Pers, Santri, dan Harmoni Sosial: Refleksi Hari Pers Nasional dalam Bingkai Kesantrian

Penulis : Intan Diana Fitriyati,M.Ag. ( Pengasuh PP. Al Masyhad manbaul Falah Walisampang Pekalongan ), Editor : Amarul Hakim

Setiap tanggal 9 Februari, Indonesia memperingati Hari Pers Nasional (HPN). Momentum ini tidak hanya menjadi refleksi atas peran pers dalam membangun demokrasi, tetapi juga mengingatkan kita akan kontribusinya dalam mengedukasi dan mencerahkan umat. Pers, sebagai pilar keempat demokrasi, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga transparansi, keadilan, dan keseimbangan informasi. Namun, peran pers tidak berhenti di situ. Dalam konteks Indonesia yang kaya akan budaya dan agama, pers juga menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai elemen masyarakat, termasuk dunia pesantren dan kaum santri.

Studi politik santri dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa santri tidak hanya fokus pada urusan keagamaan, tetapi juga aktif dalam isu-isu sosial, lingkungan, dan kebangsaan. Hal ini sejalan dengan peran pers yang tidak hanya memberitakan politik praktis, tetapi juga turut serta dalam pelestarian alam dan mewujudkan ketahanan pangan. Pers dan santri, dalam hal ini, memiliki kesamaan visi: membangun kehidupan yang harmonis dan berkelanjutan.

Kerja sama antara pers dan dunia kesantrian telah memberikan dampak positif bagi masyarakat. Misalnya, melalui pemberitaan yang mendalam dan edukatif, pers mampu mengangkat praktik-praktik baik yang dilakukan pesantren dalam menjaga lingkungan, seperti program penghijauan, pengelolaan sampah, dan pertanian organik. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan yang dekat dengan masyarakat, menjadi contoh nyata dalam mewujudkan ketahanan pangan dan pelestarian alam.

Baca juga : Perkuat Kolaborasi, Arina Jejaring Himpun Pengelola Media Keislaman se-Indonesia agar Dakwah Digital Maksimal

Politik santri, yang sering kali diidentikkan dengan keterlibatan dalam partai politik atau pemilu, sejatinya memiliki dimensi yang lebih luas. Santri tidak hanya berpolitik melalui jalur formal, tetapi juga melalui gerakan-gerakan sosial yang berdampak langsung pada masyarakat. Di sinilah pers berperan penting: mengangkat narasi-narasi tersebut agar dapat diakses oleh publik luas. Dengan demikian, pers tidak hanya menjadi alat informasi, tetapi juga alat transformasi sosial.

Dalam konteks menjaga harmoni sosial, pers dan santri memiliki peran yang saling melengkapi. Pers memberikan ruang bagi dialog antaragama dan antarkelompok, sementara santri, dengan nilai-nilai toleransi dan moderasi yang dipegang teguh, menjadi aktor yang menjaga kerukunan. Kolaborasi ini sangat penting di Indonesia, yang dikenal sebagai negara multikultural dengan beragam agama dan kepercayaan.

Tidak hanya itu, pers juga berperan dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga alam sebagai bagian dari tanggung jawab sosial. Pesantren, dengan basis keagamaan yang kuat, sering kali mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal dan ajaran Islam tentang pelestarian lingkungan. Misalnya, banyak pesantren yang mengajarkan tentang konsep hifzhul bi’ah (menjaga lingkungan) sebagai bagian dari ibadah. Pers, dengan jangkauan luasnya, dapat menyebarluaskan praktik-praktik ini sehingga menjadi inspirasi bagi masyarakat luas.

Di tengah tantangan global seperti perubahan iklim dan krisis pangan, kolaborasi antara pers dan santri menjadi semakin relevan. Pers dapat menjadi corong untuk menyuarakan inisiatif-inisiatif pesantren dalam mewujudkan ketahanan pangan, seperti budidaya pertanian mandiri atau pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat sekitar pesantren, tetapi juga menjadi model bagi daerah lain.

Baca juga : Harapan Menag dalam Peringatan Pers Nasional : Terus Cerahkan dan Kuatkan Persatuan Umat

Peringatan Hari Pers Nasional tahun ini menjadi momentum yang tepat untuk memperkuat sinergi antara pers dan dunia kesantrian. Dengan semangat kolaborasi, kedua elemen ini dapat bersama-sama berkontribusi dalam membangun Indonesia yang lebih maju, adil, dan harmonis. Pers yang independen dan santri yang progresif adalah kombinasi yang mampu menjawab tantangan zaman.

Sebagai penutup, mari kita merenungkan peran pers dan santri dalam konteks yang lebih luas. Pers tidak hanya menjadi alat untuk menyampaikan berita, tetapi juga menjadi sarana untuk membangun kesadaran kolektif. Santri, di sisi lain, tidak hanya menjadi penjaga tradisi keagamaan, tetapi juga pelopor perubahan sosial. Dengan semangat Hari Pers Nasional, mari kita terus mendorong kerja sama antara pers dan santri untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik, di mana harmoni sosial, pelestarian alam, dan ketahanan pangan menjadi prioritas bersama.

Selamat Hari Pers Nasional! Semoga pers Indonesia terus berkembang maju, menjadi terdepan dalam mengedukasi dan mencerahkan umat, serta menjadi mitra strategis bagi dunia kesantrian dalam membangun masa depan yang lebih cerah.

Sebuah Refleksi Spiritual: Pentingnya Niat dalam Amal Perbuatan

Penulis: Intan Diana Fitriyati, M.Ag (Dewan Pengasuh PP. Al Masyhad Manbaul Falah Walisampang), Editor: Azzam Nabil H.

Niat dalam setiap amal perbuatan adalah sesuatu yang sangat fundamental dalam ajaran agama Islam. Para ulama seringkali mengingatkan betapa pentingnya niat ini, karena ia bukan hanya menjadi indikator dalam penilaian manusia di sisi Allah, tetapi juga merupakan dasar dari diterima atau tidaknya amal tersebut. Bahkan, niat bisa mengubah sebuah perbuatan yang sederhana menjadi sesuatu yang luar biasa. Begitu besar pengaruh niat terhadap kualitas amal seseorang, baik dalam pandangan Allah maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu contoh klasik yang sering diungkapkan adalah bagaimana niat dapat mengubah suatu tindakan biasa menjadi sangat mulia atau bahkan sebaliknya. Misalnya, apabila seseorang melakukan amal baik dengan niat yang benar dan ikhlas karena Allah, amal itu bisa menjadi sangat besar pahalanya, meskipun secara lahiriah perbuatan tersebut mungkin terlihat kecil. Namun, jika niat seseorang tidak benar, bahkan perbuatan yang terlihat sangat baik sekalipun bisa menjadi tidak bermakna.

Hal ini bisa kita lihat dalam kisah hijrah yang terjadi pada masa Rasulullah saw. Ketika umat Islam diperintahkan untuk berhijrah ke Madinah, terdapat seorang lelaki yang ikut berhijrah namun dengan niat yang tidak tulus. Ia tidak berhijrah karena mengikuti perintah Rasulullah saw. atau karena ingin memperjuangkan agama, tetapi karena ia ingin menikahi seorang perempuan yang juga ikut hijrah. Meskipun ia telah melakukan perjalanan besar yang sangat mulia, niatnya yang tidak tulus menjadikan hijrahnya tidak memperoleh pahala yang sebanding dengan pengorbanannya.

Abdullah bin Mas’ud dalam suatu riwayat menyatakan, “Siapa yang berhijrah dengan maksud tertentu, maka balasan yang ia terima sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya.” Dalam kisah tersebut, lelaki itu dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummu Qais”, karena ia berhijrah semata-mata untuk mendapatkan perempuan yang ia cintai. Sebuah perbuatan yang seharusnya mulia berubah menjadi sekadar perjalanan untuk memenuhi keinginan pribadi.

Begitu pula dalam riwayat lain yang disampaikan oleh A’masy, ia bercerita tentang seorang lelaki yang berhijrah hanya untuk menikahi perempuan bernama Ummu Qais. Perempuan itu tidak mau menikahinya kecuali dengan syarat lelaki tersebut berhijrah terlebih dahulu. Karena niat lelaki tersebut untuk menikahi perempuan itu, maka ia pun berhijrah. Meskipun ia telah meninggalkan kampung halamannya, niat yang salah mengurangi nilai hijrahnya di sisi Allah. Sebagai pengingat, Ibn Mas’ud menegaskan bahwa niat adalah kunci dari balasan yang akan diterima.

Namun, tidak hanya dalam hal hijrah, niat juga memiliki pengaruh yang besar dalam perbuatan sehari-hari, termasuk dalam beramal seperti bersedekah. Rasulullah saw. mengisahkan tentang seorang lelaki yang ingin bersedekah. Niatnya baik, namun ia tidak tahu bahwa sedekahnya diterima oleh orang yang tidak tepat. Pada percakapan pertama, ia meletakkan sedekahnya di tangan seorang pencuri. Orang-orang pun menggunjing, menganggap bahwa sedekah itu tidak bermanfaat karena diterima oleh seorang pencuri. Namun, lelaki itu tetap melanjutkan niatnya untuk bersedekah.

Pada kesempatan kedua, sedekahnya diberikan kepada seorang perempuan pezina. Pagi harinya, orang-orang kembali bergunjing tentang hal tersebut. Meskipun begitu, lelaki itu tetap tidak mundur dari niat baiknya untuk membantu sesama. Pada percakapan ketiga, sedekahnya diberikan kepada seorang yang kaya, yang tak tampak membutuhkan bantuan. Kembali orang-orang bergunjing tentang hal tersebut. Namun, lelaki itu tetap merasa bahwa ia telah berbuat baik.

Ketika lelaki itu menyadari semua itu, ia bertanya kepada Allah tentang hasil sedekahnya yang diterima oleh orang-orang tersebut. Allah pun memberikan penjelasan yang mendalam, yang mengajarkan bahwa meskipun sedekahnya tampaknya tidak tepat sasaran, sebenarnya Allah punya hikmah yang lebih besar. Pencuri mungkin akan menjaga dirinya agar tidak mencuri lagi setelah menerima sedekah itu. Perempuan pezina mungkin akan berhenti dari perbuatannya dan bertobat. Sementara itu, orang kaya bisa saja mendapatkan pelajaran dan akhirnya lebih banyak berbagi dengan orang yang membutuhkan. Ini menunjukkan bahwa meskipun niat seseorang untuk memberikan sedekah tampak keliru atau tidak sempurna, Allah lebih tahu mana yang terbaik dan bagaimana amal tersebut akan berdampak.

Hadis ini mengajarkan kita bahwa segala amal perbuatan yang dilakukan dengan niat baik tidak akan sia-sia, meskipun hasilnya tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan. Allah Swt. adalah sebaik-baik penilai yang mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Dalam kehidupan sehari-hari, ini mengingatkan kita bahwa segala perbuatan baik yang kita lakukan harus dilandasi dengan niat yang benar dan ikhlas karena Allah. Hal ini akan menjadikan setiap amal kita lebih bermakna, terlepas dari hasil yang mungkin tidak sesuai dengan keinginan kita.

Di sisi lain, kisah ini juga mengajarkan pentingnya kesabaran dan keteguhan hati dalam beramal. Kita tidak boleh mudah putus asa atau terpengaruh oleh pandangan orang lain terhadap amal yang kita lakukan. Meskipun orang lain mungkin melihat sedekah kita sebagai sesuatu yang tidak tepat, yang terpenting adalah niat kita dan apa yang telah Allah tetapkan dari amal tersebut. Seiring berjalannya waktu, kita mungkin akan menyadari bahwa apa yang kita anggap sebagai kegagalan, sejatinya adalah kesuksesan di sisi Allah.

Niat yang baik dan ikhlas adalah modal utama dalam menjalani setiap amal perbuatan. Tanpa niat yang benar, segala perbuatan baik yang kita lakukan bisa menjadi sia-sia. Oleh karena itu, kita harus selalu menjaga niat kita agar tetap murni karena Allah Swt., tanpa terpengaruh oleh motivasi duniawi atau pribadi yang bisa merusak nilai amal tersebut. Sebab, Allah Swt. tidak hanya melihat perbuatan kita, tetapi juga melihat hati dan niat di balik setiap tindakan kita. Sehingga dalam hal ini, niat menjadi penentu utama dalam keberkahan suatu amal. Disamping itu, Allah pasti akan memberikan balasan yang lebih baik dari apa yang kita harapkan, sesuai dengan niat kita yang tulus.

Melalui kisah-kisah tersebut, pada dasarnya, niat yang benar dan ikhlas akan membuat setiap langkah kita lebih bernilai, dan setiap amal yang kita lakukan akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah. Dengan menjaga niat, kita juga akan menjaga hati kita agar tetap bersih dan terhindar dari segala bentuk riya atau kepentingan duniawi yang hanya akan merusak amal kita di sisi-Nya

Keluarga dengan Nilai Keagamaan Kuat Lebih Harmonis dan Tangguh Hadapi Tekanan Ekonomi

Penulis: Intan Diana Fitriyati, Editor: Azzam Nabil H.

Keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan cenderung memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang lebih tinggi dan lebih mampu menghadapi tekanan ekonomi. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada tahun 2022. Riset tersebut mencatat bahwa keluarga yang rutin menjalankan aktivitas keagamaan bersama memiliki tingkat keharmonisan yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang jarang melakukannya.

Menurut data BPS, keluarga yang secara konsisten melaksanakan ibadah bersama, seperti shalat berjamaah, pengajian, atau kegiatan keagamaan lainnya, menunjukkan tingkat ketahanan keluarga yang lebih baik. Mereka juga lebih mampu menghadapi tantangan ekonomi, seperti inflasi atau krisis finansial, karena memiliki fondasi spiritual yang kuat.

Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga dapat menjadi pusat pembinaan keluarga. Menurut para ahli, masjid memiliki peran strategis dalam membangun ketahanan keluarga melalui berbagai program edukasi dan kegiatan keagamaan. Misalnya, masjid dapat menjadi tempat yang ideal untuk pembinaan lansia, remaja, dan pasangan suami-istri.

Baca juga: RMB Sejati Bersamai Kelas Berkah Keuangan Muslimat NU guna Perkuat Resiliensi Keluarga Maslahah

gambar keluarga harmonis
Ilustrasi keluarga harmonis, sumber: Dok. Intan Diana F.

“Kita ingin membangun ekosistem keluarga maslahat yang berbasis masjid, sehingga tempat ibadah ini bisa lebih aktif dalam membangun ketahanan keluarga,” ujar seorang tokoh agama dalam sebuah seminar tentang ketahanan keluarga di Jakarta.

Masjid dapat menyelenggarakan program-program seperti bimbingan pranikah, konseling keluarga, dan pengajian khusus untuk lansia. Dengan demikian, masjid tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat pembinaan dan pemberdayaan keluarga.

Studi gender dalam perspektif syariah menekankan pentingnya peran keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang harus dijaga keharmonisannya. Nilai-nilai keagamaan, seperti yang diajarkan dalam Islam, memainkan peran penting dalam membentuk dinamika keluarga yang sehat dan harmonis.

Baca juga: Kisah Kehidupan Nabi Ibrahim Alaihissalam: Renungan Kurban untuk Mendekatkan Dirikepada Allah, Meningkatkan Kualitas Keluarga, dan Menyadari Pentingnya Peran Sebagai Orang Tua

Dalam konteks ini, masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan memiliki peran penting dalam mendukung pembinaan keluarga sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Misalnya, melalui program-program yang mengedukasi tentang hak dan kewajiban suami-istri, pengasuhan anak, serta pengelolaan keuangan keluarga yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Penelitian BPS yang menunjukkan korelasi positif antara aktivitas keagamaan dan keharmonisan keluarga juga sejalan dengan prinsip-prinsip syariah yang menekankan pentingnya ketahanan keluarga. Keluarga yang kuat secara spiritual cenderung lebih mampu menjalankan peran gender secara seimbang, sesuai dengan tuntunan agama.

Hasil penelitian BPS dan peran masjid dalam pembinaan keluarga menunjukkan bahwa nilai-nilai keagamaan memiliki dampak signifikan terhadap keharmonisan dan ketahanan keluarga. Dalam perspektif studi gender syariah, hal ini memperkuat pentingnya peran keluarga sebagai unit sosial yang harus dijaga keutuhannya melalui pendekatan spiritual dan edukasi yang berbasis masjid.

Dengan demikian, masjid tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat pembinaan keluarga yang dapat berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih harmonis dan tangguh.

Haul Gusdur ke-15, Gusdurian Pekalongan Usung Tema Agama untuk kemanusiaan dan Krisis Iklim

Pewarta: Ika Amiliya Nur Hidayah, Editor: Azzam Nabil H.

Pekalongan, menggandeng para pegiat lingkungan, Komunitas GUSDURian Pekalongan mengadakan Haul Gus Dur ke-15 dengan tema “Agama untuk Kemanusiaan dan Krisis Iklim” di Pendopo Kecamatan Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah pada Minggu, (26/01).

Acara ini dihadiri oleh berbagai pegiat lingkungan dari komunitas-komunitas di Pekalongan, termasuk Pimpinan Daerah Angkatan Muda Rifa’iyah Pekalongan, Dewan Pimpinan Kabupaten Perhimpunan Pemuda Hindu (Peradah) Pekalongan, Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama (PC IPPNU) Pekalongan, Gerakan Peduli Anak Difabel (GPAD) Pekalongan, Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) UIN Gus Dur Pekalongan, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ITS NU Pekalongan, dan TPQ Assakinah Teman Tuli Kota Pekalongan.

Turut hadir juga tokoh agama Islam Gus Mahmud Mansur, budayawan Kota Pekalongan Ribut Achwandi, perwakilan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pekalongan Nok Kholifah, perwakilan dari Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) Kota Pekalongan Faisal Latif, dan perwakilan dari Kolaborasi Aksi Gerakan Muda (Kobar) Pekalongan Bayu.

Baca juga: Sustainable Living: Tak Hanya Sebatas Tren

Acara dibuka dengan sambutan dari Fajri Muarrikh sebagai penggerak GUSDURian Pekalongan yang menyatakan tema kali ini muncul dari kekhawatiran masyarakat terhadap bencana yang belakangan ini melanda.

“Tema ini diangkat oleh jaringan GUSDURian pusat karena kekhawatiran bersama dan juga pentingnya kesadaran masyarakat untuk menjaga alam, mengingat banyaknya bencana alam yang terjadi di sekitar kita,” ujarnya.

Pada acara inti, tiga narasumber membahas berbagai isu terkait krisis iklim. Menurut Kholifah, krisis iklim disebabkan oleh beberapa faktor seperti pemanasan global, penumpukan sampah, emisi gas, dan pengelolaan sumber air tanah yang tidak bijak.

Narasumber Faisal menambahkan bahwa warga Kota Pekalongan perlu waspada setelah banjir bandang dan longsor melanda dataran tinggi Kabupaten Pekalongan, yang disebutnya sebagai Pekalongan lantai 2.

Baca juga: Bersama GUSDURian Pekalongan, UIN Gusdur Gelar Focus Group Discussion Bertema ‘Harmoni untuk Kemanusiaan dan Lingkungan’

Perwakilan peserta, Fajar, turut menghidupkan diskusi dengan berbagi pengalamannya dalam mengelola maggot sebagai solusi cepat mengurai sampah organik dan bernilai jual sebagai pakan ternak.

Fajri berharap diskusi ini dapat meningkatkan kesadaran dan komitmen masyarakat untuk menjaga lingkungan.

“Harapan dari acara haul ini adalah peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan, serta komitmen bersama dan aksi nyata untuk merawat lingkungan, khususnya di Pekalongan.”

Menafsir Bencana melalui Perspektif Agama

Penulis: Intan Diana Fitriyati, Editor: Azzam Nabil H.

Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Pekalongan pada Januari ini menyisakan duka mendalam bagi banyak pihak. Tidak hanya Pekalongan, kota-kota lain di Indonesia juga kerap mengalami bencana serupa. Fenomena ini sejatinya bukanlah hal baru di Indonesia. Letak geografis Indonesia yang rawan bencana alam memang telah lama diketahui

Sikap manusia terhadap bencana sangat dipengaruhi oleh cara pandang mereka terhadap peristiwa tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bencana diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan. Dalam konteks ini, penderitaan akibat bencana selalu merujuk pada manusia. Jika tidak ada manusia yang terdampak, maka peristiwa alam tidak akan disebut sebagai bencana. Oleh karena itu, cara pandang manusia terhadap bencana akan menentukan tindakan mereka dalam menghadapi dan mengatasinya.

Islam, melalui Al-Qur’an, memberikan kerangka pemahaman yang mendalam tentang bencana. Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah untuk menyebutkan bencana, yang masing-masing memiliki makna berbeda. Istilah-istilah ini tidak hanya membantu manusia memahami fenomena bencana tetapi juga menawarkan panduan dalam menyikapinya dengan arif dan bijaksana.

Baca juga: Perluas Layanan Iklim Ke Daerah Terpencil BMKG Adakan Lokakarya iklim Internasional  

Disamping itu, kejadian bencana seringkali dalam Al-Qur’an disebut “musibah.” Kata ini berasal dari bahasa Arab (‘ashoba-yusibu’), yang berarti sesuatu yang menimpa. Dalam Al-Qur’an, kata “musibah” bersifat netral, tidak selalu dikaitkan dengan peristiwa negatif. Namun, dalam bahasa Indonesia, “musibah” sering diartikan sebagai peristiwa buruk yang menyengsarakan.

Contoh penggunaan istilah “musibah” dapat ditemukan dalam Surat Al-Hadid ayat 22-23, “Tiada suatu musibah yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami menjelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak suka orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

Dalam hadits, Nabi Muhammad saw. juga menjelaskan bahwa musibah dapat menjadi kebaikan bagi orang beriman. Rasulullah bersabda, “Sungguh menakjubkan perihal kaum mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah (bernilai) kebaikan. Jika ia ditimpa nikmat, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia ditimpa bencana, ia bersabar, dan itu juga baik baginya.” (HR Muslim)

Dengan demikian, musibah mengajarkan manusia untuk bersyukur atas nikmat dan bersabar dalam menghadapi cobaan. Dengan demikian, manusia memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas izin Allah, baik berupa nikmat maupun ujian.

Selain “musibah,” istilah lain yang digunakan dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan bencana adalah “bala” yang berarti ujian. Kata ini merujuk pada ujian yang dapat berupa kebaikan maupun keburukan. Dalam budaya Indonesia, istilah “bala” sering diasosiasikan dengan hal-hal buruk, seperti dalam ungkapan “tolak bala.” Namun, Al-Qur’an memberikan perspektif berbeda. Dalam Surat Al-A’raf ayat 168, disebutkan “Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; diantaranya ada orang shalih dan yang tidak. Dan Kami uji mereka (bala) dengan nikmat (yang baik-baik) dan bencana (yang buruk-buruk), agar mereka kembali (kepada kebenaran).”

Bala’ memiliki fungsi sebagai pengingat dan penguat keimanan. Orang yang mampu bersyukur atas nikmat dan bersabar atas bencana akan mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi, “Sesungguhnya besarnya pahala adalah karena ujian. Sungguh jika Allah mencintai suatu kaum, maka Ia akan menimpakan ujian (bala’) kepada mereka. Barang siapa ridha terhadapnya, maka ia yang akan meraih ridha Allah. Barang siapa yang tidak, maka Allah akan murka.” (HR Tirmidzi)

Penyebutan bencana dalam Al-Qur’an juga disebutkan dengan istilah “fitnah.” Kata “fitnah” dalam Al-Qur’an memiliki arti cobaan atau ujian. Namun, dalam bahasa Indonesia, “fitnah” lebih sering diartikan sebagai tuduhan yang tidak benar. Dalam Al-Qur’an, istilah ini digunakan untuk menggambarkan berbagai makna, seperti kemusyrikan (QS Al-Baqarah: 191), cobaan (QS Al-Ankabut: 3), dan azab (QS Yunus: 83).

Fitnah juga dapat berupa ujian dalam bentuk hubungan sosial, seperti yang dijelaskan dalam Surat At-Taghabun ayat 15, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu, dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” Meski sering bermakna negatif, fitnah dapat menjadi sarana introspeksi diri dan peningkatan kualitas keimanan.
Konsep Bencana dalam Islam

Disisi lain, Islam menawarkan konsep bencana yang beragam, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an. Istilah-istilah seperti “musibah,” “bala,” dan “fitnah” memberikan pemahaman mendalam tentang fenomena ini. Islam juga menekankan bahwa bencana yang dialami manusia sering kali merupakan akibat dari perbuatan mereka sendiri, seperti kerusakan lingkungan atau konflik sosial.

Dalam Fikih Kebencanaan, bencana sosial maupun ekologis diwakili oleh istilah “fasad” (kerusakan) yang mencakup kerusakan moral, sosial, dan lingkungan. Adapun bencana akibat perpecahan agama disebut “nazilah.” Sementara itu, bencana alam destruktif disebut dengan istilah seperti “halak” (kehancuran) atau “tamziq” (penghancuran).

Baca juga: Menjelajah Makna dan Hikmah: Pemahaman Al-Quran dalam Kehidupan Umat Islam

Salah satu peran penting agama dalam mitigasi bencana adalah membentuk cara pandang masyarakat terhadap peristiwa yang menimpa mereka. Al-Qur’an memberikan panduan bahwa setiap kejadian telah ditetapkan oleh Allah (QS Al-Hadid: 22-23). Namun, kerugian yang dialami manusia sering kali merupakan akibat perbuatannya sendiri (QS An-Nisa: 79). Dengan demikian, Islam mengajarkan pentingnya tindakan preventif, seperti menjaga lingkungan dan memupuk keharmonisan sosial.

Selain itu, Islam mendorong umatnya untuk menghadapi bencana dengan tindakan terbaik dan tidak berputus asa. Dalam setiap bencana, terdapat hikmah yang dapat diambil, serta peluang untuk meningkatkan keimanan dan kualitas hidup. Allah berjanji akan mengangkat derajat mereka yang sabar dan bersyukur dalam menghadapi ujian (QS Al-Baqarah: 155-156).

Dengan memahami bencana melalui perspektif Islam, masyarakat dapat lebih bijaksana dalam menyikapi setiap kejadian. Tindakan seperti menjaga lingkungan, membangun solidaritas sosial, dan meningkatkan spiritualitas adalah langkah penting dalam menghadapi bencana dengan penuh keimanan dan optimisme.

Semarak Isra Miraj Nabi Muhammad saw. di Desa Moderasi Beragama

Pewarta: Ali Yafi, Editor: Azzam Nabil Hibrizi

Pekalongan – Peringatan Isra Mi’raj Nabi Besar Muhammad saw. dan Peresmian Musholla Al-Istiqomah, Dukuh Sadang, Desa Linggoasri Kecamatan Kajen pada Hari Selasa, (21/1). Acara ini di hadiri oleh K.H Abdul Hakim S.Pdi dari Pekalongan sebagai pembicara, Forkompincam, Bapak PLT Camat Kecamatan Kajen, Bapak Babinsa, Bapak Lurah, Bapak Carik, Bapak Kyai Lukman Hakim beserta Banomnya (Mustasyar MWC NU), Pengurus Ranting NU Desa Linggoasri beserta Banomnya, Pengurus GP Ansor, Fatayat dan Muslimat, Kepala Desa Linggoasri beserta jajarannya, Bapak Kyai Syaikhu, Bapak Kyai Abdul Mu’in, Bapak Kyai Nafi’, Tokoh Masyarakat Linggoasri serta Grup Gambus Kidung Panca.

Acara ini dimulai dengan pembacaan tahlil, pembacaan ayat suci Al-Qur’an dan sholawat, sambutan, pelantikan ranting GP Ansor se-Kecamatan Kajen, dan Maulidah Hasanah oleh Gus Akim Su’udi.

Bapak Ustadz Mustajirin selaku panitia acara, menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh masyarakat yang telah memberikan kontribusi tanpa terkecuali, sehingga pembangunan mushala Al Istiqomah dapat diselesaikan.

“Saya memberi pesan dan mengajak kepada semua masyarakat Linggoasri khususnya Dukuh Sadang untuk meramaikan dan memakmurkan musholla yang sudah kita bangun, agar menjadikan sababiyah wasilah kita dan mendapatkan Ridho-Nya.”

Baca juga: Wisatawan Asal Prancis, Nadin Podrug, Terinspirasi Wisata Moderasi Beragama di Desa Linggo Asri

Bapak Kyai Lukman Hakim selaku Mustasyar, turut menyampaikan pesan bahwa membangun musholla jangan hanya di bangun, karena sebesar apapun kesulitan dalam membangun musholla lebih sulit menjaga dan meramaikan musholla.

“Selamat kepada seluruh warga Dukuh Sadang dengan semangat membangun mushala, yang dulu bangunannya kecil dan sekarang bisa semegah ini dan semoga bisa membawa keberkahan dan keistiqomahan dalam ibadah warga masyarakat Dukuh Sadang.”

Acara ini digelar dengan konsep yang berbeda karena tidak hanya peresmian mushala, tetapi juga sekaligus pelantikan ranting GP Ansor dan peringatan Isra Mi’raj nabi Muhammad saw.

Baca juga: Moderasi Beragama sebagai Landasan Kehidupan Multireligi di Desa Linggoasri

Bapak Purwo Susilo selaku PLT Camat Kecamatan Kajen mewakili Bupati Pekalongan, Ia menyampaikan permohonan maaf dari Bupati karena tidak bisa menghadiri acara peresmian mushala sekaligus mengucapkan selamat kepada masyarakat dukuh Sadang.

Disamping itu, Gus Akim Su’udi menghimbau agar masyarakat dapat menjaga shalatnya sehingga dapat mencegah dirinya dari perbuatan munkar.

Melalui acara ini, sudah seharusnya kembali menjadi pengingat kita dalam menunaikan shalat. Sebab shalat adalah perintah yang sebenar-benarnya perintah dan tidak melalui perantara. Oleh karena itu, mari kita renungkan supaya kita tidak tetap maksiat walaupun kita tetap menjaga shalat. Terlebih sejatinya ketika seseorang melaksanakan shalat dengan baik maka dirinya akan termotivasi untuk senantiasa berbuat baik.

Grand Opening Kedai Pelajar Nusantara Perkuat Ekonomi Jamaah dan Jamiyyah NU di Banyumas

Pewarta: Intan Diana, Editor: Sirli Amry

Banyumas – Dalam rangka memperingati Hari Lahir (Harlah) ke-102 Nahdlatul Ulama (NU), Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, resmi meluncurkan Kedai Pelajar Nusantara. Acara ini berlangsung di Dusun II Keniten, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, pada Kamis Malam (16/1/2025).

Kedai Pelajar Nusantara merupakan salah satu inisiatif untuk memberdayakan ekonomi pelajar NU di wilayah Kedungbanteng. Ketua Pimpinan Anak Cabang (PAC) IPNU Kedungbanteng, Alvin Mubarok, menyampaikan bahwa angkringan ini diharapkan menjadi motor penggerak kemajuan ekonomi jamaah dan jamiyyah, serta wadah pemberdayaan ekonomi bagi generasi muda NU.

“Kedai ini adalah hasil kerja keras IPNU dan IPPNU Kedungbanteng. Semoga usaha ini bisa terus solid, maju, dan berkembang, sehingga memberikan manfaat luas untuk masyarakat,” ujar Alvin dalam sambutannya.

Alvin juga menegaskan pentingnya kolaborasi antara jamaah, jamiyyah, dan masyarakat untuk memastikan keberlanjutan usaha tersebut. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, tokoh agama, dan masyarakat sekitar, menjadi kunci keberhasilan inisiatif ini.

Kegiatan ini juga menjadi bagian dari program pengabdian masyarakat yang digagas oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto. Dua dosen UIN Saizu, yaitu Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E. dan Dr. Moh. Sobirin, berperan sebagai inisiator program tersebut.

Baca Juga:  UIN Gusdur Gandeng PAC IPNU IPPNU Batang Gelar Seminar dan Deklarasi Sekolah Anti Bullying

Menurut Dr. Ash-Shiddiqy, Kedai Pelajar Nusantara tidak hanya menjadi tempat usaha, tetapi juga laboratorium kewirausahaan bagi pelajar NU untuk belajar mengelola bisnis yang berbasis syariah dan komunitas.

Acara grand opening ini juga diisi dengan ceramah oleh Ning Intan Diana Fitriyati, M.Ag., anggota tim pengabdian UIN Saizu. Dalam ceramahnya, Ning Intan membahas tema “Kewirausahaan dalam Perspektif Al-Qur’an.”

Beliau menjelaskan bahwa Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk bekerja keras dan berwirausaha sebagai bagian dari ibadah sosial. Salah satu landasan penting adalah QS. Al-Jumu’ah ayat 10, yang mengajarkan keseimbangan antara ibadah dan usaha mencari rezeki.

Menurut Ning Intan, kewirausahaan adalah perilaku ekonomi yang sangat dianjurkan. “Dengan berwirausaha, seseorang dapat membuka lapangan kerja, mengembangkan produk, serta memanfaatkan sumber daya secara optimal. Al-Qur’an memberikan banyak pedoman tentang etika dan prinsip dalam berwirausaha,” jelasnya.

Beliau juga mengutip QS. An-Najm ayat 39, yang menekankan pentingnya usaha manusia sebagai kunci meraih hasil. “Hanya melalui kerja keras dan inovasi, kita dapat mencapai keberhasilan,” tambah Ning Intan.

Baca Juga:  Peringatan Tahun Baru Islam di Linggo Asri: Santunan Anak Yatim dan Pelantikan IPNU-IPPNU dalam Semangat Moderasi Beragama

Dalam ceramahnya, Ning Intan juga membahas QS. An-Nisa ayat 29, yang mengajarkan prinsip perdagangan yang adil dan saling menguntungkan. “Jual beli yang didasarkan pada suka sama suka dan kepercayaan akan membawa keberkahan, baik bagi penjual maupun pembeli,” tegasnya.

Kehadiran Kedai Pelajar Nusantara menjadi salah satu bentuk nyata dari implementasi nilai-nilai kewirausahaan Islam. Angkringan ini diharapkan tidak hanya menjadi tempat bertransaksi, tetapi juga tempat belajar dan berdiskusi tentang pengembangan usaha yang berbasis syariah.

Melalui Kedai Pelajar Nusantara, pelajar NU di Kedungbanteng mendapatkan ruang untuk belajar mengelola bisnis. Mulai dari manajemen keuangan, pemasaran, hingga inovasi produk, semua diterapkan dalam praktik sehari-hari.

Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, salah satu inisiator program, menyampaikan harapan agar usaha ini menjadi percontohan bagi wilayah lain. “Kami ingin Kedai Pelajar Nusantara menjadi model pemberdayaan ekonomi yang berbasis komunitas dan nilai-nilai Islam,” katanya.

Antusiasme masyarakat terhadap peluncuran Kedai Pelajar Nusantara sangat tinggi. Banyak warga yang hadir dalam acara ini menyatakan dukungan mereka terhadap inisiatif tersebut.

Baca Juga:  Gaungkan Semangat Toleransi dan Persatuan, Lakpesdam NU Kota Cirebon Selenggarakan Pagelaran Seni dan Budaya Lintas Agama

Menurut Alvin, salah satu tujuan besar dari pendirian angkringan ini adalah menumbuhkan jiwa kewirausahaan di kalangan pelajar NU. “Kami ingin pelajar NU di sini tidak hanya fokus pada pendidikan formal, tetapi juga mampu mengembangkan potensi ekonomi mereka,” ujarnya.

IPNU dan IPPNU PAC Kedungbanteng berkomitmen untuk terus mendampingi pengelolaan Kedai Pelajar Nusantara. Mereka juga berencana untuk mengadakan pelatihan kewirausahaan secara rutin.

Dalam ceramahnya, Ning Intan menekankan bahwa wirausaha tidak hanya soal keuntungan materi, tetapi juga keberkahan. “Kita harus menjaga etika dalam berwirausaha agar usaha kita tidak hanya sukses secara duniawi, tetapi juga diridai oleh Allah SWT,” ujarnya.

Acara ini ditutup dengan pesan motivasi dari Ning Intan kepada para pelajar NU. “Mari jadikan usaha ini sebagai langkah awal untuk membangun kemandirian ekonomi. Dengan kerja keras, kejujuran, dan keikhlasan, kita bisa meraih kesuksesan,” tutupnya.

Grand opening Kedai Pelajar Nusantara ditutup dengan doa bersama, yang dipimpin oleh tokoh agama setempat. Acara ini menjadi momentum bersejarah bagi IPNU dan IPPNU Kedungbanteng untuk terus berkontribusi dalam pembangunan masyarakat melalui pendidikan dan ekonomi.

Dengan semangat kolaborasi dan nilai-nilai keislaman yang kuat, Kedai Pelajar Nusantara diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi komunitas lainnya untuk memajukan ekonomi berbasis jamaah dan jamiyyah.

Kajian Feminisme dalam Islam dalam Konteks Ruang Bersama Merah Putih

Penulis: Intan Diana Fitriyati, Dewan Pengasuh PP. Al Masyhad Manbaul Falah Walisampang Pekalongan, Editor: Azzam Nabil H.

Ruang Bersama Merah Putih, sebagai gerakan yang bertujuan menciptakan ruang kolaborasi di tingkat desa dan kelurahan, mencerminkan nilai-nilai yang selaras dengan prinsip keadilan sosial dalam Islam. Dengan membangun kerja sama lintas sektor untuk memberdayakan perempuan dan melindungi anak-anak, inisiatif ini menunjukkan kepedulian terhadap dua kelompok yang kerap rentan di masyarakat. Dalam perspektif feminisme Islam, gerakan seperti ini tidak hanya relevan tetapi juga penting sebagai bentuk implementasi dari ajaran Islam tentang penghormatan terhadap hak perempuan dan perlindungan terhadap anak sebagai amanah yang diberikan Allah.

Fokus Ruang Bersama Merah Putih untuk memberdayakan perempuan, baik melalui aktivitas belajar, bermain, hingga pemberdayaan ekonomi, sangat erat kaitannya dengan misi feminisme Islam yang menekankan pentingnya pemberdayaan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam Islam, perempuan memiliki hak untuk berpendidikan dan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, sebagaimana dicontohkan oleh tokoh-tokoh perempuan seperti Khadijah binti Khuwailid, seorang pebisnis sukses yang juga merupakan istri Nabi Muhammad. Melalui pendekatan ini, Ruang Bersama Merah Putih menghadirkan ruang bagi perempuan untuk berkembang secara individu maupun kolektif, sejalan dengan nilai-nilai Islam yang mendukung kemandirian dan kontribusi perempuan di masyarakat.

Baca juga: Mencegah Perilaku Seksual Menyimpang Melalui Penampilan

Selain itu, perlindungan terhadap anak-anak yang menjadi salah satu fokus utama gerakan ini merupakan bagian dari tanggung jawab besar yang ditegaskan dalam Islam. Anak-anak dipandang sebagai amanah yang harus dipelihara, diberi kasih sayang, dan dijauhkan dari bahaya, termasuk bahaya sosial seperti ketergantungan gadget. Dengan menyediakan aktivitas bermain dan belajar yang sehat, Ruang Bersama Merah Putih tidak hanya membantu menciptakan generasi yang lebih tangguh, tetapi juga mencerminkan ajaran Islam yang mengutamakan pendidikan moral dan spiritual bagi anak-anak sejak dini.

Kerja sama lintas sektor yang diusung oleh gerakan ini juga memperkuat gagasan bahwa transformasi sosial tidak dapat dilakukan secara individu, melainkan membutuhkan kolaborasi berbagai pihak. Dalam konteks feminisme Islam, kolaborasi lintas sektor ini dapat dipandang sebagai upaya untuk mewujudkan maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat), seperti melindungi jiwa, akal, dan keturunan. Dengan menggabungkan inisiatif lokal, pendekatan budaya, dan nilai-nilai agama, Ruang Bersama Merah Putih menciptakan model kerja sama yang inklusif untuk mendorong keadilan gender dan kesejahteraan anak-anak.

Baca juga: Pentingnya pendidikan bagi perempuan

Pada akhirnya, Ruang Bersama Merah Putih menjadi representasi nyata dari upaya mengintegrasikan nilai-nilai feminisme Islam dalam kehidupan sehari-hari. Gerakan ini tidak hanya memberikan solusi atas permasalahan sosial seperti kekerasan terhadap perempuan dan tantangan dalam pendidikan anak, tetapi juga mengedepankan pendekatan berbasis komunitas yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan fokus pada pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, dan kerja sama lintas sektor, Ruang Bersama Merah Putih menunjukkan bahwa nilai-nilai feminisme Islam dapat diimplementasikan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan bermartabat.

Peran Guru dalam Menghadapi Tantangan di Era Digital

Penulis: M. Haeron Nafi, Editor: Azzam Nabil H.

Guru adalah sosok penting yang tidak dapat digantikan oleh teknologi canggih. Guru berperan dalam membimbing murid-murid di tengah kemajuan teknologi. Selain itu, guru juga menjadi ujung tombak dalam mendidik generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, tugas guru sangat kompleks karena mencakup berbagai aspek, seperti pengetahuan, moral, dan keterampilan.

Perlu disadari bahwa guru bukan hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran atau mentransfer pengetahuan kepada siswa. Guru juga berperan sebagai teladan yang baik (uswatun khasanah) bagi mereka. Selain itu, guru memiliki tanggung jawab utama untuk membentuk akhlak, membangun karakter, dan membantu siswa mengembangkan potensi diri. Tugas guru tidak hanya mengajarkan ilmu agar siswa menjadi pintar (ta’lim), tetapi juga mendidik mereka agar menjadi pribadi yang lebih baik.

Namun demikian, seiring dengan perkembangan teknologi, paradigma pendidikan juga mulai bergeser. Jika dulu guru menjadi sumber utama informasi, kini informasi bisa diakses dengan mudah hanya melalui genggaman. Karena itu, peran guru kini lebih difokuskan pada pembimbingan dan pengembangan keterampilan berpikir kritis. Yang paling penting, guru tetap menjadi teladan (uswah) dalam membentuk pola pikir dan karakter siswa.

Baca juga: Akankah AI dapat Menggantikan Peran Seorang Guru dalam Pendidikan?

Oleh sebab itu, untuk menjadi guru yang relevan dengan perkembangan zaman, guru perlu memperbarui tugas dan fungsinya. Peran guru tidak boleh terjebak hanya pada tugas administratif, karena hal itu dapat mengurangi waktu yang seharusnya digunakan untuk membantu siswa dan mengembangkan potensi diri. Setidaknya ada 3 kompetensi yang perlu diasah oleh para guru yakni, pertama kompetensi pedagogik dimana guru harus terus meningkatkan pemahaman terhadap metode mengajar yang efektif, memahami berbagai kebutuhan individual siswa, dan mampu mengadaptasi strategi pembelajaran sesuai perkembangan Teknologi.

Kedua, kompetensi sosial yakni membangun hubungan yang positif dengan berbagai elemen terkait. Kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi kepada siswa adalah kunci untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Ketiga, kompetensi kepribadian yang memberi teladan dan panutan bagi siswa dengan menunjukkan kepribadian seperti integritas dan empati yang dapat memberikan inspirasi dan motivasi kepada siswa untuk mengembangkan karakter yang positif.

Baca juga: Harmoni Pendidikan dan Peradaban: Peran Guru dalam Membentuk Masyarakat yang Berbudaya dan Moderat

Teknologi memudahkan transfer pengetahuan, tetapi peran guru tetap tak tergantikan dalam mengajarkan nilai-nilai moral, etika, dan membimbing siswa membangun karakter. Di era digital, tantangan utama guru adalah mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran tanpa mengorbankan interaksi sosial. Guru juga memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi siswa dari dampak negatif dunia maya yang dapat memengaruhi moral, sopan santun, dan emosi mereka.

Remaja saat ini menghadapi tantangan kesehatan mental yang semakin meningkat, seperti yang tercermin dalam data Kementerian Kesehatan RI. Meskipun secara fisik masa remaja adalah periode paling sehat, mereka sering mengalami kesulitan dalam mengendalikan perilaku dan emosi. Ketidakmampuan ini menyebabkan degradasi moral hingga masalah kesehatan yang serius. Oleh karena itu, guru dan orang tua harus berperan aktif dalam membimbing remaja untuk mengambil keputusan yang tepat, menjaga kecerdasan emosional, dan mendorong aktivitas yang sehat.

Guru ideal masa depan adalah mereka yang mampu menyelaraskan pendidikan dengan perkembangan teknologi tanpa melupakan nilai-nilai moral dan psikologis siswa. Selain menjadi pengajar yang kompeten, guru harus terus belajar, beradaptasi, dan memberikan dampak positif yang membentuk karakter siswa. Dengan peran ini, guru akan tetap relevan dan berkontribusi pada kemajuan masyarakat dan bangsa di tengah perubahan zaman.

Ber-Islam secara Kaffah, Apakah Islam Moderat Hanya Setengah-setengah?

Penulis: Nahdliyatu Rohmah, Editor: Sirli  Amry

“Jika kamu memusuhi orang yang berbeda agama dengan kamu berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah tapi agama. Pertuhankanlah Allah bukan yang lainnya. Pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah kamu harus menerima semua makhluk“ (Gus Dur).

Pernyataan Gus Dur, seorang tokoh Muslim Indonesia yang dijuluki Bapak Pluralisme, menyiratkan perlunya menerima segala bentuk keberagaman sebagai bukti mempertuhankan Allah SWT.  Keberagaman merupakan sebuah keniscayaan dari kehendak Yang Maha Kuasa. Islam adalah agama yang mengajarkan moderasi (wasatiyyah).

Perbedaan bahasa, ras, suku, budaya, dan agama harus dihormati serta dijunjung tinggi sebagai bentuk penghargaan terhadap kemanusiaan. Namun, kenyataannya perbedaan tersebut justru akan menciptakan sekat. Bahkan masih banyak yang beranggapan ketika beda agama membuat kita berbeda, padahal esensi kemanusiaan harusnya melampaui sekat-sekat keyakinan. 

Dalam usaha mencapai keharmonisan hidup berbangsa dan beragama, diperlukan moderasi beragama yang merupakan sikap yang sedang atau seimbang, tanpa berlebihan. Tidak mengklaim diri atau kelompoknya yang paling benar, tidak menggunakan legitimasi teologis yang ekstrem, tidak menggunakan paksaan apalagi kekerasan, dan netral serta tidak berafiliasi dengan kepentingan politik atau kekuatan tertentu. Islam yang utuh atau berislam secara kaffah tidak berarti memusuhi non-Muslim.

Umat Islam yang moderat paham bahwa berinteraksi dan berkomunikasi dengan berbeda agama merupakan sebuah keniscayaan. Apakah Islam kaffah bertentangan dengan Islam moderat? Istilah “kaffah” dalam Islam merujuk pada penerapan ajaran agama secara totalitas di setiap aspek kehidupan. Namun, banyak yang salah kaprah memahami konsep moderat dalam Islam sebagai sesuatu yang setengah-setengah. Faktanya, Islam moderat justru adalah bentuk ideal beragama yang menekankan keseimbangan, keterbukaan, dan toleransi tanpa mengabaikan prinsip-prinsip syariah.

Baca Juga:  Gus Dur: Pengaruh, Perspektif, dan Pemikiran tentang Pendidikan Islam

Islam moderat, berakar pada semangat wasathiyah (jalan tengah), memungkinkan umat Islam berpegang teguh pada ajaran agama sambil beradaptasi dengan dinamika sosial. Moderasi dalam Islam mengutamakan toleransi dalam perbedaan dan keterbukaan terhadap keberagaman. Baik itu dalam mazhab yang beragam maupun dalam beragama yang beragam. Perbedaan bukan penghalang untuk menjalin kerja sama dengan asas kemanusiaan. Moderasi bukan berarti mengurangi ajaran Islam, melainkan memahami dan menjalankannya secara kontekstual, menghargai perbedaan, dan mempromosikan dialog yang damai. Ini adalah pengejawantahan dari konsep rahmatan lil ‘alamin yang membawa misi kedamaian bagi seluruh alam. Perlu digarisbawahi bahwa moderasi beragama artinya cara kita beragama yang dimoderatkan bukan agama yang dimoderasikan.

Ajaran Islam moderat tidak hanya mementingkan hubungan baik kepada Allah, tapi juga hubungan baik kepada sesama manusia. Dalam pelajaran matematika kita kenal dengan sistem koordinat yang menghasilkan titik persimpangan. Di sinilah kedua sumbu bertemu menggambarkan kehidupan seimbang. Keseimbangan antara hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia. Tidak hanya terhadap sesama umat, tapi juga terhadap sesama yang berbeda agama. Selain itu, moderasi Islam tercerminkan dalam sikap yang tidak mudah untuk menyalahkan bahkan mengkafirkan orang atau kelompok dengan pandangan yang berbeda. Moderasi Islam lebih menekankan persaudaraan berdasarkan asas kemanusiaan daripada asas keimanan atau kebangsaan. 

Baca Juga:  Sepuluh Pemikiran Gus Dur tentang Moderasi Agama

Lantas, apakah moderat dianggap sebagai konsep asing atau pemikiran Barat? Jika moderat dianggap asing, apakah Islam kaffah juga dianggap asing dan Barat? Ber-Islam secara kaffah tidak harus berarti ekstrem atau kaku dalam menjalani agama, melainkan bersikap inklusif dan menebar misi kedamaian. Islam moderat bukanlah Islam yang setengah-setengah, melainkan bentuk komitmen penuh pada nilai-nilai keadilan, kebijaksanaan, dan kemanusiaan dalam kerangka ajaran Islam yang holistik.

Islam moderat sebenarnya adalah cara berpikir dan beragama dengan mengacu pada sifat umat Islam yang moderat yang berasal dari al-Quran. Sikap moderat dalam beragama berasal dari konsep “tawasuth.” Kita disarankan untuk tidak berlebihan dalam beragama atau bersikap ekstrim (ghuluw). Allah memerintahkan bersikap “tawazun” (seimbang) sebagaimana Surat Ar-Rahman: “Dan Allah meninggikan langit dan meletakkan timbangan. Agar Anda jangan melampaui timbangan (keseimbangan).”.

Dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8, Allah menegaskan umat Islam diperbolehkan berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang yang tidak memerangi atau mengusir mereka karena agama. Maka, menganggap musuh umat yang berbeda bukan hanya melawan pemikiran yang moderat, tetapi juga melawan perintah Allah dalam al-Quran. Begitu juga, Islam yang utuh atau berislam secara kaffah tidak berarti memusuhi non-Muslim. Salah besar jika menganggap Muslim sejati berarti hanya bergaul dan berinteraksi dengan umat Islam dan menolak non-Muslim. Pemikiran berislam yang tidak jelas seperti ini akan menyebabkan kesalahpahaman. 

Baca Juga:  Toleransi Harmoni: Jejak Gus Dur dalam Merajut Kebhinekaan

Bagaimana Rasulullah bisa berislam secara kaffah? Rasul memberi contoh langsung dengan menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Rasulullah mampu berinteraksi, bertemu, berdiskusi, bahkan menjalin kerjasama dan diplomasi dengan kekuatan politik yang memiliki keyakinan agama yang berbeda. Jika manusia memahami Islam kaffah sebagai berpikir ekslusif dan penuh kebencian, itu bukan Islam kaffah yang diperintahkan dalam Al-Quran, bisa jadi pemikiran ideologi tokoh tertentu. Justru, berislam secara kaffah harus mempunyai sifat umat yang washatan. Berislam secara kaffah harus tidak ekstrem spritualisme dan tidak ekstrem materialisme.

Intinya, berislam secara menyeluruh harus bersifat moderat, sesuai dengan ajaran Al-Quran dan sesuai dengan sikap yang ditunjukkan Rasulullah. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dengan menebar misi kedamaian. Jika masih menganggap yang berbeda adalah musuh maka mainnya kurang jauh.