Resensi Majalah Al-Mizan Edisi 29: Aksara Moderasi

Penulis: Syamsul Bakhri, Editor: Azzam Nabil H

Identitas Majalah yang akan saya Resensi adalah Majalah Al-Mizan; Edisi 29; Tema Aksara Moderasi; Penerbit Lembaga Pers Mahasiswa Al-Mizan UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan; Tahun Terbit 2024; dan Jumlah Halaman 47. Majalah Al-Mizan Edisi 29 mengusung tema “Aksara Moderasi,” yang berfokus pada semangat moderasi beragama di wilayah Pekalongan. Dalam edisi ini, redaksi berupaya menggali praktik nyata moderasi beragama dan aspek yang memperkuat harmoni di tengah masyarakat yang beragam. Pilihan tema ini relevan mengingat kompleksitas keberagaman di Indonesia, yang membutuhkan pendekatan inklusif untuk menciptakan toleransi dan kerukunan.

Dari segi sub-pembahasan, majalah ini mencakup beberapa kategori, yakni komik, esay, opini, sosok, infografis, puisi dan beberapa artikel utama yang membahas isu moderasi beragama di Pekalongan, khususnya di Desa Linggoasri dan Kutorojo. Artikel-artikel tersebut mengangkat bagaimana masyarakat dari berbagai agama, seperti Islam, Hindu, Budha dan Kepercayaan Kapribaden, hidup harmonis melalui kegiatan keagamaan dan sosial, seperti Nyadran, Legenonan, dialog lintas agama, dan gotong royong. Salah satu artikel utama adalah “Moderasi Beragama: Pilar Utama Keberagamaan dan Kerukunan Bangsa di Desa Linggoasri dan Kutorojo,” yang menyoroti nilai-nilai toleransi dan kebersamaan. Artikel ini menampilkan cerita inspiratif dari masyarakat desa yang aktif menjaga kerukunan meskipun berbeda keyakinan.

Baca juga: Apresiasi Bagi Seniman Seluruh Dunia dengan Internasional Artist Day

Tentu majalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan Majalah ini ada 3; Pertama, Relevansi Tema. Tema moderasi beragama sangat relevan dalam konteks masyarakat multikultural Indonesia. Kedua, Penyajian Data. Majalah ini disertai data konkret dan kisah nyata, sehingga pembaca dapat memahami dengan jelas. Ketiga, Desain Visual. Desain majalah menarik, dengan tata letak yang rapi dan penggunaan ilustrasi yang mendukung narasi. Kekurangan Majalah ini ada 3; Pertama, Kedalaman Analisis. Beberapa pembahasan terasa deskriptif dan kurang mendalami aspek sosiologis moderasi beragama. Kedua, Konsistensi Penulisan. Ditemukan inkonsistensi dalam gaya bahasa dan penggunaan istilah yang perlu diperbaiki. Ketiga, Desain cover dan symbol. Desain cover sangat patriarki hanya menampilkan tokoh laki-laki dan desain ilustrasi simbol umat beragama tidak disesuaikan dengan kondisi data agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Linggoasri dan Kutorojo.

Majalah Al-Mizan Edisi 29 berhasil mengangkat isu moderasi beragama dengan cara yang inspiratif dan informatif. Majalah ini layak dibaca oleh akademisi, tokoh agama, dan masyarakat umum yang ingin memahami pentingnya harmoni di tengah keberagaman. Ke depan, akan lebih baik jika majalah ini menambahkan analisis lebih mendalam untuk memperkuat wawasan pembaca. Dengan resensi ini, semoga pembaca mendapatkan gambaran yang jelas tentang isi dan nilai dari majalah Al-Mizan Edisi 29: Aksara Moderasi. Secara lengkap majalah Al-Mizan Edisi 29 bisa di download di https://lpmalmizan.uingusdur.ac.id/aksara-moderasi-majalah-lpm-al-mizan-edisi-xxix-tahun-2024/

Baca juga: Buku Bajakan dan Dampaknya

Desain Masjid: Simbol Iman atau Keberagamaan?

Penulis : Ibnu Salim; Editor: Ika Amiliya

Moderasi beragama telah menjadi diskursus penting dalam konteks keberagaman di Indonesia, termasuk dalam hal desain bangunan masjid. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah masjid boleh menyerupai bentuk bangunan tertentu yang diasosiasikan dengan tradisi atau simbol budaya lainnya? Pertanyaan ini tidak hanya menyangkut estetika, tetapi juga menyentuh aspek teologis, budaya, dan pemahaman masyarakat tentang makna keberagamaan.

Sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah menentukan bagaimana bentuk fisik masjid harus dibuat. Masjid Nabawi pada awal pembangunannya sangat sederhana, berupa struktur dengan atap pelepah kurma. Dalam perkembangannya, desain masjid beradaptasi dengan tradisi lokal. Kubah, misalnya, sebenarnya bukan tradisi asli Islam, melainkan berasal dari tradisi Bizantium yang kemudian diadopsi oleh Kekhalifahan Otan. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk fisik masjid bukanlah elemen sakral dalam Islam, melainkan wadah yang bisa beradaptasi dengan budaya setempat.

Baca juga: Masjid Lerabaing Alor : Keunikan, Misteri, dan Saksi Bisu Toleransi di Nusa Tenggara Timur

Arsitek Adhi Moersid, perancang Masjid K.H. Hasyim Asy’ari, Jakarta, menegaskan bahwa tuduhan masjid tersebut menyerupai simbol salib adalah hoaks. Desain masjid yang diberi sentuhan ornamen Betawi dengan konsep urban agriculture justru menunjukkan upaya untuk merepresentasikan identitas lokal. Adhi juga menyatakan bahwa membangun masjid harus didasari cinta, kesungguhan, dan kejujuran, sehingga menghasilkan karya yang dapat diterima masyarakat luas. Ini menjadi pelajaran bahwa desain masjid tidak harus berkiblat pada satu gaya tertentu, apalagi memaksakan konsep “kubah” sebagai simbol keislaman.

Kiai Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal, dalam tausiyahnya pernah menekankan pentingnya menyesuaikan desain masjid dengan budaya lokal. Beliau menyebutkan bahwa di Bali atau Papua, masjid sebaiknya mengadopsi ornamen lokal agar masyarakat setempat tidak merasa asing. Masjid yang relevan dengan budaya lokal justru mempermudah dakwah Islam karena membangun kedekatan emosional. Masjid Muhammad Cheng Hoo di Batam adalah contoh konkret bagaimana unsur budaya Tionghoa dapat berpadu dengan nilai-nilai Islam, menciptakan harmoni antara Muslim dan komunitas Tionghoa.

Namun, kontroversi seperti desain Masjid K.H. Hasyim Asy’ari menunjukkan bahwa moderasi beragama belum sepenuhnya dipahami. Tuduhan bahwa masjid menyerupai simbol tertentu mencerminkan pola pikir yang cenderung eksklusif dan sempit. Pandangan semacam ini mengabaikan bahwa Islam adalah agama yang inklusif, yang menerima keragaman budaya selama tidak bertentangan dengan prinsip tauhid.

Baca juga: Ini Dia Alasan Habib Umar Memberikan Nama Abu Bakar Ash-Siddiq Kepada Seorang Mualaf yang diislamkannya Di Masjid Istiqlal

Dalam moderasi beragama, penting untuk membangun pemahaman bahwa bentuk fisik masjid bukanlah representasi keimanan, melainkan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mempertanyakan desain masjid dengan pendekatan sempit justru berpotensi menciptakan polarisasi dan mengabaikan esensi utama masjid sebagai tempat ibadah.

Maka, moderasi beragama dalam pembuatan masjid seharusnya diarahkan pada penerimaan terhadap keragaman desain yang mencerminkan identitas lokal, tanpa kehilangan nilai-nilai Islam. Perdebatan tentang masjid yang “menyerupai” bangunan budaya lain atau agama lain harus dilihat dari sudut pandang niat dan fungsi. Selama desain tersebut bertujuan untuk mempermudah dakwah dan mempererat hubungan masyarakat, tidak ada alasan untuk menolaknya.

Moderasi beragama juga membuka peluang bagi masjid untuk menjadi ruang inklusif yang menarik perhatian khalayak luas. Desain masjid yang menyerupai elemen tertentu tidak hanya menarik umat Islam, tetapi juga komunitas dari agama lain. Ketertarikan ini sering kali bermula dari pertanyaan sederhana: Mengapa masjid ini berbeda? atau Apa filosofi di balik desainnya? Dari rasa ingin tahu tersebut, dialog lintas agama dapat terbangun, yang pada akhirnya menjadi peluang untuk memperkenalkan nilai-nilai Islam secara santun dan damai. Masjid pun tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol keterbukaan yang mengundang harmoni dan saling pengertian di tengah keberagaman.

Baca juga: Potret Keharmonisan Agama di Indonesia : Surabaya Suguhkan 6 Tempat Ibadah yang Berdampingan

Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia membutuhkan moderasi beragama yang tidak hanya mengedepankan toleransi, tetapi juga pemahaman mendalam terhadap keberagaman budaya. Desain masjid yang adaptif adalah wujud nyata dari semangat moderasi beragama ini. Jangan biarkan perdebatan estetika fisik menghalangi esensi Islam sebagai rahmat bagi semesta.

 

Dirjen PHU Tekankan Profesionalisme dan Pemahaman Perbedaan Fikih dalam acara Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji dan Umroh di Pekalongan

Pewarta: Adib;  Editor: Syam

Pekalongan, 24 Oktober 2024 – Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji dan Umroh Profesional yang diselenggarakan di Hotel Parkside Mandarin Pekalongan menjadi ajang penting bagi peningkatan kompetensi para calon pembimbing haji dan umroh. Acara ini diadakan oleh UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan dan dihadiri oleh 86 peserta dari berbagai wilayah. Pada kesempatan ini, Prof. Hilman Latief, M.A., Ph.D., Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, hadir sebagai pembicara utama untuk menyampaikan materi mengenai peran profesionalisme serta pemahaman perbedaan fikih dalam membimbing jemaah haji.

Acara ini dimoderatori oleh Prof. Sam’ani Sya’roni, M.Ag., yang juga dekan FUAD UIN K.H.Abdurrahman Wahid Pekalongan. Sam’ani mengelola diskusi dengan lancar dan interaktif, melibatkan peserta dalam berbagai sesi tanya jawab terkait tantangan dan solusi dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Dalam sesi penyampaiannya, Prof. Hilman Latief menekankan bahwa seorang pembimbing haji dan umroh memiliki peran krusial dalam memastikan kelancaran ibadah jemaah. Beliau menyampaikan pentingnya memahami berbagai aspek dalam ibadah haji, baik secara teknis maupun spiritual, agar dapat memberikan bimbingan yang menyeluruh. “Pembimbing harus mampu menuntun jemaah, tidak hanya dalam hal teknis ibadah, tetapi juga mendampingi mereka secara spiritual,” ujar Prof. Hilman.

Baca juga: Dr. K.H. Saiful Mujab Bahas Manajemen Perhajian Indonesia dalam Sertifikasi Pembimbing Manasik di Pekalongan

Dirjen PHU-Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji dan Umroh Pekalongan, 24/10 2024

Lebih lanjut, Prof. Hilman menjelaskan bahwa profesionalisme dalam membimbing jemaah bukan hanya sekadar pemahaman tentang tata cara ibadah, tetapi juga mencakup pengetahuan mendalam tentang kebijakan perhajian di Indonesia dan Arab Saudi. Di samping itu, beliau menyoroti pentingnya pemahaman terhadap perbedaan fikih dalam praktik ibadah haji, yang sering kali dipengaruhi oleh beragam mazhab. Hal ini, menurutnya, sangat penting agar pembimbing dapat memberikan pemahaman yang tepat kepada jemaah yang mungkin memiliki latar belakang fikih yang berbeda, sehingga mengurangi kebingungan dan meningkatkan kenyamanan dalam beribadah.

Selain membahas kebijakan dan teknis ibadah, Prof. Hilman juga menjelaskan pentingnya aspek pelayanan dan keamanan bagi jemaah. Menurutnya, pembimbing yang baik harus mampu mengantisipasi dan menangani berbagai permasalahan yang mungkin muncul di lapangan. Sertifikasi ini diharapkan dapat membekali para calon pembimbing dengan pemahaman menyeluruh tentang sistem pelayanan haji yang diterapkan oleh Kementerian Agama, serta kompetensi dalam menghadapi perbedaan fikih yang mungkin muncul di kalangan jemaah.

Baca juga: Dr. Arsad Hidayat Sampaikan Kebijakan Pembinaan dan Perlindungan Jemaah Haji dalam Sertifikasi Pembimbing Manasik di Pekalongan

Acara ini diakhiri dengan sesi diskusi dan tanya jawab yang interaktif, di mana para peserta antusias menggali lebih dalam terkait peran mereka sebagai pembimbing, khususnya dalam menghadapi berbagai perbedaan fikih dalam ibadah haji. Prof. Hilman Latief berharap bahwa sertifikasi ini akan membekali para peserta dengan keterampilan yang memadai, sehingga mereka dapat menjalankan tugasnya dengan kompeten dan memberikan dukungan terbaik bagi jemaah haji dan umroh.

K.H. Subhan Cholid Isi Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji dan Umroh di Pekalongan: Bahas Kebijakan Penyelenggaraan Haji Indonesia

Pewarta: Adib ‘Aunillah Fasya Editor: Syam

Pekalongan, 24 Oktober 2024 – K.H. Subhan Cholid, Lc., M.A., Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama Republik Indonesia, menjadi pembicara utama dalam acara Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji dan Umroh Profesional. Acara yang diselenggarakan oleh UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan ini berlangsung di Hotel Parkside Mandarin Pekalongan dari 22 hingga 28 Oktober 2024, diikuti oleh 86 peserta dari berbagai wilayah Indonesia.

Dalam presentasinya, K.H. Subhan Cholid membahas tema penting mengenai Taklimatul Hajj, kebijakan penyelenggaraan haji oleh Pemerintah Arab Saudi. Beliau menjelaskan bahwa kebijakan terbaru berfokus pada peningkatan kualitas pelayanan bagi jemaah, mencakup digitalisasi pengurusan visa, layanan akomodasi, serta integrasi sistem transportasi. “Para pembimbing harus memahami perubahan ini agar mampu membimbing jemaah dengan baik, sehingga seluruh proses ibadah dapat berjalan lancar sesuai pedoman yang ada,” jelasnya.

Baca juga: Rektor UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan Buka Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji Profesional 2024

K.H. Subhan juga menyoroti pentingnya profesionalisme dan kompetensi pembimbing manasik dalam mendampingi jemaah. Menurutnya, pemahaman mendalam terhadap kebijakan Arab Saudi sangat diperlukan agar pembimbing dapat menghadapi berbagai tantangan yang mungkin muncul selama ibadah haji dan umroh. “Pembimbing manasik yang profesional akan menjadi kunci dalam memberikan pelayanan terbaik bagi jemaah,” tambahnya.

Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji dan Umrah di Pekalongan

Sesi yang diikuti dengan antusiasme tinggi oleh para peserta ini diakhiri dengan sesi tanya jawab interaktif. Para peserta mendapatkan kesempatan untuk mendalami lebih lanjut tentang kebijakan Taklimatul Hajj dan tantangan yang akan dihadapi pembimbing di lapangan.

Kegiatan sertifikasi ini bertujuan mencetak pembimbing manasik haji dan umroh yang kompeten sesuai standar Arab Saudi, dan diharapkan mampu meningkatkan daya saing pembimbing Indonesia di kancah internasional. Kehadiran K.H. Subhan Cholid pun menjadi inspirasi bagi para peserta untuk terus mengembangkan kemampuan dalam mendampingi jemaah haji dan umroh di masa mendatang.

Baca juga: Inovasi dan Kesuksesan Penyelenggaraan Haji 2024 oleh Pemerintah Indonesia

Konser Musik Lebih Menarik daripada Seminar Akademik

Editor: Sirly Amri; Penulis: Mar’atus Sholikhah

Generasi Z, begitulah manusia menyebut era yang dimana setiap mereka dituntut untuk bisa beradaptasi dengan perubahan terlebih dengan adanya kemajuan teknologi. Generasi Z juga mempunyai peran penting dalam kehidupan berbangsa nantinya. Generasi ini  juga disiapkan untuk menjadi penggerak bangsa yang berkualitas, berkompeten, dan berdaya saing tinggi, sehingga diharapkan bisa membawa bangsa Indonesia mencapai puncak kejayaannya di tahun 2045.

Sebagian besar transformasi di era milenial baik dari segi positif maupun negatif bergantung pada generasi itu sendiri yang dapat mengatasinya ataupun tidak. Tanpa di sadari, generasi milenial ini terdapat kekurangan yakni dari segi ilmu pengetahuan moral dan agama.  Dari kekurangan tersebutlah generasi ini akan gampang tergoyahkan oleh arus globalisasi yang semakin pesat.

Ketika berbicara mengenai perguruan tinggi erat kaitannya dengan dunia akademik. Di dalam perguruan tinggi sendiri, pada hakikatnya tugas seorang mahasiswa adalah menimba ilmu, berdiskusi dan mengembangkan diri. Hal inilah yang akan menjadi bekal untuk masuk ke dunia kerja serta kehidupan sosial kemasyarakatan. Beberapa hal yang sudah disebutkan, tertuang jelas dalam Tri Darma Perguruan Tinggi yang menjadi pondasi bagi setiap dosen dan mahasiswa di kampus manapun untuk menjalankan segala aktivitas akademiknya.

Baca juga: Tanggap Teknologi Digital: BSI bersama Mahasiswa KKN UIN Gusdur adakan Pembuatan QRIS di Desa Gondang

Namun akhir-akhir ini, Tri Darma Perguruan Tinggi tersebut seakan tergerus dan terkesan terabaikan oleh generasi milenial, khususnya di kampus UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan atau yang lebih dikenal dengan sebutan UIN Gus Dur. Dimana kampus yang sejatinya tempat untuk menuntut ilmu malah terkesan dialih fungsikan menjadi tempat konser musik.

Musik ialah suatu bentuk kesenian yang tidak akan pernah lepas serta melekat pada kehidupan manusia dan konser musik biasanya menjadi ajang pertunjukan musik secara langsung kepada para penikmat musik serta penggemarnya. Diselenggarakannya konser musik tidak hanya dijadikan sebagai sebuah hiburan saja, melainkan ada suasana tersendiri di dalam konser musik yang bisa memberikan kesan sangat menarik bagi para penikmat musik. Sedangkan seminar ialah suatu kegiatan akademik untuk menyampaikan suatu karya ilmiah dari seorang akademisi maupun sebuah topik pembahasan tertentu yang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Tak ada salahnya menyelenggarakan konser musik di lingkungan kampus. Konser musik menjadi sarana menghibur mahasiswa yang penat dengan aktivitas perkuliahan, juga menjadi sarana promosi organisasi atau komunitas agar semakin dikenal. Konser musik juga tentu mendatangkan keuntungan yang besar, kemudian konser musik juga dapat menjadi sarana mengumpulkan massa untuk kemudian panitia mengajak atau mengarahkan massa ke satu hal yang mereka inginkan seperti kampanye.

Baca juga: Memahami Aturan Pernikahan bagi Gen Z

Namun penyelenggaraan konser musik yang begitu masif melontarkan berbagai pertanyaan; apakah budaya akademis mahasiswa sudah terkikis? Apakah kegiatan akademis sudah tidak menarik lagi bagi mahasiswa? terlebih lagi didukung dengan adanya fakta dilapangan bahwa konser musik lebih ramai serta banyak menarik peminatnya, berbanding terbalik dengan seminar akademik baik dari ormawa kampus maupun dari pihak kampus yang semakin kesini semakin sepi peminatnya.

Menarik untuk di diskusikan apa motif utama komunitas atau organisasi itu mengadakan konser musik, padahal kompetensi mereka bukan dibidang musik. Apakah konser yang diadakan murni untuk menghibur mahasiswa? Apakah organisasi atau komunitas itu mencari keuntungan ekonomi semata? Atau mungkin mereka mempunyai motif tersembunyi dibalik konser yang mereka selenggarakannya?

Berbagai asumsi tersebut muncul karena saking seringnya pergelaran konser musik di kampus UIN Gus Dur sepanjang tahun 2024, terlebih lagi dengan ramainya konten yang terkenal atau lebih disebut dengan For You Page (fyp) diberbagai platform digital baik tiktok, instagram serta yang lain. Dimana di lingkungan kampus Islam serta memakai nama seorang ulama besar yang seharusnya dikenal dan unggul dalam bidang keilmuan maupun ke Islamannya kalah tenar dengan berbagai konser musik yang diselenggarakan, terlebih lagi yang sangat amat disayangkan dari banyaknya konten kreator yang ada, tak jarang pula ada yang tidak mengenakan jilbab serta berpakaian kurang tertutup saat konser musik berlangsung.

Baca juga: Perayaan Hari Pangan Sedunia, Masyarakat Desa Mendolo Kenalkan Komoditi Pangan Lokal.

Kemudian hal tersebut seharusnya menjadi sorotan bagi para pimpinan tertinggi dikampus UIN Gus Dur, jangan sampai kelonggaran toleransi di kampus Islam tercinta ini menjadi cabang dari Negara Arab Saudi yang terkenal dengan keIslamannya namun semakin bebas akan keduniawiannya. Serta hal tersebut seharusnya cepat ditanggapi dari berbagai pihak terlebih lagi dari pihak kampus maupun pihak ormawa untuk mencari cara maupun menemukan ide yang cepat serta tepat untuk meramaikan kembali forum-forum diskusi keilmuwan sehingga diharapkan mampu menarik banyak peminat ketika mengadakan seminar akademik.

Sebenarnya pihak kampus telah memunculkan solusi nyata yakni dengan mengadakan seminar akademik rasa konser, yang pada saat itu diselingi menghadirkan penyanyi terkenal yakni Woro Widowati, penyanyi yang terkenal dengan ambyar tersebut menyanyikan beberapa lagu khasnya disela waktu istirahat seminar berlangsung. Harapannya kegiatan tersebut menjadi gambaran awal bagi pihak kampus maupun ormawa kampus untuk mendesain sebuah seminar akademik yang menarik supaya tidak kalah ramai dengan konser musik.

Moderasi Beragama: Kunci Menjaga Kerukunan di Desa Pekiringan Ageng

Penulis : Irfa Ma’alina, Puji Istianah,& Suci Indah Sari
Editor    : Azzam Nabil H.

Moderasi beragama adalah solusi terbaik untuk menjaga kerukunan di tengah masyarakat yang beragam seperti di Desa Pekiringan Ageng, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan. Konsep moderasi beragama yang diterapkan di desa tersebut mengajarkan agar setiap individu dapat menjalankan ajaran agamanya dengan seimbang, tidak terlalu fanatik dan mudah menyalahkan golongan lain, atau ekstremisme. Terlebih di dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultural, sikap ini sangat penting untuk membangun keharmonisan.

Di Desa Pekiringan Ageng, moderasi beragama sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Salah satu nilai utamanya adalah tassamuh atau toleransi, di mana warga dari berbagai latar belakang agama dan keyakinan hidup berdampingan dengan damai.

Sumber: Google Maps-Dwiyanto Arjun (2020)

Contohnya, saat warga Muslim merayakan Idul Adha, daging kurban tidak hanya dibagikan kepada sesama Muslim, tetapi juga kepada warga non-Muslim. Ini menunjukkan rasa saling menghargai dan memperkuat hubungan antaragama di desa.

Praktik moderasi ini tidak hanya terlihat dalam hubungan antaragama, tetapi juga dalam interaksi antar organisasi masyarakat dan partai politik. Warga desa mendorong kerjasama dalam berbagai proyek sosial tanpa memandang perbedaan afiliasi politik. Mereka menyadari pentingnya menjaga kerukunan di atas segala kepentingan pribadi atau kelompok.

Baca Juga: Moderasi Beragama: Solusi untuk Kehidupan Harmonis di Masyarakat Multikultural

Moderasi beragama juga menjadi benteng terhadap tantangan pengaruh radikalisme di era globalisasi, termasuk praktik ajaran agama yang mengandung kekerasan. Masyarakat Desa Pekiringan Ageng secara aktif menolak segala bentuk ekstremisme yang dapat mengancam kedamaian. Dengan pendidikan yang inklusif dan kesadaran sosial yang tinggi, mereka berusaha menanamkan nilai-nilai toleransi kepada generasi muda agar tidak mudah terpengaruh oleh paham-paham yang menyimpang.

Kebersamaan ini juga terlihat dalam kegiatan budaya dan kearifan lokal. Tradisi seperti nyadran, selametan untuk leluhur, dan sedekah bumi dilakukan secara kolektif oleh seluruh warga, terlepas dari keyakinan agama mereka. Kegiatan-kegiatan ini memperkuat ikatan sosial dan menjadi wadah untuk saling mengenal dan menghargai perbedaan.

Pemimpin desa memainkan peran penting dalam menjaga moderasi beragama. Mereka menjadi contoh bagi warga, mempromosikan dialog antaragama, dan memastikan bahwa setiap kelompok mendapatkan perlakuan yang adil dan setara. Melalui pendekatan ini, Desa Pekiringan Ageng telah membuktikan bahwa moderasi beragama adalah kunci untuk mencapai kehidupan yang harmonis dan damai.

Baca Juga: Penanaman Nilai Moderasi Beragama Sejak Dini di Lingkungan Sekolah

Moderasi beragama bukan hanya soal menjaga keseimbangan dalam menjalankan ibadah, tetapi juga tentang bagaimana kita berinteraksi dengan sesama dalam kehidupan sosial. Dengan penerapan moderasi ini, Desa Pekiringan Ageng telah menjadi contoh nyata bagaimana keberagaman dapat menjadi sebuah kekuatan dan kunci untuk mewujudkan kedamaian.

Sedekah Dalam Perayaan Kelulusan Menghindari Konvoi yang Merugikan

Penulis: Saeful Anwar; Editor : Azzam Nabil Hibrizi

Kelulusan merupakan momen penting dalam kehidupan setiap siswa. Selain itu, momen ini juga menjadi sebuah tonggak yang menandai berakhirnya masa belajar dan awal dari babak baru dalam kehidupan. Konvoi kelulusan di zaman sekarang sering kali menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Di satu sisi, konvoi ini merupakan ekspresi kebahagiaan dan rasa syukur para siswa yang telah menyelesaikan masa studi mereka. Dengan konvoi, mereka merayakan pencapaian penting bersama teman-teman seangkatan, mempererat ikatan emosional, dan menciptakan kenangan yang tak terlupakan.

Namun, tradisi konvoi kelulusan yang sering kita lihat di jalanan saat ini menghadirkan berbagai risiko dan dampak negatif yang seharusnya bisa kita hindari. Konvoi kelulusan sering kali menimbulkan masalah, seperti kemacetan lalu lintas, kebisingan, dan perilaku tidak tertib dari peserta konvoi dapat mengganggu kenyamanan umum dan membahayakan keselamatan. Tidak jarang juga terjadi insiden kecelakaan karena konvoi dilakukan tanpa pengawasan yang memadai. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa konvoi tersebut dapat menginspirasi perilaku yang kurang bertanggung jawab, seperti balapan liar atau vandalisme.

Baca Juga: Menjaga Lidah, Prinsip Moral yang Universal

Dampak-dampak negatif dari konvoi tersebut yang kemudian dalam hal ini disebut sebagai sebuah mudharat, atau keburukan. Sehingga sebagaimana kaidah fiqh menyebutkan bahwasannya kemudharatan haruslah dihilangkan. Oleh karena itu, sebagai pengganti dari kegiatan konvoi, alangkah lebih baik apabila momen kelulusan ini di isi dengan hal-hal positif dalam upaya mengimplementasikan rasa syukur kepada Allah Swt. atas rahmat dan karunia-Nya seseorang diberikan rezeki berupa kelulusan setelah menempuh pendidikan.

Baca Juga: Memprediksi Masa Depan Pendidikan: Tren Digital dalam Mempersiapkan Perubahan

Hal-hal positif yang dapat dilakukan salah satunya adalah bersedekah. Sebab, sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 261, yang artinya “Apabila harta yang disedekahkan halal dan diniatkan semata-mata karena Allah, bersedekah sebagai bukti rasa syukur kepada-Nya, bersedekah di waktu lapang maupun sempit, serta selalu memohon ampunan dari Allah, menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain, dan senantiasa berbuat kebaikan.”

Dari ayat tersebut dapat dimaknai dan dikaitkan dengan momen kelulusan ini, yakni sebagai ungkapan syukur maka sedekah dapat menjadi jalan terbaik daripada melakukan konvoi. Kegiatan sedekah ini dapat dilakukan bersama-sama, ataupun mandiri. Sedekah bersama-sama ini dapat berupa membagikan jajan/makanan gratis dijalanan, mengumpulkan dana untuk anak-anak panti asuhan, dan lain sebagainya. Sedangkan sedekah mandiri dapat dilakukan menyesuaikan situasi dan kondisi seseorang.

والله أعلم بالصواب

Menjaga Lidah, Prinsip Moral yang Universal

Penulis: Serena Salsabila; Editor: Sirli Amry

Ghibah atau berbicara buruk tentang orang lain adalah perilaku yang sangat dihindari oleh banyak agama dan budaya. Ghibah dapat menimbulkan dampak yang negatif yang beragam. Salah satunya adalah rusaknya hubungan sosial, baik dalam pertemanan, kekeluargaan, maupun hubungan sosial lainnya. Selain merusak hubungan sosial, ghibah juga dapat merusak kesehatan mental dan emosional, serta menciptakan lingkungan yang tidak sehat.

Menjaga lidah bukan hanya tentang menahan diri untuk tidak berbicara buruk tentang orang lain, tetapi juga membangun sikap yang penuh dengan kebaikan dan kejujuran. Sikap seperti ini merupakan bentuk penghormatan terhadap hak-hak orang lain. Selain itu, juga merupakan upaya untuk menciptakan hubungan yang lebih baik dalam masyarakat.

Salah satu alasan utama untuk menjaga lidah adalah untuk mencegah ghibah. Ghibah tidak hanya merusak hubungan antar individu, tetapi juga dapat menciptakan ketegangan dan konflik dalam masyarakat. Ketika kita berbicara buruk tentang orang lain, kita tidak hanya merugikan orang yang kita bicarakan, tetapi juga diri kita sendiri.

Baca juga: Menyoroti Bahaya Bermain Game Online Dampaknya Terhadap Kesehatan Mental Dan Sosial

Selain itu, menjaga lidah juga dapat meningkatkan kualitas hidup bersama. Dengan bertutur kata yang baik dan jujur, kita dapat menciptakan lingkungan yang positif dan mendukung. Sikap positif dan komunikasi yang baik akan menciptakan hubungan yang lebih harmonis dan penuh kasih dalam masyarakat.

Bertutur kata yang baik memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk hubungan antar  manusia. Firman Allah dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah (2:262) menyatakan, “Kata-kata yang baik dan pengampunan lebih baik daripada sedekah yang diiringi celaan.” Kata-kata yang baik mampu menyentuh hati orang lain dan membawa kebaikan dalam hubungan sosial. Sebagaimana yang disebutkan dalam Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim, “Seseorang berkata dengan suatu kata yang tidak memperhatikan kadar beratnya, sehingga akibatnya ia terjerumus ke dalam neraka lebih dalam dari jarak antara timur dan barat.” Hal ini menegaskan tanggung jawab besar yang kita miliki atas setiap kata yang keluar dari mulut kita.

Di akhirat nanti, setiap kata yang kita ucapkan akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana yang disebutkan dalam Surah Qaf (50:18), “Tidaklah ia berbicara dengan suatu ucapan melainkan di sisinya ada penjaga yang siap.” Menjaga lidah bukan hanya tentang kehidupan dunia, tetapi juga persiapan untuk kehidupan akhirat.

Baca juga: Penanaman Nilai Moderasi Beragama Sejak Dini di Lingkungan Sekolah

Mengapa kita harus menjaga lidah? Karena dengan menjaga lidah, kita tidak hanya menghormati orang lain, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk diri kita sendiri dan orang lain. Dengan menjaga lidah, kita dapat mencegah ghibah dan meningkatkan kualitas hidup bersama. Sebab, ghibah itu sendiri sudah dijelaskan pula larangannya dalam QS. Al-Hujurat ayat (12), yang artinya “”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka buruk (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka buruk itu dosa. Dan janganlah sebagian kalian mencari-cari keburukan orang dan menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudanya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

Pentingnya menjaga lidah bukanlah sekadar ajaran agama, tetapi juga prinsip moral yang universal.  Maknanya, prinsip menjaga lidah ini berkaitan dengan berbagai hal dalam kehidupan manusia, karena kata-kata memiliki kekuatan untuk membentuk hal yang baik maupun buruk. Bahkan melalui kata-kata, orang dapat dengan mudah menjatuhkan orang lain. Oleh karena itu, kita harus bertanggung jawab atas setiap ucapan yang keluar dari mulut kita. Sehingga kita dapat menciptakan hubungan yang lebih baik dengan sesama manusia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat yang lebih baik pula.

Tren Crosshijaber di Media Sosial dalam Perspektif Agama Islam

Penulis: Rizqi Lutfiyani, Editor: Ryuu Pangestu

Busana merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia yang bahannya terbuat dari bahan-bahan tertentu untuk menutupi sekujur tubuh atau segala sesuatu dipakai, dari  bagian atas kepala hingga ujung kaki. Juga memberikan sebuah kenyamanan serta tampilkan keindahan bagi pemakai seperti pakaiann, aksesoris, atapun riasan wajah. Adapun fungsinya diantaranya ada bisa melingdungi dari berbagai macam cuaca, benda berbahaya, menutupi aurat sesuai ajaran gama atau budaya masing-masing, meningkatkan kepercayaan diri agar tampil lebih baik, dan utamanya membedakan identitas gender antara laki-laki maupun perempuan.

Ditambah seiringnya kemajuan pesat teknologi yang tak bisa dikendalikan, salah satunya media sosial. Saat ini apa saja untuk mencari sebuah informasi dan lain sebagainya sangatlah cepat dengan menggunakan ponsel kemudian bisa berselancar di dalamnya seluasa mungkin. Trend sekarang ini tentunya banyak sekali bermuculan mulai dari trend fashion, trend konten dan lainnya. Semua platform memiliki trendnya berbeda-beda bahkan akan muda di ikuti oleh kalangan lain. Pengguna media yang banyak lantas membawa berbagai trend baru yang mulai bermunculan. Namun tak selamanya trend itu berdampak positif ada pula trend yang membawa dampak negatif bagi diri sendiri atau bahkan orang lain.

Diantaranya ada trend yang sedang marak tersebar yaitu crosshijaber, mungkin sebagai kalangan tidak sadar telah mengikuti trend tersebut. Crosshijaber memiliki arti dimana lelaki memakai pakaian perempuan dengan menutupi wajahnya dengan menggunakan cadar agar tidak diketahui identitasnya. Perlu diingat kembali tujuan dari menyerupai hal-hal tersebut. Padahal Crossshijaber yang dilakukan bisa menyebabkan seseorang secara tidak langsung berbuat yang tidak diinginkan, seperti melecehkan perempuan, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Menguak Misi Terselubung: Strategi Israel dalam Konflik Palestina

Hal itu berdampak buruk bagi diri sendiri dan orang sekitar, dengan lelaki menyerupai perempuan bisa menjadi faktor masalah lain. Bisa saja seorang perempuan akan merasa tidak nyaman disekitarnya. Selain itu, dengan Crosshijaber seorang lelaki akan mudah melecehkan perempuan. Oleh karena itu kita harus waspada dan hati-hati kepada penampilan seseorang. Jangan biarkan hal itu menjadi kebiasaan.

Dalam Al-Qur’an sudah dijelaskan tentang larangan menyerupai lawan jenis:

Surat An-nisa ayat 119

وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَـَٔامُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ ءَاذَانَ ٱلْأَنْعَـٰمِ وَلَـَٔامُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يَتَّخِذِ ٱلشَّيْطَـٰنَ وَلِيًّۭا مِّن دُونِ ٱللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًۭا مُّبِينًۭا

Artinya: Dan aku pasti akan menyesatkan mereka, dan pasti akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan pasti akan menyuruh mereka (untuk memotong telinga binatang ternak; dan pasti akan menyuruh mereka (untuk mengubah ciptaan allah).

Dengan adanya peringatan dari surat yang ada di Al-Qur’an tersebut, perlu kita belajar lagi agar bisa memahami kaidah-kaidah penting dalam islam. Mana yang baik dan buruk agar tidak salah dalam bertindak. Boleh-boleh saja jika lelaki memakai gamis (koko gamis), tetapi tidak dengan hijab dan cadar karena itu akan membuat ketidak nyamanan seorang perempuan.

Baca Juga: Semarak Tren Fashion Muslimah di Era Digital: Memadukan Gaya Modern dengan Nilai Syar’i

Selain itu, fenomena crosshijabers ini menuai banyak kritikan dari masyarakat luas. Ada pula orang-orang tak bertanggung jawab memanfaatnya untuk hal-hal negatif atau hanya sekedar memuaskan nafsu akan penasaran sama busana wanita muslim, juga beberapa kasus yang memviralkan jagat maya seperti berita seorang laki-laki menyamar menjadi seorang wanita hanya untuk bisa masuk ke toilet wanita, ikut sholat barisan perempuan hingga parahnya menerobos masuk ke salah satu pondok pesantren. Dengan hal ini, banyak sekali dari mereka menjadi selalu waspada terutama di tempat umum agar tidak terjadi yang tak diinginkan.