Penulis: Azzam Nabil H., Editor: Tegar Rifqi
Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, weton memiliki makna yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Weton, yang merupakan gabungan dari hari dan pasaran dalam penanggalan Jawa, diyakini tidak hanya sebagai penanda hari lahir seseorang, tetapi juga sebagai dasar dalam menentukan berbagai aspek kehidupan, seperti kecocokan jodoh, waktu yang tepat untuk memulai usaha atau panen, hingga arah pembangunan rumah. Dalam masyarakat tradisional Jawa, weton bahkan menjadi dasar dalam ritual-ritual penting, seperti pernikahan dan kelahiran. Namun, lebih dari sekadar ramalan, masyarakat Jawa memaknai weton sebagai bagian dari kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Hal ini diperkuat oleh pendapat dari pakar filsafat Jawa Universitas Gadjah Mada, Dr. Iva Ariani, S.S., M.Hum., yang menyatakan bahwa weton merupakan bentuk dari “Ilmu Penanda”, yaitu metode masyarakat Jawa dalam membaca dan memahami situasi di sekitar mereka melalui pengalaman yang disebut sebagai “Ilmu Titen”.
Dalam perspektif filsafat, Ilmu Titen merupakan bentuk epistemologi tradisional yang digunakan oleh leluhur Jawa untuk mengenali pola-pola alam dan sosial berdasarkan pengalaman empiris. Contohnya, ketika masyarakat melihat banyak hewan turun dari gunung, mereka menafsirkan bahwa kemungkinan besar akan terjadi gempa bumi. Kepercayaan ini tidak muncul begitu saja, melainkan lahir dari pengamatan berulang kali terhadap fenomena alam yang konsisten. Pengetahuan semacam ini mirip dengan apa yang dalam sains modern disebut inductive reasoning, yakni menarik kesimpulan dari pola kejadian yang berulang.
Baca juga: Tradisi Perlon Unggahan Bonokeling oleh Masyarakat Desa Pekuncen, Kabupaten Banyumas
Namun demikian, Dr. Iva Ariani juga mengingatkan bahwa masyarakat tidak boleh menaruh kepercayaan secara mutlak terhadap hitung-hitungan weton. Ia menekankan pentingnya bersikap kritis dan bijaksana dalam menyikapi tradisi ini. Menurutnya, weton sebaiknya diposisikan sebagai alat bantu untuk meningkatkan kewaspadaan, bukan sebagai penentu mutlak takdir. Ia mengibaratkannya seperti ketika langit tampak mendung, maka kita bersiap membawa payung, bukan serta merta memastikan hujan akan turun. Dengan kata lain, weton bisa dijadikan sebagai sarana antisipatif yang membantu seseorang dalam mengambil keputusan yang lebih hati-hati. Pendekatan semacam ini mencerminkan bagaimana tradisi lokal dapat beriringan dengan sikap rasional, sehingga warisan budaya tetap relevan dalam kehidupan modern tanpa mengabaikan logika dan akal sehat.
Disamping itu, dalam sudut pandang Islam yang menjunjung nilai-nilai moderasi beragama, tradisi weton dipandang sebagai bagian dari kearifan lokal yang dapat diterima selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid. Islam moderat mengedepankan pendekatan yang menghargai budaya lokal tanpa mengabaikan nilai-nilai keislaman. Dalam konteks ini, weton tidak dilihat sebagai takhayul atau bentuk syirik selama dimaknai sebagai sarana refleksi dan antisipasi, bukan sebagai kepastian nasib. Tradisi semacam ini juga bisa menjadi media edukatif dan spiritual untuk menumbuhkan kehati-hatian dalam bertindak.
Baca juga: Tradisi Menyambut Ramadan: Nyekar, Padusan, dan Nyadran
Hal ini selaras dengan program prioritas Kementerian Agama (Kemenag) yang menekankan pentingnya penguatan moderasi beragama sebagai upaya strategis untuk meningkatkan kerukunan dan menghargai setiap perbedaan, terutama dalam konteks tradisi dan budaya yang telah melekat sebagai jati diri masyarakat Jawa. Selain itu, Menteri Agama, Nasaruddin Umar, juga mengajak umat beragama untuk menjaga kekompakan dalam keragaman dan saling menghargai tradisi yang ada di masyarakat. Pendekatan ini mencerminkan komitmen Islam moderat dalam merawat harmoni sosial melalui penghargaan terhadap budaya lokal yang telah menjadi bagian integral dari identitas masyarakat.
*Source:
Menag Ajak Umat Kompak dan Saling Menghargai Keragaman Tradisi
PodcastUGM, Antara Weton, Zodiak dan Sains
*Ilustrasi: Nawacita.co