Refleksi Puasa: Dari Tradisi Nabi Hingga Makna Spiritual di Era Modern

Penulis: Muhammad Ash-Shiddiqy, Editor: Tegar Rifqi

Puasa, salah satu ibadah utama dalam Islam, memiliki sejarah panjang yang bermula dari tradisi Nabi Muhammad SAW dan para nabi sebelumnya. Sebelum puasa Ramadan disyariatkan, Nabi Muhammad SAW telah menjalankan puasa selama 13 tahun di Makkah dan hampir dua tahun pada awal kehidupannya di Madinah. Puasa yang beliau jalankan mengikuti tradisi Nabi Musa AS, yang juga dipraktikkan oleh bangsa Quraish, yaitu puasa pada tanggal 10 Muharram yang dikenal sebagai puasa Asyura. Tradisi ini mengungkap keterkaitan antara praktik puasa dalam Islam dengan tradisi puasa umat Yahudi dan Kristiani, setidaknya menurut versi sejarah Islam.

Kemudian, melalui turunnya ayat 183 surat Al-Baqarah, puasa Ramadan ditetapkan sebagai kewajiban bagi umat Muslim. Ayat tersebut menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Pernyataan ini tidak hanya menegaskan kewajiban berpuasa, tetapi juga mengaitkannya dengan tradisi spiritual umat terdahulu.

Baca juga: Keutamaan Awal Ramadan: Cara Niat Puasa di Malam Pertama Bulan Ramadan

Puasa juga menampakkan sisi kemanusiaannya. Dalam ayat-ayat selanjutnya—khususnya hingga ayat 186 surat Al-Baqarah—Allah SWT memberikan keringanan bagi mereka yang berhalangan menjalankan puasa, seperti orang sakit, musafir, atau wanita hamil dan menyusui, dengan alternatif fidyah berupa memberi makan orang miskin. Hal ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang berpihak pada kemanusiaan, di mana puasa bukan dimaksudkan untuk memberatkan, melainkan untuk menumbuhkan nilai ketakwaan, empati, dan kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, puasa menjadi sarana untuk merasakan penderitaan mereka yang kurang beruntung dan meningkatkan kepekaan sosial.

Di tengah arus modernitas yang serba cepat, puasa mengajarkan kita untuk melambatkan laju kehidupan. Ambisi untuk selalu melaju tanpa henti seringkali membuat kita lupa berhenti sejenak, merenung, dan menikmati hidup secara lebih bermakna. Puasa berperan sebagai “rem waktu” yang mengajarkan kita menahan diri, menanti waktu berbuka, serta merasakan setiap detik dengan intens, sehingga kita belajar untuk menghargai setiap momen dengan ketenangan dan kesadaran.

Baca juga: Ramadan Bulan Kebangkitan Ummat

Dalam menyambut Ramadan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar ibadah kita lebih maksimal. Ramadan adalah bulan yang penuh berkah, sehingga sebaiknya diisi dengan memperbanyak ibadah seperti shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, dan bersedekah. Kewajiban seperti puasa dan shalat berjamaah bagi laki-laki harus diprioritaskan, begitu pula shalat Tarawih dan tadarus Al-Qur’an sebagai ibadah sunnah yang sangat dianjurkan. Donasi buka puasa memang baik, tetapi hendaknya dilakukan dengan sederhana dan tidak berlebihan agar keikhlasan tetap terjaga.

Sepuluh hari terakhir Ramadan adalah waktu istimewa yang sebaiknya dimanfaatkan untuk meningkatkan ibadah, terutama dalam mencari malam Lailatul Qadar. Keluarga juga perlu dilibatkan dalam suasana Ramadan, dengan menanamkan nilai dan keutamaannya kepada istri dan anak-anak agar ibadah bersama menjadi lebih bermakna. Selain itu, menargetkan khatam Al-Qur’an minimal empat kali selama Ramadan bisa menjadi cara untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Berbuka puasa di rumah bersama keluarga lebih utama dan penuh berkah dibandingkan berbuka di luar. Ceramah Tarawih sebaiknya tidak terlalu panjang agar tidak memberatkan jamaah. Para imam shalat hendaknya memimpin dengan keikhlasan, bukan untuk mencari popularitas atau keuntungan materiil. Ramadan juga merupakan waktu yang tepat untuk melakukan muhasabah diri dan memperbanyak istighfar serta tobat sebagai bekal menuju kehidupan yang lebih baik.

Baca juga: Tradisi Menyambut Ramadan: Nyekar, Padusan, dan Nyadran

Puasa bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, melainkan juga merupakan sarana untuk mengasah spiritualitas, empati, dan kesadaran akan waktu. Dari tradisi Nabi Muhammad SAW hingga relevansinya di era modern, puasa mengajarkan kita untuk hidup lebih bermakna. Semoga Ramadan tahun ini menjadi momentum untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Moderasi Beragama sebagai Solusi Mengatasi Polarisasi Sosial di Indonesia

Penulis Syamsul Bakhri, Editor: Rifa’i

Fenomena Polarisasi Sosial Berbasis Agama di Indonesia semakin memprihatinkan. Indonesia, sebagai negara dengan keragaman budaya, suku, dan agama, telah lama menghadapi tantangan dalam menjaga harmoni sosial. Sejak era reformasi, dinamika sosial masyarakat semakin berkembang dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi yang lebih luas. Namun, di balik kebebasan tersebut, muncul fenomena polarisasi sosial berbasis agama yang semakin tajam dalam beberapa dekade terakhir. Polarisasi ini tidak hanya terjadi dalam kehidupan sosial sehari-hari tetapi juga merambah ke berbagai aspek, seperti politik, pendidikan, hingga interaksi di media sosial.

Polarisasi sosial berbasis agama terjadi ketika masyarakat terpecah menjadi kelompok-kelompok yang memiliki pandangan berbeda mengenai nilai-nilai keagamaan. Perbedaan ini semakin diperparah oleh berbagai faktor dan oknum, seperti kepentingan politik, media yang berpihak, serta pemanfaatan isu agama untuk kepentingan tertentu. Dalam banyak kasus, isu agama digunakan sebagai alat mobilisasi massa, memperdalam perbedaan di antara kelompok-kelompok yang ada, dan mengurangi toleransi dalam kehidupan sosial. Akibatnya, masyarakat menjadi lebih eksklusif dalam menerima keberagaman, dan interaksi antar kelompok yang berbeda sering kali diwarnai ketegangan.

Dalam ranah politik, polarisasi berbasis agama semakin menguat terutama dalam momentum pemilihan umum. Kampanye politik kerap kali mengusung narasi berbasis agama yang tidak hanya menegaskan perbedaan, tetapi juga menimbulkan sentimen negatif terhadap kelompok lain. Beberapa kasus menunjukkan bahwa persaingan politik dapat menyebabkan perpecahan sosial yang mendalam, bahkan hingga menimbulkan gesekan horizontal di masyarakat. Pola ini sering kali berulang, menciptakan lingkungan yang kurang harmonis dan meningkatkan potensi konflik sosial.

Selain dalam politik, polarisasi juga terlihat dalam dunia pendidikan. Beberapa lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, terkadang mengajarkan pemahaman agama yang eksklusif, yang pada akhirnya mempersempit perspektif siswa dalam memahami keberagaman. Kurangnya pendidikan yang menekankan toleransi dan moderasi dalam beragama berkontribusi pada peningkatan sikap eksklusif di kalangan generasi muda. Di beberapa daerah, segregasi sosial berbasis agama juga mulai tampak, di mana masyarakat cenderung memilih lingkungan sekolah, tempat tinggal, dan pergaulan berdasarkan kesamaan keyakinan, bukan pada prinsip keberagaman dan kebersamaan.

Media sosial menjadi salah satu faktor yang mempercepat dan memperdalam polarisasi sosial berbasis agama. Penyebaran informasi yang begitu cepat melalui berbagai platform digital sering kali tidak diimbangi dengan literasi digital yang memadai. Berita hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda berbasis agama dengan mudah menyebar dan memperkuat bias yang sudah ada di masyarakat. Algoritma media sosial yang cenderung menampilkan informasi yang sesuai dengan keyakinan pengguna semakin memperkuat polarisasi ini. Akibatnya, masyarakat terjebak dalam ruang gema (echo chamber) yang mempersempit perspektif mereka terhadap kelompok lain.

Dalam konteks ini, moderasi beragama menjadi solusi penting untuk mengatasi polarisasi sosial di Indonesia. Moderasi beragama bukan berarti menghilangkan keyakinan atau identitas keagamaan seseorang, tetapi menekankan pentingnya sikap inklusif, toleran, dan menghargai keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat. Pendekatan sosiologis dapat membantu memahami bagaimana moderasi beragama berperan dalam membangun integrasi sosial dan mengurangi ketegangan akibat polarisasi. Jika moderasi beragama dapat diterapkan dengan baik, masyarakat Indonesia akan lebih siap menghadapi tantangan keberagaman dan menciptakan kehidupan sosial yang harmonis dan damai.

Moderasi Beragama dalam Perspektif Sosiologi

Teori Konflik dan Integrasi Sosial dalam Masyarakat Multikultural

Dalam sosiologi, terdapat dua teori utama yang dapat menjelaskan fenomena polarisasi sosial berbasis agama, yaitu teori konflik dan teori integrasi sosial.

  1. Teori Konflik (Karl Marx dan Lewis Coser)

Teori ini berpendapat bahwa perbedaan dalam masyarakat sering kali memicu ketegangan dan pertentangan. Dalam konteks polarisasi agama di Indonesia, teori ini dapat menjelaskan bagaimana perbedaan ideologi keagamaan yang diperkuat oleh kepentingan politik dapat menciptakan konflik sosial. Polarisasi sosial sering kali dipicu oleh kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan atau dirugikan oleh kebijakan tertentu, yang kemudian berujung pada persaingan antara kelompok mayoritas dan minoritas.

Studi Kasus salah satu contoh nyata teori konflik dalam polarisasi agama di Indonesia adalah peristiwa Pilkada DKI Jakarta 2017. Dalam pemilihan gubernur ini, sentimen agama digunakan sebagai alat politik untuk memobilisasi dukungan dan menyingkirkan lawan politik. Isu yang berawal dari sebuah pernyataan petahanan saat itu, kemudian berkembang menjadi konflik sosial yang tajam, di mana masyarakat terbagi menjadi dua kubu yang saling berlawanan berdasarkan afiliasi keagamaan mereka. Demonstrasi besar, ujaran kebencian di media sosial, serta ketegangan di ruang publik menunjukkan bagaimana perbedaan ideologi keagamaan yang dipolitisasi dapat memperburuk polarisasi sosial.

2. Teori Integrasi Sosial (Emile Durkheim dan Talcott Parsons)

Teori ini menekankan pentingnya solidaritas sosial dalam menciptakan masyarakat yang harmonis. Moderasi beragama dapat menjadi salah satu strategi dalam membangun solidaritas di tengah masyarakat yang majemuk. Emile Durkheim menjelaskan bahwa solidaritas organik, di mana masyarakat menerima perbedaan dan bekerja sama dalam keberagaman, dapat menjadi kunci dalam menjaga stabilitas sosial.

Studi Kasus salah satu contoh keberhasilan integrasi sosial dalam konteks moderasi beragama adalah program Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk di berbagai daerah di Indonesia. Forum ini berfungsi sebagai wadah dialog lintas agama yang melibatkan berbagai pemuka agama, akademisi, dan pemerintah daerah untuk membangun pemahaman bersama serta menyelesaikan potensi konflik secara damai. FKUB telah berperan dalam menengahi berbagai perselisihan keagamaan, mendorong toleransi, serta memperkuat kerja sama antar komunitas beragama di Indonesia.

Dengan memahami kedua teori ini, moderasi beragama dapat diposisikan sebagai alat untuk menyeimbangkan antara perbedaan keyakinan dan kebutuhan akan integrasi sosial dalam masyarakat. Jika teori konflik menjelaskan bagaimana perbedaan dapat menciptakan polarisasi, maka teori integrasi sosial menawarkan pendekatan untuk mengelola perbedaan tersebut secara konstruktif sehingga tidak menimbulkan ketegangan berkepanjangan.

Dampak Polarisasi terhadap Kehidupan Sosial

Polarisasi sosial berbasis agama merupakan fenomena yang semakin mengkhawatirkan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dalam konteks ini, polarisasi merujuk pada pembagian masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan, sering kali berdasarkan perbedaan keyakinan agama. Fenomena ini tidak hanya mempengaruhi hubungan antarindividu, tetapi juga berdampak pada struktur sosial secara keseluruhan. Dalam analisis ini, kita akan membahas dampak polarisasi sosial terhadap kehidupan masyarakat, dengan fokus pada menurunnya toleransi antar kelompok, meningkatnya konflik sosial, dan dampak terhadap pembangunan sosial.

  1. Menurunnya Toleransi Antar Kelompok

Salah satu dampak paling signifikan dari polarisasi sosial adalah menurunnya toleransi antar kelompok. Ketika individu atau kelompok semakin ekstrem dalam memahami agama mereka, mereka cenderung menolak keberadaan kelompok lain yang memiliki keyakinan berbeda. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa aspek:

2. Penolakan Terhadap Perbedaan

Individu yang terpapar ideologi ekstrem sering kali menganggap bahwa keyakinan mereka adalah satu-satunya kebenaran. Mereka cenderung menolak dialog dan interaksi dengan kelompok lain, yang dapat mengarah pada sikap intoleran. Misalnya, dalam konteks masyarakat multikultural seperti Indonesia, penolakan terhadap perbedaan agama dapat menyebabkan ketegangan dan konflik.

3. Diskriminasi dan Stigma

Menurunnya toleransi juga berujung pada diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Kelompok yang dianggap berbeda sering kali menjadi sasaran stigma dan perlakuan tidak adil. Diskriminasi ini tidak hanya bersifat sosial, tetapi juga dapat berimplikasi pada akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik.

  1. Penguatan Stereotip Negatif

Polarisasi sosial memperkuat stereotip negatif terhadap kelompok lain. Misalnya, kelompok ekstremis mungkin menggambarkan kelompok lain sebagai ancaman atau musuh, yang semakin memperdalam jurang pemisah antar kelompok. Stereotip ini dapat menghambat upaya untuk membangun jembatan komunikasi dan pemahaman antar kelompok.

  1. Meningkatnya Konflik Sosial

Dampak lain dari polarisasi sosial adalah meningkatnya konflik sosial. Ketika masyarakat terfragmentasi menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan, potensi untuk terjadinya konflik menjadi lebih besar. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan konflik sosial antara lain:

3. Ketegangan Antar Kelompok

Ketegangan antara kelompok yang berbeda dapat meningkat seiring dengan semakin kuatnya ideologi ekstrem. Ketika kelompok merasa terancam oleh keberadaan kelompok lain, mereka mungkin merespons dengan tindakan agresif. Hal ini dapat menciptakan siklus kekerasan yang sulit untuk dihentikan.

4. Radikalisasi

Polarisasi sosial dapat memicu radikalisasi individu atau kelompok. Ketika seseorang merasa terasing atau tidak diterima oleh masyarakat, mereka mungkin mencari identitas dalam kelompok ekstremis yang menawarkan rasa memiliki dan tujuan. Radikalisasi ini dapat berujung pada tindakan kekerasan yang merugikan masyarakat secara keseluruhan.

5. Konflik Berbasis Agama

Konflik yang dipicu oleh polarisasi sosial sering kali berakar pada perbedaan agama. Ketika kelompok-kelompok merasa bahwa keyakinan mereka diserang atau tidak dihargai, mereka mungkin merespons dengan kekerasan. Contoh nyata dapat dilihat dalam berbagai insiden kekerasan berbasis agama yang terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Dampak terhadap Pembangunan Sosial

Polarisasi sosial tidak hanya berdampak pada hubungan antar kelompok, tetapi juga memiliki implikasi yang lebih luas terhadap pembangunan sosial. Beberapa dampak yang perlu diperhatikan adalah:

Penghambatan Kerjasama Sosial

Ketika masyarakat terfragmentasi, kerjasama sosial menjadi sulit untuk dicapai. Proyek-proyek pembangunan yang memerlukan kolaborasi antar kelompok sering kali terhambat oleh ketegangan dan ketidakpercayaan. Hal ini dapat mengakibatkan stagnasi dalam pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan.

Penurunan Kualitas Hidup

Polarisasi sosial dapat berkontribusi pada penurunan kualitas hidup masyarakat. Ketika kelompok-kelompok saling bertikai, sumber daya yang seharusnya digunakan untuk pembangunan sosial sering kali dialokasikan untuk konflik. Akibatnya, masyarakat menjadi terpinggirkan dan tidak mendapatkan akses yang memadai terhadap layanan dasar.

Kehilangan Identitas Bersama

Polarisasi sosial dapat mengikis identitas bersama dalam masyarakat. Ketika individu lebih fokus pada perbedaan daripada kesamaan, rasa kebersamaan dan solidaritas dapat hilang. Hal ini dapat mengakibatkan masyarakat yang terpecah dan kurang mampu menghadapi tantangan bersama.

Dampak polarisasi sosial berbasis agama terhadap kehidupan masyarakat sangatlah kompleks dan luas. Menurunnya toleransi antar kelompok, meningkatnya konflik sosial, dan dampak negatif terhadap pembangunan sosial adalah beberapa konsekuensi yang perlu diwaspadai. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari semua elemen masyarakat, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan individu, untuk mempromosikan dialog, toleransi, dan pemahaman antar kelompok. Hanya dengan cara ini, kita dapat membangun masyarakat yang harmonis dan inklusif, di mana perbedaan dihargai dan dijadikan sebagai kekuatan, bukan sebagai sumber perpecahan.

Strategi Penguatan Moderasi Beragama untuk Menjaga Keharmonisan Sosial

Di tengah keragaman budaya dan agama yang ada di Indonesia, moderasi beragama menjadi kunci untuk menjaga keharmonisan sosial. Polarisasi yang terjadi akibat perbedaan pandangan keagamaan sering kali menimbulkan konflik dan ketegangan di masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan strategi penguatan moderasi beragama yang melibatkan peran aktif tokoh agama dan masyarakat.

Tokoh agama memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk pandangan dan sikap masyarakat terhadap agama. Mereka tidak hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai mediator yang dapat menjembatani perbedaan pandangan keagamaan. Berikut adalah beberapa peran penting tokoh agama dalam membangun harmoni:

  1. Mediator Perbedaan Pandangan
    Tokoh agama harus mampu menjembatani perbedaan pandangan keagamaan dengan menekankan pentingnya persaudaraan dan perdamaian. Mereka dapat mengadakan dialog antaragama untuk membahas isu-isu yang sensitif dan mencari solusi bersama.
  2. Pendidikan Agama yang Inklusif
    Pendidikan agama di sekolah harus dirancang untuk mengajarkan nilai-nilai moderasi dan toleransi. Tokoh agama dapat berkolaborasi dengan pendidik untuk menyusun kurikulum yang mencakup pemahaman tentang keragaman agama dan pentingnya saling menghormati.
  3. Kampanye Kesadaran Sosial
    Tokoh agama dapat melaksanakan kampanye kesadaran sosial yang mengedukasi masyarakat tentang bahaya ekstremisme dan pentingnya moderasi. Melalui ceramah, seminar, dan media sosial, mereka dapat menyebarkan pesan-pesan positif yang mendukung keharmonisan.

Selain tokoh agama, masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga keharmonisan sosial. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh masyarakat:

  1. Dialog Antarbudaya
    Masyarakat perlu mengadakan dialog antarbudaya untuk saling memahami dan menghargai perbedaan. Kegiatan ini dapat berupa forum diskusi, pertunjukan seni, atau festival budaya yang melibatkan berbagai kelompok agama.
  2. Kegiatan Sosial Bersama
    Mengadakan kegiatan sosial bersama, seperti bakti sosial, gotong royong, atau kegiatan lingkungan, dapat memperkuat ikatan antar kelompok. Kegiatan ini menciptakan kesempatan bagi individu dari latar belakang yang berbeda untuk berinteraksi dan bekerja sama.
  3. Pendidikan Toleransi di Lingkungan Keluarga
    Pendidikan toleransi harus dimulai dari lingkungan keluarga. Orang tua perlu mengajarkan anak-anak mereka tentang pentingnya menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi.

Strategi Penguatan Moderasi Beragama

Untuk memperkuat moderasi beragama, beberapa strategi dapat diterapkan:

  1. Pelatihan untuk Tokoh Agama
    Mengadakan pelatihan bagi tokoh agama tentang moderasi beragama dan cara mengatasi konflik. Pelatihan ini dapat mencakup teknik komunikasi, resolusi konflik, dan pemahaman tentang keragaman.
  2. Program Pendidikan Berbasis Komunitas
    Mengembangkan program pendidikan berbasis komunitas yang melibatkan tokoh agama, pendidik, dan masyarakat. Program ini dapat mencakup lokakarya, seminar, dan diskusi yang membahas isu-isu keagamaan dan sosial.
  3. Penggunaan Media Sosial
    Memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan pesan moderasi. Tokoh agama dan masyarakat dapat menggunakan platform ini untuk berbagi konten positif yang mendukung toleransi dan keharmonisan.

Penguatan moderasi beragama adalah langkah penting untuk menjaga keharmonisan sosial di Indonesia. Dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat dalam upaya ini, kita dapat menciptakan lingkungan yang inklusif dan harmonis. Melalui dialog, pendidikan, dan kegiatan sosial, kita dapat membangun jembatan antara perbedaan dan menciptakan masyarakat yang saling menghormati.

Moderasi Beragama sebagai Solusi untuk Mengatasi Polarisasi Sosial di Indonesia

Indonesia, sebagai negara dengan keragaman budaya dan agama yang kaya, menghadapi tantangan besar dalam menjaga keharmonisan sosial. Polarisasi sosial berbasis agama telah menjadi isu yang semakin mendesak, terutama dalam beberapa tahun terakhir. Dalam konteks ini, moderasi beragama muncul sebagai solusi utama untuk mengatasi polarisasi tersebut. Dari perspektif sosiologi, moderasi beragama tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk meredakan ketegangan, tetapi juga sebagai sarana untuk membangun integrasi sosial melalui solidaritas dan nilai-nilai inklusif.

Moderasi beragama dapat didefinisikan sebagai pendekatan yang menekankan sikap toleran, inklusif, dan menghargai perbedaan dalam praktik keagamaan. Ini mencakup pemahaman bahwa setiap agama memiliki nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh semua orang, terlepas dari latar belakang kepercayaan mereka. Moderasi beragama mendorong dialog antaragama dan menghindari ekstremisme yang dapat memicu konflik.

Polarisasi sosial yang ekstrem dapat menyebabkan berbagai dampak negatif, seperti:

  1. Fragmentasi Sosial: Ketika kelompok-kelompok dalam masyarakat terpisah berdasarkan identitas agama, hal ini dapat mengakibatkan hilangnya rasa kebersamaan dan solidaritas. Fragmentasi ini menciptakan batasan yang jelas antara “kami” dan “mereka,” yang pada gilirannya memperburuk ketegangan sosial.
  2. Diskriminasi: Polarisasi sosial sering kali berujung pada diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Ketika satu kelompok merasa superior, mereka cenderung mengabaikan hak-hak dan martabat kelompok lain, yang dapat menyebabkan ketidakadilan dan ketidakpuasan.
  3. Konflik Berbasis Agama: Ketegangan yang meningkat antara kelompok-kelompok yang berbeda dapat memicu konflik terbuka. Sejarah menunjukkan bahwa banyak konflik berskala besar di Indonesia dan di seluruh dunia sering kali berakar pada perbedaan agama.

Moderasi beragama berperan penting dalam mengatasi dampak negatif dari polarisasi sosial. Beberapa cara moderasi beragama dapat membantu menciptakan keharmonisan sosial antara lain:

  1. Membangun Solidaritas: Moderasi beragama mendorong individu untuk melihat nilai-nilai kemanusiaan yang sama di antara berbagai agama. Dengan menekankan persamaan, individu dapat membangun solidaritas yang kuat, yang pada gilirannya dapat mengurangi ketegangan.
  2. Pendidikan dan Kesadaran: Pendidikan berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai moderasi beragama. Melalui kurikulum yang inklusif dan dialog antaragama, generasi muda dapat diajarkan untuk menghargai perbedaan dan memahami pentingnya toleransi.
  3. Dialog Antaragama: Mendorong dialog antaragama adalah langkah konkret yang dapat diambil untuk mempromosikan moderasi. Forum-forum diskusi yang melibatkan tokoh agama dan masyarakat dapat menjadi wadah untuk berbagi pandangan dan pengalaman, serta mencari solusi bersama untuk masalah yang dihadapi.
  4. Peran Tokoh Agama: Tokoh agama memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk pandangan masyarakat. Mereka dapat berfungsi sebagai mediator yang menjembatani perbedaan pandangan keagamaan dengan menekankan pentingnya persaudaraan dan perdamaian. Dengan memberikan contoh sikap moderat, tokoh agama dapat menginspirasi pengikut mereka untuk mengadopsi pendekatan yang sama.

Sebagai langkah konkret, diperlukan upaya dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil, untuk mempromosikan moderasi beragama. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:

  1. Kampanye Kesadaran: Meluncurkan kampanye kesadaran yang menekankan pentingnya moderasi beragama dan dampak negatif dari polarisasi sosial. Kampanye ini dapat dilakukan melalui media sosial, seminar, dan acara komunitas.
  2. Program Pendidikan: Mengintegrasikan pendidikan moderasi beragama ke dalam kurikulum sekolah, sehingga siswa dapat belajar tentang nilai-nilai toleransi dan inklusi sejak dini.
  3. Mendukung Inisiatif Komunitas: Mendorong inisiatif komunitas yang mempromosikan dialog antaragama dan kegiatan sosial yang melibatkan berbagai kelompok agama. Kegiatan ini dapat membantu membangun hubungan yang lebih baik antara kelompok yang berbeda.

Moderasi beragama adalah solusi utama dalam mengatasi polarisasi sosial berbasis agama di Indonesia. Dengan membangun integrasi sosial melalui solidaritas dan nilai-nilai inklusif, moderasi beragama dapat membantu menciptakan masyarakat yang harmonis. Upaya bersama dari semua pihak, termasuk tokoh agama, pemerintah, dan masyarakat, sangat penting untuk mempromosikan moderasi dan mengurangi dampak negatif dari polarisasi sosial. Hanya dengan cara ini, Indonesia dapat terus maju sebagai negara yang kaya akan keragaman dan toleransi.

Rekomendasi untuk Mendorong Moderasi Beragama dan Mengatasi Polarisasi Sosial di Indonesia

Polarisasi sosial berbasis agama di Indonesia telah menjadi tantangan serius yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, moderasi beragama muncul sebagai solusi yang efektif untuk membangun harmoni dan integrasi sosial. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak. Berikut adalah beberapa rekomendasi yang dapat diimplementasikan untuk mendorong moderasi beragama dan mengatasi polarisasi sosial.

  1. Pemerintah Perlu Memperkuat Kebijakan yang Mendukung Keberagaman

Pemerintah memiliki peran sentral dalam menciptakan lingkungan yang mendukung keberagaman. Kebijakan yang inklusif dan melindungi kelompok agama minoritas sangat penting untuk mencegah diskriminasi dan konflik. Beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah antara lain:

Penguatan Regulasi: Pemerintah perlu memperkuat regulasi yang melindungi hak-hak kelompok minoritas. Ini termasuk perlindungan terhadap kebebasan beragama dan hak untuk menjalankan ibadah tanpa rasa takut akan diskriminasi atau kekerasan.

Program Sosialisasi: Melalui program sosialisasi, pemerintah dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan. Kampanye yang melibatkan tokoh masyarakat dan agama dapat menjadi sarana efektif untuk menyebarkan pesan-pesan moderasi.

Dialog Antar Agama: Pemerintah dapat memfasilitasi dialog antar agama yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk tokoh agama, akademisi, dan masyarakat sipil. Dialog ini bertujuan untuk membangun pemahaman dan saling menghormati antar kelompok agama.

  1. Lembaga Pendidikan Harus Mengintegrasikan Pendidikan Moderasi Beragama dalam Kurikulum

Pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk sikap dan nilai-nilai generasi muda. Oleh karena itu, lembaga pendidikan harus mengintegrasikan pendidikan moderasi beragama dalam kurikulum mereka. Beberapa langkah yang dapat diambil adalah:

Pengembangan Kurikulum: Kurikulum pendidikan harus mencakup materi tentang moderasi beragama, toleransi, dan nilai-nilai inklusif. Ini dapat dilakukan dengan memasukkan pelajaran tentang sejarah dan budaya berbagai agama, serta ajaran-ajaran yang menekankan persatuan dan kerukunan.

Pelatihan Guru: Guru perlu dilatih untuk mengajarkan materi moderasi beragama dengan cara yang menarik dan efektif. Pelatihan ini dapat mencakup metode pengajaran yang mendorong diskusi dan pemikiran kritis di kalangan siswa.

Kegiatan Ekstrakurikuler: Sekolah dapat menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler yang mempromosikan kerjasama antar siswa dari berbagai latar belakang agama. Misalnya, program pertukaran pelajar atau kegiatan sosial yang melibatkan siswa dari berbagai agama.

  1. Media Sosial Harus Digunakan untuk Mempromosikan Dialog Lintas Agama

Media sosial memiliki potensi besar untuk mempromosikan dialog lintas agama dan menangkal hoaks yang bersifat provokatif. Beberapa langkah yang dapat diambil adalah:

Kampanye Positif: Penggunaan media sosial untuk kampanye positif yang menekankan nilai-nilai toleransi dan inklusivitas. Konten yang menarik dan informatif dapat membantu mengubah persepsi negatif terhadap kelompok agama tertentu.

Fakta dan Edukasi: Media sosial dapat digunakan untuk menyebarkan informasi yang akurat dan edukatif tentang berbagai agama. Ini dapat membantu mengurangi kesalahpahaman dan stereotip yang sering muncul di masyarakat.

Kolaborasi dengan Influencer: Menggandeng influencer atau tokoh publik yang memiliki pengaruh di media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan moderasi beragama. Mereka dapat membantu menjangkau audiens yang lebih luas dan mempromosikan dialog yang konstruktif.

  1. Tokoh Agama dan Masyarakat Harus Berperan Aktif dalam Menyebarkan Nilai-Nilai Inklusivitas

Tokoh agama dan masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam menyebarkan nilai-nilai inklusivitas dan toleransi. Beberapa langkah yang dapat diambil adalah:

Pendidikan dan Penyuluhan: Tokoh agama dapat mengadakan pendidikan dan penyuluhan di komunitas mereka tentang pentingnya moderasi beragama. Ini dapat dilakukan melalui ceramah, diskusi, atau seminar yang melibatkan anggota masyarakat.

Kegiatan Sosial Bersama: Mengadakan kegiatan sosial yang melibatkan berbagai kelompok agama, seperti bakti sosial, perayaan hari besar agama secara bersama, atau kegiatan lingkungan. Ini dapat membantu membangun hubungan yang lebih baik antar kelompok.

Menjadi Teladan: Tokoh agama harus menjadi teladan dalam perilaku moderat dan inklusif. Dengan menunjukkan sikap toleran dan menghormati perbedaan, mereka dapat menginspirasi masyarakat untuk melakukan hal yang sama.

Rekomendasi di atas merupakan langkah-langkah konkret yang dapat diambil untuk mendorong moderasi beragama dan mengatasi polarisasi sosial di Indonesia. Dengan melibatkan pemerintah, lembaga pendidikan, media sosial, dan tokoh agama, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan inklusif. Moderasi beragama bukan hanya tanggung jawab satu pihak, tetapi merupakan upaya kolektif yang memerlukan partisipasi aktif dari semua elemen masyarakat. Dengan demikian, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Kesimpulan

Moderasi beragama adalah solusi utama dalam mengatasi polarisasi sosial berbasis agama di Indonesia. Dari perspektif sosiologi, moderasi beragama dapat membantu membangun integrasi sosial melalui solidaritas dan nilai-nilai inklusif. Polarisasi sosial yang ekstrem dapat menyebabkan berbagai dampak negatif, seperti fragmentasi sosial, diskriminasi, dan konflik berbasis agama.

Sebagai langkah konkret, diperlukan upaya dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, tokoh agama, akademisi, dan masyarakat luas untuk memperkuat moderasi beragama melalui pendidikan, kebijakan publik, dan dialog sosial. Dengan menerapkan moderasi beragama secara konsisten, diharapkan Indonesia dapat tetap menjadi negara yang harmonis dalam keberagaman.

Ramadan Bulan Kebangkitan Ummat

Penulis: Prof. Imam Kanafi, Editor: Azzam Nabil H.

Bulan suci Ramadan sejatinya memiliki misi besar bagi kebangkitan ummat Islam untuk peradaban. Sejarah telah membuktikan bahwa saat bulan Ramadhan, tepatnya tanggal 17 Ramadhan tahun 2 H atau 13 Maret 624 M, ummat Islam yang berjumlah 313 berjuang melawan kafir Quraisy saat itu yang berjumlah 10.000 pasukan, dan kemanangan dipihak kaum Muslimin. Padahal saat itu kaum Muslimin dalam keadaan sedang menunaikan ibadah puasa Ramadan.

Di bulan Ramadan pula, Rasulullah saw. mendapatkan pencerahan spiritual tingkat tinggi sehingga diturunkannya wahyu al Qur’an kepada Beliau untuk kepentingan ummat Islam, bahkan al Qur’an yang diturunkan tersebut untuk petunjuk hidup seleuruh makhluk di alam semesta raya ini. Dengan pusaka al Qur’an lah kabangkitan Islam dimulai dan selanjutnya dikembangkan secara serius sehingga melahirkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang menopang kemajuan peradaban Islam yang berlangusng berabad-abad lamanya.

Karenanya bulan Ramadan ini harus dijadikan momentum strategis bagi ummat Islam untuk merancang kebangkitan paradaban ummat. Semua ritual dan amalan kabaikan yang dianjurkan selama bulan Ramadhan mulai puasa, sholat-sholat sunnah, baca al Qur’an, sedekah dan sebagainya sejatinya dalam rangkan membangkitkan jiwa raga ummat untuk membangun peradaban yang lebik.

Baca juga: Tradisi Menyambut Ramadan: Nyekar, Padusan, dan Nyadran

Ada 3 hal yang harus ditargetkan untuk diaktifasi dalam rangka membangun peradaban Islam di bulan Ramadan ini. Pertama, membangun kesadaran kolektif akan jati diri (ma’rifatun nafs/self understanding). Ritual puasa yang benar, dengan kondisi pelemahan fisik-biologis karena tidak makan, sejatinya bertujuan untuk menghidupkan aspek ruhani insani dengan melahirkan kesadaran diri sebagai hamba Tuhan dan sekaligus sebagai khalifah fil ardl (pembangun peradaban). Kesadaran vertikal dan horizontal ini yang harus didapatkan dengan amalan-amalan Ramdhan. Salat tarawih dan munajat lainnya akan disebut berhasil manakala melahirkan kesadaran dan pencerahan spiritual diri dengan mantapnya posisi diri sebagai hamba dan khalifah sekaligus yang harus diemban dalam 11 bulan berikutnya.

Kedua, kapasitas membaca situasi lingkungan dan tantangan masa depan, sebagaimana diwahyukan al Qur’an yang ayat pertamanya memerintahkan iqra’, menunjukkan secara tegas ummat Islam dengan tradisi tadarusan itu mengandung mmaksud agar selain membaca ayat qauliyah yang juga mensinergikanya dengan ayat-ayat kauaniyah untuk menetapkan strategi masa depan. Membaca ayat kauniyah dimulai dari pembacaan situasi ekonomi, politk, budaya dan sebagainya pada skala mikro sampai makro didukung oleh analisis multidisipliner  akan menghasilkan langkah-langkah yang inovatif dalam pembangunan ummat secara berkesinambungan.

Ketiga, integritas sumber daya manusia yang berakhlaq al karimah, yang memang jadi tonggak peradaban. Tanpa penegakan akhlaq yang mulia peradaban tidak akan tegak dan sebaliknya negara akan hancur bila moralitas tidak diindahkan oleh ummat. Maka Bulan Ramadan adalah bulan pembentukan akhlaq karimah sebagai prasarat berdirinya peradaban ummat.

Baca juga: Malam Lailatul Qadar (Malam yang Lebih Baik dari Seribu Bulan)

Bila ketiga hal tersebut dapat diwujudkan selama bulan Ramadan, maka masa depan peradaban ummat dan bangsa dapat diharapkan. Oleh karenanya peribadatan tidak hanya dikerjakan secara normatif formalitik sahaja, namun juga dilakukan dengan memaknai pesan moral dan pesan perennialnya; terbangunnya kesadaran kolektif sebagai hamba dan khalifah, meningkatkan kemampuan membaca situasi dan tegaknya akhlaq yang mulia.

Media Sosial dan Mindset: Renungan dalam Perspektif Islam

Penulis : Dely Lutfia Ananda, Editor : Amarul Hakim

Aplikasi Instagram bukanlah suatu platform media sosial yang asing bagi masyarakat, begitu pula dengan TikTok, maupun Facebook. Semua orang dari berbagai belahan dunia dapat membagikan pengalaman dan tanggapan mereka akan suatu peristiwa dalam satu jentikan jari saja, dan whosh, tren akan berubah sebegitu cepatnya. Di balik fleksibilitas dan aksesibilitas platform media sosial saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka telah menjadi layaknya “teman hidup” bagi kita.

Media sosial menjembatani berbagai budaya, ilmu pengetahuan, dan ladang monetisasi yang dapat mengarah pada perbaikan kualitas hidup dan wawasan masyarakat. Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa tren yang berkembang di media sosial memengaruhi perubahan budaya di masyarakat, entah dari segi positif maupun negatif. Seringkali konten-konten sederhana yang disisipi quotes dan lagu catchy sudah mampu menyentil jempol kita untuk menekan “like”. Tentu bukan sebuah masalah, tetapi esensinya terletak pada kecenderungan masyarakat sekarang yang sering menjadikan opini sebagai fakta, tren viral sebagai standar, dan mengabaikan analisis kritis. Demi konten fyp yang mendapat banyak perhatian, banyak content creator rela melakukan apa saja tanpa memperdulikan etika dan aturan bermedia sosial.

Israf dalam Bermedia Sosial

Islam sebagai agama yang memiliki prinsip Rahmatan lil ‘Alamin menghendaki umatnya untuk menebarkan kasih sayang dan kedamaian di alam semesta. Ini tidak hanya mencakup perbuatan yang berhubungan langsung dengan manusia, tetapi juga perilaku tidak langsung seperti aktivitas bermedia sosial. Dalam Al-quran pada Surat Al-A’raf ayat 31 terdapat istilah israf yang merujuk pada arti berlebih-lebihan atau melampaui batas yang menimbulkan kemudharatan. Dalam bermedia sosial, pengguna seringkali lupa waktu saking asyiknya berselancar di internet; menghabiskan waktu berjam-jam tanpa mengerjakan sesuatu yang ada artinya. Israf tidak disukai dan dicela Allah karena merugikan diri sendiri.

Baca juga : Media Sosial dan Moderasi Beragama: Antara Dakwah Digital dan Polarisasi

Dikutip dari website NU Online, Imam Nawawi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah memberikan peringatan tentang betapa pentingnya waktu dalam Surat Al-‘Ashr. Waktu adalah salah satu karunia terbesar yang dianugerahkan Allah kepada manusia, menjadi peluang berharga yang harus dimanfaatkan dengan baik dan tidak disia-siakan.

Hoaks dan Ghibah

Media sosial juga seringkali dijadikan tempat penyebaran hoaks dan ghibah. Laman Kementrian Kominfo menyebut, setidaknya ada 1.615 konten hoaks yang beredar di website dan platform digital selama tahun 2023 yang telah ditangani oleh Tim AIS Ditjen Aplikasi Informatika dan Kementrian Kominfo. Isu hoaks yang beredar paling banyak berkaitan dengan isu kesehatan, kebijakan pemerintah, politik, dan penipuan. Fakta ini memprihatinkan, mengingat hampir dari setengah populasi di Indonesia adalah pengguna media sosial, termasuk banyak anak-anak di bawah umur yang rentan terpapar informasi tanpa kemampuan filterisasi yang memadai (datareportal.com).

Hoaks yang merupakan informasi palsu disebarkan untuk memanipulasi dan menipu orang, sepadan dengan istilah kadzab dalam Bahasa Arab yang artinya dusta dan ‘ifk yang bermakna keterbalikan (Sirajuddin, 2018: 29). Hoaks bukanlah sesuatu yang sepele di mata Allah dan para penyebar hoaks atau berita bohong akan mendapatkan dosa dan balasan pedih di akhirat, sebagaimana Allah berfirman dalam Surat An-Nur ayat 15 dan 19 yang berarti: (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut; kamu mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun; dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu masalah besar (QS. An-Nur[24]:15).

Sesungguhnya orang-orang yang senang atas tersebarnya (berita bohong) yang sangat keji itu di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nur[24]:19).

Baca juga : Citra Vs Realitas: Gen Z Berdarah-Darah Bangun Citra di Media Sosial?

Allah memerintahkan umat Islam untuk ber-tabayyun, yakni meneliti kebenaran dari informasi yang didapat agar tidak mencelakakan suatu kaum (Surat Al-Hujurat ayat 6). Sebelum menyebarkan suatu informasi kepada orang lain, tidak peduli betapa terlihat meyakinkannya kabar tersebut, perlu untuk memverifikasi dari sumber yang tepercaya dan faktual.

Hoaks dan ghibah saling berhubungan karena keduanya melibatkan kebohongan yang dapat merugikan pihak lain. Ghibah mengacu pada tindakan membicarakan hal-hal yang tidak disukai seseorang di belakangnya, sementara hoaks sering kali memuat kebohongan yang berpotensi menjadi bagian dari perilaku tersebut. Menggunjing di media sosial tidak jauh buruknya dengan menggunjing di dunia nyata, apalagi dunia maya merekam jejak digital penggunanya serta menimbulkan kerusakan yang besar. Bahkan, pelaku ghibah diibaratkan oleh Allah dalam Surat Al-Hujurat ayat 12, seperti memakan bangkai saudaranya sendiri dan Allah melarang perbuatan tersebut dengan larangan yang keras.

Lebih jauh, menurut Hadist At-Tabrani, dilansir dari laman NU Online memaparkan bahwa dosa ghibah dapat lebih berat dari dosa berzina.

عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللّٰهِ، وَاَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالاَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:  اِيَّاكُمْ وَالْغَيْبَةَ، فَاِ نَّ الْغَيْبَةَ اَشَدُّ مِنَ الزِّنَا, قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، كَيْفَ الْغَيْبَةُ اَشَدُّ مِنَ الزِّنَا؟ قَالَ: الرَّجُلُ يَزْنِي فَيَتُوْبُ، فَيَتُوْبُ اللّٰهُ عَلَيْهِ، وَاِنَّ صَا حِبَ الغَيْبَةِ لاَ يُغْفَرُ لَهُ حَتَّى يَغْفِرَ لَهُ صَاحِبُهُ. رواه الطبران فى الاوسط وفيه عباد بن كثير الثقفى وهو متروك

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah dan Abi Sa’id Al-khudri, keduanya berkata: Rasulullah bersabda: Takutlah kalian semua terhadap ghibah, karena sesungguhnya ghibah itu lebih berat dosanya daripada berzina. Lalu Rasulullah ditanya: Bagaimana bisa ghibah lebih berat dosanya daripada zina? Beliau menjawab: Sesungguhnya seorang laki-laki terkadang berzina kemudian ia bertaubat, maka Allah langsung menerima taubatnya, sedangkan orang yang menggunjing itu tidak akan diampuni dosanya sampai orang yang digunjing sudi mengampuninya (HR. At-Tabrani dalam Al-Ausath dan dalam sanadnya terdapat ‘Ubad bin Ktsir As-tsaqofi dan dia ini matruk, Sumber: Kitab Majma’ Zawaid: 8/92).

Selain menghindari hoaks dan ghibah, sebagai Muslim, perlu juga untuk memahami konsep qaul sadid. Qaul sadid dapat diartikan sebagai perkataan yang benar dan tepat, tepat baik waktu pengguunaanya maupun tempat dimana itu digunakan (Sulkifli & Muhtar, 2021:75). Komentar dan opini di media sosial, harus memiliki dasar kebenaran, tidak berlebihan, dan tidak menimbulkan fitnah atau kesalahpahaman. Itu juga berarti tidak menggiring opini publik terhadap informasi yang tidak jelas tingkat kerelevannya.

Baca juga : Eksploitasi Anak : Mengekspos Anak Di Media Sosial

Media sosial adalah alat yang dapat membawa manfaat atau mudarat, tergantung bagaimana penggunanya. Islam memberikan panduan agar umatnya dapat bermedia sosial dengan bijak, menghindari keburukan seperti ghibah, hoaks, dan israf serta menjadikannya sebagai sarana kebaikan. Dengan memahami nilai-nilai ini, seorang Muslim dapat tetap berpegang teguh pada ajaran Islam dalam dunia digital dan menjadikan aktivitas bermedia sosial sebagai sesuatu yang bernilai.

Moderasi Beragama Dalam Bimbingan Dan Konseling: Pendekatan Untuk Mencegah Radikalisme Pada Remaja

Penulis: Muhamad Rifa’i Subhi, Editor: Adi

Dalam konteks keberagaman Indonesia, moderasi beragama menjadi konsep yang sangat penting untuk dikembangkan, terutama di kalangan remaja. Masa remaja merupakan fase pencarian jati diri yang rentan terhadap berbagai pengaruh, termasuk ajaran-ajaran yang bersifat ekstrem dan radikal. Kurangnya pemahaman tentang nilai-nilai moderasi beragama dapat menyebabkan mereka mudah terpapar paham-paham yang menyimpang, yang berpotensi mengancam harmoni sosial dan keutuhan bangsa. Oleh karena itu, pendekatan bimbingan dan konseling menjadi salah satu strategi yang efektif dalam menanamkan nilai-nilai moderasi beragama sejak dini.

Bimbingan dan konseling memiliki peran penting dalam membentuk pola pikir dan sikap keberagamaan yang seimbang pada remaja. Melalui layanan ini, para konselor dapat membantu remaja memahami ajaran agama secara lebih terbuka, inklusif, dan toleran terhadap perbedaan. Pendekatan yang berbasis moderasi beragama dapat membangun kesadaran bahwa setiap individu memiliki kebebasan beragama yang harus dihormati, tanpa menghakimi atau memaksakan keyakinan tertentu kepada orang lain. Dengan demikian, bimbingan dan konseling tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk mengatasi permasalahan psikologis remaja, tetapi juga sebagai media edukasi dalam membangun pemahaman keberagamaan yang lebih sehat.

Selain itu, fenomena radikalisme yang semakin marak di kalangan remaja menunjukkan bahwa pendidikan keagamaan yang hanya berfokus pada aspek doktrinal tanpa pendekatan moderasi dapat menimbulkan pemahaman yang sempit. Beberapa kasus menunjukkan bahwa remaja yang terpapar paham radikal cenderung memiliki pola pikir eksklusif, yang menganggap bahwa hanya ajaran mereka yang benar, sementara kelompok lain dianggap salah atau bahkan musuh. Dalam hal ini, bimbingan dan konseling yang berbasis moderasi beragama dapat menjadi benteng untuk menangkal penyebaran ideologi yang tidak sesuai dengan prinsip kebangsaan dan kemanusiaan.

Peran guru bimbingan dan konseling dalam menginternalisasi nilai-nilai moderasi beragama juga sangat krusial. Mereka tidak hanya bertindak sebagai pemberi solusi atas permasalahan pribadi siswa, tetapi juga sebagai agen perubahan dalam membentuk karakter remaja yang toleran dan inklusif. Melalui metode-metode yang tepat, seperti diskusi kelompok, pendekatan personal, atau kegiatan yang berbasis nilai-nilai kebangsaan, konselor dapat memberikan pemahaman bahwa keberagaman adalah kekayaan, bukan ancaman. Dengan begitu, remaja dapat tumbuh menjadi individu yang mampu hidup berdampingan secara harmonis dalam masyarakat yang plural.

Dengan mempertimbangkan pentingnya moderasi beragama dalam membimbing remaja, maka bimbingan dan konseling harus dikembangkan sebagai instrumen strategis dalam mencegah radikalisme. Pendekatan ini tidak hanya akan memberikan dampak positif bagi perkembangan individu, tetapi juga bagi kehidupan sosial secara luas. Jika nilai-nilai moderasi beragama dapat tertanam kuat sejak dini, maka masa depan bangsa akan diisi oleh generasi yang memiliki pemahaman agama yang lebih terbuka, seimbang, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta kebersamaan dalam keberagaman.

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena meningkatnya intoleransi dan radikalisme di kalangan remaja menjadi perhatian serius bagi berbagai pihak, termasuk pemerintah, pendidik, dan masyarakat. Remaja merupakan kelompok yang sedang dalam tahap pencarian identitas diri, sehingga mereka lebih rentan terhadap berbagai pengaruh, baik dari lingkungan sosial maupun dari media digital. Kemajuan teknologi informasi telah memudahkan penyebaran ideologi radikal melalui platform media sosial, di mana remaja dapat dengan mudah mengakses konten-konten yang mengajarkan kebencian terhadap kelompok lain. Lemahnya filter informasi serta minimnya literasi digital membuat mereka lebih mudah terpapar propaganda yang menggiring mereka ke arah intoleransi dan radikalisme.

Intoleransi yang berkembang di kalangan remaja seringkali berawal dari pemahaman agama yang sempit dan eksklusif. Beberapa remaja mendapatkan pemahaman keagamaan yang kurang inklusif, sehingga mereka cenderung menganggap keyakinannya sebagai satu-satunya kebenaran dan menolak keberagaman. Sikap seperti ini diperparah dengan kurangnya interaksi sosial dengan kelompok yang berbeda, baik dalam hal agama, budaya, maupun pandangan politik. Akibatnya, muncul kecenderungan untuk menghakimi, menstereotipkan, bahkan membenci pihak lain yang dianggap berbeda atau bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka anut.

Radikalisme di kalangan remaja tidak hanya terbatas pada pemikiran, tetapi juga dapat berkembang menjadi tindakan nyata. Dalam beberapa kasus, remaja terlibat dalam kelompok-kelompok ekstrem yang mengajarkan aksi kekerasan atas nama agama atau ideologi tertentu. Mereka bisa saja terlibat dalam ujaran kebencian, tindakan diskriminatif, atau bahkan aksi terorisme. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelompok radikal sering menyasar remaja karena mereka dianggap lebih mudah dipengaruhi dan memiliki semangat yang tinggi dalam memperjuangkan suatu keyakinan. Hal ini menjadi ancaman serius bagi kehidupan sosial dan keamanan nasional jika tidak segera ditangani dengan pendekatan yang tepat.

Faktor lain yang turut berkontribusi dalam meningkatnya intoleransi dan radikalisme di kalangan remaja adalah lingkungan sosial dan keluarga. Pola asuh yang kaku, doktrinasi yang ekstrem di lingkungan keluarga, serta pergaulan yang eksklusif dapat membentuk pola pikir yang tertutup terhadap perbedaan. Selain itu, kurangnya peran pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai toleransi dan keberagaman juga menjadi faktor yang mempercepat penyebaran paham-paham radikal di kalangan anak muda. Pendidikan yang hanya menekankan aspek kognitif tanpa membangun pemahaman kritis terhadap keberagaman dapat membuat remaja kehilangan kemampuan untuk berpikir secara moderat dan terbuka.

Menghadapi fenomena ini, diperlukan langkah-langkah strategis untuk membangun pemahaman keberagamaan yang moderat pada remaja. Pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai kebangsaan, toleransi, dan keterbukaan harus diperkuat, baik melalui kurikulum sekolah maupun kegiatan ekstrakurikuler. Peran bimbingan dan konseling menjadi sangat penting dalam membantu remaja memahami agama dengan cara yang lebih inklusif dan damai. Selain itu, keluarga dan masyarakat harus lebih aktif dalam membimbing anak-anak mereka agar memiliki pemahaman yang seimbang terhadap perbedaan dan tidak mudah terpengaruh oleh ideologi ekstrem. Dengan pendekatan yang komprehensif, diharapkan generasi muda dapat tumbuh menjadi individu yang memiliki sikap moderat, toleran, dan berkontribusi positif dalam menjaga keharmonisan bangsa.

Esai ini bertujuan untuk membahas peran penting bimbingan dan konseling dalam membentuk sikap moderat pada remaja sebagai upaya mencegah intoleransi dan radikalisme. Remaja adalah kelompok yang berada dalam masa pencarian identitas, di mana mereka sering kali mencari pegangan dalam nilai-nilai agama dan ideologi tertentu. Namun, tanpa bimbingan yang tepat, mereka bisa saja terjerumus dalam pemikiran yang eksklusif dan radikal. Oleh karena itu, layanan bimbingan dan konseling di sekolah maupun di lingkungan sosial perlu dimaksimalkan untuk membantu remaja memahami nilai-nilai keberagamaan yang seimbang, toleran, dan inklusif.

Bimbingan dan konseling memiliki peran utama dalam memberikan pemahaman kepada remaja bahwa keberagaman merupakan suatu keniscayaan dan harus dihargai. Melalui pendekatan psikologis dan edukatif, konselor dapat membantu remaja mengembangkan pola pikir yang lebih terbuka terhadap perbedaan. Proses ini dapat dilakukan melalui berbagai metode, seperti konseling individual, diskusi kelompok, serta penyelenggaraan seminar dan lokakarya tentang moderasi beragama. Dengan pendekatan yang tepat, remaja dapat lebih memahami bahwa keyakinan yang mereka anut tidak harus menjadi penghalang untuk menghormati keyakinan orang lain.

Selain itu, layanan bimbingan dan konseling juga berperan dalam menangkal penyebaran ideologi radikal dengan memberikan edukasi tentang bahaya intoleransi dan ekstremisme. Konselor dapat membantu remaja mengenali ciri-ciri ajaran radikal, membangun kesadaran kritis terhadap propaganda yang tersebar di media sosial, serta memberikan alternatif solusi dalam menghadapi kebingungan identitas yang sering dialami remaja. Dengan cara ini, mereka tidak hanya dibantu dalam memahami agamanya secara moderat, tetapi juga dibekali keterampilan berpikir kritis agar tidak mudah terpengaruh oleh ajaran yang menyimpang.

Peran guru bimbingan dan konseling tidak hanya terbatas pada memberikan solusi terhadap masalah individu, tetapi juga sebagai fasilitator dalam membangun budaya sekolah yang harmonis dan toleran. Dengan menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung nilai-nilai moderasi beragama, sekolah dapat menjadi tempat yang aman bagi remaja untuk berdiskusi dan belajar tentang keberagaman tanpa rasa takut atau terintimidasi. Selain itu, kolaborasi dengan orang tua dan komunitas juga sangat penting agar pendidikan moderasi beragama tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan adanya peran aktif bimbingan dan konseling, diharapkan remaja dapat tumbuh menjadi individu yang memiliki pemahaman keagamaan yang moderat, terbuka, dan inklusif. Sikap ini akan membantu mereka dalam menjalani kehidupan sosial yang harmonis serta mencegah munculnya konflik akibat perbedaan keyakinan. Oleh karena itu, bimbingan dan konseling harus terus dikembangkan dan diperkuat sebagai strategi utama dalam membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki karakter yang toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dalam keberagaman.

MODERASI BERAGAMA DAN TANTANGANNYA DI KALANGAN REMAJA

Moderasi beragama merupakan sikap yang mengedepankan keseimbangan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama, sehingga tidak terjebak dalam ekstremisme, baik yang bersifat radikal maupun liberal. Bagi remaja, moderasi beragama sangat penting karena mereka berada dalam fase perkembangan yang penuh dengan pencarian identitas dan eksplorasi nilai-nilai kehidupan. Dalam situasi ini, mereka membutuhkan bimbingan yang tepat agar tidak terjerumus dalam pemikiran yang ekstrem dan tetap mampu menghargai keberagaman. Moderasi beragama membantu mereka memahami bahwa agama tidak hanya berbicara tentang keyakinan pribadi, tetapi juga tentang bagaimana membangun hubungan yang harmonis dengan sesama manusia.

Namun, penerapan moderasi beragama di kalangan remaja menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah derasnya arus informasi di era digital yang memungkinkan penyebaran paham radikal secara cepat dan masif. Media sosial sering kali digunakan oleh kelompok ekstrem untuk menyebarkan narasi intoleran yang menggiring remaja pada pemikiran sempit. Dengan minimnya literasi digital dan rendahnya kemampuan berpikir kritis, banyak remaja yang mudah terpengaruh oleh propaganda tersebut tanpa menyadari dampak negatifnya. Hal ini menjadi tantangan besar bagi pendidik dan orang tua dalam menanamkan nilai-nilai moderasi beragama secara efektif.

Tantangan lainnya datang dari lingkungan sosial, termasuk keluarga dan sekolah. Beberapa remaja tumbuh dalam lingkungan yang kurang mendukung sikap moderasi, misalnya dalam keluarga yang menanamkan doktrin eksklusif atau di sekolah yang kurang memberikan ruang bagi diskusi terbuka tentang keberagaman. Kurangnya interaksi dengan kelompok berbeda juga memperkuat kecenderungan intoleransi, karena mereka tidak terbiasa berdialog dengan orang yang memiliki pandangan atau keyakinan yang berbeda. Akibatnya, muncul sikap fanatik yang menutup diri dari kemungkinan memahami perspektif lain.

Selain faktor lingkungan, tekanan kelompok sebaya juga dapat menjadi tantangan dalam menginternalisasi nilai-nilai moderasi beragama. Remaja cenderung mencari penerimaan sosial di antara teman-temannya, dan dalam beberapa kasus, mereka bisa terdorong untuk mengikuti kelompok yang memiliki pandangan ekstrem agar merasa diterima. Jika kelompok tersebut memiliki pemahaman yang intoleran, maka remaja yang kurang memiliki landasan moderasi yang kuat dapat dengan mudah terbawa arus dan mengadopsi sikap serupa. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih aktif dalam membimbing mereka agar mampu berpikir mandiri dan tidak mudah terpengaruh oleh tekanan sosial.

Pendidikan agama yang diajarkan di sekolah juga menjadi faktor penentu dalam membentuk sikap keberagamaan remaja. Sayangnya, dalam beberapa kasus, pendekatan pendidikan agama masih cenderung menekankan aspek normatif dan dogmatis tanpa memberikan ruang bagi pemahaman yang lebih luas dan kontekstual. Hal ini membuat remaja lebih fokus pada ajaran-ajaran yang bersifat eksklusif daripada membangun kesadaran tentang pentingnya hidup berdampingan secara damai. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan agama perlu diperkuat dengan pendekatan yang lebih inklusif, yang tidak hanya mengajarkan ajaran agama secara tekstual, tetapi juga menekankan nilai-nilai universal seperti toleransi, keadilan, dan kasih sayang.

Menghadapi berbagai tantangan ini, upaya menanamkan moderasi beragama di kalangan remaja harus dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga, sekolah, komunitas, serta media. Program bimbingan dan konseling di sekolah dapat menjadi salah satu solusi strategis untuk membangun kesadaran remaja tentang pentingnya sikap moderat dalam beragama. Selain itu, pendidikan berbasis dialog, peningkatan literasi digital, serta pemberian contoh nyata dari tokoh-tokoh yang menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi dapat membantu remaja memahami bahwa keberagaman bukanlah ancaman, melainkan kekayaan yang harus dihargai dan dijaga bersama. Dengan demikian, moderasi beragama dapat tertanam kuat dalam diri remaja dan menjadi bekal bagi mereka dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.

Definisi Moderasi Beragama

Moderasi beragama merupakan suatu konsep yang menekankan keseimbangan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama tanpa terjebak dalam sikap ekstrem, baik yang bersifat radikal maupun liberal. Moderasi beragama bukan berarti mengurangi komitmen seseorang terhadap ajaran agamanya, tetapi justru mengajarkan cara beragama yang lebih bijaksana, toleran, dan inklusif dalam kehidupan sosial. Prinsip ini bertujuan untuk menciptakan harmoni di tengah keberagaman, baik dalam konteks agama, budaya, maupun pandangan hidup. Dengan kata lain, moderasi beragama mengajarkan umat untuk menjalankan keyakinannya dengan penuh penghormatan terhadap perbedaan.

Konsep moderasi beragama memiliki akar dalam ajaran agama itu sendiri, yang menekankan keseimbangan, keadilan, dan toleransi. Dalam Islam, misalnya, konsep wasathiyah (pertengahan) menjadi prinsip utama dalam beragama, yang menghindarkan umat dari sikap berlebihan (ifrath) maupun sikap yang terlalu longgar (tafrith). Prinsip ini mengajarkan bahwa beragama harus dijalankan dengan cara yang tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain, serta tetap menghormati hak-hak sesama manusia. Prinsip serupa juga ditemukan dalam agama lain, yang menekankan kasih sayang, kedamaian, dan kebersamaan sebagai nilai utama dalam kehidupan beragama.

Moderasi beragama bukan hanya sekadar teori, tetapi juga sebuah praktik sosial yang mencerminkan cara seseorang berinteraksi dengan individu lain yang memiliki keyakinan berbeda. Dalam masyarakat yang majemuk, seperti Indonesia, moderasi beragama menjadi kunci untuk menjaga keharmonisan sosial dan mencegah konflik berbasis keagamaan. Sikap moderat dalam beragama memungkinkan seseorang untuk tetap teguh dalam keyakinannya tanpa harus merasa superior atau memaksakan pandangannya kepada orang lain. Dengan demikian, moderasi beragama tidak hanya berkaitan dengan aspek personal, tetapi juga dengan bagaimana seseorang berkontribusi dalam menciptakan kehidupan yang damai dan harmonis.

Penerapan moderasi beragama melibatkan beberapa aspek penting, di antaranya sikap toleransi, inklusivitas, serta keterbukaan terhadap dialog dan diskusi. Toleransi berarti menghormati perbedaan dan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, sementara inklusivitas mengajarkan bahwa kebenaran tidak hanya dimiliki oleh satu kelompok saja, melainkan ada ruang untuk berbagai perspektif yang berbeda. Keterbukaan terhadap dialog berarti bersedia mendengarkan dan memahami sudut pandang lain, bukan hanya untuk mencari kelemahan, tetapi untuk membangun pemahaman yang lebih luas dan mendalam tentang kehidupan beragama.

Meskipun moderasi beragama memiliki banyak manfaat, penerapannya tidak selalu mudah. Salah satu tantangan terbesar adalah munculnya kelompok-kelompok yang menganggap bahwa moderasi beragama adalah bentuk pelemahan terhadap keyakinan mereka. Beberapa pihak bahkan menganggap moderasi sebagai sikap kompromistis yang mengurangi kemurnian ajaran agama. Padahal, moderasi bukan berarti mengorbankan nilai-nilai agama, melainkan mencari keseimbangan antara menjalankan ajaran agama dengan tetap menghormati hak dan kebebasan orang lain. Pemahaman yang keliru tentang moderasi beragama inilah yang sering menjadi hambatan dalam upaya menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang moderat.

Selain tantangan ideologis, tantangan lain dalam menerapkan moderasi beragama adalah pengaruh media sosial yang sering kali menjadi wadah penyebaran narasi ekstrem. Dalam dunia digital yang semakin terbuka, informasi yang mengandung kebencian, hoaks, dan ujaran provokatif tentang agama dapat menyebar dengan cepat dan sulit dikendalikan. Hal ini menjadi tantangan besar dalam membangun pemahaman yang moderat di kalangan masyarakat, terutama di kalangan remaja yang lebih rentan terhadap pengaruh negatif dari media sosial. Oleh karena itu, moderasi beragama harus didukung dengan literasi digital yang kuat agar individu mampu menyaring informasi dengan lebih bijaksana.

Peran pendidikan sangat penting dalam membentuk sikap moderasi beragama. Kurikulum di sekolah dan perguruan tinggi harus mengedepankan nilai-nilai keberagamaan yang seimbang, dengan menekankan pentingnya toleransi, keberagaman, dan dialog antaragama. Selain itu, bimbingan dan konseling juga berperan dalam membantu remaja memahami agamanya secara lebih mendalam dan proporsional, sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh pemikiran radikal. Dengan pendekatan yang tepat, pendidikan dapat menjadi alat utama dalam membentuk generasi yang memiliki pemahaman agama yang moderat dan inklusif.

Moderasi beragama juga perlu didukung oleh peran aktif keluarga dan masyarakat. Orang tua memiliki tanggung jawab dalam menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang tidak hanya berbasis pada aspek ritual, tetapi juga pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan. Sementara itu, masyarakat harus menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan sikap moderat, dengan memberikan ruang bagi dialog antaragama dan mendorong kolaborasi lintas kepercayaan. Dengan sinergi antara pendidikan, keluarga, dan masyarakat, moderasi beragama dapat menjadi bagian dari karakter individu sejak usia dini.

Pada akhirnya, moderasi beragama adalah sebuah upaya untuk menjaga keseimbangan antara keyakinan pribadi dan harmoni sosial. Dengan menerapkan sikap moderat, individu tidak hanya dapat menjalankan agamanya dengan baik, tetapi juga dapat berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang damai, adil, dan toleran. Oleh karena itu, menanamkan moderasi beragama harus menjadi prioritas bersama agar generasi mendatang dapat hidup dalam lingkungan yang penuh dengan kedamaian dan saling menghormati perbedaan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekstremisme di Kalangan Remaja

Ekstremisme di kalangan remaja menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan, terutama dengan berkembangnya teknologi dan perubahan sosial yang cepat. Remaja merupakan kelompok yang masih berada dalam proses pembentukan identitas dan sering kali mudah dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal. Faktor-faktor yang mendorong mereka menuju pemikiran dan tindakan ekstrem sangat beragam, mulai dari lingkungan keluarga, pendidikan, sosial, hingga pengaruh media. Pemahaman tentang faktor-faktor ini sangat penting untuk mencegah berkembangnya ekstremisme dan menciptakan lingkungan yang lebih aman serta inklusif bagi generasi muda.

Pertama, Kurangnya Pemahaman Agama yang Moderat. Salah satu faktor utama yang mendorong ekstremisme di kalangan remaja adalah kurangnya pemahaman agama yang moderat. Banyak remaja mendapatkan ajaran agama secara sepotong-sepotong tanpa bimbingan yang benar, sehingga mudah terpengaruh oleh pemikiran yang radikal. Pemahaman agama yang eksklusif dan sempit dapat membuat mereka merasa bahwa keyakinannya adalah satu-satunya kebenaran mutlak, sementara keyakinan lain dianggap sesat atau musuh yang harus diperangi.

Kedua, Doktrinasi Radikal di Lingkungan Keluarga. Lingkungan keluarga memainkan peran besar dalam membentuk pola pikir remaja. Jika seorang remaja tumbuh dalam keluarga yang memiliki paham keagamaan yang ekstrem atau cenderung menanamkan kebencian terhadap kelompok lain, maka mereka lebih rentan untuk mengadopsi sikap intoleran. Orang tua atau anggota keluarga yang memiliki pemikiran radikal dapat menjadi sumber utama dalam menyebarkan paham ekstremisme kepada anak-anaknya sejak dini.

Ketiga, Lingkungan Sosial dan Pergaulan. Pergaulan dan lingkungan sosial juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk sikap remaja terhadap keberagaman. Jika seorang remaja berada dalam lingkungan yang homogen dan eksklusif, di mana tidak ada ruang untuk berinteraksi dengan kelompok yang berbeda, maka mereka lebih cenderung mengembangkan sikap intoleran. Kelompok pertemanan yang tertutup juga dapat menjadi tempat berkembangnya pemikiran ekstrem, di mana remaja saling memperkuat keyakinan radikal mereka tanpa adanya perspektif lain yang lebih moderat.

Keempat, Pengaruh Media Sosial dan Internet. Di era digital, media sosial dan internet menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi pemikiran remaja. Kelompok-kelompok radikal memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan propaganda mereka, sering kali dengan cara yang menarik dan menggugah emosi. Remaja yang kurang memiliki literasi digital dan tidak terbiasa berpikir kritis dapat dengan mudah termakan oleh narasi ekstrem yang beredar di dunia maya. Konten yang mengandung ujaran kebencian, konspirasi agama, serta ajakan untuk melakukan kekerasan dapat dengan cepat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak remaja.

Kelima, Ketidakpuasan Sosial dan Rasa Ketidakadilan. Banyak remaja yang merasa kecewa terhadap kondisi sosial, ekonomi, atau politik di sekitarnya, dan mereka mencari cara untuk menyalurkan ketidakpuasan tersebut. Kelompok ekstrem sering kali memanfaatkan perasaan ketidakadilan ini untuk merekrut anggota baru, dengan menawarkan narasi bahwa kekerasan atau perlawanan adalah satu-satunya solusi. Remaja yang merasa tertindas atau tidak memiliki harapan terhadap masa depan mereka lebih rentan untuk tertarik pada ideologi ekstrem yang menjanjikan perubahan drastis.

Keenam, Krisis Identitas dan Pencarian Makna Hidup. Masa remaja adalah masa pencarian identitas, di mana mereka sering kali merasa kebingungan tentang siapa diri mereka dan apa tujuan hidup mereka. Dalam kondisi ini, mereka bisa saja mencari pegangan dalam ideologi yang kuat dan memberikan mereka rasa tujuan. Kelompok radikal sering kali menawarkan jawaban yang tampak jelas dan tegas bagi remaja yang sedang mengalami krisis identitas, sehingga mereka tertarik untuk bergabung tanpa menyadari konsekuensi dari ideologi tersebut.

Ketujuh, Pendidikan yang Kurang Menanamkan Nilai Toleransi. Sistem pendidikan yang tidak mengajarkan nilai-nilai toleransi dan keberagaman dengan baik juga dapat menjadi faktor yang berkontribusi dalam penyebaran ekstremisme. Jika pendidikan hanya menekankan aspek kognitif tanpa membangun pemahaman kritis terhadap pluralitas masyarakat, maka remaja akan lebih mudah terjebak dalam pemikiran yang sempit. Kurikulum yang tidak memberikan ruang bagi diskusi dan dialog antaragama juga dapat membuat siswa kurang terbiasa untuk memahami perspektif yang berbeda.

Kedelapan, Ketidakmampuan Berpikir Kritis. Kurangnya kemampuan berpikir kritis membuat remaja lebih mudah menerima informasi tanpa mempertanyakan kebenarannya. Mereka cenderung menerima berita atau narasi yang provokatif tanpa mengecek sumber atau memahami konteksnya secara lebih mendalam. Kelompok radikal sering kali memanfaatkan kelemahan ini dengan menyebarkan propaganda yang bersifat emosional, sehingga remaja dengan pemahaman yang dangkal lebih mudah untuk termakan isu-isu yang memecah belah.

Kesembilan, Pengaruh Tokoh atau Pemimpin Karismatik. Banyak kelompok radikal memiliki tokoh yang karismatik dan pandai dalam membangun pengaruh terhadap pengikutnya. Remaja yang mencari panutan sering kali terpesona oleh sosok yang tampak berwibawa dan memiliki retorika kuat, tanpa menyadari bahwa ajaran yang disampaikan bersifat ekstrem. Tokoh-tokoh ini bisa berasal dari lingkungan keagamaan, politik, atau media sosial, dan mereka memanfaatkan ketertarikan remaja untuk menarik mereka lebih dalam ke dalam ideologi yang radikal.

Kesepuluh, Pengalaman Pribadi yang Traumatis. Beberapa remaja yang mengalami pengalaman traumatis, seperti kehilangan orang terdekat, kekerasan, atau diskriminasi, dapat dengan mudah terpengaruh oleh ideologi ekstrem. Mereka mungkin mencari kelompok yang dapat memberikan mereka rasa memiliki dan solidaritas, yang sering kali ditemukan dalam kelompok radikal. Kelompok ini memberikan mereka perasaan diterima dan didukung, meskipun dengan cara yang salah, sehingga mereka menjadi semakin terikat dengan paham ekstrem.

Kesebelas, Kurangnya Peran Keluarga dalam Pengawasan dan Pembinaan. Orang tua yang kurang terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka sering kali tidak menyadari ketika anak mereka mulai terpengaruh oleh paham ekstrem. Kurangnya komunikasi dalam keluarga dapat membuat remaja mencari informasi dari luar tanpa bimbingan yang benar. Jika orang tua tidak aktif dalam memberikan edukasi tentang nilai-nilai keberagamaan yang moderat, maka anak-anak lebih rentan terhadap pengaruh kelompok-kelompok radikal.

Kedua belas, Lemahnya Penegakan Hukum terhadap Kelompok Radikal. Lemahnya penegakan hukum terhadap kelompok yang menyebarkan ekstremisme juga menjadi faktor yang memperburuk situasi. Jika kelompok-kelompok ini dibiarkan berkembang tanpa tindakan yang tegas, maka mereka akan semakin leluasa dalam menyebarkan paham mereka, termasuk kepada remaja. Oleh karena itu, selain upaya preventif melalui pendidikan dan bimbingan, juga diperlukan kebijakan yang kuat untuk menangkal penyebaran ideologi radikal di berbagai lapisan masyarakat.

Mencegah ekstremisme di kalangan remaja memerlukan pendekatan yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Dengan memahami faktor-faktor yang mendorong remaja menuju ekstremisme, kita dapat mengambil langkah-langkah strategis untuk membangun lingkungan yang lebih toleran, inklusif, dan harmonis. Pendidikan yang berbasis pada moderasi beragama, peningkatan literasi digital, serta penguatan nilai-nilai kebangsaan menjadi kunci utama dalam membangun generasi muda yang lebih moderat dan terbuka terhadap keberagaman.

PERAN KONSELOR DALAM MENANAMKAN NILAI MODERASI BERAGAMA

Konselor memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan nilai moderasi beragama kepada remaja, terutama di tengah maraknya intoleransi dan pengaruh ideologi ekstrem. Sebagai pendidik dan pembimbing, konselor dapat membantu remaja memahami agamanya secara lebih bijak dan seimbang. Dalam proses bimbingan dan konseling, pendekatan yang digunakan harus menekankan pentingnya toleransi, keterbukaan, dan penghormatan terhadap perbedaan. Dengan demikian, konselor dapat menjadi agen perubahan dalam membentuk pola pikir remaja yang lebih moderat dalam beragama.

Salah satu peran utama konselor adalah memberikan edukasi tentang makna moderasi beragama. Banyak remaja yang belum memahami konsep ini dengan baik, sehingga mereka mudah terjebak dalam pemikiran yang ekstrem. Konselor dapat mengajarkan bahwa menjadi moderat bukan berarti mengurangi keimanan, tetapi justru menjalankan agama dengan cara yang lebih seimbang dan tidak berlebihan. Dengan pendekatan yang tepat, remaja akan memahami bahwa beragama tidak hanya tentang ibadah ritual, tetapi juga tentang bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupan sosial.

Selain memberikan edukasi, konselor juga berperan dalam membangun pola pikir kritis pada remaja. Salah satu penyebab utama ekstremisme adalah kurangnya kemampuan berpikir kritis dalam menyaring informasi, terutama dari media sosial. Konselor dapat membimbing remaja dalam mengembangkan keterampilan berpikir analitis, sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh propaganda radikal atau berita hoaks yang mengandung ujaran kebencian. Dengan memiliki pemahaman yang lebih mendalam, remaja akan lebih mampu menilai suatu informasi secara objektif sebelum menerimanya sebagai kebenaran.

Konselor juga berfungsi sebagai fasilitator dalam dialog antaragama dan antarbudaya. Melalui sesi bimbingan kelompok atau program khusus, konselor dapat mengadakan diskusi yang melibatkan remaja dari berbagai latar belakang agama dan budaya. Dialog semacam ini akan membantu mereka memahami perspektif lain serta membangun sikap saling menghormati. Ketika remaja terbiasa dengan perbedaan dan belajar untuk menerima keberagaman, mereka akan lebih sulit untuk dipengaruhi oleh paham yang bersifat eksklusif dan intoleran.

Selain itu, konselor memiliki peran sebagai pendamping bagi remaja yang mengalami krisis identitas atau kebingungan dalam memahami ajaran agama mereka. Banyak remaja yang merasa kehilangan arah dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup mereka. Dalam situasi ini, mereka rentan terhadap pengaruh kelompok ekstrem yang menawarkan jawaban instan dan tampak absolut. Konselor dapat membantu mereka menemukan makna hidup dengan cara yang lebih sehat, melalui pendekatan yang sesuai dengan prinsip moderasi beragama dan ajaran agama yang penuh kasih sayang.

Peran konselor juga mencakup pembinaan karakter berbasis nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Konselor dapat menanamkan nilai-nilai seperti keadilan, persaudaraan, dan kebersamaan dalam sesi bimbingan mereka. Dengan menekankan bahwa agama bukan hanya tentang hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga tentang hubungan horizontal dengan sesama manusia, remaja akan lebih memahami bahwa beragama seharusnya membawa kedamaian, bukan perpecahan. Penguatan nilai-nilai kebangsaan juga penting agar mereka tidak mudah terprovokasi oleh kelompok yang ingin memecah belah persatuan.

Terakhir, konselor perlu bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti orang tua, guru, pemuka agama, serta komunitas sosial, dalam menanamkan nilai moderasi beragama. Pendekatan yang dilakukan harus bersifat holistik, karena remaja tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan sekolah, tetapi juga oleh keluarga dan masyarakat sekitar. Dengan membangun sinergi antara berbagai elemen, konselor dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan sikap moderat dalam beragama. Dengan demikian, remaja dapat tumbuh menjadi individu yang beragama dengan penuh kesadaran, keseimbangan, dan rasa hormat terhadap keberagaman.

TEKNIK KONSELING UNTUK MEMBENTUK PEMAHAMAN AGAMA YANG MODERAT

Dalam upaya membentuk pemahaman agama yang moderat pada remaja, konselor perlu menggunakan berbagai teknik konseling yang efektif. Teknik yang digunakan harus mampu membantu remaja memahami ajaran agama dengan cara yang lebih terbuka, inklusif, dan seimbang. Pendekatan yang tepat tidak hanya akan mengubah cara berpikir mereka, tetapi juga membentuk sikap dan perilaku yang lebih toleran terhadap perbedaan. Dengan menerapkan teknik konseling yang sesuai, konselor dapat menjadi jembatan bagi remaja untuk menghindari pemahaman agama yang sempit dan ekstrem.

Beberapa teknik yang dimaksud antara lain, pertama, Teknik Konseling Rasional-Emotif. Salah satu teknik yang dapat digunakan adalah rational-emotive behavior therapy (REBT), yaitu teknik yang membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir yang tidak rasional. Dalam konteks moderasi beragama, remaja sering kali memiliki keyakinan yang kaku dan tidak logis tentang agama, seperti menganggap bahwa hanya ada satu kebenaran absolut tanpa mempertimbangkan perspektif lain. Konselor dapat membantu mereka mengenali keyakinan yang bersifat ekstrem dan menggantinya dengan pemahaman yang lebih rasional dan moderat. Kedua, Teknik Konseling Kognitif-Perilaku (CBT). Pendekatan cognitive-behavioral therapy (CBT) juga sangat efektif dalam membentuk pemahaman agama yang lebih seimbang. Teknik ini berfokus pada bagaimana pola pikir mempengaruhi emosi dan perilaku seseorang. Konselor dapat membantu remaja menyadari bagaimana pemahaman agama yang eksklusif dapat menyebabkan intoleransi dan bahkan kebencian terhadap kelompok lain. Dengan mengubah pola pikir tersebut, remaja dapat lebih terbuka terhadap perbedaan dan memahami bahwa ajaran agama pada dasarnya mengajarkan kedamaian.

Ketiga, Teknik Konseling Naratif. Teknik konseling naratif dapat digunakan untuk membantu remaja membangun pemahaman agama yang lebih kontekstual dan humanis. Dalam pendekatan ini, remaja didorong untuk menceritakan pengalaman spiritual mereka, bagaimana mereka memahami agama, serta bagaimana keyakinan mereka terbentuk. Konselor kemudian membantu mereka merefleksikan cerita tersebut dan memberikan perspektif baru yang lebih moderat, misalnya dengan menunjukkan bagaimana ajaran agama yang mereka anut sebenarnya memiliki nilai-nilai universal seperti kasih sayang dan toleransi. Keempat, Teknik Konseling Berbasis Dialog Antaragama. Teknik ini melibatkan sesi bimbingan kelompok yang mempertemukan remaja dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan. Dengan cara ini, mereka dapat berdiskusi dan bertukar pandangan tentang ajaran agama masing-masing. Konselor berperan sebagai fasilitator yang menjaga agar diskusi berlangsung dalam suasana saling menghormati. Tujuan utama dari teknik ini adalah untuk menumbuhkan sikap saling pengertian, sehingga remaja tidak lagi melihat agama lain sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari keberagaman yang harus dihormati.

Kelima, Teknik Konseling Berbasis Empati. Empati adalah kunci dalam membangun pemahaman agama yang moderat. Dalam sesi konseling, konselor dapat menggunakan teknik empathetic listening, di mana mereka benar-benar mendengarkan keluh kesah dan pemikiran remaja tanpa menghakimi. Melalui empati, remaja akan merasa didengar dan lebih terbuka untuk menerima masukan yang diberikan oleh konselor. Selain itu, konselor juga dapat melatih remaja untuk memahami sudut pandang orang lain agar mereka lebih toleran dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang ekstrem. Keenam, Teknik Konseling Berbasis Mindfulness. Mindfulness atau kesadaran penuh dapat membantu remaja memahami agama dengan lebih mendalam tanpa terburu-buru dalam mengambil kesimpulan yang ekstrem. Teknik ini mengajarkan mereka untuk lebih reflektif terhadap ajaran agama dan nilai-nilai yang mereka yakini. Dalam praktiknya, konselor dapat mengajarkan teknik meditasi atau refleksi spiritual yang membantu remaja memahami bahwa beragama tidak hanya tentang aturan dan dogma, tetapi juga tentang bagaimana menjalani kehidupan dengan penuh kedamaian dan kebijaksanaan.

Ketujuh, Teknik Konseling dengan Model Role-Playing. Role-playing atau bermain peran adalah teknik yang dapat digunakan untuk membantu remaja memahami bagaimana menghadapi situasi sosial yang berkaitan dengan keberagaman. Misalnya, dalam sesi konseling kelompok, remaja dapat diminta untuk berperan sebagai seseorang yang menghadapi diskriminasi atau sebagai individu yang harus bersikap toleran terhadap perbedaan. Dengan cara ini, mereka akan lebih memahami bagaimana sikap moderasi beragama dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Kedelapan, Teknik Konseling dengan Metode Storytelling. Bercerita atau storytelling adalah teknik yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai moderasi dalam agama. Konselor dapat membagikan kisah-kisah inspiratif dari tokoh agama yang menunjukkan sikap toleransi dan kasih sayang terhadap sesama. Kisah-kisah ini dapat membantu remaja memahami bahwa dalam sejarah agama pun terdapat banyak contoh moderasi dan keberagaman. Dengan pendekatan yang menarik ini, nilai-nilai moderasi dapat lebih mudah diterima dan diinternalisasi oleh remaja. Kesembilan, Teknik Konseling Berbasis Nilai Kebangsaan. Selain menanamkan nilai-nilai keagamaan yang moderat, konselor juga perlu mengaitkan pembelajaran ini dengan nilai kebangsaan. Teknik ini mengajarkan remaja bahwa agama dan kebangsaan bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan, tetapi justru bisa saling mendukung. Konselor dapat memberikan pemahaman bahwa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa juga merupakan bagian dari ajaran agama yang mengedepankan perdamaian dan toleransi.

Kesepuluh, Teknik Konseling dengan Pendekatan Keluarga. Karena keluarga memiliki peran besar dalam membentuk pemahaman agama remaja, maka konseling berbasis keluarga menjadi teknik yang penting. Konselor dapat mengadakan sesi khusus dengan orang tua untuk membantu mereka memahami bagaimana menanamkan ajaran agama yang seimbang di rumah. Dengan adanya sinergi antara konselor dan keluarga, proses internalisasi moderasi beragama pada remaja akan semakin efektif. Kesebelas, Teknik Konseling Preventif dan Intervensi Dini. Konselor harus menerapkan teknik konseling preventif dengan mengidentifikasi remaja yang mulai menunjukkan gejala intoleransi atau kecenderungan ekstrem. Intervensi dini sangat penting untuk mencegah mereka semakin terpengaruh oleh paham radikal. Konselor dapat memberikan pemahaman secara bertahap dan membimbing mereka untuk kembali pada nilai-nilai agama yang damai dan inklusif.

Dengan menerapkan berbagai teknik konseling yang efektif, konselor dapat membantu remaja membentuk pemahaman agama yang lebih moderat dan inklusif. Teknik-teknik ini tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga pada aspek emosional, sosial, dan spiritual. Melalui pendekatan yang komprehensif, diharapkan remaja dapat tumbuh menjadi individu yang tidak hanya beragama dengan baik, tetapi juga mampu menghormati perbedaan dan menjalani kehidupan dengan penuh toleransi.

STUDI KASUS DAN IMPLEMENTASI

Dalam rangka menanamkan nilai-nilai moderasi beragama di kalangan remaja, sekolah dapat mengadakan program bimbingan dan konseling yang terstruktur dan berkelanjutan. Program ini bertujuan untuk membentuk pemahaman agama yang moderat, toleran, dan inklusif di kalangan siswa, sehingga mereka dapat hidup harmonis dalam masyarakat yang beragam. Dengan bimbingan yang tepat, siswa dapat menghindari pemikiran ekstrem dan mengembangkan sikap menghargai perbedaan. Beberapa contoh program yang dimaksud antara lain, pertama, Program “Dialog Lintas Agama”. Salah satu program utama dalam bimbingan konseling berbasis moderasi beragama adalah Dialog Lintas Agama, yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan toleransi antar siswa dari berbagai latar belakang keagamaan. Dalam program ini, siswa diberi kesempatan untuk berdiskusi dan bertukar pandangan dengan teman-teman mereka yang memiliki keyakinan berbeda. Konselor berperan sebagai fasilitator untuk memastikan diskusi berlangsung dengan penuh rasa hormat dan tanpa unsur perdebatan yang mengarah pada konflik.

Kedua, Program “Belajar dari Tokoh Moderat”. Sekolah dapat mengadakan sesi bimbingan yang menampilkan kisah-kisah inspiratif dari tokoh agama yang dikenal dengan sikap moderat dan toleran. Program ini bertujuan untuk memberikan teladan positif kepada siswa mengenai bagaimana beragama dengan cara yang damai dan inklusif. Konselor bisa mengundang tokoh agama, akademisi, atau aktivis yang memiliki pengalaman dalam membangun moderasi beragama di masyarakat. Ketiga, Program “Sekolah Ramah Keberagaman”. Untuk menciptakan lingkungan sekolah yang inklusif, program Sekolah Ramah Keberagaman dapat diterapkan. Dalam program ini, setiap siswa diajarkan untuk menghargai perbedaan dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan agama, suku, atau latar belakang lainnya. Program ini juga melibatkan berbagai kegiatan seperti lomba esai bertema moderasi beragama, pembuatan mural keberagaman, serta proyek sosial lintas agama.

Keempat, Bimbingan Kelompok “Refleksi Keberagaman”. Konselor dapat mengadakan sesi bimbingan kelompok di mana siswa diajak untuk merefleksikan pengalaman mereka dalam menghadapi perbedaan. Dalam sesi ini, siswa diberikan kesempatan untuk menceritakan pengalaman mereka saat menghadapi situasi yang berkaitan dengan keberagaman agama. Dengan berbagi pengalaman, mereka dapat belajar dari satu sama lain dan mengembangkan perspektif yang lebih terbuka terhadap perbedaan. Kelima, Pelatihan “Bijak dalam Media Sosial”. Di era digital, penyebaran informasi yang bersifat provokatif dan intoleran semakin meningkat. Oleh karena itu, sekolah dapat mengadakan pelatihan Bijak dalam Media Sosial yang mengajarkan siswa cara menyaring informasi dan mengenali propaganda radikal. Konselor dapat mengajarkan teknik berpikir kritis, cara mendeteksi berita hoaks, serta bagaimana menggunakan media sosial untuk menyebarkan pesan perdamaian dan toleransi. Keenam, Program “Sahabat Moderasi”. Sahabat Moderasi adalah program yang melibatkan siswa sebagai duta moderasi beragama di sekolah. Para siswa yang terpilih akan mendapatkan pelatihan khusus dari konselor mengenai pentingnya moderasi beragama, cara berdialog yang baik, serta strategi menghadapi intoleransi di lingkungan sekolah. Mereka kemudian bertugas untuk menjadi agen perubahan yang membantu menyebarkan nilai-nilai moderasi kepada teman-teman mereka.

Ketujuh, Kegiatan “Jumat Toleransi”. Sebagai bentuk implementasi moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari, sekolah dapat mengadakan kegiatan Jumat Toleransi. Dalam kegiatan ini, siswa dari berbagai agama diajak untuk melakukan kegiatan sosial bersama, seperti berbagi makanan kepada sesama, membersihkan tempat ibadah secara gotong royong, atau melakukan kegiatan amal lainnya. Dengan adanya interaksi positif antar siswa dari berbagai latar belakang, mereka akan lebih memahami bahwa agama mengajarkan kebaikan dan kebersamaan. Kedelapan, Konseling Individu untuk Siswa dengan Pemikiran Ekstrem. Selain program berbasis kelompok, konseling individu juga diperlukan bagi siswa yang menunjukkan tanda-tanda pemikiran ekstrem. Konselor dapat melakukan pendekatan personal untuk memahami latar belakang pemikiran mereka dan memberikan bimbingan yang sesuai. Dengan memberikan perhatian khusus kepada siswa yang rentan terhadap pengaruh radikal, sekolah dapat mencegah berkembangnya intoleransi sejak dini.

Kesembilan, Workshop “Mengatasi Konflik dengan Nilai Moderasi”. Konflik antar siswa yang disebabkan oleh perbedaan pandangan agama sering kali terjadi di sekolah. Oleh karena itu, workshop mengenai cara mengatasi konflik dengan nilai-nilai moderasi beragama sangat penting untuk diberikan. Dalam workshop ini, siswa diajarkan keterampilan komunikasi yang baik, cara menanggapi perbedaan dengan bijak, serta bagaimana menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Kesepuluh, Evaluasi dan Monitoring Program. Agar program bimbingan konseling berbasis moderasi beragama berjalan efektif, sekolah perlu melakukan evaluasi dan monitoring secara berkala. Konselor dapat melakukan survei atau wawancara dengan siswa untuk mengukur perubahan sikap mereka terhadap keberagaman. Jika ditemukan tantangan dalam pelaksanaan program, sekolah dapat melakukan perbaikan agar program lebih optimal dalam menanamkan nilai moderasi beragama di kalangan siswa.

Dengan menerapkan berbagai program bimbingan konseling berbasis moderasi beragama, sekolah dapat menjadi tempat yang kondusif untuk menanamkan nilai-nilai toleransi, keterbukaan, dan kebersamaan. Program-program ini tidak hanya membantu siswa dalam memahami agama dengan cara yang lebih moderat, tetapi juga membentuk lingkungan sekolah yang harmonis dan bebas dari intoleransi. Dengan komitmen yang kuat dari konselor, guru, dan seluruh elemen sekolah, diharapkan nilai-nilai moderasi beragama dapat terus tertanam dalam diri siswa dan menjadi bagian dari kehidupan mereka di masa depan. 

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Dari seluruh pembahasan yang telah diuraikan, moderasi beragama merupakan konsep penting dalam membentuk pemahaman agama yang seimbang, toleran, dan inklusif, terutama di kalangan remaja. Fenomena meningkatnya intoleransi dan radikalisme di kalangan generasi muda menunjukkan urgensi akan peran bimbingan dan konseling dalam membangun sikap keberagaman yang positif. Dengan pendekatan yang tepat, remaja dapat diarahkan untuk memahami ajaran agama secara lebih mendalam tanpa terjebak dalam pandangan yang ekstrem.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ekstremisme di kalangan remaja sangat beragam, mulai dari lingkungan keluarga, media sosial, hingga pergaulan di sekolah. Oleh karena itu, konselor memiliki tanggung jawab besar dalam menanamkan nilai-nilai moderasi beragama melalui berbagai teknik konseling yang efektif. Pendekatan seperti konseling rasional-emotif, kognitif-perilaku, dan berbasis dialog antaragama dapat membantu remaja dalam memahami agama dengan cara yang lebih bijaksana dan damai.

Program bimbingan konseling berbasis moderasi beragama di sekolah menjadi salah satu langkah strategis dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif. Program seperti Dialog Lintas Agama, Sahabat Moderasi, dan Bijak dalam Media Sosial dapat membentuk karakter siswa agar lebih toleran dan menghargai perbedaan. Dengan penerapan program yang berkelanjutan dan dukungan dari seluruh elemen sekolah, diharapkan remaja dapat tumbuh menjadi individu yang tidak hanya beragama dengan baik tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat.

Rekomendasi

Pertama, sekolah perlu memperkuat peran bimbingan dan konseling dalam menanamkan nilai moderasi beragama dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk guru, orang tua, dan komunitas keagamaan. Konselor harus diberikan pelatihan khusus agar mampu menghadapi tantangan dalam menangani remaja yang berisiko terpengaruh paham ekstrem. Selain itu, kurikulum pendidikan harus lebih menekankan pentingnya sikap moderat dalam kehidupan beragama untuk mencegah berkembangnya intoleransi sejak dini.

Kedua, pemanfaatan teknologi dan media sosial harus lebih dioptimalkan untuk menyebarkan pesan moderasi beragama. Sekolah dapat mengadakan kampanye digital, webinar, atau konten edukatif yang membahas pentingnya keberagaman dan toleransi. Dengan memanfaatkan platform yang sering digunakan oleh remaja, pesan moderasi dapat lebih mudah dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Terakhir, evaluasi dan monitoring program bimbingan konseling berbasis moderasi beragama perlu dilakukan secara berkala untuk memastikan efektivitasnya. Sekolah harus terbuka terhadap masukan dari siswa dan guru untuk terus mengembangkan metode yang lebih inovatif dan relevan. Dengan upaya yang konsisten dan berkelanjutan, diharapkan generasi muda dapat tumbuh menjadi individu yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dengan cara yang damai dan penuh toleransi.

Peran Bimbingan Konseling Dalam Mengembangkan Sikap Toleransi Beragama Pada Siswa Sekolah Menengah

Penulis: Nur Alfiah, Editor: Noorma

Dalam konteks pendidikan di Indonesia yang memiliki keberagaman agama, suku, dan budaya, toleransi beragama menjadi salah satu nilai fundamental yang harus dikembangkan sejak dini. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam menanamkan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan agama. Dalam hal ini, bimbingan dan konseling (BK) memiliki posisi strategis dalam membentuk pemahaman siswa terhadap pentingnya sikap toleransi beragama. Melalui berbagai layanan yang disediakan, BK dapat membantu siswa dalam memahami, menerima, dan mengaplikasikan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan sehari-hari.

Sikap intoleransi yang masih ditemukan di kalangan pelajar menunjukkan bahwa upaya penguatan pendidikan karakter, khususnya dalam aspek toleransi, perlu terus dilakukan. Ketidakpahaman terhadap ajaran agama lain, prasangka negatif, serta kurangnya interaksi lintas agama sering kali menjadi faktor pemicu sikap intoleran. Oleh karena itu, bimbingan dan konseling memiliki peran penting dalam memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai makna toleransi dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sosial.

Bimbingan dan konseling di sekolah tidak hanya berfungsi sebagai wadah untuk menyelesaikan permasalahan akademik dan pribadi siswa, tetapi juga sebagai sarana dalam membentuk karakter dan sikap positif mereka. Melalui layanan bimbingan kelompok, konseling individu, serta program pembinaan karakter berbasis toleransi, guru BK dapat membantu siswa mengembangkan sikap inklusif dan menghormati perbedaan keagamaan. Dengan demikian, mereka dapat tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki kepribadian yang terbuka dan penuh empati terhadap sesama.

Pendidikan toleransi beragama melalui bimbingan dan konseling juga dapat mengurangi potensi konflik sosial di lingkungan sekolah. Ketika siswa diberikan pemahaman yang benar tentang pentingnya hidup berdampingan dalam keberagaman, mereka akan lebih mampu mengendalikan prasangka serta mengembangkan sikap saling menghargai. Hal ini tentunya sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang tidak hanya berfokus pada aspek intelektual, tetapi juga membangun karakter peserta didik agar menjadi warga negara yang berkepribadian baik dan bertanggung jawab.

Dalam implementasinya, guru BK dapat bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti guru agama, wali kelas, serta organisasi siswa dalam menyusun program yang mendukung penguatan sikap toleransi. Kegiatan seperti diskusi lintas agama, seminar, atau kunjungan ke tempat ibadah dapat menjadi metode efektif dalam meningkatkan pemahaman dan pengalaman langsung siswa tentang pluralisme. Dengan pendekatan yang lebih interaktif dan partisipatif, nilai-nilai toleransi dapat ditanamkan secara lebih mendalam dan bermakna.

Selain itu, teknologi juga dapat dimanfaatkan dalam program bimbingan dan konseling untuk mendukung penguatan toleransi beragama. Penggunaan media sosial, video edukatif, atau platform diskusi daring dapat menjadi sarana yang efektif untuk menjangkau lebih banyak siswa. Dengan adanya berbagai pendekatan yang inovatif dan adaptif, pesan tentang pentingnya toleransi dapat tersampaikan dengan lebih baik sesuai dengan karakter dan kebutuhan generasi muda saat ini.

Dengan demikian, peran bimbingan dan konseling dalam mengembangkan sikap toleransi beragama pada siswa sekolah menengah menjadi sangat signifikan. Melalui berbagai pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, program BK dapat membantu menciptakan lingkungan sekolah yang harmonis, inklusif, dan bebas dari diskriminasi. Keberhasilan dalam menanamkan sikap toleransi di sekolah tidak hanya akan berdampak pada kehidupan siswa selama masa pendidikan, tetapi juga akan membentuk mereka menjadi individu yang mampu berkontribusi dalam membangun masyarakat yang damai dan saling menghormati di masa depan.

Urgensi Bimbingan dan Konseling dalam Membangun Toleransi Antaragama di Sekolah

Keberagaman agama di Indonesia merupakan realitas sosial yang tidak bisa dihindari dan harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan konflik. Dalam konteks pendidikan, sekolah menjadi salah satu tempat strategis dalam menanamkan nilai-nilai toleransi antaragama kepada siswa. Di sinilah peran bimbingan dan konseling (BK) menjadi sangat penting dalam membangun sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan keagamaan. Melalui layanan BK, siswa dapat diberikan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya hidup berdampingan secara damai dalam keberagaman agama.

Urgensi bimbingan dan konseling dalam membangun toleransi antaragama di sekolah semakin meningkat seiring dengan maraknya kasus intoleransi di lingkungan pendidikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa masih ada siswa yang memiliki prasangka negatif terhadap teman sekelasnya yang berbeda agama. Hal ini sering kali disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang ajaran agama lain, stereotip yang berkembang di masyarakat, serta kurangnya interaksi lintas agama. Oleh karena itu, guru BK perlu mengambil peran aktif dalam memberikan pemahaman yang benar tentang keberagaman dan mengajarkan nilai-nilai inklusivitas.

Bimbingan dan konseling memiliki urgensi dalam menciptakan lingkungan sekolah yang harmonis dan inklusif. Sekolah merupakan miniatur masyarakat yang mencerminkan keberagaman budaya dan agama di Indonesia. Jika toleransi antaragama tidak dikembangkan sejak dini, maka dikhawatirkan munculnya konflik yang lebih besar di masyarakat. Dengan adanya program BK yang sistematis, siswa dapat belajar untuk memahami perbedaan, mengurangi prasangka negatif, serta mengembangkan sikap empati terhadap sesama.

Salah satu alasan mengapa BK menjadi sangat penting dalam membangun toleransi antaragama adalah karena layanan ini bersifat preventif dan kuratif. Secara preventif, bimbingan dan konseling dapat membantu mencegah munculnya sikap intoleransi dengan memberikan edukasi tentang pentingnya menghargai perbedaan. Secara kuratif, BK dapat membantu menyelesaikan konflik yang muncul akibat kesalahpahaman dalam hubungan antaragama. Guru BK dapat memberikan mediasi dan konseling kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam menerima perbedaan.

Bimbingan dan konseling juga berperan dalam mengembangkan keterampilan sosial siswa agar mampu berkomunikasi dengan baik dengan teman-teman yang berbeda agama. Sering kali, intoleransi muncul karena kurangnya interaksi dan komunikasi yang sehat antara siswa yang berasal dari latar belakang agama yang berbeda. Oleh karena itu, layanan bimbingan kelompok, diskusi lintas agama, serta kegiatan kolaboratif antar siswa dapat menjadi sarana yang efektif dalam membangun hubungan yang harmonis.

Penerapan program bimbingan dan konseling berbasis toleransi juga dapat dilakukan dengan pendekatan berbasis pengalaman. Misalnya, sekolah dapat mengadakan program kunjungan ke tempat ibadah, diskusi dengan tokoh agama, serta kegiatan bakti sosial yang melibatkan siswa dari berbagai agama. Dengan cara ini, siswa tidak hanya memahami konsep toleransi secara teoritis, tetapi juga merasakannya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.

Selain pendekatan langsung, teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk memperkuat program bimbingan dan konseling dalam membangun toleransi antaragama. Guru BK dapat menggunakan media sosial, video edukatif, dan platform diskusi daring untuk menyebarkan pesan-pesan toleransi kepada siswa. Dengan adanya metode yang lebih inovatif, nilai-nilai toleransi dapat disampaikan dengan cara yang lebih menarik dan sesuai dengan karakter generasi muda saat ini.

Dukungan dari seluruh elemen sekolah juga menjadi faktor kunci dalam keberhasilan program BK dalam membangun toleransi antaragama. Kepala sekolah, guru mata pelajaran, orang tua, dan komunitas sekitar harus terlibat dalam menciptakan budaya sekolah yang inklusif. Kerjasama ini akan memperkuat upaya bimbingan dan konseling dalam menanamkan nilai-nilai toleransi, sehingga pesan yang disampaikan dapat terinternalisasi dengan lebih baik dalam diri siswa.

Dengan demikian, urgensi bimbingan dan konseling dalam membangun toleransi antaragama di sekolah tidak bisa diabaikan. Melalui berbagai program dan layanan yang terstruktur, BK dapat menjadi wadah yang efektif dalam membentuk karakter siswa yang lebih terbuka, inklusif, dan menghargai perbedaan. Keberhasilan dalam membangun toleransi di lingkungan sekolah tidak hanya berdampak pada kehidupan siswa selama masa pendidikan, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang damai, harmonis, dan saling menghormati di masa depan.

PENDIDIKAN MODERASI BERAGAMA DALAM KONTEKS SEKOLAH

Pendidikan moderasi beragama merupakan konsep yang bertujuan untuk menanamkan sikap beragama yang toleran, inklusif, dan menghormati perbedaan. Dalam konteks sekolah, pendidikan ini menjadi sangat penting mengingat keberagaman agama yang ada di Indonesia. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki peran strategis dalam membentuk karakter peserta didik agar tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki sikap yang moderat dalam beragama. Melalui pendidikan moderasi beragama, siswa diajarkan untuk memahami ajaran agamanya secara utuh serta menghargai keyakinan orang lain tanpa sikap ekstremisme atau eksklusivisme.

Pendidikan moderasi beragama di sekolah memiliki relevansi yang kuat dalam mencegah potensi konflik akibat perbedaan keyakinan. Sering kali, intoleransi muncul akibat kurangnya pemahaman tentang pluralisme dan keberagaman. Dengan adanya program pendidikan yang berbasis moderasi beragama, siswa dapat belajar untuk menghindari prasangka negatif terhadap agama lain serta memahami bahwa keberagaman adalah keniscayaan yang harus disikapi dengan bijak. Sikap saling menghormati inilah yang menjadi pondasi dalam menciptakan harmoni sosial di lingkungan sekolah maupun masyarakat luas.

Salah satu pendekatan dalam implementasi pendidikan moderasi beragama di sekolah adalah melalui kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai toleransi dan keberagaman. Mata pelajaran seperti Pendidikan Agama Islam (PAI), Pendidikan Agama Kristen, atau mata pelajaran lain yang berkaitan dengan karakter dapat dijadikan sebagai media untuk menyampaikan pesan moderasi. Guru dapat membimbing siswa untuk memahami ajaran agamanya dengan pendekatan yang inklusif, sehingga mereka tidak merasa superior atau lebih benar dibandingkan dengan pemeluk agama lain.

Selain melalui kurikulum, pendidikan moderasi beragama juga dapat diterapkan melalui kegiatan ekstrakurikuler dan program sekolah. Kegiatan seperti diskusi lintas agama, kunjungan ke rumah ibadah yang berbeda, serta kegiatan sosial bersama dapat menjadi sarana bagi siswa untuk lebih memahami dan berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Dengan pengalaman langsung seperti ini, siswa akan lebih mudah menerima keberagaman dan mengembangkan sikap empati terhadap sesama.

Peran guru dan tenaga pendidik dalam pendidikan moderasi beragama juga sangat signifikan. Guru tidak hanya bertindak sebagai pengajar, tetapi juga sebagai teladan dalam menerapkan sikap moderasi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk memiliki pemahaman yang mendalam tentang konsep moderasi beragama serta mampu mengajarkannya dengan metode yang tepat. Pelatihan bagi guru mengenai moderasi beragama perlu dilakukan secara berkala agar mereka memiliki kompetensi dalam mendidik siswa dengan pendekatan yang lebih inklusif dan damai.

Lingkungan sekolah yang kondusif juga berperan dalam mendukung pendidikan moderasi beragama. Sekolah harus menjadi tempat yang aman bagi semua siswa, tanpa adanya diskriminasi berbasis agama. Kebijakan sekolah harus dirancang sedemikian rupa agar mencerminkan prinsip keadilan dan keseimbangan dalam memberikan ruang bagi semua agama yang dianut oleh siswa. Sikap inklusif ini akan menciptakan suasana belajar yang nyaman dan mendukung terciptanya hubungan yang harmonis di antara siswa dengan latar belakang agama yang berbeda.

Selain pendekatan formal di sekolah, pendidikan moderasi beragama juga dapat diperkuat melalui pemanfaatan teknologi dan media digital. Saat ini, banyak siswa yang mengakses informasi tentang agama melalui internet dan media sosial, yang terkadang justru menjadi sumber radikalisme atau intoleransi. Oleh karena itu, sekolah dapat mengembangkan platform digital atau konten edukatif yang berisi materi tentang moderasi beragama. Dengan cara ini, siswa dapat lebih mudah memahami nilai-nilai toleransi melalui media yang mereka gunakan sehari-hari.

Peran orang tua dan masyarakat juga tidak bisa diabaikan dalam mendukung pendidikan moderasi beragama di sekolah. Orang tua harus menjadi teladan dalam menerapkan sikap moderasi di rumah, sehingga nilai-nilai tersebut dapat diteruskan kepada anak-anak mereka. Selain itu, kolaborasi antara sekolah dan masyarakat, seperti melalui program dialog antaragama atau kerja sama dengan organisasi keagamaan, dapat memperkuat pemahaman siswa terhadap pentingnya moderasi dalam kehidupan beragama.

Dengan demikian, pendidikan moderasi beragama dalam konteks sekolah merupakan upaya yang sangat penting dalam membangun generasi yang memiliki sikap toleran, inklusif, dan menghargai keberagaman. Melalui integrasi nilai-nilai moderasi dalam kurikulum, kegiatan sekolah, pelatihan guru, serta dukungan dari orang tua dan masyarakat, diharapkan siswa dapat tumbuh menjadi individu yang tidak hanya taat beragama, tetapi juga mampu berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang damai dan harmonis.

Konsep Moderasi Beragama dan Relevansinya bagi Kehidupan Siswa

Moderasi beragama merupakan suatu konsep yang menekankan sikap beragama yang seimbang, tidak ekstrem, dan menghormati keberagaman. Dalam konteks pendidikan, moderasi beragama menjadi prinsip penting dalam membentuk karakter siswa agar memiliki sikap yang inklusif serta mampu berinteraksi dengan individu yang memiliki keyakinan berbeda. Konsep ini bukan berarti mencampuradukkan ajaran agama, tetapi lebih kepada bagaimana seseorang memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dengan cara yang toleran dan tidak fanatik.

Relevansi moderasi beragama bagi kehidupan siswa sangat besar, terutama dalam lingkungan sekolah yang sering kali menjadi tempat bertemunya individu dari berbagai latar belakang agama dan budaya. Dengan memahami konsep moderasi beragama, siswa akan lebih mampu menerima perbedaan dan menjalin hubungan sosial yang harmonis dengan teman-teman mereka. Hal ini penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, di mana semua siswa merasa dihargai dan tidak mengalami diskriminasi berdasarkan agama yang dianutnya.

Salah satu relevansi utama dari moderasi beragama dalam kehidupan siswa adalah mencegah munculnya sikap intoleransi di lingkungan sekolah. Ketidakseimbangan dalam pemahaman agama dapat menyebabkan siswa menganggap keyakinannya sebagai satu-satunya kebenaran mutlak dan merendahkan orang lain. Sikap seperti ini dapat menimbulkan konflik dan perpecahan di antara siswa. Dengan adanya pendidikan moderasi beragama, siswa diajarkan untuk memahami bahwa setiap agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan, dan perbedaan adalah sesuatu yang wajar dalam kehidupan manusia.

Moderasi beragama juga berperan dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan analitis siswa terhadap informasi yang mereka terima, terutama di era digital. Saat ini, banyak sekali informasi keagamaan yang tersebar melalui media sosial, baik yang bersifat positif maupun negatif. Tanpa pemahaman yang moderat, siswa bisa saja terpengaruh oleh propaganda ekstremisme yang menyesatkan. Oleh karena itu, dengan pendidikan moderasi beragama, siswa dapat lebih selektif dalam menyaring informasi dan tidak mudah terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang bertentangan dengan prinsip toleransi dan kedamaian.

Dalam kehidupan sehari-hari, moderasi beragama juga membantu siswa dalam membangun keterampilan sosial yang baik. Ketika siswa terbiasa dengan sikap moderat dalam beragama, mereka akan lebih mudah berkomunikasi dengan teman-temannya yang berbeda latar belakang agama tanpa rasa curiga atau prasangka. Hal ini akan menciptakan suasana pergaulan yang lebih harmonis dan penuh rasa saling menghormati. Dengan demikian, mereka akan memiliki jaringan sosial yang lebih luas dan beragam, yang dapat memberikan manfaat besar bagi perkembangan pribadi dan akademik mereka.

Selain itu, konsep moderasi beragama juga relevan dalam membentuk karakter kepemimpinan siswa. Seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu mengayomi dan menghormati semua pihak tanpa membeda-bedakan berdasarkan agama atau latar belakang lainnya. Dengan memahami nilai-nilai moderasi, siswa yang kelak menjadi pemimpin di masa depan akan lebih mampu mengambil keputusan yang adil dan tidak memihak kelompok tertentu secara berlebihan. Hal ini sangat penting dalam membangun masyarakat yang harmonis dan berkeadilan.

Penerapan moderasi beragama dalam kehidupan siswa juga berkaitan erat dengan nilai-nilai kebangsaan. Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila, yang menjunjung tinggi persatuan dalam keberagaman. Dengan menanamkan konsep moderasi beragama sejak dini, siswa akan lebih memahami bahwa perbedaan agama bukanlah halangan untuk bersatu sebagai bangsa. Mereka akan lebih menghargai prinsip Bhinneka Tunggal Ika dan berkontribusi dalam menjaga keharmonisan sosial di lingkungan mereka.

Selain dalam konteks akademik dan sosial, moderasi beragama juga berpengaruh terhadap kesehatan mental siswa. Sikap ekstrem dalam beragama, baik yang terlalu kaku maupun yang terlalu bebas, dapat menyebabkan tekanan psikologis bagi siswa. Dengan memahami konsep moderasi, siswa akan lebih mampu menjalankan ajaran agamanya dengan penuh kesadaran dan kedamaian, tanpa merasa tertekan oleh doktrin yang menyesatkan atau lingkungan yang kurang mendukung. Sikap moderat juga membantu siswa untuk lebih terbuka dalam berdiskusi dan mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi.

Dengan demikian, konsep moderasi beragama memiliki relevansi yang sangat besar bagi kehidupan siswa, baik dalam aspek akademik, sosial, maupun mental. Pendidikan yang menanamkan nilai-nilai moderasi beragama akan membantu siswa menjadi individu yang lebih toleran, kritis, dan siap menghadapi tantangan dunia yang semakin beragam. Oleh karena itu, peran sekolah, guru, dan orang tua sangat penting dalam memastikan bahwa nilai-nilai moderasi beragama dapat terinternalisasi dengan baik dalam diri setiap siswa, sehingga mereka dapat tumbuh menjadi generasi yang membawa perdamaian dan persatuan dalam kehidupan bermasyarakat.

Hubungan antara Bimbingan Konseling dengan Pendidikan Karakter

Bimbingan dan konseling (BK) serta pendidikan karakter memiliki hubungan yang erat dalam membentuk kepribadian siswa yang berintegritas, beretika, dan memiliki moral yang baik. BK berperan sebagai proses pendampingan yang membantu siswa dalam memahami, menerima, dan mengembangkan potensi diri mereka, termasuk dalam hal pembentukan karakter. Sementara itu, pendidikan karakter bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai moral dan etika yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, BK menjadi salah satu instrumen penting dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah.

Pendidikan karakter memerlukan pendekatan yang sistematis dan berkelanjutan agar nilai-nilai yang diajarkan dapat benar-benar terinternalisasi dalam diri siswa. Dalam hal ini, layanan BK berfungsi untuk memberikan bimbingan kepada siswa dalam memahami nilai-nilai karakter, seperti kejujuran, disiplin, tanggung jawab, toleransi, dan empati. Melalui berbagai teknik konseling, guru BK dapat membantu siswa dalam mengatasi hambatan psikologis atau sosial yang mungkin menghalangi mereka dalam mengembangkan karakter positif.

Bimbingan konseling juga memiliki peran dalam membantu siswa menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan pembentukan karakter. Misalnya, ketika seorang siswa mengalami kesulitan dalam mengontrol emosi atau menghadapi tekanan dari lingkungan sosial, guru BK dapat memberikan konseling untuk membantu mereka mengelola stres dan mengembangkan keterampilan pengendalian diri. Dengan adanya dukungan dari BK, siswa lebih mampu membuat keputusan yang bijaksana dan bertanggung jawab dalam menghadapi berbagai situasi.

Selain itu, layanan bimbingan konseling mendukung pendidikan karakter dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi nilai-nilai moral dalam kehidupan nyata. Melalui bimbingan kelompok atau diskusi reflektif, siswa dapat belajar dari pengalaman teman-teman mereka dan memahami konsekuensi dari berbagai tindakan yang dilakukan. Dengan cara ini, siswa tidak hanya memahami konsep nilai-nilai karakter secara teoritis, tetapi juga dapat melihat penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Hubungan antara BK dan pendidikan karakter juga terlihat dalam upaya membangun budaya sekolah yang positif. Guru BK bekerja sama dengan guru mata pelajaran dan pihak sekolah untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan karakter siswa. Misalnya, dengan menerapkan program-program seperti mentoring, konseling teman sebaya, atau kegiatan sosial, BK dapat membantu menanamkan nilai-nilai seperti kepedulian, kerja sama, dan kepemimpinan di kalangan siswa.

Pendidikan karakter melalui bimbingan konseling juga membantu siswa dalam memahami nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan. Dalam konteks Indonesia yang multikultural, pendidikan karakter harus diarahkan pada penguatan nilai-nilai kebhinekaan dan toleransi. Guru BK dapat memberikan pendampingan kepada siswa agar mereka mampu menghormati perbedaan budaya dan agama serta menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dalam kehidupan bermasyarakat.

Bimbingan konseling juga berperan dalam mengatasi permasalahan perilaku siswa yang bertentangan dengan nilai-nilai karakter. Misalnya, ketika seorang siswa terlibat dalam tindakan bullying, mencontek, atau kurang disiplin, guru BK dapat melakukan intervensi dengan memberikan layanan konseling yang bersifat edukatif. Dengan pendekatan yang lebih personal dan berbasis empati, siswa dapat menyadari kesalahan mereka dan diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.

Pendidikan karakter yang dibantu oleh bimbingan konseling tidak hanya bermanfaat bagi siswa selama di sekolah, tetapi juga memiliki dampak jangka panjang dalam kehidupan mereka. Siswa yang memiliki karakter yang baik akan lebih siap dalam menghadapi tantangan di dunia kerja maupun dalam kehidupan sosial. Mereka akan lebih mudah beradaptasi dengan berbagai situasi, memiliki kemampuan untuk membangun hubungan yang sehat dengan orang lain, serta menjadi individu yang bertanggung jawab dalam masyarakat.

Dengan demikian, hubungan antara bimbingan konseling dan pendidikan karakter sangatlah kuat dan saling melengkapi. BK bukan hanya sekadar layanan yang membantu siswa mengatasi permasalahan akademik dan emosional, tetapi juga merupakan bagian integral dalam pembentukan karakter yang baik. Oleh karena itu, sekolah perlu mengoptimalkan layanan BK sebagai sarana untuk mendukung pendidikan karakter secara lebih efektif, sehingga dapat mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki moralitas yang tinggi dan sikap yang berintegritas dalam kehidupan sehari-hari.

STRATEGI KONSELING UNTUK MENUMBUHKAN SIKAP TOLERANSI

Toleransi merupakan salah satu nilai fundamental yang harus dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, terutama di lingkungan pendidikan. Dalam konteks sekolah, konseling memiliki peran penting dalam menumbuhkan sikap toleransi pada siswa agar mereka mampu menghargai perbedaan dan hidup berdampingan secara harmonis dengan individu yang memiliki latar belakang berbeda. Melalui pendekatan yang tepat, layanan bimbingan dan konseling (BK) dapat membantu siswa memahami pentingnya sikap saling menghormati dan bekerja sama dalam keberagaman.

Salah satu strategi utama dalam konseling untuk menumbuhkan toleransi adalah konseling individu, di mana guru BK memberikan bimbingan secara personal kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam menerima perbedaan. Dalam sesi ini, guru BK dapat menggali lebih dalam faktor-faktor yang menyebabkan seorang siswa memiliki sikap intoleran, seperti pengaruh lingkungan, kurangnya pemahaman, atau pengalaman negatif sebelumnya. Dengan pendekatan yang empatik, siswa dapat dibantu untuk merefleksikan sikapnya dan belajar memahami sudut pandang orang lain.

Selain konseling individu, konseling kelompok juga menjadi strategi efektif dalam menanamkan nilai-nilai toleransi. Dalam konseling kelompok, siswa yang memiliki beragam latar belakang dapat berdiskusi dan berbagi pengalaman mengenai perbedaan yang mereka hadapi di lingkungan sekolah. Melalui interaksi ini, siswa akan menyadari bahwa perbedaan bukanlah sesuatu yang menghambat hubungan sosial, melainkan sebuah kekayaan yang dapat memperkaya perspektif dan pemahaman mereka.

Strategi lainnya adalah diskusi berbasis kasus, di mana siswa diberikan studi kasus tentang situasi intoleransi yang terjadi di masyarakat. Mereka diminta untuk menganalisis kasus tersebut dan memberikan solusi yang mengedepankan nilai-nilai toleransi. Dengan metode ini, siswa akan belajar berpikir kritis terhadap isu-isu keberagaman serta memahami dampak dari sikap intoleransi terhadap kehidupan sosial.

Role-playing (bermain peran) juga dapat digunakan dalam konseling untuk menanamkan nilai toleransi. Dalam metode ini, siswa diminta untuk memerankan situasi yang menggambarkan konflik akibat perbedaan dan bagaimana cara menyelesaikannya dengan sikap toleran. Melalui pengalaman langsung ini, mereka dapat lebih memahami bagaimana cara menghadapi perbedaan dengan cara yang bijaksana dan penuh rasa hormat.

Strategi lain yang dapat diterapkan dalam konseling adalah pendekatan berbasis pengalaman langsung, seperti kunjungan ke tempat-tempat ibadah yang berbeda, proyek kolaboratif lintas agama, atau kegiatan sosial yang melibatkan siswa dari latar belakang yang berbeda. Dengan pengalaman ini, siswa tidak hanya memahami konsep toleransi secara teoritis, tetapi juga merasakannya dalam interaksi nyata dengan orang lain.

Dalam konteks digital, konseling juga dapat memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk menumbuhkan sikap toleransi. Guru BK dapat menyediakan konten edukatif dalam bentuk video, artikel, atau forum diskusi online yang membahas pentingnya toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara ini, siswa dapat mengakses informasi kapan saja dan lebih mudah memahami isu-isu keberagaman dengan cara yang menarik.

Selain itu, pendekatan berbasis refleksi diri juga merupakan strategi yang efektif dalam konseling untuk menumbuhkan toleransi. Guru BK dapat meminta siswa untuk menuliskan pengalaman mereka dalam berinteraksi dengan teman yang berbeda agama, suku, atau budaya, serta bagaimana perasaan mereka dalam situasi tersebut. Dengan cara ini, siswa dapat merenungkan sikap mereka sendiri dan menyadari pentingnya menghormati perbedaan.

Kolaborasi dengan orang tua dan masyarakat juga menjadi faktor penting dalam menumbuhkan sikap toleransi melalui konseling. Guru BK dapat mengadakan seminar atau diskusi dengan orang tua agar mereka juga mendukung nilai-nilai toleransi di rumah. Selain itu, keterlibatan komunitas dalam program-program sekolah yang menanamkan keberagaman juga dapat memperkuat pemahaman siswa tentang pentingnya sikap saling menghargai.

Dengan menerapkan berbagai strategi di atas, konseling dapat menjadi alat yang efektif dalam membentuk sikap toleransi pada siswa. Tidak hanya membantu mereka dalam memahami konsep keberagaman, tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan sosial yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat yang majemuk. Dengan demikian, sekolah dapat berkontribusi dalam menciptakan generasi yang lebih terbuka, inklusif, dan mampu menjaga perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat.

Pendekatan konseling kelompok dan individu

Pendekatan Konseling Kelompok

Konseling kelompok adalah salah satu metode dalam bimbingan dan konseling yang melibatkan lebih dari satu individu dalam suatu sesi. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk berbagi pengalaman, saling mendukung, dan belajar dari pengalaman satu sama lain. Dalam konteks pendidikan, konseling kelompok dapat menjadi sarana efektif untuk menumbuhkan sikap toleransi, meningkatkan keterampilan sosial, serta membantu siswa dalam mengatasi berbagai permasalahan yang mereka hadapi.

Salah satu keuntungan dari konseling kelompok adalah adanya dukungan sosial yang kuat di antara anggota kelompok. Siswa yang mengalami permasalahan tertentu dapat merasa lebih nyaman karena mengetahui bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi kesulitan. Melalui interaksi dalam kelompok, mereka dapat memperoleh perspektif baru dan solusi yang mungkin belum mereka pikirkan sebelumnya.

Dalam konteks penanaman toleransi, konseling kelompok memungkinkan siswa untuk berinteraksi dengan teman-teman yang memiliki latar belakang berbeda. Dengan mendengarkan pengalaman satu sama lain, mereka dapat memahami bahwa setiap individu memiliki perbedaan keyakinan, budaya, dan nilai-nilai yang patut dihargai. Melalui diskusi yang dipandu oleh konselor, siswa diajak untuk merenungkan pentingnya sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan.

Metode yang sering digunakan dalam konseling kelompok adalah diskusi berbasis kasus, di mana siswa diberikan suatu permasalahan sosial atau kasus nyata yang berkaitan dengan intoleransi atau konflik antarindividu. Dengan membahas kasus tersebut, mereka akan belajar bagaimana cara menghadapi perbedaan secara bijaksana serta memahami dampak dari sikap intoleran terhadap kehidupan sosial.

Selain itu, konseling kelompok juga dapat menggunakan teknik role-playing (bermain peran) untuk mensimulasikan situasi nyata yang mungkin mereka hadapi di lingkungan sekolah atau masyarakat. Dengan cara ini, siswa dapat belajar secara langsung bagaimana merespons perbedaan dengan sikap yang lebih terbuka dan penuh toleransi.

Penerapan konseling kelompok dalam lingkungan sekolah membutuhkan perencanaan yang matang dari konselor. Konselor harus memastikan bahwa setiap anggota kelompok merasa nyaman untuk berbicara dan berpartisipasi dalam diskusi. Selain itu, penting bagi konselor untuk menciptakan suasana yang aman dan kondusif agar siswa dapat berbagi pengalaman tanpa takut dihakimi atau diperlakukan tidak adil.

Dengan berbagai manfaat yang ditawarkannya, konseling kelompok menjadi salah satu strategi yang sangat efektif dalam membangun karakter siswa, terutama dalam hal toleransi dan empati. Melalui interaksi dan refleksi bersama, siswa dapat mengembangkan keterampilan sosial yang lebih baik serta meningkatkan pemahaman mereka tentang pentingnya hidup berdampingan dalam keberagaman.

Pendekatan Konseling Individu

Konseling individu adalah bentuk layanan bimbingan dan konseling yang diberikan secara personal kepada seorang siswa. Pendekatan ini bertujuan untuk membantu siswa dalam memahami, mengatasi, dan mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi, baik yang bersifat akademik, sosial, emosional, maupun pribadi. Dalam konteks pendidikan karakter dan toleransi, konseling individu dapat menjadi alat yang efektif untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam menerima perbedaan atau menghadapi konflik dengan teman-temannya.

Salah satu keunggulan konseling individu adalah pendekatan yang lebih personal dan terfokus. Dalam sesi konseling ini, konselor dapat memberikan perhatian penuh kepada siswa serta menggali lebih dalam akar permasalahan yang dihadapinya. Hal ini memungkinkan adanya komunikasi yang lebih terbuka dan mendalam, sehingga konselor dapat memahami perspektif siswa dengan lebih baik.

Konseling individu sangat bermanfaat bagi siswa yang mengalami hambatan dalam menumbuhkan sikap toleransi, seperti mereka yang memiliki prasangka negatif terhadap kelompok tertentu atau pernah mengalami diskriminasi yang membuat mereka sulit untuk menerima perbedaan. Melalui pendekatan yang empatik dan non-menghakimi, konselor dapat membantu siswa untuk merefleksikan pandangannya dan memahami bahwa keberagaman adalah bagian alami dari kehidupan manusia.

Salah satu teknik yang sering digunakan dalam konseling individu adalah teknik refleksi diri, di mana siswa diajak untuk mengevaluasi kembali pandangan, sikap, dan tindakan mereka terhadap individu atau kelompok yang berbeda. Dengan teknik ini, siswa dapat menyadari bahwa prasangka dan stereotip yang mereka miliki mungkin tidak berdasar dan perlu diubah agar mereka dapat berinteraksi dengan lebih positif.

Selain itu, konseling individu juga dapat menggunakan pendekatan cognitive restructuring (restrukturisasi kognitif), yaitu membantu siswa menggantikan pola pikir yang negatif atau ekstrem dengan perspektif yang lebih rasional dan toleran. Misalnya, jika seorang siswa memiliki pemikiran bahwa kelompok tertentu selalu berperilaku buruk, konselor dapat membantu mereka melihat fakta lain yang membuktikan bahwa generalisasi tersebut tidak benar.

Konseling individu juga dapat menjadi sarana bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan dalam mengelola konflik. Sering kali, konflik terjadi karena kurangnya komunikasi yang efektif atau ketidakmampuan dalam mengendalikan emosi. Dalam sesi konseling, siswa dapat diberikan strategi komunikasi asertif serta teknik mengelola emosi agar mereka lebih siap dalam menghadapi perbedaan dengan cara yang lebih dewasa dan bijaksana.

Dengan pendekatan yang lebih intim dan mendalam, konseling individu menjadi strategi yang sangat efektif dalam membantu siswa membangun karakter yang lebih inklusif dan toleran. Dengan dukungan konselor, siswa dapat lebih memahami pentingnya menghargai perbedaan dan mengembangkan sikap yang lebih terbuka dalam menjalani kehidupan sosial mereka.

Penggunaan teknik role-playing dan diskusi terbimbing

Penggunaan Teknik Role-Playing dalam Konseling

Teknik role-playing (bermain peran) merupakan salah satu metode dalam bimbingan dan konseling yang memungkinkan siswa untuk mensimulasikan situasi sosial tertentu dan berlatih bagaimana mereka seharusnya bertindak atau merespons dalam situasi tersebut. Dalam konteks pendidikan dan pengembangan karakter, teknik ini sangat efektif untuk membantu siswa memahami sudut pandang orang lain, meningkatkan keterampilan komunikasi, serta menumbuhkan sikap toleransi dalam interaksi sosial.

Salah satu keunggulan utama dari role-playing adalah kemampuannya untuk membantu siswa mengalami situasi secara langsung tanpa harus menghadapi konsekuensi nyata dari tindakan mereka. Misalnya, dalam upaya menanamkan nilai toleransi, guru BK dapat menciptakan skenario di mana siswa harus memerankan individu dari latar belakang budaya atau agama yang berbeda. Dengan cara ini, mereka dapat merasakan sendiri bagaimana rasanya berada dalam posisi orang lain dan memahami tantangan yang dihadapi oleh kelompok yang berbeda dari mereka.

Teknik role-playing juga dapat digunakan untuk mengatasi konflik interpersonal di antara siswa. Misalnya, jika terjadi konflik karena prasangka atau stereotip negatif, konselor dapat meminta siswa yang berseteru untuk bertukar peran dan mencoba memahami perspektif lawannya. Dengan demikian, mereka dapat belajar bahwa prasangka sering kali didasarkan pada ketidaktahuan dan bahwa memahami orang lain dapat membantu mengurangi ketegangan serta meningkatkan rasa saling menghormati.

Selain itu, dalam konseling kelompok, role-playing dapat menjadi metode yang menarik untuk melatih keterampilan sosial dan komunikasi. Siswa dapat diberi skenario tentang bagaimana mereka harus menanggapi perbedaan pendapat, menyelesaikan konflik secara damai, atau berbicara dengan seseorang yang memiliki latar belakang berbeda. Dengan latihan ini, mereka akan lebih siap untuk menghadapi situasi serupa dalam kehidupan nyata.

Penting bagi guru BK untuk memfasilitasi refleksi setelah sesi role-playing. Setelah permainan peran selesai, siswa harus didorong untuk mendiskusikan bagaimana perasaan mereka selama memainkan peran tersebut, apa yang mereka pelajari dari pengalaman itu, dan bagaimana hal itu dapat diterapkan dalam kehidupan nyata mereka. Proses refleksi ini membantu siswa menginternalisasi nilai-nilai yang ingin ditanamkan melalui kegiatan tersebut.

Agar role-playing berjalan efektif, guru BK perlu membuat skenario yang relevan dengan realitas siswa dan memastikan bahwa semua peserta merasa nyaman dalam peran yang mereka mainkan. Skenario yang terlalu jauh dari pengalaman siswa mungkin sulit dipahami, sementara skenario yang terlalu kontroversial atau emosional bisa membuat siswa merasa tidak nyaman. Oleh karena itu, pemilihan skenario harus dilakukan dengan cermat agar tetap edukatif dan membangun pemahaman yang lebih baik tentang toleransi dan keberagaman.

Dengan berbagai manfaat yang ditawarkannya, role-playing menjadi salah satu teknik yang sangat berguna dalam bimbingan dan konseling, terutama dalam mengembangkan empati, meningkatkan pemahaman terhadap perbedaan, dan membantu siswa membangun keterampilan sosial yang positif. Jika diterapkan dengan baik, teknik ini dapat menjadi alat yang ampuh dalam membentuk karakter siswa yang lebih toleran dan inklusif.

Penggunaan Teknik Diskusi Terbimbing dalam Konseling

Teknik diskusi terbimbing adalah metode dalam bimbingan dan konseling yang melibatkan proses eksplorasi ide dan pemikiran secara terstruktur di bawah arahan seorang konselor atau fasilitator. Diskusi ini dirancang untuk membantu siswa mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang suatu topik, meningkatkan keterampilan berpikir kritis, serta menanamkan nilai-nilai tertentu seperti toleransi, empati, dan rasa hormat terhadap perbedaan.

Salah satu keunggulan diskusi terbimbing adalah kemampuannya untuk membantu siswa mengklarifikasi pemahaman mereka terhadap suatu isu. Dalam konteks pendidikan karakter dan toleransi, konselor dapat memandu diskusi tentang pentingnya menghormati keberagaman, dampak dari prasangka sosial, atau cara-cara menghadapi konflik secara damai. Dengan mendiskusikan topik-topik ini secara mendalam, siswa dapat memperoleh perspektif baru yang membantu mereka mengembangkan sikap yang lebih terbuka.

Diskusi terbimbing juga dapat digunakan untuk melatih siswa dalam mengungkapkan pendapat mereka dengan cara yang sopan dan konstruktif. Dalam lingkungan yang aman dan terstruktur, siswa diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka tanpa takut dihakimi. Hal ini sangat penting dalam membentuk budaya komunikasi yang sehat, di mana perbedaan pendapat tidak dianggap sebagai ancaman, tetapi sebagai bagian dari proses belajar dan berkembang.

Salah satu metode yang sering digunakan dalam diskusi terbimbing adalah analisis kasus. Konselor dapat menyajikan sebuah skenario atau kasus nyata yang melibatkan konflik atau ketegangan sosial akibat perbedaan budaya, agama, atau pandangan hidup. Siswa kemudian diminta untuk menganalisis situasi tersebut, mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap konflik, serta mencari solusi yang mengedepankan sikap toleransi dan harmoni sosial.

Agar diskusi terbimbing berjalan dengan efektif, konselor harus berperan sebagai fasilitator yang netral dan memastikan bahwa semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara. Konselor juga perlu menjaga agar diskusi tetap fokus pada tujuan pembelajaran dan tidak berubah menjadi ajang perdebatan yang tidak produktif. Oleh karena itu, penggunaan pertanyaan terbuka yang mendorong refleksi dan pemikiran kritis sangat disarankan dalam teknik ini.

Setelah diskusi selesai, penting bagi konselor untuk melakukan sesi refleksi di mana siswa diajak untuk merangkum apa yang mereka pelajari dari diskusi tersebut dan bagaimana mereka dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Refleksi ini membantu siswa menginternalisasi nilai-nilai yang dibahas dan memberikan mereka pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya menghargai perbedaan.

Dengan penerapan yang baik, diskusi terbimbing dapat menjadi alat yang sangat efektif dalam meningkatkan kesadaran sosial siswa, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, serta menumbuhkan sikap toleransi dan empati terhadap orang lain. Teknik ini tidak hanya membantu siswa memahami teori tentang keberagaman dan nilai-nilai sosial, tetapi juga melatih mereka untuk menerapkannya dalam kehidupan nyata melalui komunikasi yang lebih inklusif dan penuh rasa hormat.

IMPLEMENTASI DI SEKOLAH DAN TANTANGANNYA

Bimbingan dan konseling (BK) memiliki peran strategis dalam menanamkan nilai-nilai toleransi di lingkungan sekolah. Implementasi BK dalam menumbuhkan sikap toleransi dapat dilakukan melalui berbagai program, seperti konseling individu, konseling kelompok, diskusi terbimbing, dan teknik role-playing. Program-program ini bertujuan untuk membantu siswa memahami pentingnya keberagaman, meningkatkan empati, serta mengembangkan keterampilan komunikasi yang mendukung interaksi sosial yang harmonis.

Agar nilai toleransi dapat tertanam dengan baik, sekolah perlu mengintegrasikan pendidikan toleransi dalam kurikulum dan program bimbingan konseling. Mata pelajaran seperti Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Ilmu Sosial dapat disinergikan dengan kegiatan BK untuk menanamkan sikap menghargai perbedaan. Selain itu, sekolah juga dapat menyelenggarakan program seperti “Hari Keberagaman”, seminar toleransi, dan proyek kolaboratif antar siswa dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda.

Dalam implementasinya, konseling individu diberikan kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam menerima perbedaan atau memiliki prasangka tertentu terhadap kelompok lain. Konselor dapat membantu siswa merefleksikan sikap dan pemikirannya melalui pendekatan empatik dan restrukturisasi kognitif. Sementara itu, konseling kelompok digunakan untuk memberikan pengalaman belajar secara bersama-sama, sehingga siswa dapat berbagi perspektif dan membangun pemahaman yang lebih luas tentang pentingnya hidup berdampingan dalam keberagaman.

Diskusi terbimbing menjadi salah satu teknik efektif dalam menanamkan nilai toleransi. Melalui sesi diskusi yang terarah, siswa diajak untuk berpikir kritis tentang isu-isu keberagaman dan bagaimana menghadapinya dengan bijak. Sementara itu, role-playing memungkinkan siswa untuk merasakan bagaimana berada dalam posisi orang lain yang berbeda latar belakangnya. Dengan cara ini, mereka dapat mengembangkan empati dan keterampilan sosial yang diperlukan untuk berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang.

Implementasi pendidikan toleransi melalui bimbingan konseling tidak hanya menjadi tanggung jawab konselor sekolah, tetapi juga membutuhkan dukungan dari guru, orang tua, dan masyarakat. Guru di semua mata pelajaran dapat menyisipkan nilai-nilai toleransi dalam proses pembelajaran. Orang tua juga perlu diajak berperan aktif dalam membentuk pola pikir anak agar lebih terbuka terhadap perbedaan. Sementara itu, sekolah dapat menjalin kerja sama dengan komunitas dan organisasi sosial untuk memberikan pengalaman langsung kepada siswa tentang pentingnya keberagaman.

Salah satu tantangan utama dalam menumbuhkan toleransi di sekolah adalah masih adanya prasangka dan stereotip negatif di antara siswa. Beberapa siswa mungkin telah menerima pengaruh dari lingkungan keluarga atau sosial mereka yang memiliki pandangan eksklusif terhadap kelompok lain. Akibatnya, mereka sulit menerima perbedaan dan cenderung mempertahankan pola pikir yang kurang inklusif. Dalam situasi ini, peran konselor menjadi sangat penting untuk membimbing siswa agar lebih terbuka dan memahami bahwa perbedaan adalah bagian dari kehidupan sosial yang harus dihargai.

Banyak sekolah yang masih menghadapi keterbatasan dalam hal sumber daya dan tenaga profesional dalam bidang bimbingan konseling. Tidak semua sekolah memiliki konselor yang terlatih dalam menangani isu keberagaman dan toleransi. Selain itu, dukungan dari pihak sekolah dan pemangku kebijakan terkadang masih minim, sehingga program-program toleransi yang dirancang oleh konselor kurang mendapat perhatian yang optimal. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan yang lebih kuat dari pihak sekolah untuk memperkuat peran BK dalam membangun karakter siswa yang inklusif.

Perkembangan teknologi dan media sosial juga memberikan tantangan tersendiri dalam menanamkan nilai toleransi di kalangan siswa. Paparan terhadap konten yang mengandung ujaran kebencian, berita hoaks, dan propaganda intoleransi dapat mempengaruhi cara berpikir dan sikap siswa terhadap perbedaan. Oleh karena itu, bimbingan konseling perlu memasukkan literasi digital sebagai bagian dari pendidikan toleransi, agar siswa mampu memilah informasi yang benar dan tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang bersifat eksklusif atau diskriminatif.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, implementasi bimbingan konseling dalam menumbuhkan sikap toleransi di sekolah tetap menjadi hal yang penting dan harus terus dikembangkan. Dengan strategi yang tepat, kolaborasi yang kuat antara berbagai pihak, serta pendekatan yang kreatif dan inovatif, sekolah dapat menjadi tempat yang kondusif bagi tumbuhnya generasi yang lebih toleran, inklusif, dan mampu hidup dalam keberagaman secara harmonis.

Hambatan dalam Penerapan Bimbingan Konseling untuk Moderasi Beragama

Beberapa hambatan dalam penerapan bimbingan konseling untuk moderasi beragama, antara lain pertama, Kurangnya Pemahaman tentang Moderasi Beragama di Kalangan Siswa dan Guru. Salah satu hambatan utama dalam penerapan bimbingan konseling untuk moderasi beragama adalah kurangnya pemahaman yang mendalam tentang konsep ini di kalangan siswa maupun tenaga pendidik. Beberapa guru dan siswa masih menganggap bahwa keberagaman hanya sebatas pada toleransi formal tanpa memahami esensi dari sikap moderat dalam beragama. Akibatnya, pendekatan yang digunakan dalam bimbingan konseling bisa menjadi kurang efektif karena tidak berakar pada pemahaman yang kuat tentang moderasi beragama.

Kedua, Pengaruh Lingkungan dan Budaya yang Kurang Mendukung. Lingkungan sosial dan budaya di sekitar siswa memiliki pengaruh yang besar terhadap cara mereka memahami keberagaman dan toleransi. Jika siswa tumbuh dalam lingkungan yang cenderung eksklusif atau memiliki pandangan sempit terhadap agama lain, maka mereka mungkin lebih sulit menerima nilai-nilai moderasi beragama. Hal ini menjadi tantangan bagi konselor dalam mengubah pola pikir dan sikap siswa yang telah tertanam sejak kecil.

Ketiga, Keterbatasan Sumber Daya dan Program Konseling. Tidak semua sekolah memiliki tenaga konselor yang terlatih secara khusus dalam bidang moderasi beragama. Kurangnya pelatihan bagi guru BK dalam menangani isu-isu keberagaman dan toleransi membuat program bimbingan konseling kurang maksimal. Selain itu, keterbatasan waktu dan kurangnya program konseling yang spesifik tentang moderasi beragama juga menjadi kendala dalam implementasinya di sekolah.

Keempat, Resistensi dari Sebagian Pihak. Dalam beberapa kasus, upaya untuk menanamkan moderasi beragama dalam bimbingan konseling bisa menghadapi resistensi dari pihak tertentu, baik dari siswa, orang tua, maupun komunitas sekitar. Ada kekhawatiran bahwa pendidikan moderasi beragama dapat bertentangan dengan keyakinan atau nilai-nilai yang mereka anut. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan dalam konseling harus dilakukan dengan bijak agar tidak menimbulkan penolakan atau kesalahpahaman.

Kelima, Pengaruh Media Sosial dan Informasi yang Tidak Terfilter. Di era digital, siswa sangat mudah terpapar informasi dari berbagai sumber, termasuk konten yang mengandung ujaran kebencian atau ajaran ekstrem. Jika tidak memiliki kemampuan literasi digital yang baik, siswa bisa saja menerima informasi tersebut tanpa melakukan verifikasi, sehingga dapat membentuk sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai moderasi beragama. Konselor harus memiliki strategi yang tepat untuk membantu siswa memilah informasi serta membangun kesadaran kritis dalam menghadapi narasi intoleran yang berkembang di media sosial.

Mengatasi hambatan-hambatan ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif, mulai dari peningkatan kapasitas konselor, kolaborasi dengan berbagai pihak, hingga pemanfaatan teknologi untuk mendukung pendidikan moderasi beragama di sekolah. Dengan strategi yang tepat, bimbingan konseling dapat menjadi sarana efektif dalam membentuk generasi yang moderat, inklusif, dan siap hidup dalam keberagaman.

Rekomendasi Kebijakan bagi Sekolah dan Guru BK

Untuk mengoptimalkan peran Bimbingan dan Konseling (BK) dalam menanamkan nilai moderasi beragama di sekolah, diperlukan kebijakan yang jelas dan sistematis. Sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai moderasi beragama ke dalam program bimbingan konseling secara formal. Ini bisa dilakukan dengan memasukkan tema keberagaman, toleransi, dan inklusivitas dalam rencana tahunan layanan BK. Guru BK juga dapat menyusun modul khusus yang membahas isu-isu keberagaman secara mendalam, termasuk studi kasus dan strategi penyelesaian konflik yang berbasis nilai-nilai moderasi.

Agar guru BK mampu memberikan bimbingan yang efektif terkait moderasi beragama, sekolah perlu menyediakan pelatihan secara berkala. Pelatihan ini dapat mencakup teknik konseling untuk menangani perbedaan agama, metode pendekatan berbasis budaya, serta strategi mengatasi konflik sosial akibat perbedaan keyakinan. Selain itu, guru BK juga perlu dibekali dengan keterampilan literasi digital agar dapat membantu siswa memilah informasi dari media sosial yang sering kali mengandung narasi intoleran.

Sekolah harus memiliki kebijakan yang tegas dalam menjaga lingkungan yang inklusif dan bebas dari diskriminasi berbasis agama. Aturan yang mendukung moderasi beragama, seperti larangan ujaran kebencian dan tindakan diskriminatif, harus diterapkan dengan konsisten. Selain itu, sekolah juga perlu menciptakan ruang dialog yang aman, di mana siswa dapat berbicara dan berbagi pengalaman mereka terkait keberagaman tanpa rasa takut.

Kebijakan sekolah dalam menanamkan nilai moderasi beragama tidak bisa hanya bergantung pada guru BK saja. Diperlukan kerja sama dengan orang tua dan komunitas agar nilai-nilai ini juga diterapkan di lingkungan keluarga dan sosial siswa. Sekolah dapat mengadakan seminar atau lokakarya untuk orang tua guna membahas bagaimana mereka dapat mendukung anak-anak dalam memahami dan menghargai perbedaan agama.

Agar pendidikan moderasi beragama lebih menarik bagi siswa, guru BK dapat menerapkan metode yang lebih interaktif, seperti role-playing, diskusi terbimbing, simulasi konflik, dan studi kasus nyata. Metode ini memungkinkan siswa untuk mengalami dan memahami secara langsung bagaimana moderasi beragama dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pendekatan ini, diharapkan siswa dapat lebih mudah menerima konsep keberagaman dan menerapkannya dalam interaksi sosial mereka.

Selain itu, sekolah perlu menyediakan ruang konseling yang aman bagi siswa untuk berbicara tentang pengalaman dan tantangan mereka terkait keberagaman agama. Guru BK harus memastikan bahwa setiap siswa merasa diterima tanpa diskriminasi, sehingga mereka lebih terbuka untuk berdiskusi dan mencari solusi terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Suasana yang nyaman dan inklusif dalam sesi konseling dapat membantu siswa mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang nilai-nilai moderasi beragama.

Setiap program yang diterapkan harus dievaluasi secara berkala untuk mengukur efektivitasnya dalam meningkatkan sikap toleransi dan moderasi beragama di kalangan siswa. Sekolah dapat melakukan survei atau wawancara dengan siswa untuk mengetahui sejauh mana program BK telah berkontribusi dalam membentuk sikap mereka terhadap keberagaman. Jika diperlukan, kebijakan dan pendekatan yang digunakan dapat diperbarui sesuai dengan kebutuhan siswa dan tantangan yang berkembang.

Dengan menerapkan kebijakan-kebijakan ini, sekolah dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih inklusif, harmonis, dan berorientasi pada nilai-nilai moderasi beragama. Guru BK, sebagai garda terdepan dalam pembentukan karakter siswa, perlu terus meningkatkan kapasitas mereka agar dapat memberikan bimbingan yang efektif dan relevan dalam membangun generasi yang lebih toleran dan menghargai keberagaman.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bimbingan dan konseling memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai moderasi beragama di sekolah. Melalui berbagai strategi seperti konseling individu dan kelompok, diskusi terbimbing, serta teknik role-playing, guru BK dapat membantu siswa memahami pentingnya toleransi dan keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat. Implementasi program bimbingan konseling yang berfokus pada moderasi beragama tidak hanya meningkatkan sikap saling menghormati di antara siswa, tetapi juga membentuk karakter mereka agar lebih inklusif dan terbuka terhadap perbedaan.

Namun, dalam praktiknya, penerapan bimbingan konseling untuk moderasi beragama di sekolah menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya pemahaman siswa dan guru tentang konsep moderasi beragama, pengaruh lingkungan yang kurang mendukung, keterbatasan sumber daya, serta dampak negatif dari media sosial. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih sistematis untuk mendukung program ini, termasuk peningkatan kapasitas guru BK, integrasi nilai-nilai moderasi beragama dalam kurikulum, serta penguatan kolaborasi dengan orang tua dan komunitas.

Implikasi dari temuan ini adalah bahwa sekolah harus lebih proaktif dalam mengembangkan kebijakan yang mendukung pendidikan moderasi beragama. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memberikan dukungan yang lebih besar dalam bentuk pelatihan bagi guru BK, penyediaan sumber daya yang memadai, serta evaluasi berkelanjutan terhadap efektivitas program yang telah diterapkan. Selain itu, orang tua dan masyarakat juga perlu dilibatkan dalam proses pembentukan karakter siswa agar nilai-nilai moderasi tidak hanya diajarkan di sekolah, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan adanya sinergi antara sekolah, guru BK, siswa, orang tua, dan komunitas, diharapkan pendidikan moderasi beragama dapat berjalan secara optimal dan menghasilkan generasi yang lebih toleran, inklusif, serta mampu hidup harmonis dalam keberagaman. Jika diterapkan secara konsisten, pendekatan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan sekolah, tetapi juga berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih damai dan saling menghormati perbedaan agama dan budaya.

Media Sosial dan Moderasi Beragama: Antara Dakwah Digital dan Polarisasi

Penulis: Azzam Nabil Hibrizi dan Ahmad Farhan, Editor: Huda

Media sosial merupakan sebuah manifestasi dari kemajuan teknologi saat ini yang digunakan oleh banyak orang untuk bersosialisasi dan membagikan informasi. Dalam era ini, manusia sedang mengalami fase menjalin komunikasi melalui teknologi digital dan jaringan internet. Orang-orang dapat membagi eksistensinya ke dalam dua dunia, yakni dunia virtual (maya) dan dunia nyata. Di dunia nyata, komunikasi dapat terjadi baik secara virtual maupun secara langsung. Dengan kata lain, kemajuan dalam teknologi informasi dan komunikasi saat ini telah menghilangkan batasan ruang dan waktu yang digunakan manusia untuk berinteraksi satu sama lain. Orang dapat berkomunikasi di antara negara atau wilayah yang berbeda. [1]

Dengan didorong adanya berbagai fitur yang terdapat dalam masing-masing platform media sosial, membuat para penggunanya dapat merasakan sensasi layaknya bersosialisasi secara tatap muka meski dipisahkan oleh jarak yang jauh. Seperti misalnya dalam fitur live streaming yang ada di platform Instagram, Tiktok, dan Youtube.[2] Disamping itu, ada pula fitur upload video seperti reels, short video di youtube, dan fitur upload foto yang dapat dikonsumsi oleh banyak orang.[3] Melalui konten yang dibagikan tersebut, para penonton dapat memberikan komentar secara langsung melalui kolom komentar, serta mereka dapat membagikan konten tersebut ke orang lain secara langsung. Atau dengan adanya fitur like seseorang dapat menunjukan rasa emosionalnya, hingga dapat membentuk sebuah algoritma yang membawa penonton melihat konten serupa dengan apa yang telah ditonton dan disukainya.[4] Dengan fitur-fitur inilah yang menjadi daya tarik banyak orang untuk menggunakan media sosial. Di Indonesia sendiri, pada awal tahun 2025 tercatat sebanyak 143 juta identitas pengguna aktif yang terdaftar di media sosial yang mana angka ini setara dengan 50,2% dari total populasi di Indonesia.[5]

Dengan banyaknya jumlah pengguna media sosial dan jangkauannya, membuat media sosial menjadi sarana dalam memudahkan seseorang di berbagai bidang, termasuk dalam ranah menyebarkan ajaran islam seperti yang dilakukan oleh influencer dakwah saat ini. Dalam hal ini, media sosial yang dimanfaatkan dalam berdakwah tentu menjadi sebuah kesempatan besar bagi para da’i untuk menyebarkan pesan dakwah dengan jangkauan yang lebih luas. Melihat luasnya jangkauan media sosial tersebut, maka seorang influencer dakwah harus memperhatikan metode yang digunakannya dalam berdakwah. Sebab, pengguna media sosial adalah pengguna yang heterogen atau berasal dari berbagai suku, agama dan kepercayaan yang tentunya apabila tidak dilakukan dengan hati-hati maka dapat memantik api perpecahan.[6] Sehingga dakwah yang dilakukan di media sosial sudah seharusnya menggunakan metode dakwah yang arif, bijaksana, tidak diskriminatif atau bahkan provokatif. Hal inilah yang membuat pesan dakwah dapat diterima dengan baik oleh mad’u. Terlebih jika melalui media sosial, dakwah dengan metode tersebut dapat menjadi lebih mudah, dengan tetap memperhatikan norma dan etika dalam menyampaikan pesan dakwah kepada khalayak di media sosial atau yang biasa disebut sebagai netizen.[7]

Disisi lain, penyebaran nilai-nilai moderasi beragama melalui media sosial sebagai framing dalam berdakwah di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia adalah unsur yang penting untuk dilakukan oleh para influencer dakwah. Seperti contohnya adalah dengan membuat konten yang menunjukkan sikap saling menghargai, toleransi antarumat beragama, serta tidak mengandung unsur kekerasan dalam berdakwah.  Konten tersebut dapat berupa artikel, video, infografis, dan diskusi yang mengingatkan masyarakat tentang pentingnya sikap saling menghormati antar umat beragama, serta bagaimana menjalani keyakinan dengan cara yang damai dan tidak ekstrem. Dengan konten semacam ini, masyarakat dapat mengakses berbagai sumber dan pemikiran yang beragam, sehingga memperkaya pengetahuan keagamaan mereka. Sehingga media sosial dapat mengambil peran dalam menyebarkan pesan moderasi beragama yang sesuai dengan pluralitas yang ada di Indonesia.[8]

Pemanfaatan media sosial dalam menyebarkan pesan dakwah yang moderat juga berfungsi untuk menghadapi tantangan yang sangat mungkin muncul, seperti polarisasi opini yang muncul karena perbedaan pendapat.[9] Hal ini dapat disebabkan oleh pesan dakwah yang terjebak di dalam filter bubble yang berkaitan dengan algoritma media sosial di setiap penggunanya.[10] Tantangan lainnya adalah persaingan pesan dakwah yang moderat dengan pesan dakwah yang tidak moderat hingga dapat menyebabkan sulitnya menjangkau auidens dengan paham yang berbeda. Namun tantangan semacam ini dapat ditangani dengan strategi yang efektiv sehingga dapat mencapai jangkauan audiens yang tepat dan akurat.[11] Pentingnya menggunakan strategi yang efektiv adalah, mengingat moderasi beragama bukan hanya penting dalam lingkup internal, namun juga menjadi penting pada skala global. Terlebih sebagai negara yang memiliki populasi muslim terbesar di Asia, Indonesia mempunyai peran penting dalam menyuarakan keutamaan moderasi beragama. Melalui penerapan moderasi beragama yang dapat terus digaungkan di media sosial, Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara lain dalam ranah implementasi ajaran agama yang inklusif, adil, dan toleran.[12]

Dengan demikian, upaya dalam menyebarkan konten dakwah yang mengandung nilai-nilai moderasi beragama di media sosial dapat menjadi langkah preventif terhadap pemahaman atau ideologi yang memicu perpecahan dan menjadi ancaman bagi persatuan bangsa. Atau dengan kata lain, pemanfaatan media sosial yang memiliki jangkauan luas dan interaktivitas, pesan-pesan moderasi beragama dapat disebarluaskan dengan lebih efektif. Hal ini dapat didukung dengan substansi dari konten moderasi beragama yang harus fokus pada pemahaman tentang agama, keberagaman, penghargaan, toleransi, dan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada Al-Quran dan Pancasila. Informasi yang disajikan secara visual maupun audio dapat memikat perhatian pengguna media sosial, mengundang mereka untuk membaca, menonton, dan memahami konten yang disajikan. Dengan demikian, media sosial dapat menciptakan ruang bagi individu dari berbagai latar belakang untuk terlibat dalam diskusi yang konstruktif dan saling menghormati. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana media sosial dapat digunakan secara strategis untuk mendukung upaya moderasi beragama dan mendorong masyarakat menuju harmoni yang lebih besar.[13]

  1. Pengaruh Media Sosial terhadap Pemahaman Keagamaan

Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari yang mana dapat mempengaruhi berbagai aspek, termasuk dalam membentuk opini keagamaan di kalangan penggunanya. Hal inilah yang kemudian dapat memicu efek positif dan negatif tergantung siapa yang menyebarkan konten tersebut dan bagaimana respon dari para penggunanya. Salah satu efek positif media sosial adalah mudahnya orang-orang dalam mengakses konten dakwah melalui berbagai platform media sosial. Dalam hal ini, pengguna media sosial dapat menambah pemahaman dan pengetahuannya tentang ajaran agama. Dalam berbagai penelitian, banyak orang yang mendapatkan informasi keagamaan melalui media sosial dan bahkan meningkatkan semangat mereka dalam menambah pengetahuan agamanya. Disamping itu, dengan adanya fitur yang mendukung seseorang dalam membuat group atau komunitas di platform media sosial, tentu hal ini dapat dimanfaatkan untuk membentuk komunitas atau group keagamaan sebagai sarana dalam berdiskusi dan menjalin interaksi serta memperkuat rasa kebersamaan dan toleransi antarumat beragama.[14]

Disisi lain, media sosial tentu dapat menjadi alat untuk mempromosikan toleransi dan pemahaman agama yang moderat melalui berbagai konten. Melalui penyebaran pesan-pesan positif dan edukatif, media sosial dapat membantu mengurangi stereotip dan prasangka buruk terhadap suatu ajaran atau kepercayaan yang dianut oleh orang lain. [15] Namun, di balik semua manfaatnya, media sosial juga menyimpan potensi bahaya yang perlu diwaspadai. Salah satu kekhawatiran utama adalah penyebaran informasi yang salah dan konten ekstrem. Algoritma media sosial sering kali memprioritaskan konten yang menarik perhatian dan menghasilkan interaksi, tanpa mempertimbangkan keakuratan atau dampaknya. Hal ini dapat menyebabkan orang hanya terpapar pada informasi yang sesuai dengan pandangan mereka sendiri, menciptakan apa yang disebut “filter bubble” di mana pandangan ekstrem dapat berkembang.[16]

Selain itu, media sosial rentan terhadap fenomena “ustaz karbitan” atau tokoh agama, baik yang aktif berdakwah di media sosial maupun yang dakwahnya secara offline lalu disebarkan oleh pengikutnya yang aktif di media sosial, yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan yang mumpuni untuk menyebarkan pesan dakwah. Orang-orang ini sering kali memanfaatkan popularitas media sosial untuk menyebarkan ajaran yang dangkal, menyesatkan, atau bahkan berbahaya, yang dapat membingungkan umat dan merusak citra agama secara keseluruhan.[17] Penting bagi pengguna media sosial untuk bersikap kritis terhadap sumber informasi dan mencari bimbingan dari tokoh agama yang terpercaya dan memiliki reputasi baik.

Salah satu konsekuensi paling mengkhawatirkan dari media sosial adalah kontribusinya terhadap polarisasi sosial.[18] Platform media sosial sering kali menjadi sarana perdebatan sengit tentang isu-isu agama yang sensitif, yang dapat memperdalam perbedaan dan permusuhan antar kelompok, hingga memunculkan ujaran-ujaran kebencian antar kelompok. Anonimitas dan kurangnya interaksi tatap muka di media sosial dapat mendorong individu untuk mengeluarkan komentar yang kasar dan provokatif yang tidak akan mereka katakan secara langsung.[19]

Polarisasi sosial di media sosial dapat diperburuk oleh kecenderungan platform untuk mengelompokkan pengguna ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki pandangan yang sama. Algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan interaksi dapat secara tidak sengaja menciptakan situasi di mana orang hanya melihat pandangan yang sesuai dengan keyakinan mereka. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya rasa empati dan pengertian terhadap orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda.[20]

Selain itu, perlu diketahui bahwasannya media sosial juga dapat menjadi sumber distraksi yang mengurangi kualitas ibadah serta refleksi spiritual seseorang. Terlebih bagi remaja yang terkadang lalai dan kecanduan ketika sudah menggunakan media sosial. Sehingga waktu yang seharusnya digunakan untuk beribadah, justru tersita oleh aktivitas yang kurang produktif seperti terlalu lama mengakses konten-konten di media sosial. Ditambah dengan sifat remaja yang masih mudah terpengaruh, apabila mereka sering terpapar konten yang tidak sesuai dengan ajaran islam atau bahkan mengandung pesan intoleran, hal ini dapat mengalihkan pemahaman mereka tentang ajaran agama.[21] Paham-paham yang bertolak belakang dengan prinsip moderasi beragama ini juga dapat disebarluaskan melalui informasi yang tidak akurat atau hoaks terkait agama, atau dengan kata lain menyesatkan para pengguna media sosial yang dapat memicu kesalahpahaman antarumat beragama. Apabila sampai benar terjadi, maka akan merugikan persatuan dan kerukunan yang telah terjalin. Sehingga perbedaan-perbedaan pendapat yang memicu perdebatan harus dikontrol dengan baik agar tidak berkembang menjadi perselisihan.[22]

Secara garis besar, media sosial memainkan peran yang kompleks dalam membentuk pemahaman keagamaan, terutama di kalangan remaja. Platform seperti Instagram, TikTok, Facebook, dan WhatsApp telah menjadi sumber informasi penting, di mana remaja dapat mengakses berbagai konten keagamaan seperti ceramah, video pendek tentang hukum Islam, motivasi agama, dan diskusi mengenai kehidupan Islami. Kemudahan akses ini memberikan peluang besar untuk memperluas wawasan agama, tetapi juga menghadirkan tantangan terkait dengan kualitas dan validitas informasi.

Disisi lain, media sosial menawarkan akses luas ke berbagai informasi seputar Islam, mulai dari blog dan video hingga meme. Hal ini memungkinkan remaja untuk mengikuti akun-akun yang memberikan informasi berharga dan mendidik tentang ajaran Islam, disajikan dengan cara yang menarik dan mudah dipahami. Konten-konten ini dapat membantu remaja lebih memahami nilai-nilai agama dan meningkatkan motivasi untuk beribadah serta memperbaiki perilaku sehari-hari sesuai dengan prinsip-prinsip agama. Selain itu, guna meminimalisir penyebaran konten intoleransi dan ideologi yang berlawanan dengan prinsip moderasi beragama, perlu adanya peningkatan literasi digital tentang nilai-nilai ajaran islam yang moderat melalui berbagai jenis konten di media sosial. Sehingga pengguna media sosial dapat lebih bijak dan kritis terhadap banyaknya konten keagamaan yang tersebar di media sosial. Sehingga, mengatasi tantangan yang disebabkan oleh media sosial terhadap pemahaman agama dan polarisasi masyarakat membutuhkan berbagai upaya dari berbagai pihak.

  1. Strategi Dakwah Moderat di Media Sosial

Di era digital ini, media sosial bukan hanya tempat untuk bersosialisasi, tetapi juga menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai ideologi, termasuk pesan-pesan keagamaan. Namun, tidak semua pesan agama yang beredar di media sosial membawa kedamaian dan toleransi. Banyak juga yang justru memicu perpecahan dan ekstremisme. Oleh karena itu, penting bagi para juru dakwah (da’i) untuk memanfaatkan media sosial secara cerdas dan efektif dalam menyebarkan pesan moderasi beragama, salah satunya melalui teknik komunikasi persuasif.[23]

Komunikasi persuasif adalah proses komunikasi yang bertujuan untuk memengaruhi keyakinan, sikap, atau perilaku orang lain.[24] Dalam konteks dakwah, komunikasi persuasif digunakan untuk mengajak orang agar memiliki pemahaman agama yang lebih moderat, toleran, dan inklusif. Dengan kata lain, komunikasi persuasif membantu mengubah pandangan yang ekstrem menjadi lebih seimbang dan damai.[25]

Komunikasi persuasif ini bisa menjadi sebuah strategi dakwah moderat yang dapat diimplementasikan melalui media sosial. Sebab, perkembangan dengan hadirnya media sosial sebagai bentuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, maka diperlukan pendekatan yang inovatif dan relevan untuk menjangkau audiens yang luas, terutama generasi muda. Oleh sebab itu, salah satu kunci utama adalah penggunaan bahasa yang akrab dan mudah dipahami oleh generasi milenial dan generasi Z. Pendekatan ini dapat dicontoh dari tokoh seperti Habib Husein Ja’far Al-Hadar yang sukses memanfaatkan platform YouTube dan podcast dengan gaya bahasa yang santai namun tetap bermakna, sehingga pesan-pesan dakwah dapat diterima dengan lebih baik oleh kalangan muda yang cenderung menghindari gaya dakwah yang kaku dan formal.

Penyajian konten dakwah yang menarik dan bervariasi juga sangat penting. Selain ceramah singkat dalam bentuk video, ulasan isu terkini dari sudut pandang moderat dapat menjadi daya tarik tersendiri. Kolaborasi dengan content creator lain yang memiliki audiens yang berbeda juga dapat memperluas jangkauan dakwah. Tidak hanya itu, menyisipkan humor yang bijaksana dalam penyampaian pesan dapat membuat audiens lebih mudah menerima dan mencerna informasi yang disampaikan, sehingga dakwah tidak terkesan menggurui tetapi lebih bersifat mengajak.

Disisi lain, media sosial menawarkan berbagai fitur yang mendukung komunikasi persuasif. Para da’i dapat menggunakan teks, gambar, video, dan berbagai format konten lainnya untuk menyampaikan pesan-pesan mereka.[26] Selain itu, media sosial juga memungkinkan interaksi dua arah antara da’i dan audiens, sehingga pesan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan minat masing-masing individu.[27]Adapun salah satu teknik komunikasi persuasif yang efektif di media sosial adalah teknik asosiasi. Teknik ini dilakukan dengan mengaitkan pesan moderasi beragama dengan hal-hal yang sedang populer atau viral di kalangan masyarakat.[28] Misalnya, seorang da’i dapat membuat konten yang menghubungkan nilai-nilai Islam yang damai dengan tren gaya hidup sehat atau isu-isu lingkungan.

Teknik lain yang dapat digunakan adalah teknik integrasi. Dalam teknik ini, da’i berusaha membangun kedekatan dengan audiens dengan cara menunjukkan bahwa mereka memiliki kesamaan atau pengalaman yang serupa. Misalnya, seorang da’i dapat berbagi cerita tentang bagaimana ia dulu memiliki pandangan yang ekstrem, tetapi kemudian berubah setelah berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda keyakinan.[29] Selain teknik-teknik tersebut, da’i juga perlu memperhatikan strategi komunikasi persuasif secara umum. Pesan yang disampaikan harus sederhana, mudah dipahami, dan relevan dengan kebutuhan audiens. Da’i juga perlu mendorong keberagaman pendapat dan menciptakan ruang diskusi yang sehat, di mana setiap orang merasa aman untuk menyampaikan pandangan mereka tanpa takut dihakimi.[30]

Dalam era digital ini, visual memegang peranan penting dalam menarik perhatian audiens. Oleh karena itu, da’i perlu memanfaatkan gambar dan video yang menarik dan berkualitas tinggi dalam konten mereka. Visual yang relevan dan estetis akan membantu menyampaikan pesan dengan lebih efektif. Namun, da’i juga perlu berhati-hati terhadap potensi penyalahgunaan media sosial. Mereka harus menghindari penyebaran berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech), dan konten-konten yang dapat memicu konflik atau kekerasan.[31] Da’i memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga etika dan integritas dalam berdakwah di media sosial. Untuk mengukur efektivitas komunikasi persuasif di media sosial, da’i dapat menggunakan berbagai metrik yang disediakan oleh platform media sosial, seperti jumlah tayangan, komentar, dan interaksi lainnya. Analisis terhadap metrik ini dapat membantu da’i untuk memahami apa yang berhasil dan apa yang tidak, sehingga mereka dapat terus meningkatkan strategi komunikasi mereka.

Selain itu, da’i juga perlu membangun jaringan dengan para da’i lain dan organisasi keagamaan yang memiliki visi yang sama. Dengan bekerja sama, mereka dapat memperluas jangkauan dakwah mereka dan menciptakan gerakan yang lebih besar untuk mempromosikan moderasi beragama di media sosial. Penting untuk diingat bahwa komunikasi persuasif bukanlah tentang memaksakan keyakinan kepada orang lain, melainkan tentang mengajak mereka untuk berpikir kritis dan membuka diri terhadap perspektif yang berbeda. Da’i perlu menghormati kebebasan beragama dan keyakinan setiap individu, serta menghindari segala bentuk diskriminasi atau intoleransi.[32]

Dalam konteks Indonesia, moderasi beragama adalah kunci untuk menjaga kerukunan dan persatuan bangsa. Media sosial dapat menjadi alat yang ampuh untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama, seperti toleransi, inklusivitas, dan gotong royong. Dengan memanfaatkan media sosial secara cerdas dan efektif, para da’i dapat berkontribusi pada terciptanya masyarakat Indonesia yang lebih damai dan harmonis. Namun, upaya menyebarkan pesan moderasi beragama di media sosial juga menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah resistensi dari kelompok-kelompok ekstrem yang memiliki agenda tersendiri. Kelompok-kelompok ini sering kali menggunakan media sosial untuk menyebarkan propaganda dan ujaran kebencian, yang dapat memengaruhi opini publik dan memicu konflik.[33]

Oleh karena itu, da’i perlu memiliki strategi yang komprehensif untuk menghadapi tantangan ini. Selain menyebarkan pesan-pesan positif, mereka juga perlu aktif melawan narasi-narasi ekstrem yang beredar di media sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan penjelasan yang logis dan berdasarkan fakta, serta melaporkan konten-konten yang melanggar aturan platform media sosial. Selain itu, da’i juga perlu membangun kepercayaan dengan audiens mereka. Kepercayaan adalah kunci untuk memengaruhi keyakinan dan perilaku orang lain. Da’i dapat membangun kepercayaan dengan cara bersikap jujur, transparan, dan konsisten dalam menyampaikan pesan-pesan mereka.[34]

Disisi lain, komunikator perlu memahami bahwa komunikasi persuasif adalah proses yang berkelanjutan. Tidak ada jaminan bahwa setiap orang akan langsung berubah pikiran setelah terpapar pada pesan-pesan moderasi beragama. Namun, dengan terus menerus menyebarkan pesan-pesan positif dan membangun dialog yang konstruktif, da’i dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam menciptakan masyarakat yang lebih toleran dan inklusif melalui pesan dakwah yang efektif hingga mampu merangkul audiens lintas agama dan budaya.[35]

Membangun dialog yang konstruktif untuk merespons isu-isu agama yang sensitif dapat membantu menciptakan pemahaman yang lebih baik dan menghindari kesalahpahaman. Dalam konteks media sosial, hal ini dapat dilakukan melalui sesi tanya jawab, diskusi terbuka, atau konten yang membahas isu-isu kontroversial dengan pendekatan yang bijaksana dan menghargai perbedaan pendapat. Dengan memaksimalkan fitur-fitur yang ditawarkan oleh berbagai platform media sosial juga sangat penting. YouTube dapat dimanfaatkan untuk mengunggah video berkualitas tinggi dan menggunakan fitur analytics untuk memahami audiens serta membuat konten yang mendukung moderasi beragama dan menghormati keberagaman. Twitter dapat digunakan untuk menyampaikan pesan singkat namun padat, menggunakan kutipan inspiratif, dan mengadakan diskusi singkat melalui tweet atau Twitter Spaces. Sementara itu, Instagram, TikTok, dan Facebook dapat dimanfaatkan untuk menjangkau pendengar yang lebih luas, terutama generasi zilenial yang saat ini sudah sangat jarang mengikuti kajian-kajian mengenai keagamaan. Dengan memanfaatkan semua fitur ini secara optimal dan didukung dengan strategi komunikasi persuasif yang tepat, dakwah moderat dapat menjadi lebih efektif dan relevan dalam era digital ini.

  1. Kesimpulan dan Rekomendasi

Media sosial telah menjadi arena penting dalam penyebaran nilai-nilai keagamaan, menawarkan peluang dakwah digital yang luas namun juga tantangan polarisasi yang signifikan. Di satu sisi, platform seperti Facebook dan Instagram dapat dimanfaatkan untuk menyuarakan moderasi beragama, menjangkau berbagai kalangan usia dan latar belakang dengan pesan-pesan yang informatif, persuasif, dan edukatif. Kementerian Agama pun menggandeng media dan memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan nilai-nilai keagamaan yang moderat, menargetkan generasi Z dan milenial yang mayoritas mendapatkan berita dari platform tersebut. Pemanfaatan media sosial ini efektif dalam menumbuhkembangkan pemahaman beragama yang moderat.

Organisasi keagamaan, baik lokal maupun internasional, memanfaatkan media sosial untuk mengkampanyekan moderasi beragama. Dengan bahasa yang mudah dipahami dan format yang menarik, mereka mampu menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk generasi muda yang lebih aktif di dunia maya. Pesan-pesan tentang toleransi, inklusivitas, dan perdamaian dapat dengan cepat menyebar, menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya menjaga keharmonisan antar umat beragama. Para dai dapat berbagi ceramah, kajian, tulisan, dan kutipan inspiratif mengenai ajaran Islam dengan mudah dan cepat melalui media sosial

Dalam konteks ini, peran Da’i (pendakwah) sangat krusial. Da’i tidak hanya perlu menguasai teknologi dan platform media sosial, tetapi juga memahami etika komunikasi Islam. Nilai-nilai seperti qaulan sadidan (perkataan yang benar dan jujur), qaulan kariman (perkataan yang mulia dan terhormat), qaulan layyinan (perkataan yang lembut dan santun), dan qaulan balighan (perkataan yang jelas dan efektif) harus menjadi landasan dalam setiap pesan yang disampaikan. Da’i juga perlu aktif melawan narasi-narasi dengan memberikan penjelasan yang logis dan berdasarkan fakta, serta membangun kepercayaan dengan audiens melalui sikap jujur, transparan, dan konsisten.

Selain Da’i, pemerintah juga memegang peranan penting dalam penguatan moderasi beragama di media sosial. Pemerintah dapat meningkatkan literasi digital masyarakat agar lebih kritis dalam menerima informasi dan mampu membedakan antara konten yang konstruktif dan destruktif. Selain itu, pemerintah dapat berkolaborasi dengan media, tokoh agama, dan organisasi masyarakat sipil untuk memproduksi dan menyebarkan konten-konten moderasi beragama yang menarik dan relevan bagi berbagai segmen masyarakat. Penghargaan bagi media yang aktif menyebarkan konten moderasi beragama juga dapat menjadi insentif positif.

Kontribusi pendidik juga tidak kalah penting dalam menanamkan nilai-nilai moderasi beragama sejak dini. Pendidikan agama yang inklusif dan toleran perlu diintegrasikan dalam kurikulum formal maupun non-formal. Pendidik dapat memanfaatkan media sosial sebagai sarana pembelajaran yang kreatif dan interaktif, mengajak siswa untuk berdiskusi, bertukar pandangan, dan menghasilkan konten-konten positif yang mempromosikan perdamaian dan kerukunan. Dengan demikian, generasi muda akan tumbuh menjadi agen perubahan yang mampu menyebarkan moderasi beragama di media sosial dan di dunia nyata.

Terakhir, setiap pengguna media sosial memiliki tanggung jawab untuk turut serta dalam menciptakan ekosistem digital yang sehat dan konstruktif. Pengguna perlu lebih selektif dalam memilih informasi yang dibagikan, menghindari penyebaran berita palsu atau ujaran kebencian, dan aktif melaporkan konten-konten yang melanggar aturan platform media sosial. Selain itu, pengguna dapat berkontribusi dengan membuat dan menyebarkan konten-konten positif yang mempromosikan moderasi beragama, toleransi, dan persatuan. Dengan kolaborasi dari semua pihak, media sosial dapat menjadi wahana yang efektif dalam menyebarkan moderasi beragama dan mencegah polarisasi, mewujudkan Indonesia yang damai, inklusif, dan harmonis.

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shidiq, M. A., and A. R. Pratama. “Ujaran Kebencian Di Kalangan Pengguna Media Sosial Di Indonesia : Agama Dan Pandangan Politik.” Universitas Islam Indonesia 2, no. 1 (2021): 1–11.

Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. 2nd ed. Jakarta: Kencana, 2021.

Cindrakasih, RR Roosita, Amalliah Amalliah, Flora Meliana Siahaan, and Safrezi Fitra. “Pelatihan Memaksimalkan Fitur Live Streaming Di Media Sosial Sebagai Digital Marketing Kepada Siswa SMK Di Jakarta Barat (252-259).” Pengabdian Sosial 3, no. 2 (2023): 253–59. https://doi.org/10.32493/pbs.v3i2.32138.

Dyatmika, Teddy. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Zahir Publishing, 2021.

Hablun Ilham. “Agama Dan Komunitas Virtual: Studi Pergeseran Orientasi Keagamaan Di Era Digital.” Mukaddimah: Jurnal Studi Islam 7, no. 1 (2022): 26–39. https://doi.org/10.14421/mjsi.71.2945.

Handayani, A D. “Hoax Isu Agama Dan Upaya Melawan Penyebarannya.” Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi … 5, no. 2 (2023): 263–75. https://ejurnal.stikpmedan.ac.id/index.php/JIKQ/article/view/196%0Ahttps://ejurnal.stikpmedan.ac.id/index.php/JIKQ/article/download/196/81.

Harista, Eva. “Pengunaan Bahasa Persuasi Di Media Sosial Dalam Berdakwah Pada Akun Facebook ‘Yusuf Mansur (Official).’” Mawa’Izh: Jurnal Dakwah Dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan 8, no. 2 (2018): 308–24. https://doi.org/10.32923/maw.v8i2.778.

Hudaa, Syihaabul, Nuryani, and Bambang Sumadyo. “Pesan Dakwah Hijrah Influencer Untuk Kalangan Muda Di Media Sosial.” Maarif 17, no. 2 (2023): 105–21. https://doi.org/10.47651/mrf.v17i2.198.

Iryani, Juniarti, and Nurwahid Syam. “Peran Media Sosial Dalam Menyebarkan Pesan Agama Dan Perubahan Sosial.” Pusaka 11, no. 2 (2023): 359–72. https://doi.org/10.31969/pusaka.v11i2.1242.

Karim, Abdul. “Dakwah Melalui Media: Sebuah Tantangan Dan Peluang.” IAIN Kudus : At-Tabsyir 4, no. 1 (2016): 157–72.

Kastolani. “Understanding The Delivery of Islamophobic Hate Speech Via Social Media In Indonesia.” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 10, no. 2 (2020): 247–70. https://doi.org/10.18326/IJIMS.V10I2.247-270.

Kemp, Simon. “Digital 2025: Indonesia.” Data Reportal (We Are Social), 2025. https://datareportal.com/reports/digital-2025-indonesia.

Liedfray, Tongkotow, Fonny J Waani, and Jouke J Lasut. “Peran Media Sosial Dalam Mempererat Interaksi Antar Keluarga Di Desa Esandom Kecamatan Tombatu Timur Kabupaten Tombatu Timur Kabupaten Minasa Tenggara.” Jurnal Ilmiah Society 2, no. 1 (2022): 2. https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/jurnalilmiahsociety/article/download/38118/34843/81259.

Luthfia, Anisatul. “Peran Media Sosial Terhadap Pengetahuan Keagamaan Remaja Muslim Bersosialisasi Langsung , Sebagai Ajang Untuk Berkumpul , Bersilaturahmi Dan Sebagainya . Hal Ini.” Moral: Jurnal Kajian Pendidikan Islam 2, no. 1 (2025).

Meytha, Syamsu Kamaruddin, and A. Octamaya Tenri Awaru. “Peran Media Sosial Dalam Mempromosikan Kesadaran Pluralisme Dan Toleransi Di Masyarakat.” Jurnal Review Pendidikan Dan Pengajaran 7, no. 3 (2024): 6883–90.

Nur Aida, Azlika Purnama Sari,. “Teknik Komunikasi Persuasif Ahmad Rifa’i Rif’an Dalam Dakwah Kepada Kalangan Milenial.” Alamtara: Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam 5, no. 2 (2021): 127–47. https://doi.org/10.58518/alamtara.v5i2.762.

Pradilla, Chintya, Putri Dinda, Karunia Putri, Dwi Kurniawan, and Juanda Kurniawan. “Moderasi Beragama Dalam Era Digital : Dampak Media Sosial Terhadap Toleransi Beragama Di Desa Medang Baru” 1, no. 2 (2024): 512–18.

Purba, Jhon Leonardo Presley, and Priyantoro Widodo. “Kajian Etis Penggunaan Isu Agama Dalam Politik Polarisasi.” THRONOS: Jurnal Teologi Kristen 2, no. 2 (2021): 75–90. https://doi.org/10.55884/thron.v2i2.23.

Putri, Nanda, and Ade Irma. “Media Sosial Dan Isolasi Digital ( Kajian Teori Information Gaps Pada Algoritma Filter Bubble ).” Sadida 3, no. 1 (2023): 17–32.

Raffi, Muhammad, Fatimah Azzahra Mustofa, Masyita Angelia Pamboke, and Edi Suresman. “STRATEGI MENGHADAPI TANTANGAN DAKWAH AGAMA ISLAM DI ERA MEDIA DIGITAL.” El Hayah: Jurnal Studi Islam 14, no. 1 (2024): 29–38.

Rohani Shidiq. “Urgensi Deradikalisasi Dalam Pendidikan Islam Di Sekolah.” DUKASIA ISLAMIKA Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 1 (2017): 1–31.

Rohman, Fathur. “Media Sosial Sebagai Platform Dakwah Interaktif Dalam Membangun Dialog Dan Silaturahmi.” Jurnal Dakwah Dan Komunikasi volume 1, no. Md (2019): 20.

Safiaji, Achmad, and Abbyzar Aggasi. “Komunikasi Persuasif Habib Husein Ja’far Dalam Memanfaatkan Media Baru Sebagai Alat Penyebaran Pesan Dakwah.” Kaganga Komunika 05, no. 02 (2023): 196–207.

Sopiah, Devi Ulfah. “Teknik Komunikasi Persuasif Ustadz Syamsuddin Nur Pada Akun Tiktok @syam_elmarusy.” Tabligh 7, no. 1 (2022): 93–108.

Suryadi, Iyad, and Saeful Anwar. “Realitas Virtual Dan Polarisasi Agama: Menelaah Pengaruh Media Sosial Di Indonesia.” Al-Balagh: Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam 1, no. 1 (2024): 41–56.

Wawaysadhya, Tri Utami Oktafiani, Pingki Laeli Diaz Olivia, and Baruzzaman M. “Moderasi Beragama Di Media Sosial : Narasi Inklusivisme Dalam Dakwah.” AL MUNIR Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam 13, no. 2 (2022): 118–32.

Wulandari, Virani, Gema Rullyana, and Ardiansah Ardiansah. “Pengaruh Algoritma Filter Bubble Dan Echo Chamber Terhadap Perilaku Penggunaan Internet.” Berkala Ilmu Perpustakaan Dan Informasi 17, no. 1 (2021): 98–111. https://doi.org/10.22146/bip.v17i1.423.

Yusnawati, Yusnawati, Ahmad Wira, and Afriwardi. “Internalisasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama Di Instagram.” Tatar Pasundan: Jurnal Diklat Keagamaan 15, no. 1 (2021): 01–09. https://doi.org/10.38075/tp.v15i1.178.

[1] Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, 2nd ed. (Jakarta: Kencana, 2021), 127–37.

[2] RR Roosita Cindrakasih et al., “Pelatihan Memaksimalkan Fitur Live Streaming Di Media Sosial Sebagai Digital Marketing Kepada Siswa SMK Di Jakarta Barat (252-259),” Pengabdian Sosial 3, no. 2 (2023): 253–59, https://doi.org/10.32493/pbs.v3i2.32138.

[3] Tongkotow Liedfray, Fonny J Waani, and Jouke J Lasut, “Peran Media Sosial Dalam Mempererat Interaksi Antar Keluarga Di Desa Esandom Kecamatan Tombatu Timur Kabupaten Tombatu Timur Kabupaten Minasa Tenggara,” Jurnal Ilmiah Society 2, no. 1 (2022): 2, https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/jurnalilmiahsociety/article/download/38118/34843/81259.

[4] Virani Wulandari, Gema Rullyana, and Ardiansah Ardiansah, “Pengaruh Algoritma Filter Bubble Dan Echo Chamber Terhadap Perilaku Penggunaan Internet,” Berkala Ilmu Perpustakaan Dan Informasi 17, no. 1 (2021): 98–111, https://doi.org/10.22146/bip.v17i1.423.

[5] Simon Kemp, “Digital 2025: Indonesia,” Data Reportal (We Are Social), 2025, https://datareportal.com/reports/digital-2025-indonesia.

[6] Syihaabul Hudaa, Nuryani, and Bambang Sumadyo, “Pesan Dakwah Hijrah Influencer Untuk Kalangan Muda Di Media Sosial,” Maarif 17, no. 2 (2023): 105–21, https://doi.org/10.47651/mrf.v17i2.198.

[7] Abdul Karim, “Dakwah Melalui Media: Sebuah Tantangan Dan Peluang,” IAIN Kudus : At-Tabsyir 4, no. 1 (2016): 157–72.

[8] Yusnawati Yusnawati, Ahmad Wira, and Afriwardi, “Internalisasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama Di Instagram,” Tatar Pasundan: Jurnal Diklat Keagamaan 15, no. 1 (2021): 01–09, https://doi.org/10.38075/tp.v15i1.178.

[9] Kastolani, “Understanding The Delivery of Islamophobic Hate Speech Via Social Media In Indonesia,” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 10, no. 2 (2020): 247–70, https://doi.org/10.18326/IJIMS.V10I2.247-270.

[10] Wulandari, Rullyana, and Ardiansah, “Pengaruh Algoritma Filter Bubble Dan Echo Chamber Terhadap Perilaku Penggunaan Internet.”

[11] Karim, “Dakwah Melalui Media: Sebuah Tantangan Dan Peluang.”

[12] Juniarti Iryani and Nurwahid Syam, “Peran Media Sosial Dalam Menyebarkan Pesan Agama Dan Perubahan Sosial,” Pusaka 11, no. 2 (2023): 359–72, https://doi.org/10.31969/pusaka.v11i2.1242.

[13] Chintya Pradilla et al., “Moderasi Beragama Dalam Era Digital : Dampak Media Sosial Terhadap Toleransi Beragama Di Desa Medang Baru” 1, no. 2 (2024): 512–18.

[14] Hablun Ilham, “Agama Dan Komunitas Virtual: Studi Pergeseran Orientasi Keagamaan Di Era Digital,” Mukaddimah: Jurnal Studi Islam 7, no. 1 (2022): 26–39, https://doi.org/10.14421/mjsi.71.2945.

[15] Meytha, Syamsu Kamaruddin, and A. Octamaya Tenri Awaru, “Peran Media Sosial Dalam Mempromosikan Kesadaran Pluralisme Dan Toleransi Di Masyarakat,” Jurnal Review Pendidikan Dan Pengajaran 7, no. 3 (2024): 6883–90.

[16] Nanda Putri and Ade Irma, “Media Sosial Dan Isolasi Digital ( Kajian Teori Information Gaps Pada Algoritma Filter Bubble ),” Sadida 3, no. 1 (2023): 17–32.

[17] Rohani Shidiq, “Urgensi Deradikalisasi Dalam Pendidikan Islam Di Sekolah,” DUKASIA ISLAMIKA Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 1 (2017): 1–31.

[18] Iyad Suryadi and Saeful Anwar, “Realitas Virtual Dan Polarisasi Agama: Menelaah Pengaruh Media Sosial Di Indonesia,” Al-Balagh: Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam 1, no. 1 (2024): 41–56.

[19] M. A. Ash-Shidiq and A. R. Pratama, “Ujaran Kebencian Di Kalangan Pengguna Media Sosial Di Indonesia : Agama Dan Pandangan Politik,” Universitas Islam Indonesia 2, no. 1 (2021): 1–11.

[20] Jhon Leonardo Presley Purba and Priyantoro Widodo, “Kajian Etis Penggunaan Isu Agama Dalam Politik Polarisasi,” THRONOS: Jurnal Teologi Kristen 2, no. 2 (2021): 75–90, https://doi.org/10.55884/thron.v2i2.23.

[21] Anisatul Luthfia, “Peran Media Sosial Terhadap Pengetahuan Keagamaan Remaja Muslim Bersosialisasi Langsung , Sebagai Ajang Untuk Berkumpul , Bersilaturahmi Dan Sebagainya . Hal Ini,” Moral: Jurnal Kajian Pendidikan Islam 2, no. 1 (2025).

[22] A D Handayani, “Hoax Isu Agama Dan Upaya Melawan Penyebarannya,” Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi … 5, no. 2 (2023): 263–75, https://ejurnal.stikpmedan.ac.id/index.php/JIKQ/article/view/196%0Ahttps://ejurnal.stikpmedan.ac.id/index.php/JIKQ/article/download/196/81.

[23] Achmad Safiaji and Abbyzar Aggasi, “Komunikasi Persuasif Habib Husein Ja’far Dalam Memanfaatkan Media Baru Sebagai Alat Penyebaran Pesan Dakwah,” Kaganga Komunika 05, no. 02 (2023): 196–207.

[24] Teddy Dyatmika, Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: Zahir Publishing, 2021), 24.

[25] Safiaji and Aggasi, “Komunikasi Persuasif Habib Husein Ja’far Dalam Memanfaatkan Media Baru Sebagai Alat Penyebaran Pesan Dakwah.”

[26] Eva Harista, “Pengunaan Bahasa Persuasi Di Media Sosial Dalam Berdakwah Pada Akun Facebook ‘Yusuf Mansur (Official),’” Mawa’Izh: Jurnal Dakwah Dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan 8, no. 2 (2018): 308–24, https://doi.org/10.32923/maw.v8i2.778.

[27] Fathur Rohman, “Media Sosial Sebagai Platform Dakwah Interaktif Dalam Membangun Dialog Dan Silaturahmi,” Jurnal Dakwah Dan Komunikasi volume 1, no. Md (2019): 20.

[28] Devi Ulfah Sopiah, “Teknik Komunikasi Persuasif Ustadz Syamsuddin Nur Pada Akun Tiktok @syam_elmarusy,” Tabligh 7, no. 1 (2022): 93–108.

[29] Azlika Purnama Sari, Nur Aida, “Teknik Komunikasi Persuasif Ahmad Rifa’i Rif’an Dalam Dakwah Kepada Kalangan Milenial,” Alamtara: Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam 5, no. 2 (2021): 127–47, https://doi.org/10.58518/alamtara.v5i2.762.

[30] Safiaji and Aggasi, “Komunikasi Persuasif Habib Husein Ja’far Dalam Memanfaatkan Media Baru Sebagai Alat Penyebaran Pesan Dakwah.”

[31] Ash-Shidiq and Pratama, “Ujaran Kebencian Di Kalangan Pengguna Media Sosial Di Indonesia : Agama Dan Pandangan Politik.”

[32] Yusnawati, Wira, and Afriwardi, “Internalisasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama Di Instagram.”

[33] Ash-Shidiq and Pratama, “Ujaran Kebencian Di Kalangan Pengguna Media Sosial Di Indonesia : Agama Dan Pandangan Politik.”

[34] Muhammad Raffi et al., “STRATEGI MENGHADAPI TANTANGAN DAKWAH AGAMA ISLAM DI ERA MEDIA DIGITAL,” El Hayah: Jurnal Studi Islam 14, no. 1 (2024): 29–38.

[35] Wawaysadhya et al., “Moderasi Beragama Di Media Sosial : Narasi Inklusivisme Dalam Dakwah,” AL MUNIR Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam 13, no. 2 (2022): 118–32.

Tantangan Dakwah Moderasi Beragama di Era Digital

Penulis: Ibnu Salim, Editor: Michi

Islam mendorong umatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden ketiga Republik Indonesia yang dikenal sebagai ilmuwan Muslim, memperkenalkan konsep “imtak” (iman dan takwa) dan “iptek” (ilmu pengetahuan dan teknologi). Menurut Habibie, kemajuan peradaban Islam di masa kini dan masa depan sangat bergantung pada kemampuan umat dalam mengintegrasikan aspek teologi dengan teknologi (Nurjaman et al., 2022).[1]

Integrasi ini penting agar kemajuan teknologi tidak hanya berorientasi pada materialisme, tetapi juga didasari oleh nilai-nilai moral dan spiritual. Dalam konteks dakwah di era digital, penguasaan teknologi harus selaras dengan pemahaman keagamaan yang moderat dan inklusif. Dengan begitu, penyebaran pesan keislaman dapat dilakukan secara efektif, relevan, dan mampu merespons tantangan zaman.

Bahkan, potensi dakwah digital di Indonesia sangat besar, mengingat pada tahun 2024, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 221,56 juta jiwa, yang setara dengan 79,5% dari total populasi sebesar 278,69 juta jiwa.[2] Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bahkan memprediksi bahwa angka ini akan meningkat menjadi 231 juta pada tahun 2025.[3] Data ini menunjukkan peluang luas bagi para da’i untuk memanfaatkan platform digital sebagai sarana dakwah yang menjangkau audiens secara masif.

Perkembangan teknologi adalah sebuah fenomena yang terus berlangsung dan memberikan pengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Seiring kemajuan teknologi dan munculnya penemuan-penemuan ilmiah, dunia mengalami perubahan yang pesat dan transformasional dalam beberapa dekade terakhir (Said, 2011).[4] Perubahan ini memengaruhi cara manusia bekerja, berkomunikasi, memperoleh pengetahuan, hingga memandang dunia di sekitarnya.

Fenomena ini dikenal sebagai determinisme teknologi, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh McLuhan (1962), yang menyatakan bahwa teknologi memiliki peran utama dalam membentuk struktur sosial, budaya, dan pola pikir masyarakat. Dalam konteks dakwah Islam di era digital, determinisme teknologi menunjukkan bagaimana media digital dan platform online mengubah pola penyampaian pesan keagamaan. Dakwah kini tidak hanya berlangsung di mimbar-mimbar masjid, tetapi juga melalui media sosial, podcast, dan video daring, sehingga menuntut pendakwah untuk menguasai teknologi agar pesan keislaman dapat tersampaikan secara efektif dan moderat.

Transformasi dakwah di era digital ini semakin relevan ketika melihat bagaimana teknologi telah merevolusi berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam praktik keagamaan. Dakwah, sebagai aktivitas penyampaian ajaran Islam, kini tidak lagi terbatas pada ruang-ruang fisik seperti masjid atau pertemuan tatap muka. Berkat kemajuan teknologi, dakwah dapat dilakukan secara lebih luas dan interaktif melalui berbagai platform digital, seperti media sosial, blog, podcast, dan layanan video streaming. Pemanfaatan media digital ini memungkinkan pesan-pesan keislaman menjangkau audiens yang lebih luas dan beragam tanpa terhalang oleh batasan geografis. Selain itu, dakwah digital memberikan kemudahan akses bagi umat Islam untuk memperdalam pemahaman agama kapan saja dan di mana saja.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan dakwah digital. Berbagai platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, YouTube, dan TikTok kini tidak hanya digunakan untuk keperluan interaksi sosial, tetapi juga dimanfaatkan sebagai media penyebaran ajaran Islam. Konten dakwah yang beragam, mulai dari artikel, gambar, video, hingga siaran langsung, dapat diakses dengan mudah oleh pengguna internet di seluruh dunia. Hal ini membuka ruang bagi para da’i untuk menyampaikan pesan agama dengan pendekatan yang lebih kreatif, interaktif, dan menarik.[5]

Namun, di balik peluang besar tersebut, dakwah digital juga menghadapi tantangan yang cukup kompleks. Salah satu tantangan utama adalah keaslian dan akurasi informasi keagamaan yang disebarkan. Kemudahan dalam membagikan konten di dunia maya sering kali memunculkan informasi yang belum terverifikasi bahkan menyesatkan. Kondisi ini menuntut para da’i untuk lebih berhati-hati dan selektif dalam menyampaikan pesan, memastikan bahwa setiap materi yang dipublikasikan sesuai dengan ajaran Islam yang otentik dan moderat.

Namun, di balik berbagai peluang yang ditawarkan oleh era digital, dakwah Islam juga menghadapi tantangan yang kompleks. Salah satu tantangan utama adalah berkembangnya cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang berlebihan sehingga mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.[6] Sikap ekstrem dalam beragama sering kali muncul akibat akses informasi yang tidak terkontrol, di mana individu dengan mudah menemukan dan menyebarkan konten yang kurang memiliki landasan keilmuan yang kuat. Selain itu, era digital juga memunculkan klaim kebenaran subjektif dan pemaksaan tafsir agama yang sering kali dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan politik. Hal ini berpotensi memicu konflik di tengah masyarakat yang semakin terfragmentasi dalam ruang digital.

Tantangan lainnya adalah berkembangnya semangat keberagamaan yang tidak sejalan dengan kecintaan terhadap bangsa dan nilai-nilai kebangsaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Fenomena ini semakin mengkhawatirkan karena komunitas yang paling rentan terpapar paham tersebut adalah generasi Z, yang aktif dalam dunia digital dan memiliki keterbukaan informasi yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan strategi dakwah yang tidak hanya mampu menjawab tantangan era digital, tetapi juga berlandaskan prinsip moderasi beragama serta rahmatan lil ‘alamin. Pendekatan ini menekankan pentingnya keseimbangan dalam memahami ajaran Islam, mengedepankan sikap toleransi, serta menyesuaikan metode dakwah dengan karakteristik audiens digital agar pesan keislaman dapat diterima dengan baik dan tetap relevan dalam kehidupan masyarakat modern.

Moderasi Beragama dalam Dakwah Islam

Moderasi beragama dalam Islam dikenal dengan istilah al-Wasathiyyah al-Islamiyyah dalam bahasa Arab. Menurut Yusuf al-Qaradawi, istilah ini memiliki makna yang sejalan dengan beberapa konsep lain, seperti tawazun (keseimbangan), i’tidal (keadilan), ta’adul (kesetaraan), dan istiqamah (konsistensi). Dalam bahasa Inggris, moderasi Islam dikenal sebagai Islamic Moderation. Moderasi Islam merujuk pada cara pandang dan sikap yang berusaha mengambil posisi tengah di antara dua ekstrem yang berlebihan.[7] Pendekatan ini bertujuan agar tidak ada satu sikap yang mendominasi pemikiran dan perilaku seseorang secara berlebihan.

Lebih lanjut, Konsep Wasathiyyah mencerminkan nilai-nilai Islam yang mendorong pendekatan keimanan yang seimbang dan inklusif, dengan menekankan prinsip toleransi (Tasamuh), memilih jalan tengah (Tawassuth), dan bertindak adil (Tawazun) (Mansur et al., 2023). Tasamuh mengajarkan umat Islam untuk menghormati perbedaan dalam keyakinan, pandangan, maupun budaya, sehingga tercipta ruang untuk dialog dan kolaborasi tanpa mengesampingkan prinsip-prinsip agama. Tawassuth mengajak umat untuk mengambil posisi tengah, yaitu menghindari sikap ekstrem dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ibadah, interaksi sosial, hingga pengambilan keputusan. Sementara itu, Tawazun menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan keadilan dalam menjalani kehidupan, baik dalam aspek spiritual, material, maupun hubungan sosial.[8]

Namun, penerapan moderasi beragama bukanlah hal yang mudah. Seorang Muslim yang moderat adalah individu yang mampu memberikan porsi yang tepat pada setiap aspek kehidupan tanpa membiarkan satu sisi menguasai secara berlebihan. Hal ini penting karena setiap manusia, siapa pun dia, tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari berbagai pengaruh, seperti tradisi, pemikiran, keluarga, lingkungan, dan zaman. Oleh sebab itu, manusia tidak akan mampu merepresentasikan moderasi secara sempurna di dunia nyata. Kesempurnaan moderasi hanya dimiliki oleh Allah SWT (Yusuf al-Qaradawi, 2011:13).[9]

Dalam konteks tersebut, menurut Lukman Hakim Saifuddin, moderasi beragama adalah proses memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan cara yang adil dan seimbang. Tujuannya adalah untuk menghindari sikap ekstrem dan berlebihan dalam penerapan ajaran agama. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural, cara pandang moderat ini memiliki peran penting. Hal ini karena sikap moderat memungkinkan masyarakat untuk menyikapi perbedaan dengan bijaksana, sehingga toleransi, keadilan, dan harmoni sosial dapat terwujud. Penting untuk dipahami bahwa moderasi beragama bukanlah upaya untuk mengurangi atau mengubah ajaran agama itu sendiri. Agama secara intrinsik telah mengandung prinsip moderasi, seperti keadilan dan keseimbangan, yang menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan beragama.

Sementara itu, Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa moderasi beragama merupakan sikap yang mengedepankan pola hidup berdampingan di tengah keragaman agama dan kehidupan bernegara. Sikap ini menciptakan ruang bagi setiap individu untuk saling menghormati dan bekerja sama, tanpa memaksakan keyakinan atau merendahkan perbedaan. Dalam konteks dakwah Islam di era digital, penerapan moderasi beragama menjadi semakin penting. Media digital yang menjangkau audiens luas dan beragam harus dimanfaatkan untuk menyebarkan pesan keislaman yang inklusif dan toleran.[10]

Selain mengedepankan moderasi beragama, dakwah Islam di era digital juga perlu berlandaskan pada prinsip rahmatan lil ‘alamin, sebuah konsep yang menegaskan bahwa Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Prinsip ini merujuk pada firman Allah SWT dalam QS. Al-Anbiya (21): 107, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” Ayat ini memberikan gambaran bahwa kehadiran Islam bukan hanya untuk kebaikan umat Muslim semata, tetapi juga membawa kemaslahatan, kasih sayang, dan kebaikan bagi seluruh makhluk di dunia, tanpa memandang latar belakang agama, budaya, maupun suku.

Ahmad Mushthafa al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut bermakna: “Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) dengan Al-Qur’an ini dan dengan ajaran-ajaran lain berupa syariat dan hukum yang menjadi pedoman untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, kecuali sebagai bentuk rahmat dan petunjuk bagi umat manusia dalam mengatur kehidupan mereka di dunia dan mempersiapkan kehidupan mereka di akhirat.”[11] Pemaknaan ini menunjukkan bahwa seluruh ajaran Islam, termasuk syariat dan hukum-hukumnya, dirancang untuk membawa umat manusia menuju kehidupan yang sejahtera, adil, dan damai di dunia, sekaligus memperoleh kebahagiaan hakiki di akhirat.

Dalam konteks dakwah, prinsip rahmatan lil ‘alamin menegaskan pentingnya pendekatan yang inklusif, toleran, dan humanis, yang sejalan dengan semangat moderasi beragama. Seorang dai tidak hanya menyampaikan ajaran Islam, tetapi juga harus mampu menunjukkan bagaimana Islam dapat membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia dan lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, dakwah tidak hanya dipahami sebagai penyampaian ajaran agama, tetapi juga sebagai upaya menciptakan kehidupan sosial yang harmonis, adil, dan seimbang, di mana setiap individu dapat hidup berdampingan dengan damai.

Selain memahami Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, H.M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah memberikan penekanan lebih dalam mengenai makna ayat QS. Al-Anbiya (21): 107. Menurutnya, Rasulullah SAW bukan hanya sekadar pembawa ajaran Islam yang penuh rahmat, tetapi sosok dan kepribadian beliau sendiri adalah wujud nyata dari rahmat tersebut.[12] Dengan kata lain, kehadiran Nabi Muhammad SAW di tengah-tengah umat manusia adalah manifestasi dari kasih sayang Allah SWT kepada seluruh makhluk. Ayat ini secara tegas tidak menyatakan bahwa Rasul diutus hanya untuk membawa rahmat, melainkan Rasulullah sendiri adalah rahmat itu kehadirannya, tindak-tanduknya, serta kepribadiannya menjadi anugerah dan teladan sempurna yang mencerminkan kasih sayang Allah SWT bagi seluruh alam semesta.

Kepribadian Rasulullah SAW yang mencerminkan rahmat tersebut dipertegas dalam QS. Ali Imran (3): 159, yang artinya:

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkan ampunan untuk mereka. Dalam urusan itu, bermusyawarahlah dengan mereka. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.”

Ayat ini menunjukkan bahwa kelembutan, kasih sayang, dan sikap pemaaf Rasulullah SAW adalah cerminan langsung dari rahmat Allah. H.M. Quraish Shihab menegaskan bahwa Allah SWT sendirilah yang membentuk dan mendidik kepribadian Rasulullah SAW. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rasulullah, “Aku dididik oleh Tuhanku, dan sungguh baik hasil pendidikan-Nya.” Pendidikan ilahi ini menjadikan Rasulullah pribadi yang mengayomi, penuh kasih sayang, dan mampu merangkul perbedaan, sehingga kehadirannya benar-benar menjadi rahmat universal bagi seluruh umat manusia.[13]

Islam Rahmatan lilalamin memiliki prinsip-prinsip yang menjadi ciri khas Islam yang menghadirkan cinta kasih dan kedamaian bagi dunia. Berikut ini beberapa prinsip Islam Rahmatan Lilalamin menurut kajian komprehensif para Ulama.

Menjunjung Kemanusiaan (Al-Ihtimam Al-Insaniyah)

Islam Rahmatan lil ‘Alamin hadir dengan prinsip-prinsip yang menonjolkan cinta kasih dan kedamaian bagi dunia. Salah satu prinsip utamanya adalah menjunjung kemanusiaan (Al-Ihtimam Al-Insaniyah).[14] Hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam diciptakan untuk selaras dengan kemampuan dan kebutuhan manusia. Semua perintah dan larangan dalam Islam mengandung maslahat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Allah berfirman: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia. Itu anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang yang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (QS. Shad: 27).

Islam memandang manusia secara komprehensif, dengan memberikan panduan hidup yang mencakup aspek akal, hati, emosional, fitrah, dan fisik. Ajarannya mudah dipahami, dirasakan, dan diamalkan oleh siapa pun. Allah juga menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa syariat Islam sesuai dengan kemampuan manusia: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya” (QS. Al-Baqarah: 286).

Selain itu, QS. Al-Insan (1–3) menjelaskan tentang proses penciptaan manusia, karakteristik, serta kewajiban dan tujuan hidupnya. Ini membuktikan bahwa Islam adalah agama yang unggul dan futuristik dalam menjelaskan hakikat kehidupan manusia.

Dalam konteks dakwah digital, prinsip Islam Rahmatan lil ‘Alamin menjadi kunci dalam menyampaikan pesan agama yang inklusif, toleran, dan damai. Pendakwah harus menunjukkan bagaimana Islam membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia dan lingkungan. H.M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menegaskan bahwa kepribadian Rasulullah SAW adalah perwujudan nyata dari rahmat tersebut. Dakwah yang mencerminkan kasih sayang, keadilan, dan kedamaian menjadi fondasi penting dalam membangun masyarakat yang harmonis di era digital saat ini.

Berwawasan Luas / Global (Al-Ilmiah Al-Wasi’ah)

Salah satu karakteristik utama dari konsep Islam rahmatan lil ‘alamin adalah prinsip berwawasan luas dan mencakup seluruh dunia. Secara sederhana, hal ini menunjukkan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Dzat yang memiliki ilmu, kasih sayang, dan kekayaan yang tak terbatas, melampaui kemampuan manusia untuk membayangkannya.[15] Dengan demikian, Islam memiliki sifat universal yang menjangkau seluruh umat manusia tanpa dibatasi oleh faktor geografis, suku, ras, bangsa, iklim, atau kondisi geopolitik tertentu. Ajaran Islam berlaku bagi semua orang yang bersedia menerimanya, di mana pun mereka berada, tanpa memandang latar belakang. Tidak ada perbedaan dalam tujuan dan nilai-nilai ajaran Islam, baik di wilayah Arab maupun di luar Arab, karena Islam bersumber langsung dari Allah SWT dan ditujukan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia di seluruh penjuru dunia.

Globalisasi Islam tercermin dalam pengamalan pokok-pokok (ushul), yang tetap konsisten di seluruh dunia, meskipun terdapat perbedaan dalam hal cabang dan rincian (furu’iyah) sesuai dengan kondisi lokal. Prinsip ini memastikan bahwa umat Islam di berbagai belahan dunia memiliki kesatuan dalam pelaksanaan ibadah, muamalah, hukum, dan moralitas, sehingga tercipta persatuan dan kesatuan di tengah keragaman.

Globalisasi Islam juga mengajarkan persaudaraan lintas bangsa, suku, dan bahasa. Prinsip tolong-menolong global antara manusia dan kepedulian terhadap lingkungan menjadi fondasi penting dalam membangun peradaban yang damai. Islam mengharamkan permusuhan tanpa alasan yang benar dan mengajarkan untuk senantiasa menjalin hubungan baik antarumat manusia. Allah SWT berfirman: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13).

Selain itu, Allah SWT juga berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2). Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Islam mengedepankan kolaborasi untuk kebaikan dan menghindari permusuhan yang merusak.

Globalisasi Islam memiliki makna yang lebih dalam, yaitu bahwa syariah ini diperuntukkan bagi seluruh manusia dan seluruh alam semesta. Rahmat globalisasi Islam adalah rahmat bagi semua makhluk dan lingkungan manusia. Islam memandang bahwa negeri Islam adalah seluruh tempat di mana kalimat Laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah) dikumandangkan. Karena syariah ini berasal dari Tuhan semesta alam, Allah SWT, maka Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rasul untuk seluruh umat manusia dan seluruh alam semesta. Allah SWT berfirman: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107). Dalam ayat lain, Allah juga berfirman: “Dan Kami tidak mengutusmu, wahai Muhammad, kecuali untuk seluruh manusia.” (QS. Saba: 28).[16]

Prinsip berwawasan global dalam Islam rahmatan lil ‘alamin memberikan dasar yang kuat bagi dakwah moderasi beragama di era digital. Dakwah harus bersifat inklusif, mengedepankan toleransi, dan menjangkau berbagai kalangan tanpa diskriminasi. Prinsip ini sangat relevan di era digital yang memungkinkan dakwah menjangkau audiens global dengan lebih mudah dan efektif.

Integritas Tinggi (Al-Nazaahah Al-Aliyah)

Integritas tinggi dalam konteks moderasi beragama dalam dakwah Islam mencerminkan keselarasan dan keterpaduan prinsip-prinsip Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Moderasi beragama dalam dakwah Islam menegaskan bahwa ajaran Islam tidak terbatas pada dimensi tertentu, tetapi hadir sebagai pedoman yang menyeluruh. Konsep ini berakar dari keimanan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Sempurna, sehingga dakwah Islam dengan integritas tinggi harus mencerminkan sikap konsisten, adil, dan proporsional dalam menyampaikan pesan agama kepada seluruh lapisan masyarakat.

Moderasi beragama mengedepankan dakwah yang bersifat inklusif dan holistik, mencakup aspek spiritual, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dalam perspektif ini, dakwah Islam tidak hanya menekankan hubungan manusia dengan Allah (hablum minallah) melalui ibadah, tetapi juga hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas) melalui interaksi sosial yang harmonis. Dakwah yang moderat harus mampu menyeimbangkan keduanya, sehingga pesan keagamaan dapat diterima dengan mudah dan dipraktikkan tanpa memberatkan. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah: 3, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” Ayat ini menegaskan kesempurnaan Islam sebagai pedoman hidup yang relevan di semua aspek kehidupan.

Selain aspek ibadah, dakwah Islam dengan integritas tinggi juga harus memperhatikan aspek muamalah, yakni hubungan antarmanusia dan lingkungan. Moderasi beragama mengajarkan interaksi sosial yang mencakup politik, ekonomi, budaya, pendidikan, teknologi, dan lainnya. Prinsip ini menjadikan dakwah Islam relevan dan solutif untuk berbagai tantangan kehidupan modern. Allah SWT berfirman, “Kami tidak melupakan dalam Al-Qur’an segala sesuatu,” yang menegaskan bahwa ajaran Islam mampu menjawab kebutuhan zaman dengan pendekatan yang bijaksana.

Integritas tinggi dalam moderasi beragama mengharuskan dakwah Islam menjangkau semua kalangan, tanpa diskriminasi gender, usia, atau latar belakang sosial. Pesan dakwah harus relevan untuk laki-laki dan perempuan, anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia. Dakwah yang moderat juga harus mempertimbangkan perbedaan kondisi sosial dan budaya, sehingga pesan yang disampaikan bersifat adil, proporsional, dan dapat diterima oleh berbagai kelompok masyarakat. Dalam QS. Lukman, Allah berfirman, “Allah telah menjadikan kalian dari lemah, tua,” yang menunjukkan perhatian Islam terhadap seluruh fase kehidupan manusia.

Moderasi beragama dalam dakwah Islam juga mengedepankan semangat persaudaraan global lintas suku, bangsa, dan agama. Islam mendorong kerja sama dan tolong-menolong yang membawa manfaat bagi kemanusiaan dan lingkungan, serta menolak segala bentuk permusuhan yang didasarkan pada perbedaan identitas. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Hujurat: 13 dan QS. Al-Maidah: 2, yang menekankan pentingnya persatuan dan kerja sama dalam membangun masyarakat yang damai dan sejahtera.

Integritas tinggi dalam moderasi beragama hadir sebagai pedoman universal dalam dakwah Islam yang relevan dan aplikatif di mana pun dan kapan pun. Dakwah Islam dengan prinsip ini membawa pesan keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian, serta memberikan solusi atas berbagai tantangan kehidupan modern tanpa mengabaikan prinsip-prinsip keimanan dan ketakwaan. Dakwah dengan integritas tinggi menghindari pendekatan ekstrem dan intoleran, serta selalu mengedepankan kemudahan, toleransi, dan keseimbangan, sehingga Islam benar-benar tampil sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Toleransi dan Mempermudah (Al-Samahah dan Al-Taisir)

As-Samahah dalam perspektif moderasi beragama merujuk pada sikap toleransi, keterbukaan, dan kemudahan dalam menjalin interaksi dengan orang lain. Sementara itu, At-Taisir mengacu pada prinsip memberikan kemudahan dan keringanan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam menyampaikan pesan dakwah. Dalam konteks moderasi, istilah Tasamuh yang berasal dari bahasa Arab samahah mencerminkan makna berlapang dada, kemurahan hati, kedamaian, dan kemudahan. Sikap ini menjadi penting dalam dakwah untuk menghindari pendekatan yang kaku, ekstrem, dan intoleran.

Hal ini sejalan dengan penjelasan Ash-Shan’ani Rahimahullah dalam At-Tanwir Syarah Jami’ish Shaghir (4:512) yang menyatakan bahwa: “Sebaik-baik iman adalah kesabaran dalam menjalankan ketaatan dan meninggalkan maksiat. Sedangkan samahah (kemudahan) adalah sikap yang mempermudah dalam menunaikan hak-hak serta melaksanakan hal-hal yang dicintai oleh syariat.” Dalam penjelasan ini, samahah dipahami bukan hanya sebagai kemudahan, tetapi juga kesiapan hati untuk mempermudah urusan orang lain tanpa melanggar prinsip agama.[17]

Ibnu Manzur juga mengungkapkan bahwa as-samahah dan at-taisir memiliki makna yang hampir serupa, yakni kemudahan. Namun, Ibnu Asyur menambahkan bahwa as-samahah menggambarkan kemampuan untuk berinteraksi dengan mudah dan proporsional, dengan mengambil posisi tengah antara sikap yang berlebihan dalam mempermudah dan sikap yang cenderung mempersulit. Dengan demikian, kedua prinsip ini menjadi landasan penting dalam moderasi beragama, karena membantu para dai menyampaikan ajaran Islam secara inklusif, bijaksana, dan ramah tanpa mengabaikan nilai-nilai fundamental agama.

Moderasi beragama dalam dakwah Islam mendorong pendekatan yang mudah dipahami dan diimplementasikan oleh umat, tanpa mengesampingkan esensi ajaran Islam. Dakwah yang moderat menghindari kesulitan dan ekstremitas yang dapat menghalangi masyarakat dalam menerima dan mengamalkan ajaran agama. Allah SWT telah menetapkan prinsip ini dalam firman-Nya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah: 185), dan “Dia tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama” (QS. Al-Haj: 78).

Toleransi dan kemudahan dalam moderasi beragama juga tercermin dalam berbagai hadis Nabi SAW. Misalnya, Nabi bersabda: “Agama yang paling dicintai oleh Allah adalah yang lurus dan mudah (Al-Hanafiyah As-Samhah)” (HR. Bukhari). Dalam kesempatan lain, Nabi SAW berpesan kepada Ali bin Abi Thalib dan Mu’adz bin Jabal saat mengutus mereka ke Yaman: “Mudahkanlah dan jangan persulit umat, berikanlah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari/menghindar” (HR. Bukhari). Selain itu, ketika seorang Badui kencing di masjid, Nabi SAW menegaskan: “Sesungguhnya aku diutus kepada kalian untuk memudahkan, bukan untuk menyulitkan atau menyusahkan” (HR. Bukhari). Pesan-pesan ini menunjukkan bahwa dakwah Islam harus dilakukan dengan pendekatan yang ramah, mudah dipahami, dan tidak menimbulkan kesan kaku atau mempersulit.

Moderasi beragama dalam dakwah juga mengedepankan sikap toleran terhadap perbedaan. Toleransi ini mencakup perbedaan pandangan, praktik keagamaan, dan interpretasi ajaran Islam selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama. Nabi SAW dan para sahabatnya menunjukkan contoh toleransi ini, di mana perbedaan pendapat di kalangan sahabat diperlakukan dengan saling menghormati. Perbedaan tersebut sering kali terkait masalah furu’iyah (cabang agama) dan khilaf tanawwu’ (perbedaan variasi), bukan perbedaan dalam hal-hal prinsip seperti halal-haram atau akidah.

Sejarah Islam mencatat bahwa para ulama besar seperti Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, At-Thabari, dan As-Suyuthi juga mengakui adanya perbedaan pendapat di kalangan sahabat bahkan antara Nabi SAW dan para sahabat. Perbedaan ini diterima sebagai bagian dari kekayaan intelektual Islam, asalkan tidak menimbulkan perpecahan atau konflik. Moderasi beragama dalam dakwah Islam, dengan demikian, bukan hanya mengedepankan kemudahan dan toleransi, tetapi juga mengajarkan pentingnya menerima keragaman pandangan sebagai bagian dari dinamika keagamaan yang sehat.[18]

Dengan mengimplementasikan prinsip as-samahah dan at-taisir, dakwah Islam yang moderat mampu mengakomodasi keragaman masyarakat, meredam potensi konflik, serta membangun harmoni sosial. Dakwah yang moderat dan toleran ini sejalan dengan karakter utama wasathiyah Islam, yaitu mengambil jalan tengah dan menghindari ekstremitas, baik dalam keyakinan maupun praktik keagamaan. Prinsip ini menjadikan moderasi beragama sebagai pendekatan dakwah yang relevan dan aplikatif dalam menghadapi tantangan keagamaan dan sosial di era modern.

Strategi Efektif dalam Dakwah Moderat di Dunia Digital

Dalam era digital yang berkembang pesat saat ini, media sosial dan berbagai platform digital memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam penyebaran informasi di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah yang berorientasi pada moderasi beragama. Kehadiran media sosial memberikan peluang besar bagi para pendakwah dan komunitas keagamaan untuk menyebarluaskan nilai-nilai toleransi, keseimbangan, dan inklusivitas kepada masyarakat luas.

Pemanfaatan media sosial sebagai sarana dakwah moderasi beragama menjadi semakin relevan mengingat pola konsumsi informasi masyarakat, terutama generasi muda atau biasa di bilang Gen Z Gen Alpha dan seterusnya, kini lebih banyak beralih ke platform digital. Generasi muda yang aktif di dunia maya cenderung mencari informasi keagamaan melalui internet, baik dalam bentuk artikel, video pendek, podcast, maupun diskusi daring. Oleh karena itu, pendekatan dakwah yang menggunakan media sosial tidak hanya memungkinkan pesan-pesan moderasi beragama menjangkau lebih banyak orang, tetapi juga dapat dikemas dalam format yang lebih menarik, interaktif, dan mudah dipahami.

Selain itu, dengan strategi yang tepat, media sosial dapat menjadi alat yang efektif untuk melawan narasi ekstremisme dan misinformasi yang sering kali menyebar di dunia digital. Dengan menghadirkan konten dakwah yang berbasis pada nilai-nilai keseimbangan, toleransi, dan kedamaian, para pendakwah dapat berkontribusi dalam membangun ekosistem digital yang lebih sehat dan mendukung pemahaman agama yang lebih inklusif. Dengan demikian, dakwah moderasi beragama di era digital bukan hanya tentang menyebarkan ajaran agama, tetapi juga tentang membentuk pola pikir masyarakat agar lebih terbuka, saling menghargai, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi keagamaan yang autentik.

Dengan mempertimbangkan perkembangan era digital yang semakin pesat, diperlukan strategi yang tepat dalam menyebarkan dakwah moderat agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, terdapat beberapa pendekatan strategis yang dapat diterapkan dalam dakwah moderat di dunia digital, yaitu meliputi:

Memanfaatkan Media Digital sebagai Sarana Penyebaran Dakwah Moderat

Platform digital seperti YouTube, Instagram, Facebook, TikTok, dan Twitter memiliki potensi besar dalam menyebarluaskan nilai-nilai moderasi beragama kepada masyarakat luas. Dengan jangkauan yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu serta aksesibilitas yang mudah, media sosial menjadi sarana yang efektif bagi para pendakwah dalam menyampaikan ajaran agama yang inklusif, moderat, dan toleran. Melalui platform ini, dakwah tidak hanya terbatas pada ruang-ruang ibadah atau forum diskusi keagamaan konvensional, tetapi dapat menjangkau berbagai kalangan, termasuk mereka yang sebelumnya kurang memiliki akses terhadap kajian-kajian keislaman.

Menurut Nurdin dan Roni (2020), pemanfaatan media digital dalam dakwah memberikan fleksibilitas yang lebih besar dibandingkan metode dakwah tradisional. Media digital memungkinkan para pendakwah untuk menyesuaikan cara penyampaian materi sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang semakin dinamis dan beragam. Dengan adanya berbagai fitur yang tersedia, seperti live streaming, podcast, video pendek, hingga infografis interaktif, dakwah dapat dikemas secara lebih menarik, mudah dipahami, dan sesuai dengan karakteristik audiens di era digital.[19]

Sebagai contoh, seorang dai atau pendakwah dapat memanfaatkan fitur live streaming di YouTube atau Instagram untuk mengadakan kajian interaktif yang memungkinkan audiens mengajukan pertanyaan secara langsung. Sementara itu, podcast bertema keislaman dapat menjadi alternatif bagi mereka yang ingin mendalami ajaran agama di tengah kesibukan sehari-hari, seperti saat berkendara atau bekerja. Video pendek di TikTok dan Instagram Reels juga menjadi media yang efektif dalam menyampaikan pesan-pesan singkat namun berdampak, terutama bagi generasi muda yang lebih menyukai konten visual yang cepat dan padat.

Dalam dunia digital yang penuh dengan arus informasi cepat dan kompetitif, dai perlu memahami bahwa penyajian konten yang menarik dan sesuai dengan kebutuhan audiens adalah kunci utama dalam menyampaikan pesan moderasi beragama. Seperti yang dijelaskan oleh Lestari (2024: 41), konten dakwah harus selaras dengan selera dan kondisi audiens agar mudah diterima dan dipahami. Oleh karena itu, dai perlu melakukan analisis mendalam terkait tren yang sedang berkembang serta preferensi audiens dalam mengonsumsi konten digital.

Konten yang relevan harus mencerminkan isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan moderasi beragama. Misalnya, dai dapat mengangkat topik toleransi antar umat beragama, pentingnya menjaga keharmonisan sosial, atau bagaimana menghadapi perbedaan dengan sikap yang bijaksana. Selain itu, pemilihan format penyampaian konten juga berperan penting dalam menarik perhatian audiens. Konten dapat dikemas dalam berbagai bentuk seperti video inspiratif, infografis yang informatif, artikel blog yang ringan, hingga podcast yang dapat didengarkan kapan saja.

Dai juga perlu memperhatikan gaya bahasa yang digunakan dalam konten dakwah. Penggunaan bahasa yang sederhana, mudah dicerna, serta sesuai dengan gaya komunikasi anak muda dapat membantu meningkatkan keterlibatan audiens. Seperti yang dijelaskan oleh Rosidi, et.al. (2023: 27), penggunaan istilah-istilah populer atau bahasa yang sedang tren di kalangan generasi muda dapat menjadi strategi efektif untuk menarik perhatian mereka terhadap pesan moderasi beragama.

Selain itu, komunikasi dua arah juga menjadi elemen penting dalam penyajian konten. Dai dapat mengadakan sesi tanya jawab interaktif, kuis, atau diskusi langsung melalui fitur komentar dan live streaming. Hal ini selaras dengan pendapat Rumata, et.al. (2021: 175), yang menyatakan bahwa komunikasi interaktif dalam media digital dapat memperkuat keterlibatan audiens dan meningkatkan efektivitas penyampaian pesan. Dengan menyajikan konten yang informatif, menarik, dan interaktif, dakwah moderasi beragama dapat lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan dan memberikan dampak yang lebih besar dalam membangun pemahaman tentang moderasi beragama.[20]

Melalui pemanfaatan teknologi digital ini, dakwah moderasi beragama dapat menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil atau memiliki keterbatasan waktu untuk mengikuti pengajian secara langsung. Selain itu, metode ini juga dapat membantu menangkal berbagai bentuk ekstremisme dan misinformasi keagamaan yang sering muncul di dunia maya dengan menyajikan konten-konten yang berbasis pada nilai-nilai keseimbangan, kedamaian, dan keterbukaan. Dengan demikian, media digital bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga menjadi wahana strategis dalam menyebarkan dakwah yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.

Mengembangkan Konten Dakwah yang Relevan, Menarik, dan Adaptif terhadap Perkembangan Era Digital

Konten dakwah yang bersifat menarik memiliki peran krusial dalam memastikan bahwa pesan moderasi beragama dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Oleh karena itu, materi yang disampaikan harus relevan dengan dinamika sosial yang berkembang serta mampu menyentuh berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pesan moderasi tidak hanya menjadi teori semata, tetapi juga menjadi sesuatu yang aplikatif dan berdaya guna dalam kehidupan bermasyarakat. Konten yang baik harus bisa menjangkau audiens yang beragam, mulai dari anak muda, profesional, hingga masyarakat umum, tanpa ada sekat-sekat eksklusivitas yang dapat menghambat pemahaman dan penerimaan pesan dakwah.

Pendekatan kreatif dalam penyajian konten dakwah menjadi elemen yang tak kalah penting. Salah satu strategi efektif adalah mengemas pesan dakwah dengan visualisasi yang menarik, seperti penggunaan animasi, infografis, dan storytelling yang menyentuh aspek emosional audiens. Narasi yang dibangun dengan cara ini dapat membuat pesan yang disampaikan lebih mudah dipahami, diingat, serta memiliki dampak yang lebih besar terhadap pemahaman dan penerapan nilai-nilai moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Heryanto (2018), keberhasilan dakwah di era digital sangat bergantung pada kemampuan dai dalam menyesuaikan kontennya dengan perkembangan zaman. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengadopsi unsur-unsur budaya pop yang sedang digemari oleh generasi muda. Misalnya, pendekatan melalui meme, video pendek di platform seperti TikTok dan Instagram Reels, serta kampanye hashtag yang sedang viral dapat meningkatkan keterlibatan (engagement) audiens. Dengan metode ini, pesan moderasi beragama tidak hanya sekadar tersampaikan, tetapi juga memiliki peluang besar untuk menyebar secara luas di media sosial, menciptakan diskusi yang positif, serta memperkuat pemahaman audiens tentang pentingnya sikap moderat dalam beragama.

            Salah satu contoh dai di Indonesia yang dikenal dengan pendekatan dakwahnya yang moderat adalah Habib Jafar. Beliau merupakan sosok pendakwah yang mampu merangkul berbagai kalangan, terutama generasi muda, melalui cara penyampaian yang santai, inklusif, dan relevan dengan perkembangan zaman. Habib Jafar tidak hanya menyampaikan pesan agama dengan cara yang ringan dan mudah dipahami, tetapi juga menunjukkan sikap terbuka terhadap berbagai latar belakang sosial, budaya, dan pemikiran. Hal ini menjadikannya figur yang dihormati dan dijadikan panutan oleh banyak orang. Sikapnya yang tidak menghakimi, penuh toleransi, serta mampu berdialog dengan siapa saja tanpa membedakan latar belakang membuatnya dikenal sebagai dai yang moderat. Melalui berbagai platform digital, ia berhasil menyampaikan nilai-nilai Islam yang ramah dan damai, sehingga dakwahnya dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat. Pendekatan inilah yang membuat Habib Jafar menjadi contoh nyata bagaimana dakwah moderasi beragama dapat berjalan secara efektif di era digital.

            Habib Jafar tidak hanya berhenti pada metode dakwah konvensional, tetapi juga mampu menjangkau berbagai platform digital yang tengah tren saat ini. Keberhasilannya dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan media menunjukkan bahwa dakwah moderat tidak terbatas pada usia atau generasi tertentu. Hal ini membuktikan bahwa dai yang lebih senior pun tetap dapat beradaptasi dengan era digital, asalkan mereka bersedia berkolaborasi dengan individu yang memiliki keahlian dalam bidang media digital. Dengan menggandeng tim yang memahami teknologi dan tren komunikasi modern, para dai, baik yang muda maupun yang lebih senior, dapat menyampaikan pesan dakwah mereka secara lebih luas dan efektif. Meskipun setiap dai memiliki segmentasi audiens atau target mad’u yang berbeda, pemanfaatan media digital tetap menjadi salah satu strategi yang memiliki peluang besar dan telah terbukti berhasil dalam menjangkau berbagai lapisan masyarakat saat ini.

Kesimpulan Dan Implikasi

Dalam era digital yang berkembang pesat, strategi dakwah moderat harus disesuaikan dengan dinamika konsumsi informasi yang semakin bergeser ke platform digital. Media sosial dan berbagai bentuk konten digital, seperti video pendek, podcast, serta infografis, telah menjadi instrumen efektif dalam menyebarluaskan nilai-nilai moderasi beragama. Pemanfaatan teknologi digital memungkinkan dakwah untuk menjangkau audiens yang lebih luas, terutama generasi muda seperti Gen Milenial, Gen Z dan Gen Alpha, yang lebih aktif dalam mengakses informasi melalui dunia maya.

Keberhasilan dakwah moderat di dunia digital sangat bergantung pada kemampuan pendakwah dalam memahami tren digital dan menyusun strategi konten yang menarik, relevan, serta mudah dipahami oleh masyarakat. Pendekatan yang adaptif dan kreatif, serta berbasis komunikasi dua arah, menjadi kunci utama dalam memastikan pesan moderasi beragama dapat diterima dengan baik. Selain itu, penggunaan gaya bahasa yang sesuai dengan karakteristik audiens, pemanfaatan budaya populer, serta penerapan metode storytelling yang emosional dan persuasif juga berperan penting dalam menarik perhatian dan meningkatkan keterlibatan audiens. Figur seperti Habib Jafar menjadi contoh konkret bagaimana seorang dai dapat menghadirkan pesan agama dengan cara yang inklusif, toleran, dan relevan dengan kondisi zaman, sehingga dakwah moderat dapat diterima oleh berbagai kalangan.

Implikasi dari dakwah moderasi beragama di dunia digital mencakup berbagai aspek, baik sosial, keagamaan, maupun teknologi. Pertama, dakwah berbasis digital dapat meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap moderasi beragama dengan menyebarkan nilai-nilai seperti toleransi, keseimbangan, dan keterbukaan secara lebih luas. Kedua, kehadiran dakwah moderat di media digital berkontribusi dalam menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat dengan menangkal misinformasi serta narasi ekstremisme yang sering beredar di media sosial. Ketiga, pemanfaatan teknologi digital dalam dakwah memungkinkan akses yang lebih luas terhadap ilmu keislaman, terutama bagi individu yang tinggal di daerah terpencil atau memiliki keterbatasan waktu untuk mengikuti kajian keagamaan secara langsung. Keempat, perkembangan dakwah digital menuntut dai untuk lebih melek teknologi dan memahami tren digital agar dakwah mereka tetap relevan dan efektif. Terakhir, dakwah berbasis digital memungkinkan interaksi yang lebih intensif antara dai dan audiens melalui fitur-fitur interaktif seperti live streaming, tanya jawab, serta diskusi daring, sehingga memungkinkan terciptanya ruang dialog yang lebih luas dalam memahami Islam sebagai agama yang ramah, damai, dan penuh toleransi.

Secara keseluruhan, dakwah moderat di era digital bukan hanya berperan dalam menyebarkan ajaran Islam yang inklusif, tetapi juga berkontribusi dalam membangun tatanan sosial yang lebih harmonis. Dengan pendekatan yang tepat, dakwah di dunia digital dapat menjadi solusi efektif dalam menghadapi tantangan globalisasi serta perubahan pola konsumsi informasi di masyarakat, sehingga nilai-nilai moderasi beragama dapat terus berkembang dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka

Abdilah, Apdil, dan Canra Krisna Jaya. “Moderasi Dakwah Di Era Digital Dan Tantangannya” 2 (2024): 795–806.

Anwar, Alfiansyah, Firdaus Muhammad, Musdalifa Ibrahim, dan Arfian Alinda Herman. “Pemanfaatan New Media dalam Dakwah Moderasi Beragama : Analisis Strategi Komunikasi Habib Ja ’ far Al -Hadar di Youtube” 14 (2024): 218–37. https://doi.org/10.35905/komunida.

Da, Beragama, I D A N Da, Iyah Berbagai, M U I Kecematan, Khairil Ikhsan Siregar, Fidaus Wajdi, Suci Nurpratiwi, et al. “PELATIHAN PEMAHAMAN STRATEGI DAKWA MODERASI JAKARTA TIMUR” 2024 (2024): 198–209.

Dodego, Subhan Hi Ali, Doli Witro, dan Abd. Rauf Muhammad Amin. “The Islamic Moderation And The Prevention Of Radicalism And Religious Extremism In Indonesia: Moderasi Islam Sebagai Solusi Menangkal Gerakan Radikalisme Dan Ekstrimisme Agama di Indonesia.” Dialog 43, no. 2 (2020): 199–208.

Faizin, Muhammad. “3 Tantangan Beragama di Era Digital menurut Ketua PWNU Lampung.” nu.or.id, 2023. https://www.nu.or.id/daerah/3-tantangan-beragama-di-era-digital-menurut-ketua-pwnu-lampung-NngPd.

Haryanto, Agus Tri. “APJII: Jumlah Pengguna Internet Indonesia Tembus 221 Juta Orang.” detiknet, 2024. https://inet.detik.com/cyberlife/d-7169749/apjii-jumlah-pengguna-internet-indonesia-tembus-221-juta-orang.

Ibnu Kasir, dan Syahrol Awali. “Peran Dakwah Digital dalam Menyebarkan Pesan Islam di Era Modern.” Jurnal an-Nasyr: Jurnal Dakwah Dalam Mata Tinta 11, no. 1 (2024): 59–68.

Jatmiko, Leo Dwi. “Prediksi APJII Pengguna Internet RI Capai 231 Juta pada 2025.” teknologi.bisnis.com, 2025. https://teknologi.bisnis.com/read/20250123/101/1834227/prediksi-apjii-pengguna-internet-ri-capai-231-juta-pada-2025.

Maarif, Syamsul Dwi. “Mengenal Asmaul Husna Al Wasi, Dalil, dan Cara Meneladaninya.” tirto.id, 2025. https://tirto.id/arti-asmaul-husna-al-wasi-dalil-surat-di-al-quran-dan-maknanya-gpNi.

Nirwan Wahyudi AR, Nurhidayat M. Said, dan Haidir Fitra Siagian. “Digitalisasi Dakwah Berbasis Kearifan Lokal.” Al-Mutsla 5, no. 2 (2023): 322–44. https://doi.org/10.46870/jstain.v5i2.637.

Rohmah, Farikhatur, Win Usuluddin, dan Siti Raudhatul Jannah. “Komunikasi Dakwah Digital dalam Penguatan Moderasi Beragama” 24, no. November (2024): 131–48. https://doi.org/10.15575/anida.v24i2.40168.

Safiq, Abdulloh, M Miftakhul Huda, dan Abdul Khamid. “The Universal Value of Islam as Rahmatan Lil’Alamin.” Indonesian Journal of Islamic Religion and Culture 1, no. 1 (2024).

Ulva, Ais Mariya, Dhiya Ul Hikmah, Diva Istivarini, dan Hasmy Nasanjy El M. “Pelaksanaan Konsep Islam Rahmatan Lil ‘Alamin.” al-Afkar, Journal For Islamic Studies 4, no. 2 (2021): 459–74.

Vio. “Memahami Arti Samahah sebagai Konsep Toleransi dalam Islam.” kumparan.com, 2022. https://kumparan.com/berita-hari-ini/memahami-arti-samahah-sebagai-konsep-toleransi-dalam-islam-1yX168tj2I3/full.

 

[1] Nirwan Wahyudi AR, Nurhidayat M. Said, dan Haidir Fitra Siagian, “Digitalisasi Dakwah Berbasis Kearifan Lokal,” Al-Mutsla 5, no. 2 (2023): 323.

[2] Agus Tri Haryanto, “APJII: Jumlah Pengguna Internet Indonesia Tembus 221 Juta Orang,” detiknet, 2024, https://inet.detik.com/cyberlife/d-7169749/apjii-jumlah-pengguna-internet-indonesia-tembus-221-juta-orang.

[3] Leo Dwi Jatmiko, “Prediksi APJII Pengguna Internet RI Capai 231 Juta pada 2025,” teknologi.bisnis.com, 2025, https://teknologi.bisnis.com/read/20250123/101/1834227/prediksi-apjii-pengguna-internet-ri-capai-231-juta-pada-2025.

[4] Nirwan Wahyudi AR, Nurhidayat M. Said, dan Haidir Fitra Siagian, “Digitalisasi Dakwah Berbasis Kearifan Lokal,” Al-Mutsla 5, no. 2 (2023): 324

[5] Ibnu Kasir dan Syahrol Awali, “Peran Dakwah Digital dalam Menyebarkan Pesan Islam di Era Modern,” Jurnal an-Nasyr: Jurnal Dakwah Dalam Mata Tinta 11, no. 1 (2024): 60.

[6] Muhammad Faizin, “3 Tantangan Beragama di Era Digital menurut Ketua PWNU Lampung,” nu.or.id, 2023, https://www.nu.or.id/daerah/3-tantangan-beragama-di-era-digital-menurut-ketua-pwnu-lampung-NngPd.

[7] Subhan Hi Ali Dodego, Doli Witro, dan Abd. Rauf Muhammad Amin, “The Islamic Moderation And The Prevention Of Radicalism And Religious Extremism In Indonesia: Moderasi Islam Sebagai Solusi Menangkal Gerakan Radikalisme Dan Ekstrimisme Agama di Indonesia,” Dialog 43, no. 2 (2020): 24.

[8] Alfiansyah Anwar et al., “Pemanfaatan New Media dalam Dakwah Moderasi Beragama : Analisis Strategi Komunikasi Habib Ja ’ far Al -Hadar di Youtube” 14 (2024): 239.

[9] Subhan Hi Ali Dodego, Doli Witro, dan Abd. Rauf Muhammad Amin, “The Islamic Moderation And The Prevention Of Radicalism And Religious Extremism In Indonesia: Moderasi Islam Sebagai Solusi Menangkal Gerakan Radikalisme Dan Ekstrimisme Agama di Indonesia,” Dialog 43, no. 2 (2020): 25.

[10] Apdil Abdilah dan Canra Krisna Jaya, “Moderasi Dakwah Di Era Digital Dan Tantangannya” 2 (2024): 796.

[11] Ais Mariya Ulva et al., “Pelaksanaan Konsep Islam Rahmatan Lil ‘Alamin,” al-Afkar, Journal For Islamic Studies 4, no. 2 (2021): 460.

[12] Ais Mariya Ulva et al., “Pelaksanaan Konsep Islam Rahmatan Lil ‘Alamin,” al-Afkar, Journal For Islamic Studies 4, no. 2 (2021): 461.

[13] Ais Mariya Ulva et al., “Pelaksanaan Konsep Islam Rahmatan Lil ‘Alamin,” al-Afkar, Journal For Islamic Studies 4, no. 2 (2021): 461

[14] Abdulloh Safiq, M Miftakhul Huda, dan Abdul Khamid, “The Universal Value of Islam as Rahmatan Lil’Alamin,” Indonesian Journal of Islamic Religion and Culture 1, no. 1 (2024). Hlm 12.

[15] Syamsul Dwi Maarif, “Mengenal Asmaul Husna Al Wasi, Dalil, dan Cara Meneladaninya,” tirto.id, 2025, https://tirto.id/arti-asmaul-husna-al-wasi-dalil-surat-di-al-quran-dan-maknanya-gpNi.

[16] Safiq, Huda, dan Khamid, “The Universal Value of Islam as Rahmatan Lil’Alamin.” Hal 13

[17] Vio, “Memahami Arti Samahah sebagai Konsep Toleransi dalam Islam,” kumparan.com, 2022, https://kumparan.com/berita-hari-ini/memahami-arti-samahah-sebagai-konsep-toleransi-dalam-islam-1yX168tj2I3/full.

[18] Safiq, Huda, dan Khamid, “The Universal Value of Islam as Rahmatan Lil’Alamin.” Hlm 15-16

[19] Beragama Da et al., “PELATIHAN PEMAHAMAN STRATEGI DAKWA MODERASI JAKARTA TIMUR” 2024 (2024): 205.

[20] Farikhatur Rohmah, Win Usuluddin, dan Siti Raudhatul Jannah, “Komunikasi Dakwah Digital dalam Penguatan Moderasi Beragama” 24, no. November (2024): 137.

Membangun Masyarakat Moderat melalui Komunikasi Dakwah

Penulis: Dina Fitriana, Editor: Ragil

Indonesia adalah negara multikultural sebagai miniatur peradaban dunia. Keragaman bangsa Indonesia dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, tidak hanya berkaitan dengan etnik dan agama saja. Akan tetapi juga dilihat dari artefak-artefak budaya yang menunjukkan keberagaman tersebut telah ada sejak era nusantara (masa kerajaan), era penjajahan, era perjuangan kemerdekaan, sampai dengan sekarang pasca Indonesia merdeka (Effendi et al., 2022, p. 1).

Pada tahun 2021, Indonesia tercatat memiliki 17.000 pulau dengan jumlah suku 1.340 dan lebih dari 300 suku bangsa berkomunikasi dalam 840 bahasa (Buaq & Lorensius, 2022). Berbagai keragaman tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang multikultural. Keragaman yang melekat pada bangsa Indonesia, tentu menjadi tantangan sendiri untuk hidup berdampingan dan menjaga kerukunan antar sesama masyarakatnya. Melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi bukti bahwa Indonesia dapat bersatu meski terdapat berbagai keragaman didalamnya.

Keragaman yang ada di Indonesia dapat berpengaruh terhadap interaksi masyarakatnya. Esensi manusia sebagai makhluk sosial akan menuntut suatu persinggungan antar budaya yang terkadang dapat menghasilkan percampuran budaya, etnik, bahkan agama. Pencampuran tersebut bisa terwujud dalam bentuk akulturasi, invensi, dan asimilasi. Hal ini akan berdampak pada tatanan kehidupan masyarakat Indonesia.

Perbedaan pandangan dan keragaman yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan konflik dan perpecahan. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya sikap eksklusif dan fanatis yang jika dibiarkan akan mengarah pada pandangan yang bersifat ekstrim. Dalam ranah agama, sikap fanatis dan eksklusif akan membuat seseorang beranggapan bahwa ajaran atau paham tertentu merupakan ajaran yang lebih baik dibanding lainnya. Ekstrimisme dalam beragama adalah suatu fenomena  yang kerap terjadi karena perbedaan cara pandang dalam memahami dan menafsirkan teks-teks ajaran agama. Perbedaan dalam memahami ajaran agama dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, pendidikan, dan pengalaman pribadi seseorang (Nurdin & Naqiyyah, 2019, p. 86).

Indonesia memiliki enam agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah. Enam agama tersebut yaitu ada agama Islam, Buddha, Hindu, Katholik, Kristen, dan Konghucu. Masyarakat Indonesia diberikan hak dan kebebasan dalam memilih agama sesuai dengan keyakinannya. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Hal ini menegaskan jika kebebasan beragama di Indonesia dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan beragama merupakan hak fundamental yang tidak dapat dicabut, tetapi dapat dibatasi dalam beberapa kondisi.

Agama memiliki banyak aspek yang bisa dihubungkan dengan semua aspek kehidupan manusia. Agama dapat menjadi penengah dan dijadikan pegangan saat masyarakat tengah dilanda berbagai ketegangan dan persaingan antar kelompok. Akan tetapi fakta dilapangan berkata sebaliknya, agama justru seringkali dituding sebagai salah satu penyebab terjadinya konflik antar kelompok masyarakat.

Data terbaru yang dirilis pada Juni 2024 oleh Setara Institute menunjukan jika sejumlah 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) terjadi sepanjang tahun 2023. Angka tersebut naik signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 175 peristiwa dengan 333 tindakan. Dari 329 tindakan pelanggaran yang disebutkan, sebanyak 114 di antaranya dilakukan oleh aktor negara, dan 215 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara.

Pelanggaran KBB dengan 114 tindakan aktor negara paling banyak dilakukan oleh pemerintah daerah dengan 40 tindakan, kepolisian (24 tindakan), Satpol PP (10 tindakan), TNI (8 tindakan), Forkopimda (6 tindakan), dan institusi pendidikan (4 tindakan). Sedangkan untuk pelanggaran KBB oleh aktor non-negara paling banyak dilakukan oleh warga (78 tindakan), individu (19 tindakan), Majelis Ulama Indonesia-MUI (17 tindakan), ormas keagamaan (8 tindakan), dan WNA (5 tindakan).

Sementara pada tahun 2024, konflik beragama juga masih terjadi seperti pada 30 Juni 2024 terjadi penghentian ibadah Minggu di gereja Pantekosta di Sidoarjo, Jawa Timur oleh Kepala Desa dan jajarannya. Kepala Desa menyebutkan jika tindakannya didasari oleh adanya keluhan dari masyarakat yang mempertanyakan keberadaan bangunan gereja. Pihak gereja akhirnya menjelaskan jika keberadaan gereja tersebut sudah terdaftar dan mengantongi surat keterangan tanda lapor (SKTL) dengan nomor: 20432/Kw.13.08/12/2023.

Beberapa kasus intoleransi yang kerap terjadi di Indonesia biasanya termasuk dalam bentuk penolakan, perusakan atau penutupan tempat ibadah, dan serangan fisik. Sikap intoleransi yang ada terkadang berkaitan dengan aksi terorisme dan radikalisme. Sedangkan menurut Liliweri sebagaimana dikutip oleh Hamdi, bahwa terjadinya konflik umat beragama disebabkan karena kurangnya pemahaman dan sikap acuh umat atau kelompok agama tertentu terhadap umat atau kelompok agama lainnya yang memiliki perbedaan ideologi (Hamdi et al., 2020, p. 342).

Untuk menumbuhkan sikap saling peduli dan meningkatkan kerukunan antar umat beragama, diperlukan upaya yang berkelanjutan dalam membangun pemahaman yang mendalam terhadap perbedaan keyakinan. Sikap toleransi atau menghargai dalam melaksanakan praktek keagamaan menjadi salah satu satu cara untuk menciptakan kerukunan antar umat. Toleransi dapat diwujudkan dengan membiarkan, menghargai dan memperbolehkan perbedaan pendapat, keyakinan, atau praktik yang dilakukan oleh kelompok lain. Sikap toleransi juga dapat dilihat ketika seseorang dapat menerima keberagaman dalam kehidupan sosial.

Peran lembaga terkait dan tokoh masyarakat dalam memupuk rasa toleransi di masyarakat sangat diperlukan. Di Indonesia yang dikenal dengan keragaman masyarakatnya, dijalankan konsep moderasi beragama sebagai upaya untuk membimbing masyarakat supaya memiliki pemahaman moderat terhadap agama. Pemahaman moderat ini perlu dipahami oleh masyarakat Indonesia agar tidak bersikap ekstrim dan menjauhi pemikiran yang cenderung rasional tanpa mengenal batas.

Moderasi secara etimologi berasal dari bahasa Inggris yaitu (moderation), yang berarti sikap sedang atau tidak berlebihan, sehingga ketika ada ungkapan “orang itu bersikap moderat” berarti ia tidak berlebih-lebihan, bersikap wajar, biasa-biasa saja dan tidak ekstrim. Kata moderasi dalam bahasa Arab diartikan al-wasathiyah. Secara bahasa al-wasathiyah berasal dari kata wasath. Al-Asfahaniy mendefinisikan wasath dengan sawa’un yaitu tengah-tengah diantara dua batas, atau dengan keadilan, yang tengah-tengah atau yang standar atau yang biasa-biasa saja. (Syukur & Hermanto, 2021, p. 1).

Moderasi mengacu pada sikap tengah yang menghindari fanatisme dan kekakuan dalam menyampaikan ajaran agama. Sikap ini menitikberatkan pada nilai keseimbangan, toleransi, dan penghormatan terhadap suatu perbedaan. Cara menyampaikan pesan agama dengan menerapkan sikap moderasi diperlukan agar pesannya dapat diterima oleh audience. Dalam Islam, proses penyampaian ajaran agama ini disebut sebagai kegiatan berdakwah. Dakwah berbasis moderasi akan membuat pesan dakwah diterima lebih luas tanpa menimbulkan konflik di masyarakat yang plural.

Komunikasi menjadi salah satu aspek yang berpengaruh dan perlu diperhatikan dalam menyampaikan nilai dan ajaran agama. Dakwah sebagai bentuk penyampaian pesan keagamaan mempunyai fungsi utama dalam membimbing umat kearah kebaikan. Dalam melaksanakan kegiatan dakwah, tentu akan disertai berbagai tantangan didalamnya. Tantangan dakwah akan berbeda dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan masyarakatnya. Perbedaan latar belakang budaya, pandangan, dan pemahaman agama menjadi beberapa tantangan dalam berdakwah. Komunikasi dakwah berbasis moderasi menjadi penting untuk dapat merangkul semua kalangan secara bijaksana dan inklusif.

Menurut Hanafi dan Abdillah dalam Abd. Rasyid M, manusia tidak hanya diciptakan sebagai makhluk Allah, tetapi juga sebagai makhluk sosial yang memiliki rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu yang dialami dan dilihat. Untuk mengembangkan rasa ingin tahu tersebut, manusia terus berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungannya. Komunikasi memegang peran penting karena melalui proses inilah manusia belajar dan berkembang menjadi pribadi yang utuh (Masri, 2014).

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan. Komunikasi penting untuk diperhatikan karena manusia sebagai makhluk sosial pasti akan berinteraksi. Dalam berinteraksi tersebut, manusia tidak dapat terpisah dari yang namanya proses komunikasi. Komunikasi berfungsi dalam membangun hubungan sosial, menyampaikan informasi, dan memengaruhi pemahaman di antara individu atau kelompok. Proses komunikasi yang efektif memungkinkan terciptanya kesepahaman, meminimalkan miskomunikasi, dan membangun hubungan yang harmonis.

Dalam kitab suci Al-Quran, Allah SWT menyebutkan tentang komunikasi yang tercantum pada Surah Ar-Rahman ayat 1-4

اَلرَّحْمٰنُۙ ۝١ عَلَّمَ الْقُرْاٰنَۗ ۝٢ خَلَقَ الْاِنْسَانَۙ ۝٣ عَلَّمَهُ الْبَيَانَ ۝٤

Artinya:

(Allah) Yang Maha Pengasih, telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia. Dia mengajarinya pandai menjelaskan.

Beberapa ulama memberikan tafsiran terhadap ayat tersebut. M. Quraish Shihab dalam penafsirannya menyampaikan bahwa setelah Allah swt menyebut rahmat-Nya secara umum, disebutkan rahmat dan nikmat-Nya yang teragung sekaligus menunjukkan kuasa-Nya melimpahkan sekelumit dari sifatNya kepada hamba-hamba-Nya agar mereka meneladani-Nya dengan menyatakan “dialah yang telah mengajarkan al-Qur’an kepada siapa saja yang Dia kehendaki. kemudian Allah ar-Rahman mengajarkan Al-Qur’an dan menciptakan manusia makhluk yang paling membutuhkan tuntunanNya sekaligus yang paling berpotensi memanfaatkan tuntunan itu, dan mengajarnya ekspresi yakni kemampuan menjelaskan apa yang ada dalam benaknya dengan berbagai cara utamanya terutama dengan bercakap yang baik dan benar. Bahkan bukan hanya terbatas pada ucapan tetapi segala macam bentuk ekspresi termasuk seni dan raut muka, perbuatan, tulisan, isyarat dan lain-lain” (Shihab, 2016).

Ulama lain, Hamka menafsirkan ayat tersebut bahwa rahman memiliki arti yang sangat luas, bisa diartikan kasih, sayang, cinta dan pemurah, meliputi segala segi dari kehidupan manusia dan terbentang di dalam segala makhluk yang wujud dalam dunia ini. Rahmat Ilahi yang paling utama adalah ilmu pengetahuan yang dianugerahkan kepada manusia terutama pengetahuan tentang Al-Qur’an. Rahman selanjutnya adalah penciptaan manusia yang merupakan satu-satunya makhluk paling mulia dan disempurnakan dengan pengajaran oleh Allah swt. agar manusia mampu menyatakan perasaan hatinya dengan kata-kata (Hamka, 2015).

Ayat keempat dari Q.S. Ar-Rahman menegaskan pentingnya komunikasi, di mana salah satu bentuknya adalah melalui ekspresi. Manusia menggunakan ekspresi untuk menyampaikan pikiran dan perasaan melalui berbagai cara, seperti kata-kata, seni, mimik wajah, tindakan, tulisan, isyarat, dan lainnya. Ekspresi termasuk dalam komunikasi nonverbal atau visual, yang menjadi salah satu dari tiga aspek utama dalam proses komunikasi, selain komunikasi verbal dan visual. Oleh karena itu, seorang komunikator sebaiknya memiliki keterampilan dalam merangkai kata atau kalimat (verbal) agar pesan tersampaikan dengan baik (Faridah et al., 2023, p. 25).

Al-Qur’an juga memberikan beberapa petunjuk yang dapat dijadikan panduan dalam berkomunikasi, sebagaimana dijelaskan dalam uraian berikut.

  1. Qaulan Sadidan (Perkataan yang tegas dan benar)

Qaulan Sadidan merujuk pada perkataan yang tepat dan sesuai dengan situasi, diibaratkan seperti anak panah yang mengenai sasaran. Prinsip komunikasi ini dijelaskan dalam QS. An-Nisa ayat 9, di mana kata sadidan pada ayat ini ditafsirkan tidak sekedar berarti yang benar, namun juga tepat sasaran yakni menyampaikan sesuatu sesuai tempatnya, bersifat mendidik, jika mengkritik hendaklah yang bersifat membangun (Shihab, 2016). Selain dalam QS. An-Nisa, istilah ini juga terdapat dalam QS. Al-Ahzab ayat 70.

  1. Qaulan Balighan (Perkataan yang Membekas)

Qaulan Balighan adalah perkataan yang disesuaikan dengan kondisi dan keadaan lawan bicara. Dalam berkomunikasi, dianjurkan untuk tidak membicarakan masalah pribadi seseorang di depan umum, melainkan menyampaikannya secara langsung dan tertutup. Panduan mengenai cara berkomunikasi ini terdapat dalam QS. An-Nisa ayat 63.

  1. Qaulan Ma’rufan (Perkataan yang Baik)

Qaulan Ma’rufan mengacu pada tutur kata yang baik, sopan, ramah, dan tidak menyinggung perasaan orang lain. Perkataan ini juga harus bebas dari unsur yang kotor atau memancing hawa nafsu. Prinsip ini dijelaskan dalam QS. An-Nisa ayat 5.

  1. Qaulan Kariman (Perkataan yang Mulia)

Qaulan Kariman adalah ucapan yang penuh adab, indah, dan menghormati orang lain. Perkataan ini membuat orang yang diajak bicara merasa dihargai dan dimuliakan. Penjelasan mengenai konsep ini terdapat dalam QS. Al-Isra ayat 23, di mana kata kariman dalam ayat ini ditafsirkan sebagai kata terbaik dan termulia sesuai objeknya (Shihab, 2016).

  1. Qaulan Layyinan (Perkataan yang Lemah Lembut)

Qaulan Layyinan adalah cara berkomunikasi dengan sikap lembut, tidak menghakimi, dan mengingatkan tentang hal-hal yang disepakati bersama, seperti kematian. Selain itu, berbicara dengan menggunakan panggilan yang disukai oleh lawan bicara juga termasuk dalam prinsip ini. Panduan mengenai komunikasi seperti ini terdapat dalam QS. Thaha ayat 44.

  1. Qaulan Maysuran (Perkataan yang Pantas)

Qaulan Maysuran merujuk pada ucapan yang menyenangkan, membangkitkan harapan, dan membuka peluang bagi orang lain untuk menerima kebaikan dari kita. Prinsip mengenai komunikasi yang pantas ini terdapat dalam QS. Al-Isra ayat 28.

  1. Qaulan Tsaqila (Perkataan yang Berat)

Qaulan Tsaqila mengacu pada perkataan yang berbobot, bermakna mendalam, dan memerlukan pemikiran serius untuk memahaminya. Ucapan ini memiliki nilai yang kuat dan bertahan lama dalam ingatan. Prinsip ini dijelaskan dalam QS. Al-Muzammil ayat 5.

  1. Ahsanu Qaulan (Perkataan yang paling baik)

Ahsanu Qaulan merujuk pada perkataan yang mengajak kepada keimanan kepada Allah SWT, mendorong perbuatan baik, dan menunjukkan ketaatan kepada-Nya. Prinsip ini dijelaskan dalam QS. Fushilat ayat 33 (Hefni, 2017).

Komunikasi berfungsi untuk membentuk kesadaran keagamaan yang seimbang di tengah masyarakat yang semakin kompleks dan beragam. Dalam hal keagamaan, komunikasi dapat berperan sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran agama, nilai-nilai kebajikan, dan membangun pemahaman yang moderat terhadap agama. Masyarakat bisa membentuk pemahaman terhadap agama yang tidak ekstrim serta selaras dengan prinsip moderasi lewat komunikasi dengan berbasis nilai-nilai Islam secara efektif.

Dalam pedoman moderasi beragama, terdapat berbagai aspek yang memengaruhi cara komunikasi antara individu dan kelompok yang memiliki keyakinan atau kepercayaan agama yang berbeda. Memahami aspek-aspek ini sangat penting untuk membangun komunikasi yang baik dan mendorong terciptanya moderasi beragama yang harmonis. Berikut adalah beberapa aspek yang memengaruhi cara orang berkomunikasi dalam konteks ini: (Ridha et al., 2024)

  1. Konteks Sosial dan Budaya

Cara seseorang berkomunikasi pada pedoman moderasi beragama sangat dipengaruhi oleh masyarakat dan budaya tempat mereka berada. Adat istiadat, prinsip, dan kebiasaan masyarakat dapat memengaruhi cara orang berbicara dan berinteraksi. Perbedaan sosial dan budaya juga bisa mengganggu percakapan serta menentukan cara kelompok dan individu dalam melakukan interaksi antara satu dengan yang lain.

  1. Pendidikan serta Pengetahuan Agama

Tingkatan pemahaman dan pengetahuan mengenai agama yang dimiliki seorang individu atau kelompok turut menjadi pengaruh bagi mereka dalam berkomunikasi mengenai konteks moderasi beragama. Individu atau kelompok dengan pengetahuan agama yang baik serta pemahaman yang cukup dalam mengenai ajaran agama, mereka akan cenderung menghormati adanya perbedaan serta mampu membangun komunikasi dengan lebih efektif. Selain itu, pengetahuan mengenai agama lain juga mendorong mencegah munculnya pemikiran buruk serta stereotip.

  1. Sikap serta Perspektif Personal

Pandangan individu juga kelompok mengenai agama serta keragaman sangat krusial pada pola komunikasi. Perilaku yang ramah, transparan, serta saling menghargai bisa membantu komunikasi menjadi lebih baik serta mendorong moderasi beragama. Begitu juga sebaliknya, perilaku yang kasar, keras, juga merendahkan bisa memutuskan interaksi yang harmonis serta menghambat upaya moderasi beragama.

  1. Keterampilan Komunikasi

Keterampilan dalam berkomunikasi diperlukan untuk membangun komunikasi yang efektif dan mendorong saling pengertian. Penting bagi seseorang untuk mendengarkan secara aktif, menyampaikan gagasan dengan jelas dan terstruktur, serta menghindari penilaian atau kesimpulan yang tergesa-gesa. Selain itu, penggunaan bahasa yang inklusif menjadi faktor penting dalam menciptakan ruang dialog yang terbuka dan menghormati perbedaan.

  1. Konteks Politik dan Media

Pola komunikasi dalam moderasi beragama juga dipengaruhi oleh faktor politik dan media. Pendapat dan perilaku seseorang atau kelompok mengenai keyakinan agama lain dapat dipengaruhi dengan permasalahan politik yang sensitif serta liputan media yang bias. Oleh karena itu, kebijakan politik yang inklusif dan peran media yang bertanggung jawab dapat membantu menciptakan lingkungan komunikasi yang lebih adil.

Dengan menerapkan aspek-aspek tersebut, komunikasi dalam moderasi beragama dapat menjadi sarana untuk memperkuat toleransi, mengurangi kesalahpahaman, dan membangun harmoni di tengah keragaman. Keterampilan komunikasi yang baik juga memungkinkan terciptanya dialog yang konstruktif, di mana setiap pihak merasa didengar dan dihargai, sehingga tercapai pemahaman bersama yang lebih mendalam.

Seiring berkembangnya teknologi, bentuk dan cara komunikasipun mengalami perubahan. Jika dahulu komunikasi dilakukan secara langsung atau melalui media cetak, kini komunikasi dapat berlangsung secara virtual melalui berbagai platform digital. Kemajuan ini membawa dampak positif, seperti kemudahan akses informasi dan memperluas jaringan sosial. Namun, juga menimbulkan tantangan baru seperti penyebaran hoaks dan kurangnya komunikasi tatap muka.

Komunikasi dengan memanfaatkan media digital menjadi salah satu cara baru untuk berdakwah. Komunikasi dakwah dilakukan untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan termasuk pesan moderasi beragama. Menurut Kosasih sebagaimana dikutip Fathur Rohman, moderasi beragama dalam pandangan Islam dikenal dengan istilah Al-Wasathiyah yang memiliki arti terbaik, paling sempurna, sementara pelakunya disebut moderat (Rohman, 2023, p. 366).

Digitalisasi dakwah adalah sebuah proses untuk mengubah (merekam, mengemas, dan menyajikan) informasi dakwah dari format analog menjadi format digital sehingga lebih mudah untuk diproduksi, disimpan, dikelola, dan didistribusikan. Dakwah adalah proses penyebaran informasi sedangkan informasi adalah salah satu objek utama digitalisasi. Maka otomatis digitalisasi dakwah terjadi dengan alami, mengalir seiring perkembangan teknologi yang menjadi syarat utama digitalisasi (Syukur & Hermanto, 2021, p. 126).

Saat ini sering dijumpai para dai yang menggaungkan moderasi beragama melalui platform digital. Tidak hanya dari kalangan dai, dari kalangan pengguna platform digital juga sudah mulai turut menggaungkan moderasi beragama di platform digital. Beberapa contohnya seperti Habib Husein Ja’far yang melakukan kunjungan ke salah satu daerah di Jember yang di dalamnya terdapat 3 agama, kunjungan itu lalu diunggah di media sosial Youtube. Habib Ja’far juga sering mengunggah video podcast dengan tokoh agama lain (Rohmah et al., 2024, p. 135).

Selain aktif pada kanal Youtube pribadinya, Habib Ja’far juga menjembatani dalam podcast kerja sama antara Deddy Corbuzier bersama host Leonard (Onad) dengan mendatangkan tokoh-tokoh berbagai agama. Peran Habib Ja’far sangat signifikan dalam memotivasi generasi muda untuk mengembangkan sikap moderasi dan inklusif dalam beragama. Melalui inspirasinya, generasi muda dapat belajar untuk lebih menghargai perbedaan dan menjadi lebih toleran. Dengan menekankan pesan toleransi, kerukunan, dan persatuan, ia berhasil menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya menghormati perbedaan keyakinan dan pandangan. Pendekatan ini terbukti sangat efektif dalam mencegah radikalisasi dan ekstrimisme di kalangan pemuda (Fitriyah & Yaqin, 2024, p. 192).

Dakwah di ruang digital untuk menyebarkan pemahaman moderasi beragama juga dilakukan beberapa tokoh. Kanal youtube al-Bahjah TV, Ulil Abshar Abdalla, dan Ngaji Ahlusunnah merupakan tiga kanal youtube yang secara konsisten menyiarkan aktivitas dakwah Islam, terutama berkaitan dengan penguatan keterampilan dan pengetahuan keagamaan dalam bentuk pengajian kitab kuning. Masing-masing memiliki fokus kajian kitab kuning yang diasuh oleh seorang kiai. Kanal Youtube Al-Bahjah TV di bawah asuhan Buya Yahya secara konsisten mensiarkan kajian live streaming kitab Minhajul Abidin, Ayyahul Walad, Riyadush Sholihin, Syarah Asmaul Husna, dan Al-Hikam Ibn Athaillah (Effendi et al., 2022, p. 82)

Kanal Youtube Ngaji Ahlusunnah di bawah asuhan Gus Baha, secara konsisten melakukan kajian kitab kuning Risalah Ahlu Sunnah Wal Jamaah dan Al-Qowaidu Al- Asasiyyah fi ‘Ulumi Al-Qur’an. Sementara itu, Kanal Youtube Ulil Abshar Abdalla yang menunjukkan nama pengelola sesungguhnya, secara rutin melangsungkan live streaming kajian kitab Ihya Ulumiddin, Misykat Al-Anwar, dan sesekali kitab Al-Munqidz Min Al-Dlalal.

Salah satu konten dakwah yang disampaikan melalui channel Youtube para tokoh tersebut adalah tradisi sorogan. Tradisi sorogan ini digunakan sebagai strategi untuk menarik perhatian generasi muda yang merupakan pengguna dominan media sosial. Penyampaian pesan moderasi beragama yang dilakukan secara virtual akan mudah disampaikan apabila dikemas dan diproduksi dengan memperhatikan karakteristik pengguna media sosial. Dalam konteks ini, tradisi sorogan yang menjadi ciri khas lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren dapat disebarluaskan secara lebih luas termasuk bagi generasi muda yang tidak ‘mondok’ atau berasal dari luar kalangan santri.

Tradisi sorogan yang disampaikan dengan format yang sesuai dengan media sosial dapat menjadi alternatif bagi generasi muda yang memiliki kebutuhan terhadap pengetahuan ajaran Islam. Melalui tradisi sorogan live streaming ini dapat menguatkan nilai-nilai, narasi, dan praktik moderasi beragama yang bermuara pada keterbukaan, sikap kritis dan keharmonisan dalam ruang lingkup kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Cara seperti ini menjadi bukti bahwa kegiatan dakwah semakin berkembang dan tidak lagi eksklusif di ruang-ruang fisik, melainkan meluas di ruang digital yang menjadi habitat utama generasi muda.

Pembelajaran sorogan dapat dijadikan sebagai salah modal dalam membangun model penanaman moderasi beragama di lingkungan pesantren. Hal ini sangat strategis disebabkan posisi pesantren sebagai ruang pengembangan calon ulama, asatidz, dan tokoh keagamaan yang akan menjadi rujukan umat di masa yang akan datang. Dengan kata lain, pesantren sebagai habitus yang akan memperkuat ekosistem moderasi beragama di Indonesia. Peran ini sangat penting dilakukan agar setiap santri mampu mengamalkan nilai-nilai universalitas agama yang tidak hanya berorientasi secara internal umat Islam saja, tetapi juga untuk kehidupan kemanusiaan secara umum (Effendi et al., 2022, p. 77).

Sementara pada media sosial lain yaitu Instagran dan TikTok ada beberapa potret kampanye dengan menggunakan tagar moderasi beragama. Dalam sebuah kampanye, pesan yang disampaikan memiliki peran krusial karena dapat memengaruhi keberhasilan kampanye tersebut. Melalui kampanye yang dilakukan oleh akun @sendiokta98, dijelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman, baik dari segi suku, bangsa, maupun agama. Secara khusus, konten pada akun @sendiokta98 mengedepankan kampanye tentang moderasi beragama. Namun, akun ini juga menekankan bahwa sebagai bagian dari civitas akademika, kita memiliki tanggung jawab penting dalam mendukung dan menyebarkan kampanye ini.

Sedangkan dalam akun TikTok @kang.jays, disampaikan bahwa kunci dari kedamaian hidup adalah saling menghormati dan menghargai sesama. Pesan yang dibuat bisa dalam bentuk tulisan, yang berisikan lambang atau simbol yang sudah disepakati sebelumnya. Pratikno menjelaskan terkait pesan, bahwa “pesan adalah segala bentuk komunikasi, baik verbal ataupun nonverbal”. Verbal sendiri berarti komunikasi lewat lisan sedangkan nonverbal memiliki arti komunikasi menggunakan isyarat, sentuhan penciuman dan perasaan, dan symbol (Pratiwi et al., 2021, p. 91).

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dai dalam menggunakan media digital untuk menyampaikan pesan moderasi beragama, di antaranya; pertama, memilih platform digital yang tepat. Untuk mengkomunikasikan pesan moderasi beragama, dai harus memilih platform media digital yang tepat sebab penggunaan media menjadi poin penting dalam dakwah. Beberapa platform yang paling populer dan efektif dalam dakwah Islam adalah media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, TikTok dan Youtube. Setiap platform tersebut tentunya memiliki kekuatan tersendiri. Dai harus memanfaatkan fitur-fitur yang ada pada media seperti fitur komentar dan siaran langsung. Dai dapat meningkatkan keterlibatan audiens dan menjawab keraguan secara langsung (Rohmah et al., 2024, p. 137).

Kedua, membuat konten yang relevan dan menarik. Konten yang relevan berarti harus sesuai dengan kebutuhan dan minat audiens, seperti isu-isu moderasi beragama yang terkini. Selain itu, konten harus disajikan dalam format yang menarik, seperti video dengan visual yang atraktif, infografis, atau artikel blog yang ringkas dan mudah dipahami. Konten dapat dikemas seperti podcast, video inspiratif, atau gambar-gambar yang menarik. Penguatan moderasi beragama di media sosial harus menggunakan bahasa yang sederhana, mudah dicerna dan mudah dipahami atau menggunakan bahasa-bahasa yang sedang tren sehingga menarik perhatian audiens.

Ketiga, interaktif melalui fitur media sosial. Media sosial memberikan berbagai fitur interaktif yang tentunya sangat bermanfaat bagi proses komunikasi dakwah, sebab media sosial dirancang untuk memberikan fasilitas komunikasi dua arah dan interaksi sosial yang terjadi di dalamnya. Hal ini akan menyebabkan antara da’i sebagai komunikator dapat berinteraksi dengan audiensnya sebagai komunikan melalui fitur-fitur tersebut. Contohnya, menggunakan Instagram Stories untuk melakukan tanya jawab tentang isu-isu moderasi beragama terkini atau Twitter Threads untuk membahas topik-topik moderasi beragama secara detail. Fitur-fitur ini meningkatkan keterlibatan audiens dan memberikan kesempatan bagi dai untuk menjawab berbagai pertanyaan secara langsung.

Keempat, meningkatkan aksesibilitas informasi dakwah. Dai harus memanfaatkannya untuk menyebarkan materi moderasi beragama yang mendalam dan informatif. Dalam era digital yang semakin canggih ini, para dai harus meningkatkan aksesibilitas dalam menyampaikan materi moderasi beragama untuk memastikan pesan mereka dapat dicapai oleh audiens luas. Salah satu strategi efektifnya adalah dengan menggunakan platform media sosial yang fleksibel dan mudah diakses seperti Instagram, Facebook, TikTok, dan Youtube. Situs web dan blog bisa digunakan dai untuk menulis artikel-artikel yang mendalam tentang berbagai aspek ajaran Islam termasuk tentang moderasi beragama.

Kelima, menjaga otentitas dan kredibilitas pesan dakwah. Salah satu tantangan besar dalam era digital adalah menjaga otentisitas dan kredibilitas pesan dakwah. Banyaknya informasi yang berseliweran, dan jika tidak diperhatikan, maka kesalahpahaman dapat terjadi. Oleh karena itu, para dai harus memastikan bahwa semua informasi yang disampaikan tentang moderasi beragama melalui media digital sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Dai harus mengacu pada teks agama, tradisi, dan ijtihad tokoh agama yang terjamin kredibilitasnya untuk mendukung argumennya sehingga dapat membantu dai dalam membangun kepercayaan audiens dan meningkatkan dampak positif dari materi moderasi yang disampaikan (Rohmah et al., 2024, p. 139).

Masyarakat moderat adalah masyarakat yang mengedepankan keseimbangan, toleransi, dan sikap saling menghormati dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks agama, moderasi berarti menjauhi sikap ekstremisme, baik yang bersifat radikal maupun liberal. Masyarakat moderat mampu memahami perbedaan pendapat, menghindari fanatisme, dan mempromosikan perdamaian. Prinsip-prinsip ini sangat penting dalam menjaga stabilitas sosial di tengah keberagaman budaya dan keyakinan.

Komunikasi dakwah memiliki peran penting dalam membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat. Ditengah masyarakat Indonesia yang beragam, dakwah tidak hanya berfokus pada penyampaian ajaran agama, tetapi juga membina kesadaran sosial yang mengedepankan nilai-nilai moderasi. Adanya dialog terbuka antara berbagai kelompok masyarakat dapat menjadi sarana untuk saling memahami dan menghormati perbedaan, sekaligus membangun jembatan komunikasi yang harmonis.

Pendekatan yang persuasif dan edukatif dalam menyampaikan pesan dakwah akan lebih efektif daripada menggunakan cara-cara yang memaksa atau menghakimi. Pendekatan ini menekankan pada pemahaman dan kesadaran, bukan pada intimidasi atau pemaksaan. Pemanfaatan media sosial dapat menjadi solusi yang efektif untuk menyebarkan pesan dakwah yang moderat. Penyampaian dakwah melalui media sosial harus memperhatikan etika komunikasi dan menghindari ujaran kebencian atau provokasi yang dapat memecah belah masyarakat.

Seperti halnya yang dilakukan oleh Ustad Abdul Somad atau yang akrab dipanggil dengan “UAS”.  UAS terkenal dengan gaya bicaranya yang khas dalam menyampaikan materi dakwah. UAS sering menelaah berbagai isu keagamaan dan sosial yang terjadi di masyarakat. Meskipun terkenal, UAS tetap memegang teguh prinsip dakwah moderat yang didukung oleh pemikiran wasathiyah yang diajarkan oleh Al-Azhar. Ia juga dikenal oleh berbagai kalangan, baik muda maupun tua.

Dalam dakwahnya, UAS selalu menekankan bahwa toleransi beragama adalah bagian integral dari ajaran Islam. Menurutnya, umat Islam harus memperlakukan orang-orang dari agama lain dengan hormat dan kesopanan, karena hal ini sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Hal ini juga sejalan dengan contoh yang diberikan Rasulullah SAW saat hijrah ke Madinah, di mana Rasul berhasil membangun masyarakat yang beradab, bahkan golongan non-Muslim (Rizqana et al., 2024, p. 49).

Dakwah moderat UAS memiliki implikasi yang positif terhadap toleransi beragama di Indonesia. Dakwah moderat yang dilakukan oleh UAS dapat memperkuat toleransi dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari beberapa implikasi dakwah moderat UAS yaitu: memperkuat pemahaman tentang Islam yang moderat dan Rahmatan lil ‘Alamin, meningkatkan toleransi antar umat beragama (dialog antar agama), mengatasi stereotip negatif, mengurangi potensi konflik, dan mendorong umat Muslim untuk mempertajam kritikalitas dan rasionalitas dalam memahami agama (Rizqana et al., 2024).

Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia menghadapi tantangan dalam memelihara nilai-nilai keberagaman di tengah pengaruh globalisasi, arus informasi digital, dan potensi munculnya paham ekstremisme. Dalam konteks ini, komunikasi dakwah yang moderat menjadi sarana strategis untuk membentuk masyarakat yang toleran, inklusif, dan mampu hidup berdampingan secara damai.

Dengan memanfaatkan berbagai media, baik tradisional seperti pengajian dan khutbah, maupun modern seperti media sosial dan platform digital, komunikasi dakwah dapat menjangkau audiens yang lebih luas dan beragam. Dalam era digital saat ini, pendekatan dakwah yang adaptif dan inovatif menjadi alternatif dalam menyampaikan pesan-pesan moderasi secara efektif. Dakwah moderat dapat mendorong dialog lintas agama dan budaya yang membangun sikap saling menghormati dan menghargai antar masyarakat.

Peran para dai atau pendakwah sangat signifikan dalam menyebarkan pesan moderasi. Pendakwah yang memiliki pemahaman mendalam terhadap Islam, wawasan kebangsaan, dan kemampuan komunikasi yang baik akan lebih efektif dalam membina masyarakat yang moderat. Selain itu, kolaborasi antara institusi keagamaan, pemerintah, dan masyarakat sipil juga penting untuk menciptakan lingkungan sosial yang kondusif bagi tumbuhnya nilai-nilai moderasi.

Membangun masyarakat moderat merupakan tanggung jawab bersama yang memerlukan peran aktif dari berbagai elemen masyarakat. Komunikasi dakwah yang moderat, bijaksana, dan inklusif menjadi sarana yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai toleransi, keseimbangan, dan keterbukaan. Dengan mengedepankan dialog, keteladanan, dan pemanfaatan teknologi secara bijak, masyarakat moderat yang harmonis dan damai dapat terwujud. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk mendukung upaya dakwah yang berorientasi pada moderasi demi menciptakan kehidupan sosial yang lebih harmonis dan inklusif.

Daftar Pustaka

Buaq, D., & Lorensius. (2022). Internalization of Pancasila Values in Catholic School: Efforts to Strengthen National Commitment. Educational of and Cutural Studies, 1(1), 47–59.

Effendi, D. I., Lukman, D., & Rustandi, R. (2022). Dakwah Digital Berbasis Moderasi Beragama. In Proceedings Uin Sunan Gunung Djati Bandung (Vol. 3, Issue 7). Yayasan Lidzikri.

Faridah, Ruslan, Said, N. M., & Yusuf, M. (2023). TEORI KOMUNIKASI DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI ISLAM. RETORIKA : Jurnal Kajian Komunikasi Dan Penyiaran Islam, 5(1), 16–29. https://doi.org/10.47435/retorika.v3i1.577

Fitriyah, I., & Yaqin, H. (2024). Analisis Wacana Dakwah Habib Ja ’ far tentang Moderasi Beragama : Pembentukan Narasi Keberagaman di Platform YouTube. 20(02).

Masri, Abd. Rasyid (2014) Perilaku Komunikasi Orang Bugis dalam Tatakrama Hubungan Antar Manusia Menurut Ajaran Islam. Al-Kalam: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan dan Saintek, 8 (1). pp. 13-21. ISSN 2252-7915.

Nurdin, A., & Naqiyyah, M. S. (2019). Model Moderasi Beragama berbasis Pesantren Salaf, Islamica: Jurnal Studi Keislaman, 14(1), 82-102.

Hamdi, S., Nasrullah, A., & Awalia, H. (2020). Penyuluhan Moderasi Beragama Pada Kalangan Pemuda Nahdlatul Wathan di Desa Darul Hijrah Anjani Lombok Timur. Prosiding PEPADU, 2, 2–3.

Hamka. (2015). Tafsir Al-Azhar; Diperkaya dengan Pendekatan Sejarah, Sosiologi, Tasawuf, Ilmu Kalam, Sastra dan Psikologi, Juz 24,25,26,27. Gema Insani.

Pratiwi, P. S., Seytawati, M. P., Hidayatullah, A. F., Ismail, & Tafsir. (2021). Moderasi Beragama dan Media Sosial (Studi Analisis Konten Instagram & Tik-Tok). Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 6(1), 83. https://doi.org/10.29240/jdk.v6i1.2959

Ridha, M., Nurhidayah, S. R., & … (2024). Peran Moderasi Beragama dalam MembangunMasyarakat yang Harmonis: Menciptakan Percakapan yang Seimbang dan Damai. AL-Ikhtiar …, 174–183. https://journal.salahuddinal-ayyubi.com/index.php/ALJSI/article/view/73%0Ahttps://journal.salahuddinal-ayyubi.com/index.php/ALJSI/article/download/73/65

Rizqana, I., Zahra, A. S., & Ubaidillah. (2024). Implikasi Dakwah Moderat Ustadz Abdul Somad Terhadap Toleransi Beragama di Indonesia. Mu’ashir: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi Islam, 2(1), 423–444. https://doi.org/10.35878/muashir.v2i1.922

Rohmah, F., Usuluddin, W., & Jannah, S. R. (2024). Komunikasi Dakwah Digital dalam Penguatan Moderasi Beragama. 24(November), 131–148. https://doi.org/10.15575/anida.v24i2.40168

Rohman, F. (2023). PEMANFAATAN MEDIA SOSIAL UNTUK SOSIALISASI MODERASI BERAGAMA Fathur Rohman Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Jurnal Pendidikan Dana Kebudayaan, 5(1), 25–42.

Shihab, M. Q. (2016). Tafsir Al-Misbah; Pesan dan Kesan, dan Keserasian AlQur’an. Lentera Hati.

Syukur, A., & Hermanto, A. (2021). Konten Dakwah Era Digital. In Paper Knowledge. Toward a Media History of Documents (Vol. 7, Issue 2). CV. Literasi Nusantara Abadi.

Efisiensi Anggaran, Imbas ke Pendidik dan Masa Depan Pendidikan Indonesia

Penulis: Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E., Editor: Sirli Amry

Melihat fenomena efisiensi anggaran, rupanya bidang kesehatan dan pendidikan turut menerima imbas dari adanya kebijakan ini. Padahal, dua sektor tersebut adalah tulang punggung kemajuan sebuah bangsa. Majunya sebuah negara tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkan. Kunci utama kemajuan tersebut berasal dari mindset positif masyarakat, yang tentunya dibentuk melalui pendidikan yang berkualitas. Namun, bagaimana mungkin kita bisa menciptakan generasi cerdas secara EQ, SQ, dan IQ jika anggaran pendidikan justru dipangkas?

Kami, para pejuang pendidikan di daerah, merasakan betul dampak efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Rasa sedih dan kecewa tak terelakkan ketika melihat banyak proyek inovatif yang seharusnya menjadi harapan baru bagi kemajuan pendidikan, justru terancam hilang. Program Guru Penggerak, misalnya, yang digadang-gadang sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas guru, kini terancam dihentikan. Padahal, program ini telah membawa angin segar bagi banyak guru di daerah untuk meningkatkan kompetensi dan menginspirasi siswa-siswanya.

Baca Juga:  Transformasi Sosial dan Revolusi Digital: Dampaknya Pada Pendidikan dan Tenaga Kerja di Masa Depan

Tidak hanya itu, program-program pendidikan lainnya yang selama ini dianggap keren dan bermanfaat, seperti pelatihan dan upgrading skill guru, juga terindikasi akan dihapus. Bagaimana mungkin kita bisa mengejar ketertinggalan di bidang pendidikan jika justru program-program yang mendukung peningkatan kualitas guru dihilangkan? Belum lagi ancaman terhadap dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan TPP (Tunjangan Profesi Guru) yang menjadi napas bagi banyak sekolah, terutama sekolah swasta. Jika dana ini hilang, bayangkan berapa banyak guru swasta yang tidak akan dibayar, dan berapa banyak sekolah yang akan kesulitan memenuhi kebutuhan operasionalnya.

Memaknai situasi ini, kemudian banyak orang yang kemudian bertanya-tanya, “Kenapa sih para stakeholder seringkali lebih memilih program-program baru yang terkesan “melangit” dan bagus di atas kertas, tetapi tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya? Bukankah standar suksesnya sebuah program adalah ketika program tersebut benar-benar dibutuhkan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat?” Padahal program yang baik adalah program yang mampu meningkatkan kecerdasan emosional (EQ), spiritual (SQ), dan intelektual (IQ) masyarakat, bukan sekadar program yang terlihat mentereng di atas kertas.

Baca Juga:  Coretan Inspiratif: Langkah Awal Pengenalan Pendidikan Abad 21 Melalui Kegiatan KKN UIN Gusdur di SDN 01 Kutorojo

Kenapa kita harus terus melangit, sementara kaki kita berada di bumi? Pendidikan adalah tentang realitas, tentang bagaimana kita membangun generasi yang siap menghadapi tantangan zaman. Bukan tentang program-program yang hanya indah di teori, tetapi tidak aplikatif di lapangan. Saat ini, kita sedang berada di masa krisis. Ekonomi global sedang tidak baik-baik saja, dan Indonesia pun tidak luput dari dampaknya. Menurut data BPS, deflasi hampir menyentuh 1% per Februari 2025, yang merupakan kondisi terburuk sejak tahun 2000-an. Dampaknya tentu akan sangat negatif dalam jangka panjang. Ekonomi akan mengalami depresi dan resesi, pengangguran akan meningkat drastis, dan utang negara pun akan semakin membengkak.

Dalam situasi seperti ini, efisiensi anggaran memang diperlukan. Namun, efisiensi seharusnya tidak dilakukan dengan mengorbankan sektor-sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan. Justru, di saat krisis seperti ini, pendidikan harus menjadi prioritas utama. Mengapa? Karena pendidikan adalah investasi jangka panjang yang akan menentukan masa depan bangsa. Jika kita memangkas anggaran pendidikan sekarang, maka yang akan kita petik di masa depan adalah generasi yang tidak siap menghadapi tantangan global.

Baca Juga:  Kesenjangan Digital Di Daerah Pelosok Sebagai Tantangan Peningkatan Mutu Pendidikan

Dunia sedang tidak baik-baik saja, dan para pemangku jabatan harus benar-benar mempertimbangkan kebijakan efisiensi anggaran ini. Jangan sampai kebijakan yang diambil justru merugikan masyarakat kecil, terutama para pendidik dan siswa yang menjadi harapan bangsa. Indonesia membutuhkan suntikan segar ide dan tangan terampil para profesional, bukan sekadar “give away” dari pihak tertentu, seperti yang diungkapkan oleh Rhenald Kasali. Kita membutuhkan kebijakan yang berpihak pada rakyat, kebijakan yang mampu membawa Indonesia keluar dari krisis dengan cara yang bijaksana dan berkelanjutan.

Pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa. Jika kita serius ingin membangun Indonesia yang lebih baik, maka jangan pernah mengorbankan pendidikan. Mari kita bersama-sama memperjuangkan agar anggaran pendidikan tidak dipangkas, dan program-program yang telah terbukti bermanfaat tetap dijalankan. Karena hanya dengan pendidikan yang berkualitas, kita bisa menciptakan generasi yang siap menghadapi masa depan, generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang baik.

Jangan biarkan efisiensi anggaran menghancurkan mimpi dan cita-cita para pendidik dan siswa di seluruh Indonesia. Mari kita bersama-sama memperjuangkan pendidikan yang lebih baik, untuk Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.