Mengembangkan Moderasi Beragama Melalui Interaksi Sosial yang Inklusif Dan Toleran

Penulis Artikel : Pujiwati, Editor : Nafis Mahrusah

Desa Linggo Asri ialah desa yang memiliki perbedaan agama antar umat beragama, salah satunya yaitu moderasi beragama. Prinsip moderasi beragama berfokus dengan  dua hal, yakni memahami teks (kitab suci) keagamaan harus sesuai dengan konteks dan meyakini dari agama itu sendiri. Seorang non-Muslim di Desa Linggo Asri, baik individu maupun institusi agama lain, perlu mengambil bagian dalam menghidupi moderasi beragama.

Moderasi beragama adalah pendekatan yang seimbang dan moderat dalam menjalankan keyakinan agama, yang melibatkan toleransi, pemahaman, dan penghormatan terhadap keyakinan dan praktik agama lain. Keragaman budaya dan keyakinan di Linggo Asri memerlukan interaksi sosial yang harmonis. Islam memiliki konsep toleransi yang jelas, yaitu tidak ada paksaan dalam agama. Toleransi ini dapat diwujudkan dengan membina kerukunan hidup beragama.

Moderasi beragama dengan toleransi perlu dibangun kepada masyarakat untuk menghormati perbedaan dan mempersatukan masyarakat. Moderasi beragama dapat ditunjukkan melalui sikap tawazun (berkeseimbangan), i’tidal (lurus dan tegas), tasamuh (toleransi), musawah (egaliter), syura (musyawarah), ishlah (reformasi), aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), serta tathawwur wa ibtikar (dinamis dan inovatif). Oleh karena itu, desa ini disebut desa moderasi beragama.

Baca juga : Moderasi Beragama sebagai Pendorong Mobilitas Sosial di Era Modern

Konsepsi moderasi bukanlah hal yang baru bagi umat Islam karena semangat moderasi merupakan salah satu ajaran yang bersumber pada Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an, moderasi disebut sebagai al-wasatiyyah. Secara etimologis, kata ini berasal dari akar kata al-wasath yang memiliki arti “di antara”. Kata ini memiliki beberapa makna, yaitu: (1) berada di antara dua posisi; (2) pilihan, utama, dan terbaik; (3) adil; dan (4) berada di antara hal buruk dan hal baik. Raghib al-Ashfahani memaknai kata wasathiyyah sebagai titik tengah yang tidak condong ke kanan maupun ke kiri dan juga bermakna keadilan, persamaan, dan kemuliaan.

Yusuf Al-Qardhawi mendefinisikan wasathiyyah sebagai usaha menyeimbangkan dua sisi yang bertolak belakang (at-tawazun), misalnya egoisme dengan altruism. At-tawazun berarti memberikan proporsi secara proporsional. Misalnya, kata “dermawan”, sebagai sikap antara boros dan kikir, atau “pemberani”, sebagai sikap antara nekad (tahawur) dan penakut (al-jubn). Adapun lawan kata moderasi adalah tatharruf atau berlebihan, yang berarti ekstrim atau radikal.

Baca juga : Moderasi Beragama dalam Perspektif Hadis: Studi atas Konsep Wasathiyah

Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah disebut wasith, yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “wasit” yang artinya penengah, pemimpin, dan pemisah. Orang yang adil akan menjaga keseimbangan dan berada di tengah. Pertengahan itu dalam bahasa Arab disebut wasath. Kata wasath seringkali dilekatkan dengan kebaikan. Dalam hadits Nabi disebutkan “sebaik-baik urusan adalah yang ada di pertengahan”. Dalam Al-Qur’an kata wasatha disebutkan sebanyak lima kali antara lain:

  • Dalam surat al-Adiyat (100): masuknya pasukan ke tengah-tengah medan perang.
  • Dalam surat al-Qalam (68): 28 dan al-Baqarah (2): 238, yang berarti lebih adil dan berakal. 
  • Dalam surat al-Maidah (5): 89, berarti antara boros dan bakhil.

Pengarusutamaan moderasi beragama mengutamakan pada pembentukan paham maupun sikap sosial keberagamaan yang moderat, yakni menghormati kemajemukan sosial serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Pola interaksi mencerminkan komitmen kebangsaan dan akomodatif terhadap kearifan lokal. Moderasi menekankan pada nasionalisme dan tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan agama. Isolasi sosial di kalangan individu religius seringkali dipicu oleh fanatisme agama dan sikap individualisme yang berlebihan.

Baca juga : Nilai-Nilai Moderasi Beragama Dalam Budaya Halal Bihalal

Bertujuan untuk menyoroti pentingnya keseimbangan ibadah ritual dan interaksi sosial. Masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan, sosial, dan pendidikan berperan penting dalam memfasilitasi interaksi sosial dan memperkuat nilai kebersamaan. Kegiatan keagamaan seperti shalat berjamaah, dakwah, dan peringatan hari besar Islam, serta kegiatan sosial seperti kerja bakti, zakat, dan buka puasa bersama, semuanya berkontribusi pada pembentukan hubungan sosial yang kuat dan harmonis. Moderasi beragama penting dalam masyarakat Indonesia yang beragam. Tokoh agama bersama pemerintah berupaya mencegah radikalisme dan intoleransi, salah satunya melalui moderasi lintas agama.

Konsep Islam moderat relevan dalam konteks keberagaman di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, moderasi menjadi topik yang sangat menarik. Moderasi diyakini sebagai kunci menghindari ekstremisme. Namun, seringkali konsep ini disalahartikan sehingga memicu kontroversi. Kerukunan antar umat beragama penting dalam menjaga keharmonisan sosial di Indonesia yang majemuk. Di Desa Linggo Asri, Kabupaten Pekalongan, tingkat toleransinya sangat tinggi melalui kegiatan dialog interaktif dan partisipatif. Hasilnya meliputi terbentuknya persepsi yang lebih baik tentang toleransi, terwujudnya kerukunan, dan meningkatnya modal sosial masyarakat.

Langkah-langkah yang melibatkan pembina formal dan nonformal, meningkatkan pemahaman masyarakat, serta menyosialisasikan peraturan yang mendukung kerukunan telah membentuk lingkungan sosial yang harmonis dan toleran. Kesimpulannya, kerukunan antar umat beragama di Desa Linggo Asri menjadi modal sosial penting dalam menjaga kesatuan dan kedaulatan Indonesia.

Muslimah Berkarir: Refleksi Keadilan Dalam Benturan Norma dan Realitas

Penulis: Anindya Aryu Inayati*, Editor: Azzam Nabil H.

Seorang Muslimah yang berkarir seringkali dihadapkan pada dua jalur perjalanan yang mengandung tuntutan besar dan tampak saling bertentangan. Satu jalan adalah norma tradisional atau keagamaan yang menekankan peran domestik sebagai istri dan ibu. Jalan lain adalah realitas profesional yang menuntut keterlibatan penuh di ranah publik, seperti jam kerja panjang, mobilitas tinggi, dan independensi. 

Islam sebenarnya tidak melarang perempuan untuk bekerja. Sejarah mencatat banyak tokoh perempuan yang aktif di ranah publik, seperti Khadijah RA sebagai pebisnis, atau Asy-Syifa’ binti ‘Abdillah yang diberi kepercayaan oleh Umar bin Khattab untuk mengelola pasar. Sejarah juga mencatat bahwa arsitek Universitas Al-Qarawiyyin yang merupakan perguruan tinggi tertua di dunia, adalah seorang Wanita, yaitu Fatimah Al-Fihri. Namun, Islam juga menekankan bahwa perempuan memiliki tanggung jawab khusus dalam keluarga, terutama setelah menikah. 

Perempuan dalam Islam memiliki peran sentral dan mulia dalam rumah tangga, bukan sekadar sebagai pelaksana tugas domestik, melainkan sebagai penjaga kehormatan, pendidik generasi, dan sumber ketenangan bagi keluarga. Al-Qur’an dan hadis menegaskan bahwa istri adalah pendamping yang menghadirkan sakinah (ketenangan), serta ibu yang menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya, tempat nilai-nilai moral dan keimanan ditanamkan sejak dini. Posisi ini bukan bentuk subordinasi, melainkan amanah strategis yang menopang kestabilan sosial dan spiritual keluarga. Meski begitu, Islam tidak menutup pintu bagi perempuan untuk berkarya di ruang publik, selama tetap menjaga nilai-nilai syariat dan tidak mengabaikan tanggung jawabnya dalam keluarga. Dengan demikian, norma Islam tidak membatasi perempuan, melainkan menempatkan perannya secara proporsional, adil, dan kontekstual dalam membangun peradaban dimulai dari rumah.

Baca juga: Menunda Ikatan: Mengapa Generasi Z Memilih Karir dan Kebebasan di Atas Pernikahan?

Di sisi lain, ketika seorang Muslimah terjun di dunia kerja modern, ia dihadapkan pada tuntunan untuk dapat memberikan komitmen penuh dalam bentuk jam kerja panjang, mobilitas tinggi, dan kapasitas pengambilan keputusan yang otonom. Di sinilah benturan itu sering muncul. Perempuan yang mencoba menjalankan peran ganda kadang dipertanyakan loyalitasnya: dari sisi agama ia dinilai kurang prioritas pada keluarga, sementara dari sisi dunia kerja kadang dianggap kurang professional. 

Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bahwa Wanita memiliki hak untuk bekerja dan berkarir secara profesional dengan batasan-batasan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Al-Qardhawi mengutip hadits Nabi saw. yang menyatakan: “Barangsiapa yang berjalan untuk mencari rezeki yang halal dengan tujuan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya, maka dia berada pada jalan Allah” (HR. Ahmad dan Thabrani). Berdasarkan hadits ini, Al-Qardhawi berpendapat bahwa wanita yang bekerja untuk menafkahi diri dan keluarganya, atau untuk mengembangkan potensi diri dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, dapat dianggap sebagai amal saleh yang bernilai ibadah di sisi Allah Swt.

Selain itu, keterlibatan Wanita dalam dunia kerja profesional dapat dikaitkan dengan kaidah usul fikih yang menyebutkan:

مَاحُرِّمَ لِسَدِّ الذَرِيعَةِ أُبِيْحَ لِلْحَاجَةِ

Artinya: “Sesuatu yang dilarang sebagai upaya pencegahan, dibolehkan karena adanya kebutuhan”

Adanya pendapat yang melarang wanita muslimah bekerja di luar rumah dengan alasan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dan berpotensi mengganggu stabilitas keluarga, berubah menjadi kebolehan bagi Wanita untuk terlibat langsung dalam berbagai profesi strategis yang memang membutuhkannya. 

Baca juga: Busana dan Moralitas: Menghargai Keragaman dalam Penampilan di Tengah Masyarakat Plural

Lalu bagaimana mengenai profesionalitas kerja dan stabilitas keluarga? Haruskah memilih diantara keduanya?

Sebenarnya, Islam dan profesionalisme bisa saling melengkapi jika dimaknai secara kontekstual. Etika kerja Islam justru menuntut profesionalitas: amanah, jujur, bertanggung jawab. Maka, tantangan utama bukan pada syariat atau dunia kerja itu sendiri, tetapi pada bagaimana sistem sosial dan institusi kerja mampu menciptakan ruang yang adil dan fleksibel. Dalam Islam, profesionalitas kerja dan stabilitas keluarga bukanlah dua hal yang harus selalu dipertentangkan atau dipilih salah satunya, melainkan keduanya dapat dijalankan secara seimbang dengan manajemen waktu, tanggung jawab, dan niat yang baik. 

Islam mengajarkan prinsip tawazun (keseimbangan) dalam segala aspek kehidupan, termasuk antara karier dan keluarga. Perempuan yang bekerja tetap dapat profesional selama ia mengatur prioritas dan mendapatkan dukungan yang adil dari pasangan dan lingkungan. Sementara stabilitas keluarga tetap menjadi orientasi utama sebagai fondasi masyarakat. Jika terjadi benturan, Islam mendorong pengambilan keputusan berdasarkan maslahat (kemaslahatan) dan musyawarah, bukan paksaan atau tuntutan sosial semata. Dengan demikian, tidak selalu harus memilih salah satu, tetapi mencari jalan tengah yang adil dan berkelanjutan. Terlebih lagi, dalam masyarakat yang sehat, perempuan tidak dipaksa memilih antara keluarga dan karier, melainkan diberi dukungan untuk menata keduanya secara seimbang dan bermartabat.

*Dosen Fakultas Syariah
Ilustrasi oleh Artificial Intellegence (AI)

Tradisi Perlon Unggahan Bonokeling oleh Masyarakat Desa Pekuncen, Kabupaten Banyumas

Penulis : Fanisa Nur Fauzia, Editor : Rosyita Annisni

Indonesia kaya bukan hanya alamnya saja, tapi juga budayanya. Dari Sabang hingga Merauke, hampir setiap daerah punya tradisi sendiri yang unik dan penuh makna. Salah satunya datang dari sebuah desa kecil di Banyumas, Jawa Tengah, namanya Desa Pekuncen. Di sini, ada tradisi yang masih terus dijaga dan dijalani sampai sekarang yaitu Perlon Unggahan Bonokeling.

Untuk masyarakat di sana, Perlon Unggahan bukan hanya acara rutin tahunan, tapi sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Tradisi ini biasanya digelar seminggu sebelum Ramadan, tepatnya di bulan Sya’ban menurut kalender Islam. Tujuannya sederhana tapi mempunyai makna yang dalam sebagai bentuk syukur kepada Tuhan dan penghormatan kepada para leluhur.

Kalau dilihat dari sisi kehidupan sosial, masyarakat Pekuncen ini  saling melengkapi. Mereka memiliki ikatan yang kuat, bukan hanya karena tinggal di tempat yang sama, tapi karena saling terhubung lewat budaya dan sejarah yang sudah turun-temurun. Menurut para ahli sosiologi seperti Ralph Linton, masyarakat itu bisa dibilang sekelompok orang yang hidup bersama, mempunyai budaya, saling interaksi, dan biasanya memiliki tokoh panutan, baik formal seperti kepala desa atau nonformal seperti pemuka adat.

Baca juga : Tradisi Sya’banan di Pekalongan. Menyambung Silaturahmi, Menyatukan Habaib dan Kyai dalam Bingkai Ahlussunnah Wal Jamaah

Masyarakat Pekuncen bisa dibilang contoh nyata dari definisi itu. Mereka hidup rukun dan punya budaya yang terus dilestarikan. Salah satunya tradisi Perlon Unggahan Bonokeling ini. Serunya lagi, di tengah arus modernisasi yang makin kencang, mereka tetap setia menjalani tradisi ini. Dan ini bisa jadi contoh bagus soal moderasi beragama mengenai bagaimana caranya tetap menjalankan ajaran agama tanpa meninggalkan budaya lokal.

Tradisinya sendiri punya rangkaian acara yang cukup panjang, tapi justru itu yang membuat spesial. Semuanya dimulai dari ziarah ke makam leluhur. Dari anak-anak sampai orang tua, jalan kaki bersama sambil membawa berbagai hasil bumi. Biasanya laki-laki bawa sayur atau buah, sementara ibu-ibu bawa nasi di dalam bakul. Semuanya dikumpulkan di rumah pemuka adat, semacam sesepuh desa yang dihormati.

Setelah itu, barulah dimulai proses masak-memasak. Uniknya, di sini yang masak justru para bapak-bapak. Mereka masak lauk dari ayam atau kambing yang sudah dikumpulkan sebelumnya. Ini jadi bukti bahwa dalam tradisi ini, semua orang punya peran, tanpa pandang gender. Setelah makanan siap, semua warga makan bersama dalam suasana yang penuh kekeluargaan. Tidak ada yang dibeda-bedakan. Semua duduk sama rata, makan dengan hati senang.

Satu lagi yang menarik adalah busana adat yang dikenakan. Para lelaki biasanya pakai lurik coklat lengkap dengan blangkon, sementara para perempuan tampil anggun dengan baju kemben. Bukan sekadar buat gaya-gayaan, tapi sebagai simbol kebanggaan terhadap identitas Jawa. Lewat pakaian itu, mereka menunjukkan bahwa meskipun zaman berubah, jati diri tetap dijaga.

Tapi yang paling berkesan dari tradisi ini bukan cuma soal makanan atau baju adatnya. Yang membuat hati hangat adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tentang kebersamaan, gotong royong, saling menghormati, dan tentu saja rasa syukur. Ini menjadi momen buat saling menguatkan antar warga, mempererat tali silaturahmi, dan mengenang jasa para leluhur.

Baca juga : Tradisi dan Transformasi: Pendidikan Pesantren dalam Era Modern

Dari sisi spiritual, perlon unggahan juga jadi waktu yang pas untuk merenung. Sebelum masuk bulan puasa, masyarakat diajak untuk bersih-bersih hati, bersyukur atas nikmat hidup, dan berdoa agar diberikan kelancaran di bulan Ramadan nanti.

Tradisi ini juga mengajarkan kita bahwa agama dan budaya itu bukan sesuatu yang harus dipisahkan. Justru kalau bisa berjalan berdampingan, hasilnya luar biasa. Harmoni bisa tercipta, dan kehidupan sosial jadi lebih damai dan penuh makna. Di tengah dunia yang kadang terasa makin individualis, tradisi seperti begini terasa seperti oase pengingat bahwa kita hidup bukan hanya buat diri sendiri, tapi juga buat sesama.

Harapannya, tradisi Perlon Unggahan Bonokeling ini bukan sekadar jadi tontonan budaya, tapi terus dijaga dan diteruskan ke generasi muda. Karena lewat tradisi inilah, kita bisa belajar banyak hal tentang kehidupan, kebersamaan, dan rasa cinta terhadap tanah kelahiran.

Photo by : Kompas

Wayang sebagai Jembatan Harmoni antara Spiritualitas dan Sains dalam Budaya Jawa

Penulis: Ismi Aqmarina, Editor: Sirli Amry

Wayang bukan sekadar tontonan malam hari, tapi juga ruang pembelajaran nilai kehidupan. Dalam setiap kisahnya, terkandung pesan moral dan kebijaksanaan yang mengakar kuat dalam budaya Jawa. Pertunjukan ini mencerminkan cara masyarakat memahami hidup, semesta, dan spiritualitas. Tak heran jika wayang dianggap sebagai cerminan nilai-nilai luhur yang dijaga turun-temurun. Lakon-lakon yang dibawakan dalang bukan hanya hiburan, tapi juga sarana refleksi. Ia menjadi jendela yang membuka pandangan pada keseimbangan antara dunia lahir dan batin.

Ritual pembukaan dalam pagelaran wayang menunjukkan adanya penghormatan terhadap kekuatan adikodrati. Sang dalang memainkan perannya bukan hanya sebagai pengisah cerita, tapi juga pemegang amanah nilai-nilai spiritual. Ia dianggap mampu menghubungkan dunia nyata dan dunia yang tak kasat mata melalui simbol-simbol yang dimainkan. Setiap gerak dan ucapan tokoh membawa makna filosofis yang mendalam. Inilah bentuk spiritualitas yang menyatu dalam kesenian rakyat. Masyarakat memaknainya sebagai sarana menyucikan diri dan menata batin.

Baca Juga:  Upaya Lestarikan Budaya Lokal KKN 57 UIN Gusdur Ciptakan Wayang Animasi

Selain nilai-nilai batiniah, wayang juga menyentuh sisi rasional kehidupan manusia. Konflik dan keputusan para tokohnya sering kali merefleksikan dinamika berpikir kritis. Penonton diajak memahami sebab-akibat, pertimbangan etika, dan konsekuensi dari tindakan. Hal ini membentuk cara pandang masyarakat terhadap realitas dengan lebih logis. Dalam konteks ini, wayang menjadi ruang pembelajaran tak langsung tentang pemikiran rasional. Tradisi ini menjadi contoh harmonis antara cerita dan refleksi ilmiah.

Kosmologi dalam dunia pewayangan menggambarkan pemahaman kompleks tentang alam semesta. Konsep dunia atas, tengah, dan bawah menunjukkan kesadaran terhadap hubungan antar unsur kehidupan. Hal ini mengajarkan masyarakat bahwa hidup harus selaras dengan alam dan semesta. Semua lapisan kehidupan memiliki peran dan keseimbangan masing-masing. Meskipun disampaikan dalam bahasa simbolik, maknanya sangat dalam. Wayang memperlihatkan bahwa spiritualitas tradisional tak lepas dari kecerdasan memahami dunia.

Baca Juga:  Memperkuat jati diri Bangsa, Melalui Pagelaran Wayang

Wayang juga berkembang sesuai zaman tanpa kehilangan esensinya. Kini, banyak dalang muda yang mengangkat tema-tema kontemporer seperti krisis iklim, digitalisasi, atau kesehatan publik. Ini menunjukkan bahwa seni tradisional tidak tertinggal, tetapi justru adaptif dan progresif. Wayang dapat menjadi media pendidikan dan penyadaran bagi generasi sekarang. Nilai-nilainya tetap relevan di tengah dunia yang terus berubah. Tradisi ini mengajarkan bahwa kearifan lokal bisa hidup berdampingan dengan kemajuan.

Wayang bukan hanya warisan seni, tapi juga ruang dialog antara spiritualitas dan ilmu pengetahuan. Ia mengajarkan pentingnya hidup yang seimbang antara pikiran, perasaan, dan tindakan. Dalam pertunjukan wayang, kita melihat refleksi hidup yang menyatukan unsur religius, sosial, dan rasional. Tradisi ini perlu dirawat, dipahami, dan dijadikan inspirasi untuk kehidupan masa kini. Wayang membuktikan bahwa masa lalu dan masa depan bisa saling melengkapi. Ia adalah jembatan yang menghubungkan kebijaksanaan leluhur dan tantangan zaman modern.

Pentingnya Pendidikan dan Sosial dalam Mengadvokasi Moderasi Beragama

Penulis: Khoerusipaun Nisa*
Editor: Daffa Asysyakir

Moderasi beragama merupakan prinsip penting dalam menjaga harmoni di tengah keberagaman masyarakat Indonesia. Di tengah kompleksitas keyakinan yang hidup berdampingan, moderasi menjadi jembatan agar tidak terjadi gesekan sosial. Dalam perspektif sosiologi, moderasi beragama dipahami sebagai upaya untuk mencegah tumbuhnya ekstremisme dan radikalisme yang kerap menjadikan agama sebagai justifikasi atas tindakan kekerasan. Dalam konteks ini, pendidikan dan sosialiasi masyarakat menjadi dua pilar utama dalam mengadvokasi nilai-nilai moderasi.

Pendidikan memainkan peran sentral dalam membentuk pola pikir dan karakter generasi muda agar dapat menghargai perbedaan dan hidup dalam kerukunan. Lewat pendidikan, seseorang belajar bahwa nilai-nilai agama sejatinya mengajarkan kedamaian, toleransi, dan kasih sayang. Ketika pendidikan menanamkan pemahaman bahwa agama bukan alat pembenar kekerasan, maka akan terbentuk kesadaran untuk menjadikan agama sebagai instrumen pemersatu, bukan pemecah.

Sementara itu, sosialisasi berperan penting dalam mengaplikasikan nilai-nilai moderasi ke dalam kehidupan sehari-hari. Melalui interaksi sosial, masyarakat dapat belajar untuk menerima dan menghormati orang lain dengan latar belakang agama yang berbeda. Sosialisasi menjadi ruang belajar praktis tentang toleransi, kerja sama, dan cara membangun hubungan yang harmonis di tengah perbedaan.

Kombinasi antara pendidikan dan sosialisasi memungkinkan lahirnya masyarakat yang berpikir kritis dan terbuka. Pendidikan membekali individu dengan kemampuan analitis terhadap ajaran agama serta membangun sikap inklusif, sementara sosialisasi memperluas pengalaman mereka dalam berinteraksi dengan sesama. Dari sinilah tumbuh kesadaran bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kekayaan yang harus dijaga dan dihormati.

Contoh nyata dari kerja sama ini bisa dilihat dalam program-program pendidikan agama yang dikemas dengan pendekatan dialogis dan terbuka, serta kegiatan sosial seperti seminar lintas agama, diskusi publik, dan workshop keberagaman. Kerja sama antara lembaga pendidikan dan organisasi masyarakat juga penting dalam menciptakan ruang-ruang inklusif yang mempromosikan nilai moderasi kepada masyarakat luas.

Pada akhirnya, pendidikan dan sosialisasi tidak hanya menjadi media penyampaian nilai, tetapi juga instrumen transformasi sosial. Keduanya membentuk pribadi-pribadi yang toleran, komunikatif, dan sadar akan pentingnya menjaga kerukunan di tengah perbedaan. Di era yang rentan konflik karena polarisasi agama, peran aktif pendidikan dan sosial dalam merawat moderasi beragama menjadi kebutuhan yang tak bisa ditawar.

*Mahasiswa Ilmu Hadis UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan

Menelisik Sisi Historis Bacaan Tasmi “Sami’allahu Liman Hamidah” Saat Bangkit dari Ruku’

Penulis: Azzam Nabil H., Editor: Amarul Hakim

Salat merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dikerjakan oleh setiap muslim. Sebagaimana firman Allah swt. pada Q.S. Al-Baqarah ayat 43, yang artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”

Berkaitan dengan salat, ada satu riwayat historis dimana terdapat istilah takbir intiqâl dalam salat, yaitu anjuran untuk mengucapkan kalimat  الله اكبر  (Allahu Akbar) setiap kali berpindah gerakan. Namun, terdapat satu pengecualian, yaitu saat berdiri dari rukuk. Pada momen ini, yang disunahkan bukan membaca takbir, melainkan mengucapkan kalimat tasmi’ yaitu  سمع الله لمن حمده  (Sami’allahu liman hamidah).

Mengutip kitab I’anatut Thalibin Juz 1 halaman 236, karya Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi (Beirut: Darul Fikr, 1997), mengisahkan latar belakang adanya perbedaan anjuran bacaan saat bangkit dari rukuk tersebut.

والسبب في سن سمع الله لمن حمده: أن الصديق رضي الله عنه ما فاتته صلاة خلف رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قط، فجاء يوما وقت صلاة العصر فظن أنه فاتته مع رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، فاغتم بذلك وهرول ودخل المسجد فوجده – صلى الله عليه وسلم – مكبرا في الركوع، فقال: الحمد لله. وكبر خلفه – صلى الله عليه وسلم -. فنزل جبريل والنبي – صلى الله عليه وسلم – في الركوع، فقال يا محمد، سمع الله لمن حمده. … اجعلوها في صلاتكم عند الرفع من الركوع، – وكان قبل ذلك يركع بالتكبير ويرفع به – فصارت سنة من ذلك الوقت ببركة الصديق رضي الله عنه.

Artinya, “Sebab kesunahan ucapan سمع الله لمن حمده (Allah mendengar orang yang memuji-Nya), adalah karena Abu Bakar As-Shiddiq RA tidak pernah  tertinggal shalat berjama’ah di belakang Rasulullah SAW. Hingga suatu hari, pada waktu shalat ashar, Abu Bakar RA tertinggal shalat bersama Rasulullah SAW.

Abu Bakar sangat bersedih dan bergegas masuk masjid. Sampai di masjid, Abu Bakar masih bisa mendapati Rasulullah Saw. sedang bertakbir untuk ruku’, maka Abu Bakar berucap: “Alhamdulillah” sebagai bentuk pujian terhadap Allah, lantas takbiratul ihram dan shalat di belakang Rasulullah SAW.

Jibril kemudian turun saat Nabi sedang ruku‘, lalu berkata: “Wahai Muhammad, ucapkan: سمع الله لمن حمده . ‘Allah mendengar orang-orang yang memuji-Nya.’ … baca kalimat itu setiap shalat saat bangun dari ruku‘. Sebelum kejadian ini setiap akan ruku‘ dan bangun dari ruku‘ yang dibaca adalah takbir. Berkah dari Sahabat Abu Bakar RA membuat tasmi’ jadi disunahkan.”

Baca juga: Menelisik Sisi Historis Penyebutan Gelar Haji di Indonesia

Dari kisah tersebut dapat dipahami bahwa anjuran membaca tasmi’ saat bangkit dari rukuk merupakan bentuk respons terhadap pujian yang diucapkan oleh Sahabat Abu Bakar RA, karena beliau tetap konsisten menjaga keistiqamahan dalam salat berjamaah bersama Rasulullah SAW.
Wallahu’alam.

*Sumber: Kitab Ianatuth Thalibin karya Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi
Ilustrasi: Khazanah Republika.co 

Representasi Moderasi Beragama dalam Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika Perspektif Al-Qur’an

Penulis: Neza Hafshah Aulia Rifalsya, Editor: Muslimah

Bagi banyak orang, membaca novel adalah pengalaman yang menyenangkan, di mana mereka dapat menikmati alur cerita yang ditawarkan. Mereka sering kali mendapatkan kesan umum yang samar mengenai urutan serta bagian-bagian tertentu dari cerita menarik yang dikemas dalam berbagai genre.

Salah satu genre yang membuat novel tersebut menjadi berbobot adalah genre keagamaan. Namun di dalam genre agama terkadang mengandung nilai-nilai radikalisme yang tersirat hingga dapat mengarahkan pembaca kepada sikap intoleransi yang bertentangan dengan ajaran Islam sebenarnya.

Sayangnya, banyak remaja generasi milenial yang membaca buku-buku Islam populer tanpa melakukan analisis kritis atau memilah-milah. Mereka seringkali belum memiliki pemahaman agama yang memadai, sehingga rentan terpapar paham radikal dan pemikiran yang terkontaminasi oleh doktrin-doktrin yang berpotensi menyesatkan. Ini menjadi perhatian penting bagi kita, agar lebih bijak dalam memilih bacaan.

Baca juga: Strategi dan Media Dakwah di Era Digital

Moderasi beragama merupakan cara untuk memandang dan bertindak secara seimbang di tengah-tengah masyarakat. Ini berarti kita merespons setiap kejadian dan mengamati kenyataan yang ada, dengan berlandaskan ajaran agama. Selain itu, moderasi beragama juga mengajak kita untuk menyikapi keragaman yang ada di masyarakat dengan membudayakan sikap saling menolong, menghormati, dan toleransi, tanpa memandang perbedaan budaya, suku, dan aspek lainnya. Dengan demikian, moderasi beragama tidak hanya memperkuat rasa saling menghargai di antara sesama, tetapi juga berkontribusi dalam mewujudkan kedamaian dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Moderasi beragama, yang dalam istilah islam dikenal sebagai wasathiyah, merupakan konsep yang sangat penting yang menekankan pada keseimbangan, keadilan, dan penghindaran ekstremisme dalam praktik beragama. Al-Qur’an sendiri dipenuhi dengan ayat-ayat yang mengajak umat islam untuk menjadi umat yang moderat (ummatan wasathan) seperti yang tertera dalam QS. Al-Baqarah: 143. Konsep ini juga mengingatkan kita untuk menjauhi sikap berlebihan (ghuluw) dalam beragama, serta mendorong dialog dan perdamaian dalam berinteraksi dengan orang lain.

Dalam konteks ini, kehadiran novel “Bulan Terbelah di Langit Amerika” karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Al-mahendra menjadi sangat relevan untuk dikaji lebih mendalam, terutama dalam memahami bagaimana konsep moderasi beragama diterjemahkan melalui perspektif Al-Qur’an. Novel “Bulan Terbelah di Langit Amerika” mengambil latar belakang peristiwa 9/11 serta dinamika sosial-politik di Amerika Serikat setelah tragedi tersebut. Karya ini memberikan ruang yang menarik untuk mengeksplorasi pandangan terhadap Islam dan umat Muslim, serta interaksi mereka dengan masyarakat yang memiliki keyakinan berbeda. Melalui pengembangan tokoh dan alur cerita yang kuat, novel ini berpotensi menyampaikan pesan-pesan moderasi beragama kepada para pembacanya, khususnya generasi milenial yang rentan terhadap pengaruh narasi ekstrem.

Novel ini mengeksplorasi isu-isu sensitif seperti terorisme, radikalisasi, dan stereotip negatif terhadap Islam, yang sering menyebabkan konflik antar agama. Penting untuk mengetahui apakah novel ini memberikan berbagai perspektif dan menghindari generalisasi yang bisa merugikan, atau jika justru terjebak dalam narasi yang terlalu sederhana yang memperburuk polarisasi. Al-Qur’an menentang kekerasan yang dilakukan atas nama agama dan mendorong penyelesaian konflik secara damai. Oleh karena itu, penyajian isu-isu sensitif dalam novel dengan cara yang bertanggungjawab dapat menunjukkan penerapan nilai-nilai moderasi menurut ajaran Al-Qur’an.

Beberapa penelitian sebelumnya yang dirujuk dalam artikel ini, seperti karya Novianti dan Munir (2017) yang mengeksplorasi nilai-nilai religius dalam novel, serta tesis Purbasari (2019) yang meneliti nilai-nilai pendidikan Islam, menunjukkan bahwa novel “Bulan Terbelah di Langit Amerika” memiliki potensi untuk menyampaikan pesan-pesan positif terkait Islam. Selain itu, penelitian oleh Sugeng Riadi (2018) yang memfokuskan pada konflik batin tokoh utama juga memberikan wawasan mengenai proses yang dilalui oleh karakter Muslim dalam menghadapi berbagai tantangan dan perbedaan.

Pendapat ini menyatakan bahwa novel “Bulan Terbelah di Langit Amerika” dapat mewakili nilai-nilai moderasi dalam beragama berdasarkan Al-Qur’an. Novel ini menggambarkan interaksi antaragama yang positif, menangani isu sensitif dengan baik, dan menghadirkan karakter Muslim yang moderat. Ini dapat menjadi alat literasi yang efektif untuk mengajarkan generasi milenial tentang keseimbangan, toleransi, dan perdamaian. Analisis wacana mendalam dapat memperjelas pesan-pesan moderasi dan kesesuaiannya dengan prinsip Al-Qur’an. Pemahaman yang baik tentang Islam dan nilai-nilai moderat diharapkan dapat mengurangi pengaruh ideologi radikal dan menciptakan masyarakat harmonis dan inklusif.

Novel ini menggambarkan interaksi positif antaragama, penanganan isu sensitif yang bertanggung jawab, serta menampilkan karakter Muslim yang moderat. Hal ini mengindikasikan bahwa karya sastra seperti novel dapat menjadi sarana efektif dalam menyampaikan pesan-pesan penting tentang keseimbangan, toleransi, dan perdamaian, terutama kepada generasi milenial. Analisis wacana yang mendalam terhadap karya sastra semacam ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif, tentang moderasi beragama dan kontribusinya dalam menciptakan masyarakat yang harmonis dan inklusif.

*Ilu

Konsep Menjalin Silaturahmi Pandangan KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab At-Tibyan

Penulis: Dimas Muhammad Rizky, Editor: Sirli Amry

Manusia sebagai makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan satu sama lain. Oleh karena itu, penting bagi manusia untuk menjalin hubungan dan saling mengenal demi menciptakan kehidupan yang harmonis dan saling mendukung. Hal ini digambarkan dalam Al-Qur’an Surat Al Hujurat / 49 :13

اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kami menjadikan kamu berbangsa dan bersuku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah mereka yang bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

Baca Juga:   Nilai-Nilai Moderasi Beragama Dalam Budaya Halal Bihalal

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kepada kita untuk saling mengenal satu sama lain walaupun memiliki perbedaan suku, ras, dan agama. Hal tersebut dapat diartikan manusia membutuhkan manusia lain untuk menjaga Ukhuwah Islamiyah agar dapat hidup dengan tenang satu sama lain.

Manusia perlu mengembangkan sikap saling menghormati dan menyayangi untuk menciptakan hubungan yang harmonis, seperti teladan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Namun terkadang dalam menjalin silaturahmi sering mendapatkan rintangan. Kebutuhan akan saling menyanyangi selalu berubah seiring waktunya, bisa bertambah maupun berkurang. Dalam menghadapi tantangan ini, lingkungan memiliki peran yang sangat penting sebagai penopang dalam memenuhi kebutuhan kasih sayang tersebut.

Masyarakat di perkotaan semakin tergerus dengan kehidupan individualis. Hal ini pengaruh perkembangan arus globalisasi yang berkembang dengan pesat yang akhirnya mengubah cara berinteraksi masyarakat yang dulu melakukan silaturahmi dengan bertatap muka sekarang dengan virtual.  Teknologi yang canggih dengan bantuan akses internet terkadang membuat seseorang mengabaikan akan silaturahmi. Faktor politik juga menyebabkan terputusnya tali persaudaraan yang disebabkan bedanya pilihan.

Baca Juga:  Moderasi Beragama sebagai Pendorong Mobilitas Sosial di Era Modern

K.H Hasyim Asy’ari dalam kitab At-tibyan menjelaskan bahwa memutus silaturrahmi tidak diperbolehkan, jika melanggarnya tanpa adanya uzur maka mendapat dosa. Kyai Hasyim asy’ari mengatakan bahwa perbedaan adalah Rahmat, sebab sahabat nabi berbeda pandangan dalam memutuskan sebuah hukum, namun perbedaan tidak membuat mereka dendam malah semakin bersatu.

Dalam bersilaturahmi, banyak keutamaan yang bisa didapat. Beberapa keutamaan tersebut diantaranya:

Silaturahmi merupakan sebagian dari iman kepada Allah dan hari kiamat. Hal tersebut sesuai dengan hadis dalam shahih Bukhari. Dalam hadis tersebut orang beriman akan memuliakan tamu yang datang kerumahnya. Dan dia akan menjaga silaturrahminya dan mengucapkan hal yang baik (HR Bukhari No. 6138).

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :  مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Selain itu, silaturahmi juga dapat melapangkan rizki. Dimana hal yang seperti ini disampaikan oleh (HR Bukhari no. 5986):

Baca Juga:  Nyadran: Tradisi Penghormatan Leluhur dalam Bingkai Nilai-Nilai Islam di Dusun Silawan Desa Kutorojo

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي يَعْقُوبَ الْكِرْمَانِيُّ ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ ، حَدَّثَنَا يُونُسُ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : ” مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Silaturahmi juga bisa menjadi sebab seseorang masuk kedalam surga. Dalam hadis juga diambil dalam riwayat Bukhari. Nabi muhammad ditanya akan amalan yang bisa membawa ke surga, lalu Nabi menyebutkan amalan yang bisa masuk surga salah satunya silaturahmi (HR Bukhari No. 1396)

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنِ ابْنِ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَوْهَبٍ ، عَنْ مُوسَى بْنِ طَلْحَةَ ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ. قَالَ : مَا لَهُ مَا لَهُ ؟ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَرَبٌ مَا لَهُ، تَعْبُدُ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِ

Orang yang memutus silaturahmi sama dengan memutuskan dengan Allah swt sebaliknya orang menyambung maka dia juga menyambungnya silaturahmi dengan Allah swt. Hadis ini diambil dari (HR Muslim No 2555).

Baca Juga:  Merangkai Tradisi: Keberagaman dan Kekuatan Identitas dalam Nyadran Gunung Silurah

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ – وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ – قَالَا : حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي مُزَرِّدٍ ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ، تَقُولُ : مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ، وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ

Seseorang yang memutus silaturahmi tidak akan masuk kedalam surga Allah swt. Hal ini dituturkan nabi melalui hadis yang tercatat dalam (HR Muslim No. 2556)

حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ ، حَدَّثَنَا جُوَيْرِيَةُ ، عَنْ مَالِكٍ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ أَخْبَرَهُ، أَنَّ أَبَاهُ أَخْبَرَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ

Kode Etik vs Kode Program: Menjembatani Prinsip Al-Qur’an dan Dilema Kecerdasan Buatan

Penulis : Awalia Anzilni

Editor: Fajri Muarrikh

Di era revolusi 5.0, kecerdasan buatan (AI) telah menjadi teknologi sangat berpengaruh dan mulai mengubah banyak aspek kehidupan manusia. AI mampu melakukan hal-hal yang sebelumnya hanya bisa dilakukan manusia, mulai dari memvalidasi emosi hingga membuat keputusan kompleks. Dilansir dari laman Telkom University, AI semakin menyatu dengan kehidupan manusia, membuat banyak aktivitas sehari-hari menjadi lebih nyaman dan efisien. Di tahun 2025, teknologi AI diprediksi akan semakin personal dan intuitif, mempelajari kebiasaan pengguna untuk menawarkan solusi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Survei terbaru dari Statista Consumer Insights, Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara paling antusias dalam penggunaan kecerdasan buatan (AI) di kehidupan sehari-hari. Survei ini menunjukkan bahwa 41 persen responden di Indonesia menyatakan kegemarannya terhadap penggunaan teknologi AI, seperti ChatGPT, untuk berbagai kebutuhan.

Namun, di balik kenyamanan dan efisiensi yang ditawarkan, hadir pula pertanyaan besar yang perlu direnungkan bersama: ke mana arah kecanggihan ini akan membawa manusia? Seiring dengan semakin kompleksnya peran kecerdasan buatan, muncul berbagai dilema etis yang tak bisa diabaikan begitu saja. Misalnya, ketika AI digunakan untuk mengambil keputusan penting dalam bidang kesehatan, pendidikan, bahkan hukum. Lalu, bagaimana jika sistem algoritma yang digunakan ternyata bias atau tidak adil? Apakah kita siap membiarkan keputusan moral diserahkan kepada mesin yang tidak memiliki hati nurani? Di sinilah pentingnya membahas kembali relasi antara teknologi dan etika, antara kecanggihan kode program dan kedalaman kode etik.

Algoritma atau kode program adalah dasar bagi AI untuk bekerja berdasarkan data dan pola. Mesin memahami dari data, lalu membuat keputusan berdasarkan pola. Namun, secanggih apapun teknologi, AI tidak memiliki hati nurani, empati, atau nilai moral. Sebuah sistem hanya akan mencerminkan nilai yang ditanamkan oleh pembuatnya. Maka, apabila penggunaan AI tidak dibingkai dengan etika yang kuat, teknologi bisa menjadi alat yang berbahaya sepert memberi ketidakadilan, mengancam privasi, hingga menghapuskan nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah pentingnya menerapkan “kode etik” ke dalam pengembangan teknologi. Hal ini dalam konteks Islam, dapat melalui Al-Qur’an sebagai sumber etika yang holistik dan relevan lintas zaman.

Al-Qur’an mengajarkan prinsip-prinsip universal seperti keadilan (‘adl), tanggung jawab (amanah), dan kasih sayang (rahmah). Prinsip-prinsip ini sangat relevan dalam membingkai arah perkembangan teknologi modern. Al-Qur’an dalam Surah Al-Hujurat ayat 13 mengajarkan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap keberagaman manusia. Nilai ini menjadi relevan ketika kita melihat kasus diskriminasi algoritmik yang terjadi di berbagai negara. Sebuah studi oleh MIT Media Lab pada tahun 2019 menunjukkan bahwa sistem pengenalan wajah berbasis AI cenderung lebih akurat mengenali wajah pria kulit putih dibandingkan wanita dan orang kulit hitam, dengan tingkat kesalahan mencapai 34,7% pada kelompok minoritas. Fenomena ini memperlihatkan bahwa AI tidak netral karena tergantung pada data yang digunakan untuk melatihnya. Maka, diperlukan landasan moral yang kuat dalam perancangan AI, agar kode program tidak sekadar mengikuti logika efisiensi, tetapi juga selaras dengan prinsip keadilan dan kesetaraan sebagaimana diajarkan dalam Islam.

Kemudian, otonomi AI dalam pengambilan keputusan juga memicu kekhawatiran. Misalnya, dalam laporan Pew Research Center (2023), 56% pakar teknologi menyatakan kekhawatiran mereka tentang AI yang suatu hari nanti bisa bertindak tanpa pertimbangan moral manusia. Padahal, sesuai dengan Q,S. Al-Baqarah: 30, islam memandang manusia sebagai khalifah di bumi, yang bertanggung jawab menjaga dan mengelola alam serta seluruh ciptaan-Nya. Maka, saat manusia menciptakan teknologi secerdas apa pun, tetap ada tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa teknologi tersebut membawa maslahat, bukan kerusakan. Oleh karena itu, diperlukan kerangka etika AI yang selaras dengan nilai-nilai agama, seperti transparansi, keadilan, dan akuntabilitas.

Salah satu fakta yang menguatkan urgensi kerangka etika dalam pengembangan AI datang dari laporan World Economic Forum tahun 2023 yang menyoroti bahwa 62% perusahaan teknologi besar mengakui belum memiliki standar etika yang konsisten dalam pengembangan kecerdasan buatannya. Hal ini menciptakan celah besar bagi lahirnya teknologi yang beroperasi tanpa acuan nilai moral yang jelas, berpotensi merugikan pengguna dan kelompok rentan. Tanpa kontrol yang baik, AI bisa digunakan untuk manipulasi opini publik, pelacakan tanpa izin, hingga eksploitasi data pribadi demi keuntungan ekonomi. Maka, sangat penting menanamkan prinsip amanah dalam pengembangan AI sebagaimana Islam mengajarkan amanah, termasuk amanah ilmu dan teknologi yang harus dijalankan secara bertanggung jawab serta tidak merugikan pihak lain.

Mengintegrasikan antara kecanggihan AI dan nilai-nilai Qur’ani bukan berarti menolak teknologi, tetapi justru memastikan agar teknologi berkembang secara bertanggung jawab. Pendidikan etika berbasis nilai Qur’ani harus ditanamkan kepada para pengembang teknologi. Pengembangan AI bukan hanya untuk efisiensi, tapi juga untuk keadilan dan kemanusiaan. Dalam dunia yang makin terdigitalisasi, kita membutuhkan kebijaksanaan yang mendalam. Di sinilah peran umat Islam, khususnya generasi muda, bukan hanya sebagai pengguna AI, tetapi juga sebagai pengembang teknologi yang berakar pada nilai-nilai luhur.

Nilai-nilai Islam, dengan semangat rahmatan lil ‘alamin, dapat menjadi jembatan yang kokoh untuk memastikan AI berfungsi sesuai nilai kemanusiaan.

Pada akhirnya, pertarungan antara “kode program” dan “kode etik” bukanlah pertarungan yang saling meniadakan, melainkan ruang untuk saling melengkapi. Dunia membutuhkan lebih dari sekadar kecerdasan buatan namun juga membutuhkan kebijaksanaan manusia. Kode program yang membentuk mesin harus dikendalikan oleh kode etik pengembang yang diberikan melalui hati nurani. Al-Qur’an dapat menjadi panduan moral untuk mengarahkan kecanggihan teknologi ke jalan yang benar.

Dunia tidak hanya membutuhkan teknologi yang cerdas, tapi juga manusia yang bijaksana dalam menggunakannya. Kita sedang berada pada persimpangan, apakah teknologi akan menjadi alat pembebasan atau justru memperbudak manusia? Jawabannya ada pada nilai yang kita tanamkan, dan Al-Qur’an dapat menjadi lentera dalam menjalaninya.

Integrasi Sains dan Agama dalam Pemikiran Badiuzzaman Said Nursi

Penulis : Kharisatun Nafila, Editor : Amarul Hakim

Dalam sejarah perkembangan pemikiran manusia, relasi antara sains dan agama sering dianggap secara dikotomi. Sains dianggap sebagai rasionalitas manusia, sedangkan agama dianggap sebagai sesuatu yang bersumber dari wahyu. Pada era modern saat ini kemajuan ilmu pengetahuan sering diiringi oleh krisis spiritual dan merosotnya peran agama dalam kehidupan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya kecenderungan masyarakat pada pandangan hidup sekuler, serta menurunnya minat terhadap kajian-kajian keagamaan di berbagai institusi Pendidikan.

Di tengah arus sekularisme dan materialisme yang berkembang pesat, muncul beberapa tokoh yang berupaya memadukan antara sains dan agama tersebut. Salah satunya yaitu Badiuzzaman Said Nursi, yang merupakan seorang pemikir Turki yang hidup pada masa transisi kekhalifahan menuju negara sekuler modern.

Badiuzzaman Said Nursi lahir pada tahun 1877 di Nurs, sebuah desa kecil di wilayah Anotalia Timur, Turki. Ia dikenal sebagai seorang ulama, cendikiawan, dan pembaharu Islam yang sangat produktif terutama dalam merespon tantangan intelektual dan spiritual umat Islam pada masa transisi dari kekhalifahan ustmaniyah menuju negara Republik Turki yang sekular. Badiuzzaman Said Nursi menganggap bahwa sains dan agama merupakan dua kekuatan yang tidak saling meniadakan, melainkan dua cahaya yang saling melengkapi dalam membimbing manusia dalam kebenaran. Melalui karya monumentalnya yaitu Risalah Nur yang menawarkan sebuah pendekatan baru dalam memahami wahyu dan alam semesta secara terpadu.

Baca juga : Pemikiran dan Kepemimpinan KH. Ahmad Rifa’I BIN Raden Muhammad Marhum Chilmy Munazil

Menurut Nursi, alam adalah “Kitab terbuka” yang dapat dibaca melalui ilmu pengetahuan, sedangkan Al-Qur’an adalah petunjuk yang mengarahkan manusia untuk memahami realitas yang benar. Nursi memperkenalkan konsep mana-i harfi yaitu pendekatan dalam membaca alam dan fenomena kehidupan sebagai tanda atau isyarat yang menunjuk kepada keberadaan dan sifat-sifat ilahi. Melalui pendekatan tersebut setiap fenomena alam bukan hanya objek kajian ilmiah, tetapi juga sarana untuk memperdalam keimanan. Ia menolak pandangan bahwa sains dan agama berada dalam konflik tetapi mengajak manusia untuk mengintegrasikan keduanya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks Pendidikan, Nursi mengusulkan model integrasi ilmu agama dan sains yang dikenal dengan istilah madrasah al-zahirah yaitu lembaga pendidikan yang menggabungkan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu modern. Lembaga ini diidealkan sebagai ruang pembelajaran yang tidak hanya mencetak ilmuwan dan ulama, tetapi manusia seutuhnya yang memiliki keseimbangan antara akal dan hati. Tujuannya adalah untuk menciptakan generasi yang tidak hanya memahami ajaran agama secara mendalam, tetapi juga mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan dalam kehidupan.

Pendekatan tersebut relevan dengan tantangan zaman modern, di mana sekularisasi dan materialisme seringkali memisahkan antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual. Nursi menekankan bahwa ilmu pengetahuan modern, seperti fisika dan kimia dapat digunakan untuk memperkuat keimanan jika dipahami dalam konteks spiritual. Sebagai contoh ia menjelaskan bahwa perubahan energi di alam semesta menunjukkan adanya kekuatan yang tidak berubah, yaitu Tuhan yang Maha Kuasa. Pendekatan ini menunjukkan bahwa nursi tidak hanya melihat sains sebagai alat untuk memahami dunia fisik, tetapi juga sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Baca juga : Moderasi Beragama sebagai Solusi Mengatasi Polarisasi Sosial di Indonesia

Pemikiran Badiuzzaman Said Nursi menunjukkan bahwa sains dan agama bukanlah dua kutub yang saling bertentangan. Melainkan dua jalan menuju kebenaran yang saling menguatkan. Di era modern yang penuh tantangan, pendekatan integratif yang ditawarkan oleh Badiuzzaman Said Nursi menjadi sangat relevan. Oleh karena itu penting bagi kita untuk meninjau kembali cara pandang terhadap sains dan agama, serta membangun Pendidikan yang mampu menggabungkan keduanya secara harmonis.