Penulis: Imam Kanafi, Editor: Nanang
Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) melalui penelitian mereka menyimpulkan bahwa pemahaman Islam garis keras yang kini menyerang generasi muda berkembang karena pembelajaran agama yang bersifat instan dan dangkal. Mayoritas generasi muda belajar Islam melalui internet dan sumber-sumber lain yang bukan naskah asli, seperti edisi terjemahan, sehingga menimbulkan kesalahan penafsiran. Padahal, Islam, jika dipahami dengan benar, adalah agama yang membawa kedamaian dan keharmonian.
Abdul Muta’ali mengungkapkan bahwa banyak kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an, yang pada gilirannya memicu radikalisme dan tindakan teroris atas nama agama. Kesalahan tersebut sering kali terletak pada aspek gramatikal dan budaya Arab yang menjadi bahasa Al-Qur’an.
Contohnya, kata “qaatilu al musyrikiina” seringkali diterjemahkan sebagai “bunuhlah orang-orang musyrik.” Namun, Abdul Muta’ali menyoroti bahwa secara gramatikal, kata “qaatilu” seharusnya diartikan sebagai “berperanglah.” Ini memiliki dampak signifikan karena menggeser persepsi dari tindakan sadis dan barbar menjadi tindakan manusiawi, yang mungkin saja merupakan bentuk pembelaan diri.
Penafsiran yang lebih kontroversial terjadi pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 191, di mana kata “waqtuluuhum khaytsu tasqiftumuuhum” diartikan sebagai “Bunuhlah mereka dimanapun kamu jumpai mereka.” Muta’ali menekankan bahwa seharusnya kata “bunuhlah” digantikan dengan “berperanglah” dan kata “tsaqiftumuuhum” diartikan sebagai “yang menyerang kamu.” Ini memperjelas konteks, mengubah pesan dari serangan tanpa alasan menjadi pertahanan terhadap serangan.
Dari segi budaya, penafsiran yang keliru juga sering terjadi pada istilah “kafir.” Di Indonesia, kata ini sering dimaknai sebagai lawan kata “Mukmin” dengan sentimen penghakiman. Namun, dalam budaya Arab, “kafir” lebih mengacu pada tindakan mengingkari dan mendustakan. Misalnya, pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 28, kalimat “Kaifa takfuruuna billahi wakuntum amwaatan…” sering kali disalahartikan sebagai “kenapa kamu kafir kepada Allah, padahal dulunya kamu mati.” Padahal, jika dimaknai sebagai mengingkari nikmat Allah, pesan akan lebih mengajak dialog dan refleksi.
Dari segi gramatikal, penggunaan “kafir” sebagai Isim Fa’il (pelaku) yang diidentifikasi sebagai identitas yang melekat pada seseorang dianggap salah. Sebagai gantinya, “kafir” seharusnya diartikan sebagai fi’il mudhori (kata kerja), memungkinkan perubahan sesuai dengan niat dan kondisi yang melatarbelakangi.
Jika ajaran Islam dikaji secara mendalam dan komprehensif, inti ajarannya sebenarnya menolak kekerasan dan mendorong kedamaian serta keharmonian. Islam, yang berasal dari kata Aslama yang berarti menyelamatkan dan mendamaikan, seharusnya mengarah pada terwujudnya kedamaian dan keharmonian di muka bumi. Oleh karena itu, perlunya pemahaman yang lebih mendalam dan kritis terhadap Al-Qur’an dan ajaran Islam untuk mencegah pemahaman yang salah dan radikalisasi.