita inspiratif dari masyarakat desa yang aktif menjaga kerukunan meskipun berbeda keyakinan.

Baca juga: Apresiasi Bagi Seniman Seluruh Dunia dengan Internasional Artist Day

Tentu majalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan Majalah ini ada 3; Pertama, Relevansi Tema. Tema moderasi beragama sangat relevan dalam konteks masyarakat multikultural Indonesia. Kedua, Penyajian Data. Majalah ini disertai data konkret dan kisah nyata, sehingga pembaca dapat memahami dengan jelas. Ketiga, Desain Visual. Desain majalah menarik, dengan tata letak yang rapi dan penggunaan ilustrasi yang mendukung narasi. Kekurangan Majalah ini ada 3; Pertama, Kedalaman Analisis. Beberapa pembahasan terasa deskriptif dan kurang mendalami aspek sosiologis moderasi beragama. Kedua, Konsistensi Penulisan. Ditemukan inkonsistensi dalam gaya bahasa dan penggunaan istilah yang perlu diperbaiki. Ketiga, Desain cover dan symbol. Desain cover sangat patriarki hanya menampilkan tokoh laki-laki dan desain ilustrasi simbol umat beragama tidak disesuaikan dengan kondisi data agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Linggoasri dan Kutorojo.

Majalah Al-Mizan Edisi 29 berhasil mengangkat isu moderasi beragama dengan cara yang inspiratif dan informatif. Majalah ini layak dibaca oleh akademisi, tokoh agama, dan masyarakat umum yang ingin memahami pentingnya harmoni di tengah keberagaman. Ke depan, akan lebih baik jika majalah ini menambahkan analisis lebih mendalam untuk memperkuat wawasan pembaca. Dengan resensi ini, semoga pembaca mendapatkan gambaran yang jelas tentang isi dan nilai dari majalah Al-Mizan Edisi 29: Aksara Moderasi. Secara lengkap majalah Al-Mizan Edisi 29 bisa di download di https://lpmalmizan.uingusdur.ac.id/aksara-moderasi-majalah-lpm-al-mizan-edisi-xxix-tahun-2024/

Baca juga: Buku Bajakan dan Dampaknya

Desain Masjid: Simbol Iman atau Keberagamaan?

Penulis : Ibnu Salim; Editor: Ika Amiliya

Moderasi beragama telah menjadi diskursus penting dalam konteks keberagaman di Indonesia, termasuk dalam hal desain bangunan masjid. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah masjid boleh menyerupai bentuk bangunan tertentu yang diasosiasikan dengan tradisi atau simbol budaya lainnya? Pertanyaan ini tidak hanya menyangkut estetika, tetapi juga menyentuh aspek teologis, budaya, dan pemahaman masyarakat tentang makna keberagamaan.

Sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah menentukan bagaimana bentuk fisik masjid harus dibuat. Masjid Nabawi pada awal pembangunannya sangat sederhana, berupa struktur dengan atap pelepah kurma. Dalam perkembangannya, desain masjid beradaptasi dengan tradisi lokal. Kubah, misalnya, sebenarnya bukan tradisi asli Islam, melainkan berasal dari tradisi Bizantium yang kemudian diadopsi oleh Kekhalifahan Otan. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk fisik masjid bukanlah elemen sakral dalam Islam, melainkan wadah yang bisa beradaptasi dengan budaya setempat.

Baca juga: Masjid Lerabaing Alor : Keunikan, Misteri, dan Saksi Bisu Toleransi di Nusa Tenggara Timur

Arsitek Adhi Moersid, perancang Masjid K.H. Hasyim Asy’ari, Jakarta, menegaskan bahwa tuduhan masjid tersebut menyerupai simbol salib adalah hoaks. Desain masjid yang diberi sentuhan ornamen Betawi dengan konsep urban agriculture justru menunjukkan upaya untuk merepresentasikan identitas lokal. Adhi juga menyatakan bahwa membangun masjid harus didasari cinta, kesungguhan, dan kejujuran, sehingga menghasilkan karya yang dapat diterima masyarakat luas. Ini menjadi pelajaran bahwa desain masjid tidak harus berkiblat pada satu gaya tertentu, apalagi memaksakan konsep “kubah” sebagai simbol keislaman.

Kiai Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal, dalam tausiyahnya pernah menekankan pentingnya menyesuaikan desain masjid dengan budaya lokal. Beliau menyebutkan bahwa di Bali atau Papua, masjid sebaiknya mengadopsi ornamen lokal agar masyarakat setempat tidak merasa asing. Masjid yang relevan dengan budaya lokal justru mempermudah dakwah Islam karena membangun kedekatan emosional. Masjid Muhammad Cheng Hoo di Batam adalah contoh konkret bagaimana unsur budaya Tionghoa dapat berpadu dengan nilai-nilai Islam, menciptakan harmoni antara Muslim dan komunitas Tionghoa.

Namun, kontroversi seperti desain Masjid K.H. Hasyim Asy’ari menunjukkan bahwa moderasi beragama belum sepenuhnya dipahami. Tuduhan bahwa masjid menyerupai simbol tertentu mencerminkan pola pikir yang cenderung eksklusif dan sempit. Pandangan semacam ini mengabaikan bahwa Islam adalah agama yang inklusif, yang menerima keragaman budaya selama tidak bertentangan dengan prinsip tauhid.

Baca juga: Ini Dia Alasan Habib Umar Memberikan Nama Abu Bakar Ash-Siddiq Kepada Seorang Mualaf yang diislamkannya Di Masjid Istiqlal

Dalam moderasi beragama, penting untuk membangun pemahaman bahwa bentuk fisik masjid bukanlah representasi keimanan, melainkan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mempertanyakan desain masjid dengan pendekatan sempit justru berpotensi menciptakan polarisasi dan mengabaikan esensi utama masjid sebagai tempat ibadah.

Maka, moderasi beragama dalam pembuatan masjid seharusnya diarahkan pada penerimaan terhadap keragaman desain yang mencerminkan identitas lokal, tanpa kehilangan nilai-nilai Islam. Perdebatan tentang masjid yang “menyerupai” bangunan budaya lain atau agama lain harus dilihat dari sudut pandang niat dan fungsi. Selama desain tersebut bertujuan untuk mempermudah dakwah dan mempererat hubungan masyarakat, tidak ada alasan untuk menolaknya.

Moderasi beragama juga membuka peluang bagi masjid untuk menjadi ruang inklusif yang menarik perhatian khalayak luas. Desain masjid yang menyerupai elemen tertentu tidak hanya menarik umat Islam, tetapi juga komunitas dari agama lain. Ketertarikan ini sering kali bermula dari pertanyaan sederhana: Mengapa masjid ini berbeda? atau Apa filosofi di balik desainnya? Dari rasa ingin tahu tersebut, dialog lintas agama dapat terbangun, yang pada akhirnya menjadi peluang untuk memperkenalkan nilai-nilai Islam secara santun dan damai. Masjid pun tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol keterbukaan yang mengundang harmoni dan saling pengertian di tengah keberagaman.

Baca juga: Potret Keharmonisan Agama di Indonesia : Surabaya Suguhkan 6 Tempat Ibadah yang Berdampingan

Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia membutuhkan moderasi beragama yang tidak hanya mengedepankan toleransi, tetapi juga pemahaman mendalam terhadap keberagaman budaya. Desain masjid yang adaptif adalah wujud nyata dari semangat moderasi beragama ini. Jangan biarkan perdebatan estetika fisik menghalangi esensi Islam sebagai rahmat bagi semesta.

 

Menghayati Kekayaan Mozaik Nusantara Melalui Program KKN Moderasi Beragama se-Indonesia

Penulis: Sokhifah Hidayah, Editor: Azzam Nabil H.

Mendapat kesempatan untuk mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Moderasi Beragama se-Indonesia merupakan kesempatan emas bagi para peserta KKN  dalam memaknai perbedaaan dan keindahan mozaik bangsa. Program ini menghadirkan peserta KKN dari seluruh Indonesia dengan latar belakang yang beragam. Keragaman agama, suku bangsa, budaya, dan bahasa disuguhkan secara bersamaan sebagai upaya agar para peserta KKN dan masyarakat dapat mengalami secara langsung hidup di tengah keragaman bangsa. Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Dalam pelaksanaan program KKN ini, tentu ada beberapa tantangan yang dialami oleh peserta. Diantaranya ialah, mereka harus hidup satu atap dengan peserta lain yang berasal dari Sabang sampai Merauke. Terlebih, para peserta KKN ini merupakan utusan terbaik dari masing-masing kampusnya. Tentu tidak heran ketika di awal masa KKN, mereka belum mampu ‘menurunkan ego’ masing-masing. Semua mempunyai ide, gagasan, dan inovasi yang ingin disumbangkan kepada desa tempat kami ber-KKN. Namun, apakah gagasan-gagasan tersebut dapat terlaksana apabila masing-masing belum mampu menurunkan sedikit egonya? Tentu saja tidak. Maka, tantangan yang muncul selanjutnya ketika hidup di tengah keragaman ini adalah sulitnya menyatukan dan menyelaraskan pendapat masing-masing untuk mecapai tujuan bersama.

Baca juga: KKN 59 Kelompok 17 UIN Gusdur Adakan Lomba Bertema Keagamaan Untuk Meningkatkan Religiusitas Anak-anak Desa Karangdawa

Perbedaan-perbedaan tersebut nyatanya bukan sebuah penghalang untuk menyukseskan program KKN ini. Terbukti, dalam kurun waktu yang relatif singkat, yakni hanya 40 hari perbedaan-perbedaan tersebut dapat menyatu menunjukkan harmoninya. Dengan adanya kerja sama untuk menyelesaikan program kerja yang telah disusun tentu akan menjadi lebih mudah. Didukung dengan suasana keakraban yang telah terjalin dengan erat di antara peserta KKN. Meski memiliki perbedaan latar belakang, hal ini tidak lagi menjadi masalah karena mereka telah menyatu sebagai satu keluarga dalam ikatan keluarga nusanatara.

Selain pengalaman hidup berdampingan dengan teman-teman lintas pulau, para peserta juga mendapat banyak pengalaman tentang keharmonisan yang terjalin di tengah masyarakat. Apalagi Desa Cisantana disebut-sebut sebagai miniatur Indonesia. Sehingga peserta mampu merasakan dan memaknai kehidupan yang harmonis meski di tengah perbedaan. Adapun Keragaman yang ada di desa ini dapat dilihat dari segi agamanya, yaitu agama Katolik, Islam, Kristen, hingga penghayat/kepercayaan Sunda Wiwitan. Dalam skala kecamatan, dijumpai pula agama Hindu dan Budha yang turut mewarnai indahnya mozaik yang ada di Kabupaten Kuningan ini

KKN ini memberikan pengalaman secara langsung kepada peserta, sehingga mereka mampu memahami bahwa hidup di tengah perbedaan agama bukanlah sekat dan penghalang untuk bersama-sama menciptakan kehidupan yang harmonis. Bukan pula faktor yang membatasi aktivitas dan interaksi sosial dalam bermasyarakat. Mereka menyadari betul bahwa masing-masing masyarakat adalah elemen penting bangsa, terlepas dari apa agama yang dianutnya. Apapun agama dan kepercayaannya, yang terpenting adalah bahwa kita sama-sama manusia yang harus dihargai dan dihormati. Selain itu, perasaan sebagai satu saudara juga harus tetap dimunculkan dan dipelihara dengan baik. Kita satu dalam ikatan nusantara dan bangsa Indonesia.

Baca juga: Tradisi Nyadran di Desa Kutorojo: Mahasiswa KKN 59 Posko 82 UIN Gus Dur Aktif Berpartisipasi

Kesadaran masyarakat untuk saling menjaga kerukunan ini mengantarkan mereka untuk medapatkan penghargaan dari Kementerian Agama RI pada Juli 2023 sebagai Kampung Moderasi Beragama, setelah sebelumnya pada tahun 2022 mendapat penghargaan sebagai Kampung Toleransi. Budaya toleransi ini, diakui oleh masyarakat sebagai warisan dari para leluhur yang telah rukun dan toleran sejak dahulu.

Disamping itu, peserta KKN ini turut merasakan pengalaman yang tak terlupakan. Pengalaman pertama ialah peserta dapat melihat Indahnya pemandangan ketika pukul 6 petang, umat Katolik bersama-sama menuju gereja untuk beribadah. Pun demikian, umat muslim juga berbondong-bondong menuju masjid. Ditambah dengan para penganut kepercayaan yang juga melaksanakan ibadah di waktu yang sama. Masing-masing menuju tempat ibadahnya sambil bertegur sapa dan melempar senyum. Sungguh pemandangan indah yang menenteramkan hati.

Kedua, peserta bersama-sama merawat budaya lokal. Upacara Serentaun menjadi budaya yang berhasil dilestarikan oleh masyarakat Sunda, termasuk juga masyarakat desa Cisantana, meskipun sebelumnya sempat dilarang pelaksanaannya oleh pemerintah pada era orde baru. Pelaksanaan budaya ini juga secara tidak langsung turut berperan dalam merawat persatuan dan kerukunan masyarakat setempat. Meskipun budaya ini lahir dari ajaran kepercayaan Sunda Wiwitan, namun dalam pelaksanaannya banyak umat Muslim, Katolik, Hindu, dan Budha juga turut serta meramaikan upacara Serentaun ini.

Baca juga: Menapak Jejak Nabi SAW dalam Berwirausaha: Mahasiswa KKN UIN Gus Dur Beri Sosialisasi Pembuatan Kerupuk dari Telur Asin di Desa Sarwodadi

Ketiga, toleransi dan kebersamaan dalam beberapa kegiatan sosial keagamaan. Pada hari besar keagamaan, misalnya ketika hari raya Idul Fitri, umat non-Muslim juga ikut bersilaturahmi ke rumah-rumah orang Muslim, begitupun sebaliknya. Selain itu, ketika ada umat Katolik ataupun penganut agama lain yang meninggal, tetap diumumkan melalui pengeras suara di masjid. Peringatan dan doa meninggal lintas iman menjadi hal menarik yang menunjukkan tingginya tingkat toleransi dan kepedulian sosial masyarakat setempat.

Pengalaman-pengalaman berharga tersebut secara langsung dirasakan para peserta KKN Moderasi Beragama Se-Indonesia. Melalui kegiatan KKN tersebut, peserta mampu merasakan indahnya harmoni perbedaan agama dan kepercayaan. Mereka melihat bagaimana masyarakat mempraktikkan nilai-nilai keagamaan secara moderat dan penuh toleransi. Pengalaman-pengalaman ini juga mampu menyadarkan para peserta tentang pentingnya merawat persatuan dan keharmonisan melalui penerapan moderasi beragama yang pada akhirnya dapat menepis hal-hal yang menyebabkan perpecahan.

Moderasi Beragama: Kunci Menjaga Kerukunan di Desa Pekiringan Ageng

Penulis : Irfa Ma’alina, Puji Istianah,& Suci Indah Sari
Editor    : Azzam Nabil H.

Moderasi beragama adalah solusi terbaik untuk menjaga kerukunan di tengah masyarakat yang beragam seperti di Desa Pekiringan Ageng, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan. Konsep moderasi beragama yang diterapkan di desa tersebut mengajarkan agar setiap individu dapat menjalankan ajaran agamanya dengan seimbang, tidak terlalu fanatik dan mudah menyalahkan golongan lain, atau ekstremisme. Terlebih di dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultural, sikap ini sangat penting untuk membangun keharmonisan.

Di Desa Pekiringan Ageng, moderasi beragama sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Salah satu nilai utamanya adalah tassamuh atau toleransi, di mana warga dari berbagai latar belakang agama dan keyakinan hidup berdampingan dengan damai.

Sumber: Google Maps-Dwiyanto Arjun (2020)

Contohnya, saat warga Muslim merayakan Idul Adha, daging kurban tidak hanya dibagikan kepada sesama Muslim, tetapi juga kepada warga non-Muslim. Ini menunjukkan rasa saling menghargai dan memperkuat hubungan antaragama di desa.

Praktik moderasi ini tidak hanya terlihat dalam hubungan antaragama, tetapi juga dalam interaksi antar organisasi masyarakat dan partai politik. Warga desa mendorong kerjasama dalam berbagai proyek sosial tanpa memandang perbedaan afiliasi politik. Mereka menyadari pentingnya menjaga kerukunan di atas segala kepentingan pribadi atau kelompok.

Baca Juga: Moderasi Beragama: Solusi untuk Kehidupan Harmonis di Masyarakat Multikultural

Moderasi beragama juga menjadi benteng terhadap tantangan pengaruh radikalisme di era globalisasi, termasuk praktik ajaran agama yang mengandung kekerasan. Masyarakat Desa Pekiringan Ageng secara aktif menolak segala bentuk ekstremisme yang dapat mengancam kedamaian. Dengan pendidikan yang inklusif dan kesadaran sosial yang tinggi, mereka berusaha menanamkan nilai-nilai toleransi kepada generasi muda agar tidak mudah terpengaruh oleh paham-paham yang menyimpang.

Kebersamaan ini juga terlihat dalam kegiatan budaya dan kearifan lokal. Tradisi seperti nyadran, selametan untuk leluhur, dan sedekah bumi dilakukan secara kolektif oleh seluruh warga, terlepas dari keyakinan agama mereka. Kegiatan-kegiatan ini memperkuat ikatan sosial dan menjadi wadah untuk saling mengenal dan menghargai perbedaan.

Pemimpin desa memainkan peran penting dalam menjaga moderasi beragama. Mereka menjadi contoh bagi warga, mempromosikan dialog antaragama, dan memastikan bahwa setiap kelompok mendapatkan perlakuan yang adil dan setara. Melalui pendekatan ini, Desa Pekiringan Ageng telah membuktikan bahwa moderasi beragama adalah kunci untuk mencapai kehidupan yang harmonis dan damai.

Baca Juga: Penanaman Nilai Moderasi Beragama Sejak Dini di Lingkungan Sekolah

Moderasi beragama bukan hanya soal menjaga keseimbangan dalam menjalankan ibadah, tetapi juga tentang bagaimana kita berinteraksi dengan sesama dalam kehidupan sosial. Dengan penerapan moderasi ini, Desa Pekiringan Ageng telah menjadi contoh nyata bagaimana keberagaman dapat menjadi sebuah kekuatan dan kunci untuk mewujudkan kedamaian.