Sambut Kemerdekaan, Desa Linggoasri Gelar Doa Bersama Antarumat Beragama

Penulis : Azzam Nabil H.; Editor: Amarul Hakim

Pekalongan – Daalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI yang ke-80, Desa Linggoasri, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan, mengadakan acara malam renungan dan doa bersama antarumat beragama, Sabtu 16 Agustus 2025. Kegiatan ini dilaksanakan di aula Balai Desa Linggoasri yang telah menjadi agenda rutinan tahunan setiap malam menjelang perayaan Dirgahayu Republik Indonesia.

Pelaksanaan kegiatan ini dihadiri oleh segenap perangkat desa, tokoh agama serta tokoh masyarakat Desa Linggoasri. Kepala Desa Linggoasri, Imam Nuryanto pada sambutannya menekankan bahwa acara malam renungan dan doa bersama bukan hanya sebuah seremonial semata, namun juga menjadi sarana instropeksi diri dan selalu berusaha untuk menjadi yang lebih baik demi menjaga persatuan dan kesatuan Republik Indonesia.

Dok.Hijratunaa, Doa bersama antarumat beragama (16/8)
Dok.Hijratunaa, Doa bersama antarumat beragama (16/8)

Setelah sambutan-sambutan, acara dilanjutkan dengan pembacaan doa bersama yang diawali doa dari agama Hindu dengan dipimpin oleh Pemangku Agama Hindu, bapak Taswono, kemudian dilanjutkan doa dari agama Islam yang dipandu oleh Bapak Kyai Mustajirin Toyib. Lantunan doa-doa yang dipanjatkan agama Hindu dan Islam merupakan bentuk rasa syukur dan pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk menjaga persatuan dan kemerdekaan Republik Indonesia di tahun ke-80 hingga tahun-tahun berikutnya.

Acara kemudian ditutup dengan ramah tamah, makan bersama nasi tumpeng yang merupakan simbol dari rasa syukur dan pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Melalui rangkaian acara ini, warga desa linggoasri berharap semangat persatuan dan kerukunan warga dan antarumat beragama terus terjaga sebagai wujud nyata dalam menyambut kemerdekaan Rebuplik Indonesia.

Bersama Mahasiswa KKN Nusantara, Dialog Nusantara 2025 Bahas Ekoteologi

Penulis: Ika Amiliya Nurhidayah, Editor: Muslimah

Kulonprogo – Memasuki masa penghujung pengabdian KKN Nusantara 2025 di Kecamatan Kalibawang, Kulonprogo, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyelenggarakan Dialog Nusantara 2025 di Halaman Gereja Katolik Santa Theresia Lisieux, Boro, Kalibawang, Kulonprogo pada Rabu, (06/07).

Bersama 140 perwakilan mahasiswa KKN Nusantara, Dialog Nusantara ini mengusung tema “Merawat Ekoteologi, Membangun Negeri” dengan menggandeng beberapa narasumber penting di antaranya Kasubtim Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Kementrian Agama Republik Indonesia Adimin Diens, kreator konten dan dosen Universitas Gadjah Mada I Made Andi Arsana, perwakilan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Istimewa Yogyakarta (Kesbangpol DIY) Sih Utami, dan perwakilan Gereja Katolik Santa Theresia Lisieux, Boro Yohanes Adventodi.

Baca juga: Gelar Forum 17-an, GUSDURian Pekalongan Angkat Tema Agama dan Lingkungan

Sebelum membahas ekoteologi, Adimin Diens menyoroti keberagaman di Indonesia, bahwa menurutnya keberagaman menjadi potensi sekaligus tantangan bagi bangsa.

“Keberagaman adalah sebuah potensi sekaligus tantangan bagi kita,” ujarnya.

Selain itu, Sih Utami juga menyoroti keberagaman di Yogyakarta, menurutnya, sebagai daerah dengan kondisi masyarakat yang majemuk, Kesbangpol DIY selalu berusaha merawat keberagaman.

“Kami tentunya berusaha selalu merawat keberagaman, beberapa kegiatan kami lakukan seperti sinau Pancasila dan wawasan kebangsaan, kita keliling di seluruh DIY, ada juga sinau Bhinneka Tunggal Ika, dan program pembauran budaya,” jelasnya.

Baca juga: Ekoteologi Mangrove dan Resolusi Moderasi Beragama dalam Pemikiran Gus Dur: Membaca Ulang Krisis Pesisir

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Andi Arsana, ia menekankan bahwa pengetahuan menjadi dasar dari proses penghormatan terhadap keberagaman.

“Interaksi antaragama adalah keniscayaan. Toleransi, menghormati itu dasarnya pengetahuan dulu, pemahaman kita adalah kunci,” ujarnya.

Berbicara mengenai ekoteologi, Yohannes sebagai perwakilan Gereja Boro mengungkapkan, bahwa merawat bumi adalah kewajiban sekaligus tanggung jawab manusia.

“Kewajiban kita sebagai umat untuk senantiasa merawat bumi sebagai tanggung jawab untuk merawat hati kita, tidak sekedar menyembah Tuhan tapi juga merawat bumi. Dalam ajaran kami, ada porsi besar yang diajarkan untuk senantiasa merawat bumi, dan bagaimana menjaga kerukunan antaragama. Apapun agamanya apapun sukunya bisa menjadi teman kami,” jelasnya.

Turut hadir dalam Dialog Nusantara Camat Kalibawang Risdiyanto Nugroho.

Merawat Iman, Hidupkan Harmoni: Belajar Moderasi Beragama dari Petilasan 5 Roti 2 Ikan

Penulis: Moh. Alwi Andiansyah Saputra, Editor: Atika Puspita Rini

Malam itu (24/7), angin perbukitan Kalibawang berembus lembut saat saya dan rekan-rekan KKN Nusantara Posko 22 mengikuti kegiatan Doa Rutin Kamis Malam di Petilasan 5 Roti 2 Ikan, Dukuh Jurang Depok, Kelurahan Banjarasri, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo. Bukan sekadar doa biasa, perjumpaan ini membawa kami menelusuri jejak iman Katolik yang telah mengakar sejak awal penyebarannya di Tanah Istimewa Yogyakarta.

Baca juga: Langkah Awal Wujudkan Ketahanan Pangan: Warga Kanoman I Belajar Membuat IMO

Menurut Ibu Lumiyati, Istri Dukuh Jurang Depok, nama 5 Roti 2 Ikan tidak hanya merupakan simbol alkitabiah, melainkan menyimpan sejarah penting. Nama tersebut merujuk pada lima murid dan dua misionaris yang memulai misi Katolik di Kalibawang. Sejak saat itu, tempat ini berkembang menjadi ruang pertumbuhan iman sekaligus wadah dialog lintas generasi.

Hal membedakan malam itu adalah adanya sesi sarasehan bertema “Keluarga Katolik Terlibat dalam Masyarakat” yang diarahkan langsung oleh Keuskupan Agung Semarang. Menurut Bapak Winarto, Ketua Lingkungan Jurang Depok, kegiatan ini rutin dilakukan, namun malam tersebut menjadi istimewa karena umat diajak untuk lebih reflektif terhadap peran sosial mereka.

Dalam diskusi, muncul satu pernyataan menarik yang dikutip oleh rekan saya, Mba Dewi: “Jika satu anggota tubuh rusak, maka rusaklah tubuh itu.” Pernyataan ini mengandung makna mendalam—bahwa setiap individu di masyarakat memiliki peran penting. Bila satu peran diabaikan, maka keberlangsungan masyarakat bisa terganggu. Inilah nilai dasar dari moderasi beragama.

Moderasi beragama mengajarkan kita untuk setia pada keyakinan, sekaligus terbuka dalam perbedaan. Prinsipnya mencakup komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, serta penerimaan terhadap budaya lokal. Kegiatan doa di Petilasan ini mencerminkan semuanya, yaitu umat Katolik yang tidak eksklusif, tetapi hadir dan berkontribusi nyata dalam kehidupan sosial warga sekitar. Agama tidak menutup ruang tradisi, tetapi justru merawatnya dalam bingkai iman yang kontekstual.

Di tengah maraknya polarisasi dan cara pandang sempit terhadap agama, pengalaman ini menjadi pengingat bahwa iman seharusnya mendekatkan, bukan memisahkan. Moderasi bukan berarti memudarkan keyakinan, melainkan menjalankannya secara bijak, terbuka, dan penuh empati.

Sebagai mahasiswa yang sedang menjalani KKN, saya melihat kegiatan ini bukan sekadar pengalaman religius, melainkan pelajaran penting tentang bagaimana kerukunan dirawat secara nyata. Moderasi beragama bukan jargon kosong, tapi praktik hidup sehari-hari—dalam doa, dialog, dan tindakan sosial bersama.

Indonesia sebagai bangsa majemuk membutuhkan lebih banyak ruang seperti ini. Tempat di mana perbedaan tidak menjadi ancaman, tetapi justru kekuatan. Dan malam itu, di tengah sunyinya Petilasan yang sarat makna, saya menyaksikan sebuah kebenaran sederhana, yaitu iman yang moderat mampu menjadi jembatan, bukan tembok, antarumat manusia.

Perkuat Kerukunan Umat, Kemenag Kabupaten Pekalongan Gelar Event Implementasi Kampung Moderasi Beragama

Pewarta: Azzam Nabil H., Editor : Fajri Muarrikh

Paninggaran, — Dalam rangka memperkuat semangat hidup rukun dalam keberagaman, Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Pekalongan kembali menggelar kegiatan “Implementasi Kampung Moderasi Beragama” yang berlokasi di Aula Agroedu Wisata Kali Paingan Desa Tenogo, Kecamatan Paninggaran, Selasa (15/7/2025).

Kegiatan ini dihadiri 50 peserta dari berbagai unsur, seperti Bakesbangpol, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Plt. Camat, penyuluh agama, hingga tokoh agama dan perwakilan masyarakat setempat.

Dalam pembukaan acara, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Pekalongan, Ahmad Farid, menyampaikan sambutan yang menekankan pentingnya memahami agama secara komprehensif sebagai jalan menuju kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan di masyarakat.

“Agama adalah jalan untuk mewujudkan ketertiban, kedamaian, dan keharmonisan. Tidak cukup hanya beribadah, tetapi juga menjalani ajaran agama dengan perilaku yang baik kepada sesama manusia,” ujarnya. Selain itu, Beliau juga menegaskan bahwa implementasi moderasi beragama di kehidupan bermasyarakat merupakan tugas utama Kemenag dalam menjaga kerukunan umat di tengah tantangan intoleransi dan radakilsme.

Baca juga: Nilai-Nilai Asta Protas Kemenag Dalam Tradisi “Umbah Terpal” Warga Mushala Al-Asdiqa’ Kauman Batang

Setelah sambutan, kegiatan dilanjutkan dengan penyampaian materi dari beberapa narasumber yang mewakili lembaga pemerintah maupun keagamaan. Pak Agus Alamsyah, dari Bakesbangpol, memaparkan materi pentingnya membangun keamanan berbasis kerukunan. Ia menegaskan bahwa tantangan keberagaman harus dijawab dengan kolaborasi lintas sektor dan semangat gotong royong antarwarga.

Sementara itu, Ketua FKUB Kabupaten Pekalongan, M. Solahudin, menyampaikan urgensi moderasi beragama sebagai pendekatan untuk menjaga keseimbangan dalam beragama dan menghindari sikap ekstrem. Dalam pemaparannya, ia menyoroti prinsip-prinsip moderasi beragama seperti anti kekerasan, komitmen kebangsaan, keadilan, serta penghargaan terhadap budaya lokal.

“Moderasi beragama harus mulai diperkenalkan kepada generasi muda. Jika tidak, maka ruang-ruang kosong akan diisi oleh narasi-narasi yang memecah belah. FKUB ke depan merencanakan kemah lintas agama sebagai sarana edukasi dan penguatan kebangsaan,” jelas Solahudin.

Baca juga: Menteri Agama Ajak Bangun Fondasi Bangsa dengan Nilai Spiritual di Refleksi dan Proyeksi Kemenag 2025

Materi penutup disampaikan oleh Plt. Camat Kajen, Mustofa, yang menyoroti peran kearifan lokal dalam memperkuat kerukunan. Ia mengungkapkan bahwa tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat Paninggaran yang menjunjung toleransi sejatinya telah menjadi modal sosial untuk menghidupkan moderasi beragama secara nyata.

“Melalui pelestarian budaya, dialog antarumat, dan pendidikan multikultural, masyarakat bisa tumbuh dalam lingkungan yang harmonis tanpa harus kehilangan identitas budaya maupun agama,” tuturnya.

Doc. Humas Kemenag Kabupaten Pekalongan (15/7 2025)

Setelah materi, kegiatan dilanjutkan dengan forum diskusi yang membahas kelanjutan dari kegiatan implementasi kampung moderasi beragama. Hasil dari diskusi ini menunjukkan pentingnya kolaborasi lintas sektor agar moderasi beragama bukan hanya digaungkan melalui acara formal saja, namun melalui wujud nyata dalam memvisualisasikan kampung moderasi beragama sebagai kampung yang moderat.

Adapun harapan dari kemenag, perlu adanya keberlanjutan dari event implementasi kampung moderasi beragama ini. Sebab, kegiatan yang berkaitan dengan moderasi beragama bukan hanya dilakukan dalam jangka pendek, tetapi menjadi bagian dari investasi jangka panjang dalam menjaga kerukunan antarumat beragama.

Tradisi Nyadran Laut Masyarakat Wonokerto di era Modern dalam Pandangan Moderasi Beragama

Penulis: Ashrofil Anam, Editor: Nehayatul Najwa

Tradisi Nyadran Laut yang ada di kalangan masyarakat Wonokerto merupakan tradisi tahunan yang di adakan sebagai betuk rasa syukur dan permohonan mendapatkan keselamatan dalam mencari nafkah di laut. Bentuk rasa syukur di dalam tradisi Nyadran Laut ini adalah dengan menghias perahu yang akan digunakan untuk ritual membuang atau mengarungkan sesaji ke tengah laut. Sesaji teesebut biasanya berupa kepala kerbau, hasil bumi, dan jajan pasar.

Tradisi Nyadran Laut ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat karena ketidakjelasan kepada siapa ritual itu di tujukan, serta pola ritual yang tidak pernah di ajarkan dalam agama Islam. Menurut Sri Widati, masyarakat Wonokerto percaya bahwa nenek moyang mereka juga berperan dengan kemakmuran serta ketentraman warga masyarakat Wonokerto yang mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai nelayan karena secara geografis letak wilayah desa Wonokerto di pesisir laut Utara Pulau Jawa. Dengan demikian, dapat kesimpulan bahwa masyarakat Wonokerto melakukan ritual Nyadran Laut ini ditujukan kepada nenek moyang mereka.

Di sisi lain, eksistensi Tradisi Nyadran Laut di kalangan warga masyarakat Wonokerto mengalami perubahan di era modern. Pada era modern masyarakat wonokerto memandang tradisi ini sebagai adat acara tahuanan saja. Perubahan ini di tandai dengan adanya acara seperti pertunjukan wayang golek dan lomba dayung. Menurut Sri Widati, tradisi sedekah laut telah mengalami perubahan bentuk dengan perkembangan pelaksanaan sedekah laut berupa perubahan bentuk kegiatan atau acara inti berupa pengarungan sesaji dan pergelaran wayang golek berkembang dengan penambahan beberapa bentuk kegiatan pendukung tradisi sedekah laut.

Pada era modern masyarakat Wonokerto tidak lagi memandang tradisi mereka sebagai tradisi sakral yang di tujukan pada nenek moyang mereka, tetapi mereka berusaha mempertahankan tradisi ini sebagai bentuk kerja sama, gotong royong, dan mempererat hubungan sesama warga yang melaut. Perubahan ini terjadi karena faktor perkembangan sosial dan budaya, serta pemahan tentang nilainilai ajaran agama Islam pada masyarakat Wonokerto. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Sri Widati yang menyatakan bahwa masyarakat Wonokerto berusaha memperbaiki dan memperbaharui baik motivasi individu maupun pola budaya dengan menciptakan dan mempertahankan tradisi sedekah laut. Lebih lanjut lagi Sri Widati megungkapkan bahwa perubahan tradisi sedekah laut dipengaruhi oleh perubahan sosial budaya masyarakat yaitu perubahan sistem ilmu pengetahuan dan pendidikan, sistem perekonomian, dan sistem teknologi.

Menanggapi hal tersebut, moderasi beragama memandang tradisi Nyadran Laut dengan menjunjung empat hal indikator moderasi yaitu: komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi, dan akomondasi terhadap budaya lokal. Dari hal ini, dapat di ambil kesimpulan bahwa moderasi beragama memandang tradisi Nyadran Laut sebelum perubahan di era modern adalah sebuah penyimpangan terhadap nilai-nilai agama dan indikator moderasi beragama yaitu komitmen kebangsaan.

Hal ini dikarekanan tradisi Nyadran Laut sebelum masa modern yang mempercayai bahwa nenek moyang merekalah yang memberikan kemakmuran dan keentraman sehingga eksistensi tradisi Nyadran Laut sebelum masa modern adalah menyembah kepada nenek moyang mereka. Sedangkan jika di ambil dari sudut pandang komitmen kebangsaan, tradisi Nyadran Laut juga merupakan bentuk penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila sila pertama yang berbunyi ketuhanan yang maha esa. Dengan demikian, tradisi Nyadran Laut sebelum masa modern bertentangan dengan nilai dari sila pertama Pancasila karena menyembah bukan kepada tuhan melainkan kepada nenek moyang mereka.

Akan tetapi, pandangan moderasi beragama akan berbeda jika memandang tradisi Nyadran Laut yang berubah di era modern. Dengan berlandaskan indikator toleransi dan akomondasi terhadap budaya lokal, moderasi mendukung pelaksanaan tradisi Nyadran Laut sebagai bentuk mempertahankan warisan kebudayaan yang di dalamnya mengandung nilai-nilai toleransi, kerjasama, gotong royong, dan mempererat hubungan antar sesama pelaut.

Ekoteologi Mangrove dan Resolusi Moderasi Beragama dalam Pemikiran Gus Dur: Membaca Ulang Krisis Pesisir

Penulis: M. Achwan Baharuddin, Editor: Azzam Nabil H.

Krisis ekologis yang melanda kawasan pesisir utara Jawa, seperti abrasi dan intrusi air laut, bukan sekadar problem lingkungan hidup, tetapi juga cerminan dari krisis nilai dalam masyarakat. Penebangan hutan mangrove, konversi lahan, dan eksploitasi pantai tanpa kontrol menandakan dangkalnya kesadaran ekologis masyarakat. Dalam perspektif Iceberg Analysis, masalah ini hanya tampak di permukaan sebagai peristiwa (event), sementara di bawahnya tersembunyi pola kebiasaan (patterns), struktur sistemik (systemic structures), hingga akar paradigma dan nilai (mental models) yang membentuk cara pandang manusia terhadap alam.

Mengacu pada artikel “Menjaga Garis Depan Negeri” (PSB IPB), ekosistem mangrove di Pantura adalah benteng alami yang semakin rapuh. Kampanye penanaman ulang, seperti program 10.000 pohon oleh Eiger (Media Indonesia, 2024), belum menyentuh akar masalah: relasi antara manusia, agama, dan alam. Di sinilah ekoteologi menjadi tawaran yang relevan—yakni pemaknaan ulang relasi spiritual antara manusia dan lingkungan, yang dalam konteks Indonesia dapat diartikulasikan melalui wacana moderasi beragama dan pemikiran tokoh-tokoh seperti KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Gus Dur, sebagaimana dilaporkan oleh NU Online, adalah sedikit dari tokoh keagamaan yang secara aktif bersuara dalam isu lingkungan. Ia menyuarakan keadilan ekologis sebagai bagian dari misi kemanusiaan dan kebangsaan. Dalam artikelnya, Gus Dur menolak saintisme—yakni anggapan bahwa ilmu pengetahuan modern menjadi satu-satunya ukuran valid kebenaran. Kritik ini membuka ruang bagi spiritualitas dan kearifan lokal sebagai pijakan etis dalam merawat lingkungan.

Baca juga: Haul Gusdur ke-15, Gusdurian Pekalongan Usung Tema Agama untuk kemanusiaan dan Krisis Iklim

Dengan memakai Iceberg Analysis, kontribusi Gus Dur dapat dilacak pada lapisan paling dalam, yakni pada level paradigma. Ia menawarkan paradigma inklusif dan transendental dalam memahami dunia, dimana agama bukan hanya mengatur relasi vertikal dengan Tuhan, tapi juga relasi horizontal dengan sesama manusia dan alam. Paradigma ini menumbuhkan sistem sosial inklusif, seperti Nahdlatul Ulama, yang dalam struktur gerakannya mendorong revitalisasi lingkungan hidup berbasis pesantren, masyarakat desa, dan komunitas.

Ekoteologi mangrove dalam bingkai pemikiran Gus Dur dapat dimaknai sebagai bentuk praksis teologis yang mengintegrasikan tiga pilar: (1) keadilan ekologis, sebagai pengakuan terhadap hak hidup makhluk non-manusia; (2) kesetaraan spiritual, di mana alam dipandang sebagai bagian dari ciptaan Tuhan yang suci; dan (3) etika tanggung jawab, yang menuntut manusia—terutama umat beragama—untuk merawat, bukan mengeksploitasi.

Moderasi beragama dalam konteks ini, sebagaimana ditulis dalam portal Kemenag dan UIN Sunan Kalijaga, bukan sekadar tentang toleransi antarumat, tetapi juga resolusi kebangsaan untuk mengharmonikan kehidupan spiritual, sosial, dan ekologis. Moderasi menolak ekstremisme, termasuk ekstremisme ekonomi dan teknologi yang merusak lingkungan atas nama pembangunan. Penanaman mangrove bukan sekadar kegiatan ekologis, melainkan juga ibadah sosial yang sejalan dengan maqashid syariah, yakni menjaga kehidupan (hifdz al-nafs), menjaga keturunan (hifdz al-nasl), dan menjaga harta (hifdz al-mal).

Baca juga: Sahur Keliling 2025, Istri Gus Dur Ajak Masyarakat Kecil di Batang Tebarkan Kepedulian Sosial

Menariknya, dalam artikel Jurnal JPIT (UNISNU), pendekatan berbasis masyarakat terhadap konservasi mangrove di pesisir Jepara justru sukses karena mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan spiritual. Artinya, ekoteologi menjadi jembatan yang menghubungkan kebutuhan ekologis dan spiritual sekaligus. Dalam bingkai pemikiran Gus Dur, ini adalah perwujudan dari prinsip “kemanusiaan universal”—yaitu bahwa merawat alam adalah bentuk tanggung jawab bersama lintas agama dan budaya.

Di lapisan pattern, krisis pesisir Pantura bisa dilihat sebagai akibat dari terputusnya siklus regenerasi alam dan spiritualitas ekologis. Praktik tambak yang merusak, konversi hutan mangrove, hingga minimnya edukasi lingkungan di lembaga keagamaan menunjukkan pola yang mengakar. Gus Dur menolak dikotomi antara agama dan realitas sosial-empiris. Karena itu, ia mendorong pemimpin agama agar tak hanya berkutat pada ritus ibadah, tetapi juga aktif dalam isu-isu publik seperti kerusakan lingkungan.

Akhirnya, dalam konteks gagasan ekoteologi mangrove, pemikiran Gus Dur menembus sampai akar nilai dan paradigma. Ia menawarkan visi keagamaan yang membumi (earth-rooted theology) dan merangkul pluralitas. Moderasi beragama bukan sekadar jalan tengah, melainkan jalan tanggung jawab etis terhadap semua aspek kehidupan, termasuk lingkungan. Penanaman mangrove, jika didekati dari kerangka ini, bukan hanya penyelamatan ekologis, tetapi juga resolusi spiritual untuk rekonsiliasi manusia dengan alam, serta agama dengan ekologi.

Gandeng BPIP RI, PC ISNU Kabupaten Pekalongan Ajak Masyarakat Perkuat Semangat Moderasi Beragama

Pewarta: Ika Amiliya Nurhidayah, Editor: Azzam Nabil H.

Pengurus Pimpinan Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PC ISNU) Kabupaten Pekalongan bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Republik Indonesia selenggarakan Seminar Nasional Pancasila di Gedung Student Centre UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan pada Rabu, (18/06).

Seminar ini mengusung tema “Aktualisasi Nilai Ketuhanan dalam Kebangsaan: Menjaga Moderasi Beragama di Indonesia” yang mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengintegrasikan nilai-nilai Ketuhanan dengan semangat kebangsaan melalui praktik moderasi beragama.

Ketua PC ISNU Kabupaten Pekalongan Nasrudin menjelaskan alasan diangkatnya tema moderasi agama dalam seminar ini. Menurutnya, saat ini isu keberagaman seringkali rentan terhadap polarisasi dan konflik. Maka dari itu moderasi beragama menjadi garda terdepan dalam menjaga persatuan bangsa.

“Kami menyadari bahwa di tengah kompleksitas persoalan bangsa saat ini, isu keberagaman seringkali menjadi rentan terhadap polarisasi dan konflik. Moderasi beragama menjadi sangat urgen sebagai garda terdepan penjaga persatuan dan pilar keutuhan bangsa,” jelasnya.

Acara ini menghadirkan pembicara-pembicara yang kompeten di bidangnya, mulai dari Kepala BPIP RI Yudian Wahyudi sebagai pembicara utama, serta beberapa pembicara seminar yaitu Direktur Sosialisasi dan Komunikasi BPIP RI Moh. Agus Najib, Ketua PW ISNU Provinsi Jawa Tengah Fakhruddin Aziz, Plt. Kepala Badan Kesbangpol Kabupaten Pekalongan Sri Lestari, dan Wakil Rektor III UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan Shinta Dewi Rismawati.

Baca juga: Hari Buruh: Memaknai Keadilan Sosial dalam Bingkai Moderasi

Antusiasme peserta cukup tinggi dalam acara ini, di mana 500 peserta hadir dari berbagai kalangan mulai dari mahasiswa, akademisi, tokoh agama, perwakilan organisasi masyarakat, hingga masyarakat umum.

Selain itu, acara ini juga dihadiri oleh beberapa tokoh penting mulai dari Deputi Bidang Hubungan Antar Lembaga, Sosialisasi, Komunikasi dan Jaringan BPIP RI Prakoso, Perwakilan Forkopimda Kabupaten Pekalongan, Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Pekalongan Baihaqi Anwar, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Pekalongan Muslih Khudlori, Kepala Kemenag Kabupaten Pekalongan, Ketua MUI Kabupaten Pekalongan, dan Ketua FKUB Kabupaten Pekalongan.

Foto bersama pasca kegiatan Seminar Nasional Pancasila, 18/6 2025 (Doc. Humas UIN)

Lebih lanjut, Nasrudin berharap nilai-nilai luhur Pancasila dapat dipahami, diinternalisasikan,dan diamalkan dengan baik, serta PC ISNU Kabupaten Pekalongan dapat menjadi agen Pancasila sejati.

“Pertama, kami berharap nilai-nilai luhur Pancasila dapat semakin dipahami, diinternalisasi, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari oleh seluruh elemen masyarakat, khususnya di Kabupaten Pekalongan. Kedua, kami ingin PC ISNU Kabupaten Pekalongan dan seluruh pengurusnya, termasuk PAC ISNU yang baru dilantik, dapat menjadi duta-duta dan agen-agen Pancasila sejati, yang mampu hadir sebagai solusi di tengah kompleksitas persoalan bangsa,” pungkasnya.

Dengan terselenggaranya Seminar Nasional Pancasila ini, PC ISNU Kabupaten Pekalongan bersama BPIP RI menunjukkan komitmen nyata dalam merawat semangat kebangsaan melalui penguatan moderasi beragama. Kehadiran berbagai tokoh dan elemen masyarakat dalam acara ini mencerminkan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menjaga harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menjadi Netizen Moderat dengan Menghidupkan Nilai Moderasi Di Tengah Riuhnya Arus Provokasi Digital

Penulis: Sania Rahma Adilla, Editor: Nehayatul Najwa

Seiring berkembangnya zaman, media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang memungkinkan komunikasi dan penyebaran informasi secara cepat dan luas. Penggunaan media sosial yang semakin meningkat membawa manfaat besar, seperti memfasilitasi dialog antar kelompok masyarakat dan juga penyebaran berbagai informasi terkini.

Namun, dibalik manfaat tersebut terdapat berbagai tantangan serius yang harus dihadapi, seperti penyebaran konten yang memicu konflik, hoaks, serta ujaran kebencian yang dapat memperkeruh hubungan antar kelompok masyarakat, terlebih lagi dalam konteks keberagaman agama. Oleh karena itu, pemahaman tentang moderasi beragama menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa media sosial digunakan secara bertanggung jawab dan mampu mendukung terciptanya suasana yang harmonis dan damai.

Pentingnya moderasi beragama di media sosial tidak hanya berkaitan dengan pengendalian konten, tetapi juga sebagai upaya untuk membangun toleransi dan saling menghormati antar umat beragama. Dengan meningkatnya akses digital, risiko munculnya sikap radikal dan intoleran semakin tinggi sehingga dapat mengancam stabilitas sosial dan keamanan nasional. Semakin banyak konten yang dapat diakses membuat seseorang sering kebingungan tentang mana yang benar dan mana yang salah. Setiap konten yang ada dapat menimbulkan perpecahan dikarenakan adanya perbedaan pendapat dan berbagai komentar yang tidak dapat dikontrol satu per satu.

Baca juga: Tantangan Dakwah Moderasi Beragama di Era Digital

Situasi yang sering terjadi namun sebenarnya genting terhadap sikap persatuan dan toleransi ini banyak ditemui diberbagai konten dan kolom komentar. Sebagai contoh, viralnya video ceramah provokatif dan hoaks keagamaan yang menyebar cepat. Dalam hal ini, orang yang tidak memiliki landasan moderasi hanya bereaksi sesaat saja, misalnya ikut mengancam, posting ulang, atau bahkan langsung memaki tanpa menggali akar masalah. Dengan sikap yang kurang peduli ini menimbulkan kebiasaan buruk digital tanpa dilandaskan sikap moderasi.

Pada saat ini, media sosial menjadi ajang pembentukan identitas keagamaan yang emosional dan kurang terbuka pada pandangan lain. Dampaknya masyarakat dapat terpecah antara kelompok yang ingin mempertahankan moderasi atau kelompok yang condong pada radikalisme digital. Hal ini dikarenakan minimnya literasi keagamaan dan kebijakan platform yang kurang ketat dalam menyaring konten provokatif, sehingga menyebabkan banyak masyarakat menjadi tidak bijak dan intoleran. Masyarakat yang mudah terprovokasi juga disebabkan adanya keyakinan bahwa membela agama berarti menyerang agama lain, serta mengukur kebenaran hanya dari jumlah likes, followers, atau viralitas pada suatu konten saja.

Dalam situasi ini, penting bagi setiap orang untuk menjadi netizen yang “moderat”, yaitu netizen yang berperilaku sesuai dengan norma, etika, dan tanggung jawab dalam bermedia digital.

  • Pertama, seorang netizen yang moderat seharusnya mampu berpikir kritis sebelum membagikan informasi. Di tengah ramainya berita dan konten di media sosial, kita harus bisa membedakan mana yang fakta dan mana yang hoaks. Tidak semua yang viral itu benar dan tidak semua yang terlihat menarik layak untuk dibagikan. Oleh karena itu, penting untuk memeriksa sumber, mencari kejelasan, dan tidak terburu-buru ikut menyebarkan informasi yang belum tentu benar.
  • Kedua, netizen yang baik harus menjunjung tinggi etika dalam berkomunikasi. Media sosial bukan tempat bebas tanpa aturan. Komentar yang kasar, hinaan, body shaming, atau ujaran kebencian bisa berdampak besar pada kesehatan mental seseorang. Maka dari itu, kita harus selalu menggunakan bahasa yang sopan, menghargai perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan pandangan pribadi.
  • Ketiga, menjaga privasi adalah bagian penting dari sikap moderat. Banyak orang tidak sadar bahwa membagikan data pribadi secara sembarangan dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Selain itu, kita juga harus menghormati privasi orang lain dengan tidak mengambil, menyebarkan, atau mengekspos konten pribadi orang lain tanpa izin.
  • Keempat, netizen yang moderat tahu bahwa kebebasan berekspresi bukan berarti bebas berbuat sesuka hati. Platform digital memberi ruang bagi siapa saja untuk bersuara, tetapi suara itu harus disertai tanggung jawab. Dengan membiasakan diri untuk bersikap kritis, etis, dan bertanggung jawab, kita semua akan menjadi netizen yang tidak hanya aktif, tetapi juga memberikan manfaat bukan mudarat.

Toa Masjid Al-Hidayah, Simbol Moderasi Beragama di Dusun Purbo, Jolotigo, Pekalongan

Penulis: Muhamad Nurul Fajri, Editor: Azzam Nabil H.

Desa Jolotigo, merupakan sebuah desa yang secara geografis geografis masuk dalam wilayah Kecamatan Talun, Kabupaten Pekalongan. Salah satu dusun yang menarik dari desa ini adalah dusun Purbo, yang mana di dusun itu terdapat masjid yang diapit oleh dua gereja sekaligus. Masjid Al-Hidayah ini diapit oleh Gereja Kristen Jawa (GKJ) Purbo di sebelah timur, dan Gereja Bettle Indonesia (GBI) di sebelah selatan masjid.

Mengingat bahwa penduduk di dusun ini lebih banyak yang beragama kristen, yakni kurang lebih sebanyak 60%, dan sisanya beragama muslim. Dibalik jumlah penduduk yang beragama kristen lebih banyak daripada muslim, uniknya adalah, ketika penulis berkunjung ke dusun Purbo, dan mewawancarai beberapa tokoh di sana, menurut mereka, rasa toleransi dan saling memahami sangatlah dijunjung tinggi.

Kata Suyanta, seorang jemaat Gereja Kristen Jawa, ketika penulis tanyai perihal apakah para umat Kristiani terganggu dengan adanya suara toa masjid yang selalu bersuara di setiap azan shalat 5 waktu. Menurut Suyanta, umat kristen di sana, khususnya dia, tidak pernah terganggu dengan suara azan yang berkumandang. Dan bahkan, ketika waktu subuh, Suyanta menuturkan bahwa ia malah merasa terbantu dengan adanya bunyi toa masjid, sehingga bisa bangun tidur lebih pagi.

Baca juga: Ngaji Budaya: Ruang Bertemunya Tradisi Dan Moderasi Beragama Di Desa Jetaklengkong

Pendeta Alfius Sokidi, seorang pendeta di GKJ Purbo ini juga turut membenarkan pernyataan dari Suyanta. Ia berkata bahwa dengan adanya toa Masjid Al-Hidayah ini tidaklah mengganggu waktu istirahat umat kristen, justru malah membantunya. Dan memang budaya warga di sana yang sudah terbiasa bangun pagi, karena dahulunya orang di sana bekerja di pabrik teh yang selalu berangkan pada pukul 5 pagi.

Selain toa Masjid Al-Hidayah digunakan untuk azan, puji-pujian, dan iqamah saja, toa masjid ini juga digunakan sebagai pengumuman ketika ada orang meninggal. Menariknya, bukan hanya orang islam yang diumumkan di situ, ketika ada orang kristen yang meninggal, pun diumumkan lewat toa Masjid Al-Hidayah ini.

Menurut Bukhori, selaku pengurus Masjid Al-Hidayah dusun Purbo ini, ia sering dimintai tolong oleh warga sekitar, khususnya umat kristen untuk mengumumkan warga yang meninggal di dusun tersebut.

Katanya, ada ciri khas tersendiri ketika mengumumkan. Misalkan yang meninggal adalah seorang muslim, maka diawali dengan kata ‘innaa lillahi wa innaa ilaihi raajiuun’, dan jika yang meninggal adalah umat kristiani, maka kata yang diawali adalah ‘telah pulang ke rumah bapa’ atau ‘turut berduka cita’.  Hal ini menunjukkan betapa harmonisnya kehidupan dua agama di sebuah dusun, tanpa ada perselisihan satu sama lain.

Baca juga: Harmonisasi Kebudayaan dan Agama: Praktik Moderasi Beragama dalam Kearifan Lokal Negeri di Atas Awan

Kondisi Sosial-Budaya 

Dalam konteks sosial-budaya, masyarakat di dusun purbo sendiri sudah terbiasa dalam kegiatan gotong-royong yang dilaksanakan setiap Jum’at Kliwon. Biasanya, untuk memberi pengumuman kepada masyarakat untuk mengikuti gotong-royong, diberitahukan melalui toa Masjid Al-Hidayah. Semua warga turut serta dalam kegiatan ini, tanpa melihat latar bekalang agama atau struktur sosialnya.

Disamping itu, ketika perayaan idul fitri maupun natal, warga saling memberi ucapan selamat, baik itu selamat natal maupun selamat hari raya idul fitri. Dan seringakali umat islam di Dusun Purbo diundang untuk menghadiri perayaan natal di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Purbo setiap tahunnya, tidak terkecuali penulis juga yang tahun lalu turut diundang oleh Pdt. Alfius Sokidi dalam perayaan natal. Bagi penulis itu adalah toleransi yang luar biasa. Mereka tidak menjadikan agama sebagai pembatas dalam menjalin kerukunan. Yang dilihat adalah ‘manusianya’.

Pemakaman Umat Islam-Kristen

Selain toa Masjid Al-Hidayah yang menjadi simbol moderasi beragama di Dusun Purbo, Desa Jolotigo, ada hal yang menarik lagi yang perlu penulis sampaikan di sini, yakni terkait pemakaman yang ada di Dusun Purbo.

Biasanya, yang sering terjadi di banyak daerah, sebuah pemakaman umum seringkali digunakan oleh umat muslim saja. Ketika ada salah satu warga yang meninggal, dan itu kebetulan adalah non muslim, di beberapa kasus sering ditolak jika akan dimakamkan di situ, salah satunya kasus di Desa Ngares Kidul, Kabupaten Mojokerto Jawa Timur.

Berbeda halnya dengan yang terjadi di Dusun Purbo, pemakaman di sini dicampur, antara orang Islam dengan Kristen—bahkan makam orang kristen tetap menggunakan nisan berbentuk salib.

Dari Dusun Purbo ini bisa kita ambil pelajaran bahwa sebelum munculnya istilah “moderasi beragama”, di dusun ini sudah menerapkan nilai-nilai moderat dan kerukunan antar umat beragama sejak puluhan tahun silam.

Maka, seyogyanya moderasi beragama bukan hanya diucapkan secara lisan dan dibicarakan dalam seminar di ruang-ruang kelas saja, akan tetapi juga dipraktikan dalam kehidupan nyata.

Moderasi Beragama dan Toleransi di Desa Karangturi, Lasem: Simbol Harmoni dalam Keberagaman

Penulis: Avini Fitriani, Editor: Najwa

Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia, memiliki tanggung jawab besar dalam mewujudkan kehidupan beragama yang selaras dan penuh kedamaian. Dalam konteks keislaman, prinsip moderasi atau wasathiyah menjadi dasar penting yang perlu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, terlebih dalam menghadapi keragaman sosial dan budaya yang begitu kompleks. Nilai-nilai ini mencakup perbedaan agama, budaya, suku, dan adat istiadat yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia (Dawing, 2017, hlm. 231).

Agama memiliki peranan sentral dalam kehidupan individu maupun masyarakat, Ibarat pondasi sebuah bangunan yang menentukan kekuatan dan ketahanan struktur sosial. Ketika pemahaman keagamaan seseorang kokoh dan benar, maka perilaku dan sikap keberagamaannya pun akan terarah dan stabil. Namun, bila pemahaman tersebut lemah, keyakinan pun mudah goyah, membuka peluang bagi konflik dan intoleransi. Oleh karena itu, dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, penting sekali untuk menanamkan sikap saling menghargai antar umat beragama.

Toleransi menjadi jembatan yang menghubungkan perbedaan dalam kehidupan sosial. Hal ini dapat dilihat dari bentuk-bentuk dukungan sosial antar kelompok masyarakat yang berbeda keyakinan, baik dalam lingkup pribadi maupun publik. Alah satu contoh nyata dari keberhasilan praktik toleransi ini adalah kehidupan di Desa Karangturi, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang.

Rembang, sebuah kabupaten di pesisir utara Pulau Jawa, terletak di jalur utama Pantai Utara (Pantura) yang strategis. Di wilayah ini, terdapat Desa Karangturi yang menjadi simbol keberagaman, dengan populasi yang didominasi oleh warga keturunan Tionghoa. Letaknya dekat dengan kawasan Pecinan Lasem dan berbatasan dengan beberapa desa lainnya seperti Soditan di utara, Jolotundo di selatan, Babagan di barat, dan Sumbergirang di timur (Kurnianto & Iswari, 2019, hlm. 45).

Keberadaan komunitas Tionghoa di Lasem tidak terlepas dari sejarah kedatangan Laksamana Cheng Ho yang pernah berlabuh di sekitar Sungai Babagan. Peninggalan sejarah seperti Klenteng Cu An Kiong yang diyakini sebagai salah satu yang tertua di Jawa dan terletak di Desa Soditan menjadi bukti kuat jejak awal peradaban Tionghoa di kawasan ini (Fahri & Zainuri, 2019, hlm. 98). Klenteng tersebut kini menjadi simbol penting yang turut mempererat ikatan antara warga lokal dengan komunitas Tionghoa.

Masyarakat Desa Karangturi mempertahankan tradisi serta budaya leluhur mereka secara turun-temurun. Nilai-nilai kultural yang hidup di tengah masyarakat menjadi bagian dari etika sosial yang turut membentuk identitas kolektif mereka. Tingkat toleransi yang tinggi di desa ini tidak lepas dari warisan budaya tersebut, yang telah membentuk sikap saling menghormati dan hidup berdampingan secara damai (Fitriani, 2020, hlm. 188).

Kegiatan keagamaan di Desa Karangturi berjalan secara rutin dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga. Misalnya, umat Islam secara konsisten mengadakan pengajian, shalat berjamaah, tahlilan, dan manakiban yang dilaksanakan setiap malam Jumat. Namun, hal yang menarik adalah, walaupun berbeda keyakinan, warga desa tetap bisa hidup rukun, tanpa adanya rasa curiga atau sikap eksklusif yang memisahkan (Mubit, 2016, hlm. 175).

Toleransi juga tercermin jelas dalam perayaan hari-hari besar keagamaan. Saat Tahun Baru Imlek, misalnya, seluruh warga, baik Muslim maupun non-Muslim, turut serta dalam perayaan. Mereka bersama-sama menyaksikan pertunjukan barongsai dan acara budaya lainnya. Partisipasi aktif ini mencerminkan semangat kebersamaan yang tinggi dan hubungan antar warga yang harmonis (Kurnianto & Iswari, 2019, hlm. 50).

Hal serupa juga terjadi ketika Hari Raya Idul Fitri tiba. Komunitas non-Muslim turut menyampaikan ucapan selamat, bahkan membuka pintu rumah mereka untuk menerima kunjungan silaturahmi dari tetangga Muslim. Tidak ada batasan yang menghambat interaksi sosial mereka. Justru, suasana saling kunjung dan berbagi kebaikan semakin mempererat solidaritas antar umat beragama (Fahri & Zainuri, 2019, hlm. 99).

Sikap inklusif ini menjadi kekuatan utama masyarakat Desa Karangturi dalam membangun kehidupan sosial yang damai. Mereka tidak hanya saling menghargai, tetapi juga aktif menciptakan ruang-ruang interaksi yang sehat antar kelompok agama. Keteladanan mereka patut menjadi model yang bisa diterapkan di daerah lain.

Masyarakat Desa Karangturi berhasil menunjukkan bahwa toleransi bukan hanya sekadar wacana, melainkan bisa diwujudkan dalam tindakan nyata. Keragaman latar belakang budaya, etnis, dan agama bukanlah hambatan bagi terwujudnya kehidupan sosial yang harmonis. Selama prinsip saling menghargai dan menghormati tetap dipelihara, perdamaian akan senantiasa hadir dalam kehidupan bermasyarakat.

Moderasi beragama menjadi pilar penting dalam membentuk masyarakat yang adil dan seimbang. Penerapannya yang konsisten, seperti yang terlihat di Desa Karangturi, membuktikan bahwa keberagaman dapat dirayakan, bukan ditakuti. Dalam era yang semakin pluralistik, pendekatan moderat dalam beragama sangat relevan dan diperlukan.