Mengenal Syekh Nujumudin : Ulama Sufi Pembabad dan Penyebar Islam di Watusalam

Penulis: Muhammad Irfan, Editor: Fajri Muarrikh

Desa Watusalam terletak di Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan dan berbatasan dengan Desa Warungasem Kabupaten Batang disebelah timur, dan berbatasan dengan Kota Pekalongan di sebelah utara.

Di desa Watusalam terdapat seorang punden atau leluhur yang membabad tanah Watusalam, bernama Syekh Nujumuddin dari Cirebon, lahir pada tahun 1690 M, dan wafat pada tahun 1771 M, pada bulan safar. Beliau adalah seorang murid dari Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Jawa Barat. Setelah membuka perguruan atau pesantren di Gua Safarwadi, Syekh Abdul Muhyi Pamijahan banyak kedatangan murid-murid, salah satunya Syekh Nujumuddin. Kurang lebih tujuh tahun beliau menimba ilmu dan mengambil sanad tarekat Syattariyah, setelah itu Syekh Abdul Muhyi memerintahkan kepada Syekh Nujumuddin untuk menyebarkan Agama Islam dan berdakwah dari Cirebon menuju ke pesisir utara Jawa.

Dalam menuju ke pesisir utara laut jawa, beliau bersama dengan rombongan Syekh Faqih Ibrahim, putra dari Syekh Abdul Muhyi untuk menuju ke Mataram, akan tetapi Syekh Nujumuddin memisahkan diri karena dalam perjalanan beliau teringat pesan gurunya bahwa ada murid tua dari gurunya bernama Syekh Tholabuddin di Batang, yang saat itu sudah menjabat menjadi penghulu di Batang. Akhirnya, Syekh Nujumuddin berpisah dari rombongan dan menuju ke murid tertua Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Dalam perjalanannya, beliau beberapa kali bertemu dengan orang untuk menanyakan tempat tinggal Syekh Tholabuddin, akhirnya setelah mengetahui keberadaan Syekh Tholabuddin, Syekh Nujumuddin mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Syekh Tholabuddin, dikarenakan Syekh Tholabuddin sudah menjadi penghulu. Beliau singgah di suatu daerah untuk meminta petunjuk sebelum menemui Syekh Tholabuddin, daerah itu dipenuhi pohon salam dan bambu, kemudian beliau memilih dibawah pepohonan bambu dan mendirikan gubuk untuk tempat tinggal tepatnya di pinggir kali kupang. Orang yang mengetahui ada gubuk di pinggir kali kupang dan mengetahui beliau seorang ulama, akhirnya banyak yang mendatangi untuk berguru kepadanya. Pada tahun 1740 M, beliau mendirikan gubuk atau pesantren untuk menampung murid-murid yang belajar dengan beliau.

Baca Juga : Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Perjalanan Sejarah Menuju Kepresidenan RI

Setelah mendapat petunjuk dan sudah lama mengajar murid-muridnya, beliau menemui Syekh Tholabuddin di Masin. Serampung menemuinya, Syekh Nujumuddin kembali ke tempat padepokannya yang di pinggiran kali kupang, yang nantinya tempat itu dinamakan Watujoyo. Disana syekh Nujumuddin mendirikan perkampung yang bernama Watujoyo, sehingga beliau dikenal Buyut Watujoyo. Beliau lah yang pertama kali membabad tanah yang tadinya alas menjadi perkampungan. Di era Belanda desa Watujoyo nantinya di pecah menjadi dua, pertama menjadi desa Kertoharjo dan kedua bernama Watusalam. Makam Syekh Nujumuddin berada dikompek pemakaman seklayu desa Watusalam. Dalam catatan naskah Cirebon berkode KBG 628 PNRI, dari bagus ihram, ditulis pada kertas Eropa. Terdapat dua jenis bahasa yaitu bahasa Arab dan pegon. Bahasa Arab berjumlah 120 halaman dan 30 halaman menggunakan pegon, tertulis silislah sanad keilmuan Syekh Nujumuddin. Untuk silsislahnya, secara berurutan sebagia berikut.

Rasulullah saw.

Ali kang putra Abi Thalib

Husein al-Syahid

Zainal Abidin

Muhammad Baqir

Ja‟far al-Sidiq

Sultan Arifin Abi Yazid al-Bistami

Muhammad Magrib

Arabi Yazid al-Isyqi

Abu Mugafir Maulana Ihram Tusi

Abi Hasani Harqani

Hadaqili Madri al-Nahrini

Muhammad Asyiq

Muhammad Arif

Hidayat Allah Sarmusun

Hasur

Muhammad Gaus kang putra Hatib al-Din

Wajih al-Din

Sibgat Allah kang putra Sayyid Ruh Allah

Sayyidina Abi Muwahid Abd Allah Ahmad kang putra Abbas

Syaikh Ahmad kang putra Muhammad ing Madina, Syaikh Ahmad Qasyasi

Syaikh Abd al-Rauf kang putra Ali kang bangsa Syaikh Hamzah Fansuri

Syaikh Abd al-Muhyi Safarwadi

Syaikh Nujum al-Din

Kanjeng Kyai Haji Muhammad Yunus Saferwedi

Kyai Bagus Muhammad Taraju Cisarua

Bagus Ihram Carebon Babakan

Baca Juga : Mengenal Lebih Dekat Sosok Habib Ja’far atau yang Lebih Dikenal Habib Milenial 

Demikianlah biografi dari Syekh Nujumudin yang bisa penulis ceritakan. Syekh Nujumuddin meninggalkan warisan yang tak hanya berupa perkampungan dan pesantren, tetapi juga jejak spiritual yang terus hidup melalui para murid dan silsilah keilmuannya. Hingga kini, Desa Watusalam tetap mengenang beliau sebagai tokoh sentral dalam perkembangan agama Islam di wilayah tersebut, dengan makamnya menjadi salah satu situs bersejarah yang dihormati.  Jika ada kekeliruan, bisa dikoreksi bersama.

Wallahu a’lam..

Mengenal Lebih Dekat Sam’ani Sya’roni: Sang Pembawa Petuah Sejak Muda

Pewarta: Hilma, Rista, Danny, Editor: Azzam Nabil H.

Prof. Dr. K.H. Sam’ani Sya’roni, M.Ag, adalah pria kelahiran 5 mei 1973 yang lahir di desa Ketas, Kecamatan Wonopringgo, Kabupaten Pekalongan, anak ke 9 dari pasangan K.H Nur Sya’roni dan ibu Hj. Istiqomah. Prof. K.H Sam’ani tinggal bersama istri tercinta Izza Kamila, S.Pd dan anak tersayang Aisya Maila Shofya di desa Wangandowo Kecamatan Bojong Kabupaten Pekalongan.

Prof. K.H Sam’ani mengawali pendidikannya di MI Wonopringgo III sembari mengaji di madrasah diniyah yang berada di kampung halamannya. Setelah menyelesaikan sekolah dasarnya, beliau kemudian melanjutkan pendidikannya di MTs YMI Wonopringgo sambil memperdalam ilmu agamanya di Pondok Pesantren Miftakhul Huda yang bertempatkan di daerah Pesantunan, Kedungwuni. Pondok pesantren ini berada di bawah asuhan K.H. Fakhrurozi.

Selepas tamat dari MTS, Prof. K.H. Sam’ani melanjutkan memperdalam ilmu agamanya di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, dan menempuh pendidikan formal di MAN Tambak Beras. Namun pada saat naik ke kelas 2 Aliyah, Prof. K.H Sam’ani pindah belajar ke MAS Simbang Kulon, Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan, dan juga meneruskan pendidikan agamanya di Pondok Pesantren Nurul Huda, Simbang Kulon, yang di Asuh oleh K.H. Chudhori Tabri.

Baca Juga: Menyingkap Kehidupan dan Ajaran Gus Baha: Antara Fikih, Tasawuf, dan Muhasabah Diri

Setelah tamat dari MAS Simbang Kulon, Prof. K.H Sam’ani kemudian menempuh pendidikan tinggi dengan berkuliah di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Pekalongan yang menjadi cikal bakal Kampus UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan. Selama menempuh kuliah S1 ini, Prof. K.H Sam’ani nyantri di ponpes Al Aribiyah yang di asuh oleh Pondok Pesantren Al Arifiyah yang diasuh oleh K.H. Zaenal Arifin.

Prof. K.H Sam’ani mendapatkan gelar S1 Fakultas Syariah IAIN Pekalongan jurusan Qadla’ / Peradilan Agama pada tahun 1996. Kemudian pria yang sejak kecil gemar berpidato ini memutuskan hijrah ke Jakarta untuk mencari pengalaman baru di ibu kota. Dengan modal do’a dari kedua orang tua dan rasa percaya diri Prof. K.H sam’ani mengikuti Pendidikan kader ulama MUI DKI angkatan ke 3. Setelah menyelesaikan Pendidikan kader ulama, Prof K.H Sam’ani mengikuti kuliah lagi di Pendidikan bahasa Arab, Qism Diblum LIPIA, Jakarta.

Kemudian di tahun 1999, Prof. K.H Sam’ani diangkat sebagai dosen STAIN Pekalongan. Dua tahun setelahnya, Prof. K.H Sam’ani mendapatkan tugas dari STAIN mengikuti pendidikan Short Course Daurah Tadribiyyah fi al – Lughah al – ‘Arabiyyah di Jami’ah Qanat Swiss Ismailiyyah, Mesir. Adapun dalam menempuh pendidikan S2 dan S3, beliau mendalami studinya dengan mengambil konsentrasi bidang hukum-hukum Islam di UIN Walisongo Semarang, hingga akhirnya mendapatkan gelar megister dan doctor studi islam pada tahun 2017.

Dengan penuh semangat dalam menuntut ilmu dan giat melakukan penelitian di bidang studi terkait, kini anak yang berasal dari desa Ketas, kecamatan Wonopringgo, kabupaten Pekalongan ini telah mencapai gelar akademik tertinggi yakni sebagai guru besar atau professor dalam bidang ilmu hukum islam di UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan. Selama perjalanan karirnya sebagai seorang dosen, Prof. K.H Sam’ani pernah di amanati beberapa tugas tambahan, yaitu menjadi kepala program studi Ahwal Syakhshiyyah Jurusan Syariah STAIN Pekalongan, menjadi Wakil Dekan 1 Bidang Akademik dan kelembagaan Fakultas Syariah IAIN Pekalongan, dan saat ini beliau menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Lukman Hakim Saifuddin: Pembawa Obor Toleransi ala Gus Dur Muda

Disisi lain, karena keuletan dan etos kerja yang tinggi, Prof. K.H. Sam’ani juga diberikan amanah sebagai mediator non-hakim di pengadilan agama Kajen, Asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT), Ketua dewan pengawas syariah KSPPS BMT Bahtera Pekalongan dan pengasuh beberapa majlis ta’lim yang terdiri dari pengajian rutin tafsir Al quran di masjid agung  kabupaten Batang, majlis ta’lim masjid Asy sya’roni Limbangan, kecamatan Karanganyar, majlis ta’lim Attawab, Karang asem Batang, majlis ta’lim musholla Anshori Simbang wetan Buaran, Pekalongan, kajian rutin KSPPS Bahtera, serta pengasuh ngaji Al quran untuk anak2 kecil di rumahnya.

Dalam bidang akademik, Prof. K.H Sam’ani Sya’roni, M.Ag juga telah menghasilkan berbagai macam karya-karya ilmiah seperti jurnal, prosiding, buku, haki, makalah seminar nasional dan internasional. Salah satu karyanya berbentuk buku yang berjudul “Tafkirah Ulum Al -Qur’an, Pekalongan: Al-Ghotasi Putra, 2013”

Disamping itu, dalam mengajarkan ilmunya atau ketika berdakwah, beliau juga terjun langsung di lingkungan masyarakat mulai dari pelosok desa, ibu kota, bahkan internasional. Tak heran, karena usahanya yang gigih dalam berdakwah, Prof K.H Sam’ani juga sering diundang dalam acara- acara penting, dan bahkan sering melintang di staisun televisi seperti BATIK TV, TVRI, dan bahkan di acara siraman qolbu bersama ustad danu yang tayang pada stasiun televisi MNCTV. Namun setelah menjadi dosen di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Peklongan, akhirnya beliau memutuskan untuk berhenti tampil di stasiun televisi dan fokus pada karirnya menjadi dosen serta memberikan kontribusi penuh kepada kampus.

 

Mengenal Lebih Dekat Sosok Habib Ja’far atau yang Lebih Dikenal Habib Milenial

Penulis : Adinda Suci Fadilah, Editor : Ryuu Pangestu

Nama asli Habib Ja’far adalah Husein Ja’far Al-Hadar, lahir di Bondowoso, Jawa Timur, pada tanggal 21 Juni 1988, dan merupakan keturunan sah Nabi Muhammad SAW. Ia mendapat gelar Habib dari garis keturunan Nabi Muhammad SAW melalui Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah. Dia mendapat kalimat ini dari ayahnya. Habib Husein Ja’far lahir dan besar di keluarga Arab.

Berawal dari kakeknya yang datang ke Indonesia untuk berdagang, Habib Husein terlahir dalam sebuah keluarga. Terlahir dari keluarga Habib yang sangat religius, ia harus menjaga harkat dan martabat keluarganya serta menjaga Islam itu sendiri sebagai agama. Sejak kecil, Habib Husein harus membiasakan diri dengan aturan, norma, dan nilai yang dianggap membatasi oleh sebagian orang. Mengutip wawancara di channel YouTube Tretan Universe, ia mengatakan jika ia terlambat menunaikan salat Asri di SMA, ia akan diolok-olok oleh teman-temannya.

Baca juga : Panggung FEBIFEST UIN Gus Dur Pekalongan Dimeriahkan oleh Habib Husein ja’far Al-Hadar Usung Tema “Milenial Merawat Peradaban”

Di bangku SMA, Habib Husein belajar tentang kitab-kitab filsafat dan tokoh-tokohnya. Habib Ja’far cukup terkenal di kalangan pemuda sebagai pencerah pemuda yang tersesat. Habib Ja’far mempunyai narasi yang lancar dan mudah dipahami. Hal ini akan selalu membuat pesan dakwahnya bergema di kalangan generasi muda. Selain itu, Habib Ja’far juga mengutarakan keresahan generasi muda sehari-hari, sehingga pesan khotbahnya relevan dengan situasi generasi muda saat ini.

Habib Ja’far selalu update berita terkini. Ia juga selalu memahami apa yang diinginkan pasar media saat ini, yakni budaya pop. Habib Ja’far selalu aktif membuat konten di Instagram dan YouTube. Konten terpopuler adalah Lost Youth, konten yang dibuat atas kerja sama Coki Pardede dan Tretan Muslim. Konten ini menimbulkan beberapa pertanyaan aneh, namun Habib menjawabnya dengan keseriusan individu.

Baca juga : Mengenal Lebih Dekat Lukman Hakim Saifuddin: Pembawa Obor Toleransi ala Gus Dur Muda

Hal ini menimbulkan minat generasi muda untuk mendengarkan khotbah santai Habib Ja’far. “Selama dia baik dan mendorong kebaikan. Orang tidak bertanya tentang agama.” Gus Dur mengucapkan kata-kata itu. Bacaan Habib Ja’far ini sejalan dengan pernyataan Gus Dur. Padahal, perilaku Habib Ja’far merupakan bentuk toleransi sejati sesuai kaidah Rasulullah.

Habib menjadi sahabat baik dan akrab dengan tokoh agama non-Muslim. Perlu diketahui bahwa Islam sebenarnya adalah agama yang damai dan sederhana. Habib Ja’far juga memadukan humor dan dakwah. Humor Habib Ja’far mampu menyampaikan warna dakwah Islam yang tidak kaku, toleran, kontestasi, kontemplatif dan menghibur.

Dari sini terlihat bahwa suatu persoalan yang serius dan seringkali disampaikan secara kaku juga dapat disampaikan dengan santai dan bersahabat. Di masyarakat tertentu, dakwah jenis ini lebih populer dibandingkan ceramah di kelas. Dari Habib Ja’far kita dapat belajar bahwa Islam adalah agama yang terbuka terhadap inovasi dan perkembangan seiring berjalannya waktu.

Maka tidak salah jika ada ungkapan Islam shalih likulli masa wa makan (menyesuaikan diri dengan segala waktu dan tempat). Tentu saja, penebusan ini kembali kepada kita melalui cara penafsirannya, cara pemahamannya, dan cara penerapannya. . Apa yang dilakukan Habib Ja’far merupakan bagian dari wajah Islam yang progresif, terbuka dan inovatif.

Baca juga : Sosok KH. Taufiqul Hakim dalam Modernisasi Pendidikan Pesantren: Menyatukan Tradisi dan Inovasi dalam Pembangunan Karakter dan Kualitas Manusia

Habib Ja`far juga mendorong semua kalangan untuk menggunakan platform digital sebagai sarana dakwah. Sebab, media sosial kini telah menjadi domain dakwah Islam mainstream. Ia mencontohkan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Sosial (PPIM), UIN Jakarta, yang menemukan lebih dari 63 persen pengguna internet belajar agama melalui internet. Dengan demikian, dakwah menjadi penting di dunia digital dengan segala tantangannya.

Dakwah digital dinilai jauh lebih efektif, murah, dan mudah. Alat ini mudah dibuat dan dapat dibuat bahkan di rumah, murah karena tidak memerlukan transportasi dan efektif di tangan serta dapat dimainkan berkali-kali. Habib Ja`far yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW pun menanggapi sinisme pembelajaran di media sosial yang dinilai jauh secara ilmiah dari pesantren. Bagi Habib Ja`far, media digital dan pertemuan taklim hanyalah alat, seperti pesantren dan sekolah.

Dakwah sendiri, ditegaskan Habib Jafar, tidak hanya mengajak umat beribadah kepada magdhoh (kepala), tapi juga kebaikan dan dakwah. Termasuk transmisi nilai-nilai kebangsaan, kebaikan spiritual, seni, dan lain-lain. Pesan Dakwah Habib Ja`far di Instagram meningkatkan pemahaman agama. Dengan isi yang sesuai dan bahasa yang mudah dipahami, Habib Jafar membantu masyarakat lebih memahami ajaran agama.

Postingannya di Instagram dapat menjadi sumber informasi dan inspirasi bagi para pengikutnya. Meningkatnya penyebaran dakwah di jejaring sosial Instagram memungkinkan Habib Jafar menjangkau calon pengikutnya di berbagai daerah. Hal ini akan membantu memperluas jangkauan dakwah dan menjangkau lebih banyak orang. Ciptakan Komunikasi Positif Dengan menanggapi komentar dan pesan, Habib Ja`far menciptakan suasana komunikasi positif antara dirinya dan pengikutnya.

Hal ini memperkuat ikatan antara jemaah dan khatibnya dalam membangun komunitas yang saling mendukung. Habib Ja`far juga menggunakan kutipan religi dalam tulisannya yang dibagikannya di Instagram. Ini menyampaikan pesan-pesan keagamaan dengan teks yang diselingi dengan kutipan keagamaan yang relevan. Ini membantu menyampaikan pesan secara efektif dan efisien.

Habib Jafar menggunakan ekspresi wajah yang ekspresif untuk menunjukkan emosi dan menekankan pesan yang disampaikan. Frasa yang tegas, penuh kasih sayang, atau serius dapat membantu menyampaikan pesan dengan lebih efektif. Gestur tubuh Habib Jafar merupakan gestur yang tepat untuk menekankan poin-poin penting dalam ceramahnya.

Baca juga : K.H. Abdul Hamid Pasuruan: Sosok Ulama Sufi dan Tokoh Panutan

Ia tahu bagaimana menggunakan gerakan tangan atau tubuh yang mendukung penyampaian pesan yang disampaikan. menawarkan visualisasi yang lebih jelas kepada para pengikutnya. Habib Jafar juga menggunakan gambar dan grafik yang relevan untuk memperkuat pesan yang disampaikan. Ia juga menggunakan ilustrasi, infografis atau gambar dengan font yang indah untuk menyampaikan pesan secara visual.

 

DAFTAR PUSTAKA

https://idr.uin-antasari.ac.id/19938/6/BAB%20IV.pdf

https://kumparan.com/tengku-passa/kita-harus-belajar-dari-habib-jafar-20C6FGd9SLs/full

https://plus.kapanlagi.com/sempat-nakal-saat-kecil-cerita-motivasi-habib-jafar-curi-rel-kereta-api-83a031.html?page=7

https://jurnal.umj.ac.id/index.php/JKII/article/viewFile/17675/9048

Mengenal Lebih Dekat Lukman Hakim Saifuddin: Pembawa Obor Toleransi ala Gus Dur Muda

Penulis: Dely Lutfia Ananda, Editor: Ika Amiliya Nurhidayah

Ketika mendengar mengenai tokoh moderasi beragama, pikiran kita pasti akan langsung tertuju pada Gus Dur, sosok pejuang toleransi di Indonesia yang menanamkan nilai-nilai keislaman yang moderat dan inklusif. Namun, yang perlu diketahui, banyak sekali tokoh-tokoh moderasi beragama di samping Gus Dur, misalnya saja Lukman Hakim Saifuddin, yang memopulerkan istilah “Moderasi Beragama” sehingga beliau dijuluki sebagai “Bapak Moderasi Umat Beragama.” Mantan Menteri Agama Indonesia yang menjabat di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus Presiden Joko Widodo tersebut menghidupkan kembali nyala toleransi di Indonesia sebagai penerus Gus Dur dalam menyerukan pentingnya keharmonisan dalam keberagaman agama di Indonesia.

Biografi Dr. (H.C.) K.H. Lukman Hakim Saifuddin

Lukman Hakim Saifuddin (akrab disapa LHS) lahir di Jakarta pada 25 November 1962 merupakan putra bungsu dari Menteri Agama Indonesia ke-9, Saefuddin Zuhri, dan Nyai Siti Solichah, Ketua PW Muslimat NU Jateng 1950-1955. Riwayat pendidikannya dimulai dari SDN Jakarta dan Madrasah Ibtidaiyah Manaratul Ulum, lalu melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri XI Jakarta kemudian meneruskannya ke Pondok Modern Gontor, Jawa Timur, pada 1983. Lalu, pada 1990, beliau memasuki pendidikan sarjana di Fakultas Dakwah, Universitas Islam As-Syafiiyah, Jakarta.

Dibesarkan di keluarga yang kental dengan budaya Nahdlatul Ulama, membuat Lukman menjadi pribadi yang agamis, berpikiran terbuka, serta berpendirian teguh. Karirnya di organisasi kepengurusan NU dimulai ketika beliau dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Pimpinan Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (LKKNU) perangkat teknis PBNU yang bergerak dalam bidang pemberdayaan Masyarakat pada 1985-1988.

Setelahnya, pada tahun 1988-1999, Lukman bergelut di Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU sebagai Wakil Sekretaris, Kepala Bidang Administrasi Umum, Koordinator Program Kajian dan Penelitian, Koordinator Program Pendidikan dan Pelatihan, hingga menjadi Ketua Badan Pengurus.

Sementara itu, beliau memulai karir politiknya di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan kemudian menjadi anggota DPR RI periode 1997-2009. Setelahnya, beliau menjabat sebagai Wakil Ketua MPR-RI periode 2009-2014 kemudian barulah pada tahun 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin  menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia dua kali, yakni di Kabinet Indonesia Bersatu II pada 9 Juni 2014 lalu kembali menjadi menteri di Kabinet Kerja sejak 27 Oktober 2014.

Lukman Hakim Saifuddin dalam perjalanannya menerima anugerah gelar Dr. (H.C.) Bidang Pengkajian Islam Peminatan Moderasi Beragama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beliau juga menerbitkan buku berjudul “Moderasi Beragama” yang di dalamnya menjawab berbagai macam kekeliruan dan kesalahpahaman mengenai moderasi beragama.

Gagasan Dr. (H.C.) K.H. Lukman Hakim Saifuddin

Indonesia tidak hanya memiliki etnis, budaya, dan bahasa daerah yang beragam, tetapi juga memiliki agama yang bermacam-macam. Keberagaman yang telah ditakdirkan ada oleh Allah bukan hanya dijadikan simpanan kekayaan semata, melainkan merupakan sarana pemerkuat serta penghubung antara rantai ciri khas yang satu dengan yang lain agar menciptakan keselarasan dalam kebaikan. Dalam kehidupan bersosial, mau tidak mau, aspek kehidupan personal akan turut bergesekan dengan problem publik, seperti misalnya mengenai kepercayaan agama. Seringkali timbul gejolak masalah yang berakar dari ketidakmampuan seseorang dalam mengambil jalan tengah dalam suatu keputusan, sikap intoleran pada khususnya.

Menurut Lukman Hakim Saifuddin dalam Journal of Social Science Research Volume 3 Nomor 6 Tahun 2003, beliau ingin menyampaikan secara singkat poin dalam moderasi beragama itu adalah dengan bagaimana agar orang yang beragama tidak mengingkari inti pokok dari ajaran agama yang dianutnya. Dalam setiap ajaran agama, terdapat pesan-pesan Tuhan yang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni inti pokok yang universal dan inti pokok partikular. Inti pokok universal membawa pesan kedamaian yang mutlak yang menjadi kesepakatan bersama. Setiap insan pasti akan mengatakan bahwa melakukan kebaikan, menegakkan keadilan, memanusiakan manusia, serta menjaga kemasalahatan merupakan hal yang benar. Tidak mungkin ada agama yang membenarkan pembunuhan dan yang mengajarkan keburukan.

Sementara itu, inti pokok partikular adalah sesuatu yang lebih spesifik, mengatur hal-hal dan tata cara beribadah suatu agama. Ini bukan sesuatu yang dapat disepakati bersama antar umat beragama, justru dalam satu agama tertentu dapat memiliki pendapat yang berbeda-beda, bahkan seringkali menimbulkan perdebatan mana yang lebih baik dan mana yang tidak. Misalnya saja, penggunaan qunut di sholat subuh. Sebagian aliran tidak mempersoalkan penggunaan qunut, tetapi sebagian yang lain berpendapat bahwa qunut cukup penting untuk digunakan. Hal-hal seperti ini yang sering dipermasalahkan, dibandingkan berpikir bahwa yang lebih penting adalah mereka yang mendirikan sholat subuh, terlepas dari menggunakan qunut atau tidak. Hal seperti inilah yang ingin ditekankan oleh Lukman Hakim Saifuddin, bahwa yang perlu diwaspadai adalah sikap ekstremisme dalam beragama. Moderasi beragama adalah proses yang tidak berakhir, agar cara beragama tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas. Lalu, kapan seseorang dianggap telah bertindak berlebihan? Tolak ukurnya dikembalikan ke inti ajaran agama yang dianut oleh orang tersebut, apakah tindakan itu dapat membawa kemaslahatan umat sekaligus tidak mengingkari nilai-nilai kemanusiaan.

Lukman Hakim Saifuddin juga memfokuskan aspek penting dalam konsep moderasi beragama, yakni perihal sekat antara hal-hal internal dan eksternal dalam beragama. Wilayah internal yang dimaksud berkenaan dengan keimanan, berhubungan langsung dengan Tuhan dan perlu bersikap fanatik agar pondasi keyakinan tidak goyah. Di daerah internal ini, seseorang tidak diperbolehkan untuk mengintervensi kepercayaan seseorang terhadap Tuhannya dan haknya pula untuk berpegang teguh pada pesan-pesan Tuhan yang dia sembah.

Lain halnya dengan hal internal, hal eksternal berhubungan secara langsung dengan sesama makhluk Tuhan dan alam semesta. Lukman Hakim berpendapat bahwa di sinilah tempat dimana kemoderasian beragama dapat bergerak. Sikap toleransi betul-betul dibutuhkan untuk menghindari adanya permasalahan yang muncul akibat perbedaan cara pandang, sikap seseorang dalam beragama. Tidak ada yang perlu ditoleransi dalam agama, akan tetapi dalam hal cara beragamanyalah yang perlu untuk dimoderasikan karena pesan Tuhan sudah benar mutlaknya dan output manusia yang beragam terlalu mustahil untuk dapat dikendalikan menjadi satu. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh ada pada sikap menghormati dan menghargai keragaman yang ada.

Lukman Hakim Saifuddin menyebut bahwa moderasi beragama adalah proses dan ikhtiar yang tak berkesudahan dan tak berakhiran. Ia akan terus dinamis di tengah-tengah masyarakat yang agamis. Moderasi beragama haruslah dihayati dan diimplementasi sebagai gerakan bersama, bukan dimaknai sebatas program maupun proyek semata.

Refleksi Pemikiran Politik Menurut Imam Al Ghazali dalam Konteks Nilai-Nilai Islam dan Relevansinya pada Era Modern

Penulis: Ahya Adi Septiansyah, Editor: Choerul Bariyah

Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad bin Ahmad Al – Ghazali Avh-Thusi Asy-Syafi’i atau lebih di kenal dengan sebutan Al-Ghazali merupakan ulama yang ahli di bidang fiqih, filsafat, teolog, sufi dan ulama islam sunni terkemuka yang lahir di Thus, Khurasan Iran pada tahun 450 H/1058 M.

Sebagai figur yang berpengaruh dalam memberikan kontribusi yang sangat signifikat terhadap politik islam, konsep-konsep pemikiran Imam Al-Ghazali tentang kepemimpinan kenegaraan dan masyarakat yang adil dan makmur masih sangat relevan hingga saat ini.

Istilah politik tidak pernah luput dari algoritma platfrom-platfrom media sosial menjelang musim pemilu, hal ini terlihat setelah di adakannya deklarasi capres-cawapres ataupun caleg. Politik merupakan suatu proses atau kegiatan yang berkaitan dengan pengambilan sebuah keputusan khususnya dalam pemerintahan suatu negara  demokrasi yang sifatnya mengikat terkait dengan kebaikan masyarakat dan akan menjadi perubahan dalam suatu negara selanjutnya.

Imam Al-Ghazali merupakan intelektual muslim yang telah di akui keilmuannya oleh imam-imam lain ataupun ulama pada zamannya, sehingga Imam Al Ghazali di juluki sebagai “Hujjatul islam” argumentator islam. Beliau di kenal sebagai tokoh tasawuf dan filosof sehingga tak heran kalau beliau memiliki banyak gagasan di berbagai bidang termasuk dalam bidang politik.

Pemikiran-pemikiran Imam Al Ghozali memiliki corak bahwa konsepsi etika politik Al Ghazali adalah suatu teori sistem pemerintahan yang berisikan masyarakat dan peraturan negara yang memiliki moral yang baik dengan di topang oleh agama sebagai dasar negara. Hal yang menarik dan patut menjadi referensi politik muslim adalah, Al Ghazali mementingkan ilmu dan adab yang benar dalam berpolitik. Dengan ilmu dan adab yang benar, akan melahirkan pemerintahan yang baik, termasuk unsur unsur yang sangan penting seperti keadilan, transperasi dan integrasi.  konsep politik menut Imam Al Ghazali di tulis didalam kitab karya beliau yaitu “Ihya Ulumuddin”. Dalam kitab tersebut Imam Al Ghazali membangun sebuah argumentasi dari hal hal yang sangat fundamental.  Tujuan politik menurutnya adalah untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera bagi semua masyarakat, baik di kehidupan dunia maupun kelak di akhirat nanti. Hal tersebut dapat di capai dengan menegakkan nilai-nilai keadilan, kesejahteraaan, dan kesalihan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, Imam AL Ghazali menekankan pentingnya memilih pemimpin yang memiliki kualitas moral dan intelektual yang tinggi. seorang pemimpin harus bijaksana, bertakwa, adil dan memiliki pemahaman yang sangat luas tentang agama dan politik. Serta harus memimpin dengan penuh hikmah, ikhlas, bijaksana dan lebih mengutamakan kepentingan rakyatnya dibanding kepentingan dirinya sendiri.

Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya ulumuddin juga membahas politik dengan istilah “siyasah”. Siyasah merupakan aspek utama yang tidak dapat di pisahkan dalam politik sebuah negara. Karena dengan adanya siyasah akan tercipta sebuah sistem ketatanegaraan yang mengatur kehidupan sosial warganya. Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa siyasah mempunyai posisi yang sangat akurat dalam sebuah negara  karena untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang baik, diperlukannya “siyasah”.

وَالسِّيَاسَةُوَهِيَ لِلتَّأْلِيْفِ وَاْلِاجْتِمَاعِ وَالتَّعَاوُنِ عَلَى أَسْبَابِ الْمَعِيْشَةِ وَضَبْطِهَا

Artinya: “Politik adalah tentang membentuk, mempertemukan, dan bekerja sama dalam sarana penghidupan dan pengendaliannya”

Dengan “siyasah” yang baik akan menunjang terealisasikannya urusan urusan keagamaan, oleh karna itu Imam Al Ghazali menegaskan

وَالسِّيَاسَةُ فِي اسْتِصْلَاحِ الْخَلْقِ وَإِرْشَادِهِمْ إِلَى الطَّرِيْقِ الْمُسْتَقِيْمِ الْمُنْجِي فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ

Artinya: “Politik merupakan usaha untuk mencapai kemaslahatan dan mengarahkan masyarakat kepada jalan yang benar. Yaitu selamat di dunia dan akhirat.”

Imam Al Ghazali berpendapat bahwa dunia merupakan “mazratul ahiroh” yaitu ladang menuju ahirat, artinya kehidupan di dunia harus dilandasikan untuk mencari bekal sebanyak banyaknya kelak menuju akhirat nanti, dengan cara melakukan segala kebaikan sesuai dengan perintah agama. Dalam Al Quran surat  Al Baqoroh ayat 148:

وَلِكُلٍّ وِّجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ۝١٤٨

Artinya; “Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Menurut Imam Al Ghazali hubungan antara agama, dunia dan politik tidak dapat di pisahkan, agama harus menjadi landasan moral spiritual dan hukum dalam menjalankan pemerintahan, politik juga harus sejalan dengan nilai nilai agama. Sebuah negara juga harus berlandaskan pada agama untuk menetapkan hukum hukum yang ada, hal tersebut sudah ada pada pancasila sila ke satu “ketuhanan yang maha esa”.

Seorang pemimpin dan pejabatnya juga harus membina hubungan baik dengan ulamanya, dalam Ihya ulumuddin jus II di jelaskan “Sesungguhnya kerusakan kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan pemimpin, dan kerusakan pemimpinnya disebabkan oleh kerusakan para ulamanya, dan kerusakan ulamanya disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan atau tahta, dan barang siapa di kuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurusi rakyat kecil apalagi penguasanya. Allah lah tempat meminta segala persoalan” (Ihya II hal 381).

Oleh karna itu imam Al Ghazali menegaskan bahwasannya seorang pemimpin tidak boleh di pisahkan dari ulamanya. Karena ulama merupakan penerus para anbiya’ (warosatul anbiya’), seorang ulama harus memberikan kontribusi dengan nasihat dan perintah terutama pada nasihat nasihat aqidah dan adab. Dua hal ini menurut Imam Al Ghazali merupakan faktor utama untuk menjadi hamba yang sejati, dengan istilah lain basicfaith yang ingin di kokohkan kepada para pejabat negara adalah pandangan dasar tentang imam. Karena asal bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas aktifitas ilmiah dan teknologi. Sedangkan adab menjadi penting karena manusia yang beradab (insan adabi) adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab kepada tuhan yang maha esa, yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sediri dan orang lain dalam masyarakatnya, yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan manusia.

Imam Al Ghazali memiliki pendapat bahwa seorang pemimpin harus memiliki syarat; di antaranya mampu berbuat adil di antara masyarakatnya (tidak nepotis), melindungi rakyatnya dari kerusakan dan keriminalitas, tidak dzalim, harus memiliki integritas,penguasaan dalam bidang ilmu kenegaraan dan agama, agar dalam menentukan kebijaksanaan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca indranya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu dalam menjalankan tugas), mempunyai anggota badan yang normal, pemberani, memiliki keahlian siasat perang, dan kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat.

Dalam kitab Al Tibr Al Masbuk fi nasehati Al Mulk, kitab tersebut berisi tentang nasihat-nasihat Imam Al Ghazali kepada sultan Muhammad Ibn Malik, yang pertama Imam Al Ghazali memprioritaskan pada kekuatan aqidah tauhid. Sedangkan isi yang kedua yakni berupa nasihat-nasihat moral, keadilan, keutamaan ilmu dan ulama. Dalam kitab tersebut, Imam Al Ghazali tidak lupa mengingatkan kepada sultan Al Mulk agar tetap loyal pada keimanan yang benar, ia  juga mengingatkan bahwa kekuasaan di dunia adalah titipan dari Allah swt, sedangkan kekuasaan tertinggi di dunia dan akhirat ini hanyalah kekuasaan Al Khalik yaitu Allah.

Gus Dur: Pengaruh, Perspektif, dan Pemikiran tentang Pendidikan Islam

Penulis : Diah Karomah, Editor : Windi Tia Utami

Abdurrahman Wahid atau yang sering dikenal dengan sebutan Gus Dur, beliau lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 september 1940. Nama kecilnya adalah Abdurrahman Addakhil, beliau dikenal sebagai seorang yang humanis. Gus Dur selalu membela masyarakat yang lemah, tertindas, dan minoritas. Ada berbagai macam hal yang memengaruhinya, mengapa Gus Dur mempunyai perspektif keberpihakannya terhadap orang lemah atau sering dikenal mustad’afin. Gus Dur sebagai orang yang sederhana dan pengaruh buku-buku yang dibaca, akan memengaruhi sikapnya dalam membela orang lemah.

Begitu juga dalam pemikiran lainnya, Gus Dur banyak dipengaruhi oleh berbagai macam stimulus, misalnya situasi, buku yang ia baca, budaya, orang yang ia temui, pendidikan dan lain sebagainya. Pengalaman-pengalaman yang dimilikinya akan membentuk konsep diri Gus Dur yang memiliki pemikiran tentang pribumisasi Islam, beliau yang memiliki pemikiran kosmopolitanisme dan univeraslisme Islam. Gus Dur yang memiliki sebuah gagasan pendidikan Islam yang dituangkan dalam sebuah tulisan “Pendidikan Islam Harus Beragama” dan tulisan-tulisan lainnya tentang wacana keislaman, bisa diketahui, bagaimana proses Gus Dur menghasilkan pemikiran yang terbuka dan progresif.

Setiap orang, termasuk juga Gus Dur telah melakukan proses interpretasi terhadap stimulus yang ia terima. Apabila yang dipersepsi diri sendiri maka akan dikenal adanya persepsi diri atau self-perception. Persepsi diri dapat dimaknai sebagai interpretasi seseorang terhadap diri sendiri. Ketika melakukan persepsi, seseorang melakukan proses kognitif. Proses kognitif akan melibatkan banyak aktivitas. Mulai dari penerimaan stimulus, memproses stimulus kedalam system memori, dan menginterpretasi stimulus berdasarkan informasi yang telah disimpannya.

Proses pembentukan persepsi dimulai dari penerimaan rangsangan atau sensasi dari berbagai sumber yang diterima oleh panca indra. Persepsi diri mencakup tiga pembahasan. Pertama, konsep diri (self-concept), kedua, harga diri (self-esteem), dan ketiga,presentasi diri (self-prentation). Pada bagian ini, dijadikan dasar bagi seseorang untuk mengenali orang lain atau pihak lain. Atas dasar, setiap orang mengenali diri sendiri seperti apa gerangan dan pada akhirnya memengaruhinya dalam membawakan diri di lingkungan sekitar.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Persepsi Diri Gus Dur  

Gus Dur memiliki pengalaman tentang objekserta peristiwa yang berbeda dengan orang lain. Pengalaman tersebut mampu membentuk persepsi Gus Dur terhadap informasi yang diterima kemudian diinterpretasikan. Ada banyak faktor yang memengaruhi persepsi seseorang. Toha (2003), mengklarifikasikan faktor-faktor yang memengaruhi persepsi seseorang ada dua. 

Pertama Faktor Internal, Faktor internal merupakan faktor yang diperoleh dari dalam diri seseorang dalam menciptakan dan menemukan sesuatu yang kemudian bermanfaat bagi orang lain. Dalam konteks faktor inteternal pembentukan persepsi Gus Dura ada 4 hal yaitu, usia, minat, proses belajar, dan pekerjaan. 

Pertama, usia merupakan umur individu yang dihitung semenjak ia dilahirkan sampi pada momentum-momentum tertentu, sampai dia meninggal. Semakin cukup umur, kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Semakin tua umur seseorang semakin konstruktif dalam menggunakan pengetahuan yang diperolehnya. Begitu juga dengan Gus Dur, semakin tua umurnya maka semakin matang juga dalam bersikap dan bertindak. Dalam perjalanan hidupnya beliau mempunyai banyak pengetahuan, pengalaman dan persinggungan dengan banyak orang. Dari pengalama termasuk informasi yang diterimanya, akan memengaruhi sikap dan tindakan Gus Dur.

Kedua, minat Gus Dur sejak kecil sudah terlihat, yaitu membaca buku. Beliau mulai tertari terhadap buku-buku ayahnya dan dorongan dari ibu beliau untuk selalu membaca buku. Selain membaca buku, beliau juga memiliki minat terhadap bermain bola dan menonton film kedua minat beliau itu sangat memengaruhi hidupnya, beliau bahkan sampai pernah tidak naik kelas.

Ketiga, proses belajar, proses belajaran Gus Dur dimulai semenjak usia dini. Pada usia lima tahun, beliau sudah lancara membaca Al-Qur’an dengan kakeknya yaitu KH. Hasyim Asy’ari, Beliau juga banyak mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Hingga pada tahun 1953, beliau masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowangan, dengan nyantri di pesantren Krapyak. Walaupun sekolah tersebut adalah sekolah yang dikelolah oleh Gereja Katolik Roma, namun sepepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Kemudia beliau melanjutkan belajarannya di pesantren Tegalrejo Magelang yang diasuh oleh KH. Chudhari. Di sana beliau banyak belajar ritus-ritus sufi dan menanamkan praktik mistik. Selain belajar ilmu agama.

Keempat, pekerjaan. perjalanan karir Gus Dur sangat panjang, beliua menjadi guru, aktivis sosial, menjadi ketua PBNU, hingga menjadi presiden. Di sela-sela itu semua pekerjaan yang jarang ditinggalkan Gus Dur adalah menulis. Beliau menulis di berbagai media, buku pengantar, makalah, dan lain sebagainya.

Kedua Faktor Eksternal, Faktor Eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri seseorang dalam menciptakan atau menemukan suatu hal. Faktor eksternal sangat erat kaitannya dengan faktor internal. Faktor eksternal terdiri dari dua hal, yaitu informasi dan pengalaman.

Pertama, informasi. informasi yang diperoleh seseorang sangat berharga melalui panca indra. Informasi pertama yang diperoleh Gus Dur adalah khazanah keilmuan pesantren. Informasi kedua yang diperoleh beliau adalah dari buku. Sedari kecil beliau sudah menjadi kutu buku. 

Kedua, pengalaman. Pengalaman merupakan suatu peristiwa yang pernah dialami seseorang. Mialnya pengalama-pengalam Gus Dur ketika beliau ikut ayahnya ke Jakarta, beliau bertemu dengan tokoh-tokoh nasional, dari situ lah beliau mendapatkan banyak pengalaman.

Pemikiran Gus Dur Terhadap Pendidikan Islam

Pendidikan Islam bagi Gus Dur harus tetap mengajarkan ajaran-ajaran formal Islam sebagai sebuah keharuasan yang diterima. Ajaran formal yang dimaksud oleh Gus Dur adalah ajaran bagaimana cara melaksanakan ibadah seseuai dengan syariat Islam. Bahkan Gus Dur menyatakaan bahwa ajaran Islam harus diutamakan dalam pendidikan Islam. Pemikiran beliau tentang pendidikan Islam tertuang melalui tulisan beliau yang berjudul “Pendidikan Islam Harus Beragam” yaitu,

“…tentu saja ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus dididik mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang diubah adalah cara penyampaiannya kepada peserta didik, sehingga mereka akan mampi memahami dan mempertahankan “kebenaran”. Bahkan hal ini memiliki validitas sendiri, dapat dilihat pada kesungguhan anak-anak muda muslimin terpelajar untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai “ajaran-ajaran yang benar” tentang Islam.”

Gus Dur juga menyatakan dalam tulisan tersebut, bahwa ajaran-ajaran formal Islam dipertahankan sebagai sebuah keharusan yang diterima kaum muslim di berbagai penjuru dunia. Memang suadah semestinya, hal yang wajib disampaiakan dalam pendidikan Islam adalah ajaran-ajaran formal. Hingga peserta didik mampu memahami dan mempertahankan kebenaran. Gus Dur mencontohkan bagaimana anak-anak muda muslim terpelajar dalam menerapkan apa yang mereka anggap sebagai “ajaran-ajaran benar”. Contoh paling mudah bagi Gus Dur adalah menggunakan tutup kepala di sekolah non-agama, atau yang biasa dikenal dengan nama jilbab.

Setiap daerah memiliki budaya pendidikannya masing-masing sehingga pendidikan Islam tidak harus satu corak antara satu kawasan dengan kawasan yang lainnya. Pada prinsipnya, pendidikan Islam mengajarkan ajaran formal Islam. Dalam tulisannya “Pendidikan Islam Harus Beragam” Gus Dur ingin menyadarkan kita bahwa pendidikan Islam bukan hanya yang ada di tembok sekolah formal. Kenyataan yang ada di masyarakat pendidikan Islam sangat beragam. Sebenarnya

Menyingkap Kehidupan dan Ajaran Gus Baha: Antara Fikih, Tasawuf, dan Muhasabah Diri

Penulis : Slamet Widodo, Editor : Windi Tia Utami

K. H. Ahmad Bahauddin Nursalim atau dikenal sebagai Gus Baha adalah seorang ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang berasal dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah. Gus Baha dikenal sebagai ahli tafsir dan pakar Al-Quran.  Gus Baha lahir pada 15 Maret 1970 di Sarang, Rembang.  Beliau merupakan putra dari seorang ulama pakar Al-Qur’an dan pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA K. H.  Nursalim al-Hafizh. Gus Baha menikah dengan seorang putri pesantren bernama Ning Winda dari Pesantren Sidogiri Pasuruan.

Gus Baha merupakan salah satu murid dari ulama kharismatik, Kiai Maimun Zubair. Beliau mengungkapkan sejalur dengan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah karena dinilai sebagai ajaran yang mudah dan tidak mempersulit umat. Salah satu nasehat kondang beliau adalah mengajarkan pentingnya untuk bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa.

Pertanyaan yang sering muncul dibenak masyarakat umum, khususnya umat Islam yang mulai berusaha mempelajari Islam adalah terkait mana kedudukan yang lebih tinggi antara Fikih dan Tasawuf.  K. H. Ahmad Baha’uddin Nursalim alias Gus Baha menjawab pertanyaan tersebut dengan penjelasan berikut: “Keyakinan saya sampai saya bertemu tuhan adalah tidak ada ilmu se-barakah ilmu fikih. Saya ulangi lagi, tidak ada ilmu se-barakah ilmu fikih. Meskipun tasawuf ya barakah, tapi tetap jauh. Jadi, orang sekarang itu ngawur sekali kalau mengatakan tasawuf itu diatas fikih. Itu keliru sekali.”

“Kita bisa mengikhlaskan amal itu setelah lolos uji fikih. Jadi misalnya saya shalat, saya ikhlaskan untuk Allah. Status shalat itu harus benar dulu: ada Fatihahnya, ada ruku’-nya, ada sujudnya. Orang status shalatnya saja tidak benar kok bilang diikhlaskan, diikhlaskan mbahe! Itu kan seperti sedekah, sedekah itu pakai harta. Hartanya halal, baru disedekahkan, baru diikhlaskan. Kalau hartanya saja sudah tidak halal, atau gak ada sama sekali ‘yang penting ikhlas’, ya diikhlaskan mbahmu!?. Yang penting mengajar itu ikhlas, orang mengajar saja tidak laku kok ikhlas”, jelas Gus Baha.

Tasawuf adalah jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Konsep-konsep dalam tasawuf mengarahkan manusia atau sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Hampir semua konsep dalam tasawuf berasal dari Al-Qur’an. Konsep-konsep maqamat seperti taubat, sabar, ridho, tawakkal, khalwat, dan dzikir, semuanya diambil dari Al-Qur’an. Sufi sendiri menurut Gus Baha adalah orang yang membangun diri untuk menjauhi kehidupan duniawi dan memperbanyak baca istighfar ketika menyelesaikan segala masalah.

Dewasa ini, tasawuf banyak mengalami degradasi dan sering digunakan pada praktik-pratik yang sesat dan di pakai oleh para dukun berkedok agama. Berbeda dengan tasawuf yang di gagas oleh gus baha yang lebih mengena di hati para remaja karena di dalam tasawufnya tertadapat muahasabah diri dengan tidak menunggu orang lain mensifati kita disisi lain tasawufnya tidak mengajarkan amal-amalan yang menyesatkan seperti tubuh kekal,bisa menghilang,dll.

K.H. Abdul Hamid Pasuruan: Sosok Ulama Sufi dan Tokoh Panutan

Penulis : Rizal Kurniawan, Editor : Windi Tia Utami

K.H. Abdul Hamid atau lebih dikenal Mbah Hamid lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang Jawa Tengah. Ayahnya bernama Abdullah bin Umar seorang tokoh Islam yang rajin dan taat pada agama. Sedangkan ibunya bernama Raihannah, putri dari Kyai Shiddiq. Anak keempat dari 12 bersaudara yang dilahirkan dari rahim Ibu Nyai Raihannah. Mu’thi kecil bukanlah anak manis yang sehari-harinya diam di rumah, melainkan tumbuh sebagai anak yang lincah, mudah bergaul dan nakal. Meskipun begitu, Mu’thi rajin membantu orang tuanya.

Dalam usianya yang masih kecil, ia dididik oleh ibunya dan membiasakan shalat lima waktu berjamaah. Bahkan, saat Mu’thi ketinggalan shalat berjamaah, ia menangis sehingga sang ibu mengulangi shalatnya dan berjamaah bersamanya. Mu’thi juga sering disuruh ibunya membawakan oleh-oleh untuk disampaikan kepada gurunya dan ia merasa senang sekalipun oleh-olehnya sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa masa kecil Mu’thi bersih dari sifat sombong.

Masa Pendidikan Dan Karomahnya (1926-1927)

Pada usia tujuh tahun, Mu’thi dididik dan dibimbing sendiri oleh ayahnya dalam belajar Al-Qur’an dan dasar hukum Islam. Pada usia tujuh tahun itu pula ia sudah hafal nadham balaghah Jawahir Al-Maknum. Kemudian dalam usia sembilan tahun ia sudah mulai menghafalkan kitab gramatika bahasa dan sastra Arab Alfiyah Ibnu Malik yang juga dengan bimbingan langsung dari ayahnya. Sebagai orang yang taat beragama, ayah maupun ibunya memang mengharapkan agar anaknya bisa menjadi orang yang berbudi luhur di kemudian hari. Pada usia 12 atau sekitar tahun 1926-1927, ia dipondokkan ke Pesantren Kasingan Rembang. Pesantren ini diasuh oleh KH Kholil bin Harun, mertua KH Bisri Musthofa. Di Pesantren Kasingan ia mendalami ilmu gramatika bahasa dan sastra Arab seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Balaghah dan Arudh selama kurang lebih 1,5 tahun. Pada usia 13, ia diperintah ayahnya dan mengabdi kepada kakeknya Kyai Muhammad Shidiq (Mbah Siddiq) di Jember, Jawa Timur.

Mula-mula pada saat di Pondok Tremas Kyai Hamid hidup prihatin karena kiriman ayahnya hanya cukup untuk makan nasi tiwul. Celakanya, lokasi warung langganan Hamid jauh dari pondok. Apa boleh buat kaki melangkah setiap hari dengan memakai celana panjang dan bersepatu persis halnya orang berangkat ke kantor. Sepatunya disemir dengan mengkilap. Lima tahun di sana, beliau ditunjuk sebagai lurah pondok. Kala itu ia sekurun waktu dengan Kyai Abdul Ghofur Pasuruan, Kyai Harun Banyuwangi, dan Kyai Masduki Lasem. Selain sebagai lurah pondok, Kyai Hamid muda juga mengajar Ilmu Fiqih, Hadits, Tafsir dan sebagainya. Sehingga ia pun mulai mendapatkan bisyarah dan tidak memerlukan lagi kiriman dari orang tuanya. Perubahan nama Abdul Mu’thi menjadi Abdul Hamid ketika beliau sedang mondok ke Kasingan Rembang sekitar usia 12-13 tahun.

Kyai Hamid Menikah (1940)

Di usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri yakni Nyai H Nafisah bin KH Ahmad Qusyairi bin KH Muhammad Shiddiq. Pernikahan mereka berlangsung pada hari Kamis 12 September 1940 M. Disebutkan dalam undangan akad nikah dilangsungkan di Masjid Jami Pasuruan pukul 13.00 WIB, kemudian dilanjutkan walimah pada pukul 14.00 WIB.   Namun, hal ini tidak sesuai rencana karena mempelai pria terlambat datangnya. Terpaksa acara walimah dimulai saja meski tanpa kehadiran mempelai pria. Baru pada pukul 17.00 WIB, rombongan yang ditunggu datang juga. Akibatnya, para tamu sudah pulang dan akad nikah disaksikan oleh beberapa keluarga saja. Keterlambatan itu karena ajakan Mbah Ma’shum untuk ziarah terlebihdahulu ke makam Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.

Dari perkawinan ini mereka dikaruniai lima orang anak, yakni Muhammad Nu’man, Muhammad Nasih, Muhammad Idris, Anas, dan Zainab. Dua yang disebut terakhir meninggal sewaktu mereka masih kecil. Kyai Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan keluarganya dengan tidak mudah. Selama beberapa tahun beliau harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Sedangkan untuk menghidupi keluarganya, tiap hari beliau mengayuh sepeda sejauh 30 kilometer pulang pergi, sebagai blantik sepeda. Sebab, kata Kyai ldris, pasar sepeda waktu itu ada di Desa Porong, Pasuruan, 30 kilometer ke arah barat Kota Pasuruan. Kendati demikian tidak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan beliau sedemikian rupa dapat menutupinya sehingga, tak ada orang lain yang mengetahui. “Orang tua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, dia tidak lekas naik derajatnya”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.

Kyai Hamid memang sosok yang rajin belajar. Beliau sering membeli kitab untuk dipelajari sendiri. Bahkan, setelah berkeluarga di Pasuruan, beliau masih mengaji kepada Habib Ja’far bin Syichan Asegaf, seorang tokoh ulama yang sudah terkenal waliyullah. Sewaktu berada di Pasuruan Kyai Hamid mempunyai rutinan yakni setiap sore menghadiri pertemuan pengajian dengan metode mudzakaroh yang diselenggarakan oleh Habib Ja’far bin Syichan pukul 16.30-19.30 WIB. Kyai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri tertentu yang dipilih sendiri. Selain itu, khususnya di masa akhir kehidupannya, hanya mengajar sepekan sekali untuk umum.

Tirakat dan Sifat Zuhud

Kyai Hamid merupakan sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya ‘Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufiannya bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah. Kyai Hamid gemar mengenakan baju dan bersorban serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya.

Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kyai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial Islam terhadap kaum dluafa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Kiai Hamid memang bukan ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, dapat memperkirakan, sikap sosial beliau bukan sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang egoistis, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Hal itu menunjukkan betapa ajaran sosial Islam sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya. Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kyai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, juga memberikan bantuan secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anak.

Meninggal Dunia (1982)

Mbah Hamid wafat pada hari Sabtu 25 Desember 1982 M tepat pada pukul 03.00 WIB atau dini hari. Ia mengembuskan napas terakhirnya pada usia 70 tahun dalam hitungan Hijriah. Seorang tokoh besar, tokoh panutan meninggalkan umatnya. Inalilahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Kabar pun segera menyebar Kala itu umat datang berbondong-bondong untuk melayat ke rumah duka sejak pagi. Mereka berasal dari berbagai penjuru. Umumnya seperti tidak percaya Kyai Hamid wafat. Melihat bayaknya pelayat keluarga tidak mau mengambil risiko, khawatir keranda rusak karena bakal jadi rebutan, pelayat. Menjelang ashar keranda di bawa ke masjid. Keranda itu berjalan dari satu tangan ke tangan yang lainnya karena saking padatnya pelayat, sehingga tidak bisa berjalan. Terjadilah tarik menarik keranda yang hendak keluar lewat gerbang barat atau timur, dari rumah ke masjid dibutuhkan waktu hingga dua jam. Jamaah yang menyalati melebar tidak hanya sampai masjid dan alun-alun, tetapi terus ke perempatan PLN sekitar 100 meter dan memenuhi jalan niaga hingga ke ujung utara dan ruas-ruas jalan Nusantara sepanjang 1 kilometer. KH Ali Ma’shum bertindak sebagai imam shalat. Setelah shalat Asar Kyai Hamid disemayamkan di kompleks makam sebelah barat Masjid Jami Al-Anwar Pasuruan. Posisi makamnya di antara makam Habib Ja’far bin Syichan Assegaf (guru) KH Achmad Qusyairi (mertua) dan KH Ahmad Sahal (ipar).

Keberadaan makam Kyai Hamid membawa berkah terhadap kemakmuran masjid dan pedagang di sekitar makam. Setiap hari makam Kyai Hamid tidak pernah sepi dari peziarah lokal atau luar kota. Pada umumnya para peziarah Walisongo Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat tidak pernah melewatkan kesempatan untuk ziarah ke makam KH Abdul Hamid.   Tidak cuma itu, semenjak ada makam KH Abdul Hamid setiap malam Jumat Legi kawasan sekitar masjid dan alun-alun Kota Pasuruan menjadi ramai.

Perjalanan Pemimpin dan Pendidik: Kisah K.H. Mas’ud Abdul Qodir dan Pondok Pesantren Darul Amanah

Penulis: Annisa Nuruz Zahra, Editor: Choerul Bariyah

K.H.Mas’ud Abdul Qodir beliau adalah pendiri dan pimpinan pondok pesantren Darul Amanah(Islamic Boarding School).Pondok Pesantren ini berada di Jawa Tengah tepatnya berada di Sukorejo-Kendal.Beliau juga salah satu ulama’ di Jawa Tengah yang mewakafkan diri,tidak hanya untuk kemajuan Agama Islam saja.Tetapi,juga untuk Masyarakat.Bangsa,dan Negara.Beliau mempunyai strategi pengembangan ponpes,yaitu menerapkan Panca Jiwa dan Panca Jangka Pesantren.Panca Jiwa yang diterapkan di pondok pesantren Darul Amanah,yaitu:

  • Jiwa Keikhlasan
  • Jiwa Kesederhanan
  • Jiwa Berdikari
  • Jiwa Ukhuwah Islamiyah
  • Jiwa Kebebasan

 

K.H.Mas’ud Abdul Qodir lahir pada hari senin wage tanggal 20 Juni 1949 yang bertepatan dengan Sya’ban (Ruwah)1368.Beliau belatar belakang dari keluarga yang sangat sederhana.Ayah dan ibunya adalah seorang pedagang desa yang berjualan dengan hasil perkebunan.Beliau tinggal di Dukuh Gondoriyo Desa Gondoharum Pageruyung Kendal.Sejak Kecil,Abah Mas’ud memang sudah disiplin dalam beribadah.Ketika memasuki usia SLTP,Beliau selalu berjamaah subuh setiap hari,kadang yang Adzan,kadang juga yang memukul kentongan.K.H Mas’ud Abdul Qodir sebagai anak pertama dari lima bersaudara yaitu:

  • H.Nasroh
  • H.Saib,B.A.
  • Hj.Masiti
  • H.Abdul Haris Qodir,S.Mn.

 

PENDIDIKAN K.H MAS’UD ABDUL QODIR

Pada masa itu,banyak orang yang belum memikirkan pendidikandan yang minat sekolah juga masih jarang,akan tetapi ia mempunyai kemauan tersendiri untuk bersekolah,dan juga dari keluarga yang memang memikir kan pendidikan dan juga agamanya.Beliau mempunyai kemauan yang kuat dalam menuntut ilmu(bersekolah)dibandingkan dengan teman sebayanya ,beliau juga orang yang sangat disiplin.Sepuluh tahun pasca Indonesia merdeka,masih banyak masalah yang harus dibenahi negara,yaitu keamanan,ekonomi,dan pendidikan.Di masa itu,di kecamatan Pageruyung hanya untuk wilayah selatan hanya ada satu Sekolah Rakyat(SR),dan itupun untuk beberapa desa;Gondoharum,Getas Blawong,dan Parakan Sebaran.Hikmah dari sekolah didesa lain,tentu memperluas wawasan dan pergaulan.Di Kota Kewedanan Sukorejo waktu itu belum ada SMP Negeri atau SMP Islam,yang ada hanya SMPK Argokiloso.Sekolah yang didirikan pada tahun 1953 itu menerapkan disiplin sebagaimana sekolah Belanda pada umumnya.Beliau melanjutkan pendidikan SMP Kanisius Sukorejo tahun 1961-1962,dan hanya satu tahun di SMPK Sukorejo.Dan melanjutkan pendidikannya di Pesantren Luhur,Wonosari Ngaliyan Mangkang,Semarang.Saat itu disebutnya pesantren Dondong,karena berlokasi di Kampung Dondong.

Di Mangkang,beliau hanya empat tahun ,karena mendapat informasi tentang Pondok Modern Darussalam Gontor.Awalnya dia kagum kepada salah satu ustadz pengajar Bahasa Arab saat menjadi santri di Pondok Pesantren Dondomg Mangkang yang bernama Ustadz Nurul Anwar.Ustad Anwar mahir dalam Bahasa Arab,ilmu Aljabar,dan Bahasa Inggris,karena lulusan Pondok Modern Darussalam Gontor yang kemudian melanjutkan studi ke Madinah.

K.H Mas’ud Abdul Qodir dididik oleh generasi pertama Trimurti,yaitu tiga serangkai yang mendirikan pondok pesantren,yang terdiri dari K.H.Ahmad Sahal sebagai pendiri pertama Pondok Gontor 1926,K.H.Zainudin Fannani yang tinggal di Jakarta dan membantu dari jauh,,sertta K.H.Imam Zarkasyi yang memberikan warna baru metode Gontor sejak 1936.

Pondok Modern Gontor mempunyai Motto yang menekankan pada pembentukan pribadi Muslim yang Berbudi luhur,Bebadan sehat,Berpengetahuan luas,dan Berpikiran bebas.

Saat menjadi santri di Pondok Modern Darussalam Gontor,Abah Mas’ud hanya dijenguk sekali selama 9 tahun selama menjadi santri dan guru di Gontor.Karena beliau memahami Ayahnya yang sedang berjuang kerja keras untuk biaya pendidikannya hingga tidak punya cukup waktu untuk menjenguk putranya.

Sebelum menyelesaikan pendidikanya di Gontor beliau di nikahkan dengan perempuan dari anak adik ipar Kiai Muhsin yaitu Haji Nur Said,Kiai Muhsin adalah kakak beradik dengan Abdul Qodir(ayah K.H.Mas’ud).Perempuan tersebut bernama Nur Halimah yang saat itu baru tamat SD.

Pada tahun 1971-1972 Mas’ud Abdul Qodir mendapat amanah menjadi ketua Organisasi Pelajar Pondok Modern(OPPM).saat menjabat menjadi ketua OPPM,beliau mendapat sentuhan dan arahan langsung dari pendiri dan pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor,K.H.Ahmad Sahal dan K.H.Imam Zarkasyi selaku Pembina pengurus OPPM.”Kami dididik dengan baik dan kami juga melihat sosok kiai imam zarkasyi seperti orang tua sendiri,”kenangnya.”SIAP MEMIMPIN DAN MAU DIPIMPIN”.

Selama menjadi guru di Pondok Modern Darussalam Gontor,beliau melanjutkan Pendidikannya di Institut Pendidikan Darussalm (IPD) memgambil fakultas Ushuludin.memulai pendidikannya di IPD pada tanggal 25 Januari 1974-1 Februari 1974.

Setamat dari Gontor ,Mas’ud Abdul Qodir fokus untuk memulai membina rumah tangga.Cita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke Al Azhar Kairo sementara dilupakan dulu.Doanya, mudah-mudahan di kemudian hari ada anak-cucu yang merealisasikan cita-cita itu.Dan diwujudkan oleh putra pertama beliau bernama  H.Muhammad Adib,Lc,M.A sebagai wakil Pimpinan Pesantren Darul Amanah..Abah Mas’ud mempunyai dua putra dan putra kedua bernama H.Muhammad Fatwa,M.Pd.sebagai Direktur TMI Pondok Pesantren Darul Amanah.

Pada tanggal 1976,sebelum mendirikan Pondok Pesantren Darul Amanah,Kiai Mas’ud Abdul Qodir pernah mengadakan Kelas Bahasa Arab dirumah mertuanya H. Nur Said di Dusun Kemloko Ds.Mojojagung Kec.Plantungan Kab,Kendal.jumlah siswa kelas Bahasa Arab pada waktu itu sekitar 30 santri putra dan 30 santri putri.

Pondok Pesantren Darul Amanah,Berdiri pada tanggal 23 Mei 1990.Yayasan Darul Amanah yang bergerak di bidang pendidikan dan social keagamaan mendirikan Pondok Pesantran Darul Amanah yang dipelopori oleh:

  • K.H. Jamhari Abdul Jalal,Lc. (Cipining Bogor)
  • K.H. Mas’ud Abdul Qodir (Kabunan Ngadiwarno Sukorejo Kendal).
  • Bpk Slamet Parwiro (Parakan Sebaran Pageruyung)
  • Ust. Junaedi Abdul Jalal (Parakan Sebaran Pageruyung)

 

Keempat peloporpendirian Pondok Pesantren Darul Amanah bersepakat bahwa K.H. Mas’ud Abdul Qodir yang menjadi Pimpinan Pesantren Darul Amanah.Beliau merupakan alumni Gontor tahun 1972 .Dan pondok ini disebut pondok Alumni Gontor.dan Pondok Pesantren Darul Amanah kini memiliki Dua Ribu lebih santri dan Dua Ratus tenaga pengajar.memiliki empat tingkatan yaitu;MTS,MA,SMK,dan KMI.

K.H. Mas’ud Abdul Qodir menerapkan konsep kepemimpinan Tri Pusat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang meliputi :Ing ngarso sung tuldha,Ing madya mangun karsa ,Tut Wuri Handayani.

“JANGAN BERHENTI BERDOA KARENA TAKDIR BISA DIUBAH DENGAN DOA”.K.H. Mas’ud Abdul Qodir.

Pemikiran dan Kepemimpinan KH. Ahmad Rifa’I BIN Raden Muhammad Marhum Chilmy Munazil

Penulis : Chilmy Munazil, Editor : Tegar Dwi Pangestu

Ahmad Rifa’i beliau adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah dan juga seorang ulama pendiri, penulis buku semangat perjuangan kemerdekaan. Beliau lahir pada tanggal 9 Muharram 1200 H, bertepatan dengan tahun 1786 di Desa Tempuran, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Dan wafat pada umur 84 tahun di Manado, Sulawesi Utara pada tahun 1895 dan di makamkan di pekuburan Jawa Tondano di kelurahan Kampung Jawa, di kecamatan Tondano Utara Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara Indonesia.

Sedari kecil beliau sudah dididik oleh ayahnya yang Bernama KH. Muhammad Marhum untuk mendalami agama. Sejak remaja pula beliau sering melakukan dakwah ke berbagai tempat di sekitar Kendal. Pada tahun 1826, beliau menunaikan ibadah haji kemudian memperdalam ilmu agama di Makkah dan Madinah kurang lebih selama 8 tahun. Selain itu juga beliau menimba ilmu di Mesir.

Ahmad Rifa’i adalah seorang juru dakwah yang pandai, beliau mengemas ajarannya dalam kitab-kitab yang berbahasa Jawa menggunakan huruf Arab ( Arab Pegon ) dan berbentuk syair yang menarik bagi orang Jawa, sehingga pada masa itu Masyarakat Jawa mudah memahami dan menghafal ajaran Islam. Dalam berdakwah beliau juga mengobarkan semangat anti kafir, anti penjajah dan gagasannya bisa dikategorikan tajdid ( pembeharuan ) atau pemurnian.

Pemikiran beliau juga dapat dikatakan sebagai pemikiran yang moderat, pemikirannya telah memberikan pemahaman yang lebih baik tentang Islam kepada Masyarakat Indonesia.

Pemikiran dan kepemimpinan beliau yang telah meninggalkan jejak dalam sejarah keislaman diantaranya ada :

  • Pemikiran Keagamaan yang Mendalam

KH Ahmad Rifai dikenal sebagai pemikir keagamaan yang mendalam. Pemikirannya mencakup berbagai aspek kehidupan, dari hubungan manusia dengan Tuhan hingga tata cara ibadah. Beliau mengajarkan nilai-nilai keimanan dan keislaman yang bersifat inklusif, mendorong umat untuk memahami esensi ajaran agama secara komprehensif.

  • Toleransi dan Kemanusiaan

Salah satu poin penting dalam pemikiran KH Ahmad Rifai adalah nilai toleransi antar umat beragama. Beliau mengajarkan agar umat Islam menjalin hubungan yang baik dengan penganut agama lain, menciptakan harmoni dan perdamaian dalam Masyarakat. Pemikirannya mencerminkan semangat kemanusiaan yang mengedepankan persatuan di atas perbedaan.

  • Kepemimpinan yang Adil dan Bijaksana

Sebagai seorang pemimpin spiritual, KH Ahmad Rifai menunjukkan kepemimpinan yang adil dan bijaksana. Beliau memimpin dengan teladan, memberikan orientasi moral, dan menjaga keadilan dalam segala tindakan. Kepemimpinannya tidak hanya terfokus pada kepentingan kelompoknya sendiri, tetapi juga pada kesejahteraan umat dan masyarakat secara luas.

  • Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat

KH Ahmad Rifai juga dikenal sebagai tokoh yang peduli terhadap pendidikan dan pengembangan masyarakat. Pemikirannya merangkul konsep pendidikan holistik yang tidak hanya menekankan aspek akademis, tetapi juga pembentukan karakter dan kepedulian sosial. Beliau melihat bahwa pendidikan adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang berkualitas dan beradab.

Meskipun beliau mungkin telah tiada, pemikiran dan kepemimpinan KH Ahmad Rifai tetap menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang. Pengaruhnya meluas dari aspek agama hingga tatanan sosial. Warisan ini terus menerus diteruskan oleh para pengikutnya, menciptakan pondasi yang kuat bagi pengembangan masyarakat dan kehidupan beragama yang harmonis.

Dengan demikian, pemikiran dan kepemimpinan KH Ahmad Rifai tetap menjadi tolok ukur bagi mereka yang ingin menggali nilai-nilai spiritual, kemanusiaan, dan kepemimpinan yang berlandaskan pada keadilan dan kebenaran.

  • Ahmad Rifa’i mempunyai beberapa karya salah satunya kitab agama yang ditulis beliau yaitu dalam bentuk : syair, puisi tembang jawa, bentuk nastrah sebanyak 65 judul.

Sementara yang berbentuk tanbi ( semacam risalah singkat yang membahas satu topik ) ada 500 karya dan terdapat 700 berupa nadzom doa. Jumlah kitab tersebut yang ditulis sebelum KH. Ahmad Rifa’i diasingkan ke Ambon Maluku, yaitu saat masih bermukim di desa Kalisalak.

Secara umuum kitab- kitab diatas mengupas tentang 3 bidang ilmu syari’at islam yang meliputi Fiqih, Usuluddin, dan tasawuf.

Beberapa kitab karya KH Ahmad Rifa’I yang masih disimpan di universitas Leiden Belanda antara lain :

  • No.1139 Riayatal Himmah, tahun 1849 M
  • No. 6617 Nadzom Kaifiyah, tahun 1845 M
  • No. 7520 Tanbih Bahasa Jawa
  • No 7521 Husnul Mitholab, tahun 1842 M
  • No. 7524, Nadzam Irfaq, tahun 1845 M
  • No. 8489, Munawirul Himmah, tahun 1856 M
  • No. 5865, Athlab, tahun 1842 M
  • No. 8566, Nadzam Tazkiyah, tahun 1852 M
  • No. 8567, Tasyrihatal Muhtaj, tahun 1849 M
  • No. 8568, Syarihul Iman, tahun 1839 M
  • No. 8569, Tasfiyah, tahun1849 M
  • No. 11001, Bayan, tahun1839 M
  • No. 11001, Imdad, tahun 1845 M
  • No. 11004, Thariqat, tahun 1840
  • No. 7523 Abyanal Khawaij, tahun 1849 M