Balai Kota Surakarta Sebagai Wadah Harmonisasi Keberagaman Umat di Indonesia

Penulis : Rachmatika Salma Yulianto, Editor : Sirli Amry

Surakarta atau yang kerap dikenal dengan sebutan Solo, tidak hanya terkenal dengan keindahan budaya dan kekayaan tradisinya, tetapi juga kerukunan umat beragamanya. Sama halnya dengan berbagai kota di Indonesia, Kota Surakarta juga mengupayakan kerukunan dengan memahami perbedaan dan keberagaman. Dengan menjadikanya salah satu pilar penting dalam pembangunan pemerintahan kota Surakarta.

Pentingnya toleransi antar umat beragama dalam membangun harmoni sosial di Surakarta tidak dapat diragukan lagi. Dalam masyarakat yang beragam seperti Surakarta, keselarasan antara umat beragama menjadi pondasi utama dalam menciptakan kerukunan dan perdamaian. Melalui toleransi, masyarakat Surakarta mampu menjalin hubungan yang harmonis, menghormati perbedaan, dan saling mendukung dalam membangun kota yang lebih baik.

Dalam berberapa tahun terakhir, kota ini telah menunjukan komitmen yang kuat untuk memupuk dan mempromosikan toleransi antar umat beragama. Upaya untuk menciptakan harmoni dalam keberagaman menjadi prioritas utama bagi pemerintah Kota Surakarta. Hal ini jelas terlihat pada saat Kota Surakarta memperoleh skor 5,883 dan berada di posisi keempat dari 10 kota-kota yang paling toleran. Dalam Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2022 yang dilakukan oleh SETARA Institute menunjukan bahwa Surakarta menjadi salah satu kota yang memiliki tingkat toleransi yang baik.

Baca Juga: Sedekah Bumi: Tradisi Syukur, Kepedulian Sosial, dan Pelestarian Alam untuk Generasi Mendatang

Dalam suatu kota pasti mempunyai bangunan ikonik yang memiliki fungsi sebagai maskot serta ciri khas suatu wilayah. Kota Surakarta sendiri memiliki balai kota yang berfungsi bukan hanya sekedar bangunan ikonik di tengah kota. Balai Kota Surakarta lebih dari sekedar menjadi bangunan ikonik ditengah kota, melainkan menjadi pusat kegiatan administratif dan operasional yakni sebagai ”rumah” bagi pemerintah Kota Surakarta. Dalam konteks toleransi, Balai Kota Surakarta berperan sebagai ruang netral atau tempat bagi orang-orang dari berbagai latar belakang untuk menjalin kerukunan dan memupuk rasa toleransi melalui berbagai pertemuan yang diselenggarakan. Balai kota ini mencerminkan semangat inklusivitas dan penghargaan terhadap perbedaan. Selain itu, balai kota ini juga memberikan kontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih toleran dan harmonis.

Salah satu upaya yang dilakukan Kota Surakarta adalah menjadikan Balai Kota Surakarta wadah aktivitas terbuka untuk perayaan keagamaan. Diawali pada awal tahun 2023 dalam perayaan imlek bagi masyarakat etnis tionghoa. Dengan memberikan berbagai hiasan imlek berupa lampion-lampion serta ornamen pernak-pernik imlek lainnya yang terpasang di kawasan balai kota, termasuk Jalan Jendral Soedirman hingga kawasan Pasar Gede. Perayan ini sudah dilaksanakan Pemerintah Kota Surakarta sejak tahun 2011 secara rutin hingga sekarang. Perayaan imlek juga dibarengi dengan Event Grebeg Suudiro yang merupakan perayaan kebudayaan dari masyarakat jawa.

Tak lama setelah perayaan Imlek 2023, Perayaan Nyepi 2023 bagi umat Hindu juga diselenggarakan pertama kalinya dengan dukungan Pemerintah Kota Surakarta. Acara ini juga diiringi berbagai rangkaian perayaan Nyepi berupa festival Ogoh-ogoh yang digelar di Plaza Balai Kota. Panjor janur kuning juga menghiasi sepanjang Jalan Jendral Sudirman. Masyarakat dari berbagai lintas agama dan budaya pun turut menyaksikan dan memeriahkan acara tersebut. 

Memasuki bulan Ramadhan 1444 H/ 2023, ornamen khas Ramadhan bergantian menghiasi Plaza Balai Kota. Kampung Ramadhan juga digelar sepanjang Bulan Ramadhan yang berlokasi di sisi utara balai kota dengan menjual berbagai jajanan dan takjil oleh puluhan UMKM. Seluruh warga masyarakat Kota Surakarta turut menikmati kehadiran Kampung Ramadhan tersebut baik dari beragam etnis dan kepercayaan.

Baca Juga : Sedekah Bumi: Tradisi Syukur, Kepedulian Sosial, dan Pelestarian Alam untuk Generasi Mendatang

Selanjutnya, disusul Perayaan Natal 2023, umat kristiani diberikan kesempatan yang sama dalam menggelar perayaan Natal di Plaza Balai Kota, dengan memutar dan menyanyikan lagu-lagu Rohani. Ornamen Natal juga menghiasi sepanjang Jalan Jendral Sudirman dan kawasan balai kota, seperti replika pohon natal serta ornamen lainya.

Dalam perjalanan menjelajahi Kota Solo, kita tidak hanya disuguhi dengan pemandangan arsitektur yang memukau dann kekayaan budayanya. Melainkan harmoni toleransi antar umat beragama juga dapat kita rasakan saat menjelajahi kota tersebut. Kota ini adalah bukti nyata bahwa keberagaman kepercayaan dapat bersatu dalam kerukunan dan menciptakan lingkungan yang saling menghormati dan menghargai.

Balai Kota Surakarta hanyalah wadah bagi kerukunan umat beragama melalui perayaan yang diselenggarakan oleh berbagai umat beragama. Kesadaran masyarakat juga berperan penting dalam menjaga kerukunan yang sudah terjalin. Dengan demikian, mari bersama-sama merayakan kerukunan umat beragama di Kota Solo dan menjadikannya sebagai teladan bagi kota-kota lain di Indonesia. 

Sedekah Bumi: Tradisi Syukur, Kepedulian Sosial, dan Pelestarian Alam untuk Generasi Mendatang

Penulis :  Elsa Juni Setyowati, Editor : Amarul Hakim

Sedekah bumi, sebuah tradisi yang kaya makna dan nilai, telah menjadi bagian integral dari budaya dan spiritualitas banyak masyarakat di seluruh dunia. Tradisi ini bukan sekadar tentang memberikan sebagian dari hasil bumi kepada yang membutuhkan, tetapi juga mengajarkan tentang rasa syukur, kepedulian terhadap sesama, dan kesadaran akan pentingnya berbagi rezeki. 

Di berbagai belahan dunia, sedekah bumi diperingati dengan cara yang berbeda-beda, tetapi intinya tetap sama: mengakui karunia-karunia yang diberikan oleh alam dan berbagi dengan orang lain, terutama yang kurang beruntung. Dalam konteks agraris, seperti di banyak masyarakat agraris di Asia Tenggara, sedekah bumi merupakan ungkapan terima kasih kepada alam atas hasil panen yang melimpah.

Sedekah bumi bukan hanya tentang memberi dari hasil pertanian. Dalam era modern ini, konsep sedekah bumi telah berkembang untuk mencakup segala bentuk rezeki yang diterima, termasuk rezeki dari pekerjaan, bisnis, atau usaha lainnya. Ini mengajarkan kita untuk tidak hanya berterima kasih atas hasil bumi secara harfiah, tetapi juga atas segala bentuk nikmat yang kita terima dalam hidup.

Baca juga : Dialog Kebudayaan: Hidup Harmonis dengan Budaya Warga Desa Rowolaku

Sedekah bumi juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Melalui tradisi ini, kita diajarkan untuk memperhatikan kebutuhan orang lain di sekitar kita dan untuk berbagi dengan mereka. Ini menciptakan rasa solidaritas dan kebersamaan dalam masyarakat, mengurangi kesenjangan sosial, dan memperkuat hubungan antar individu.

Dalam  proses pelaksanaannya, sedekah bumi membutuhkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat mulai dari menyiapkan bahan, menentukan hari yang baik, menyusun baik sumberdaya yang akan disedekahkan dan rangkaian acaranya. Langkah-langkah ini jelas membutuhkan kreatifitas kaum muda, hasil tani para orang tua dan juga pelaksanaan filosofis dari tetua adat sehingga dibutuhkan gotong royong dan saling menghargai antar generasi.

Selain itu, sedekah bumi juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga alam dan lingkungan. Dengan menghargai hasil bumi yang diberikan kepada kita, kita juga diingatkan untuk bertanggung jawab terhadap alam ini. Ini mencakup praktik-praktik berkelanjutan dalam pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana, untuk memastikan bahwa kita dapat terus menikmati karunia-karunia alam ini dalam jangka panjang.

Baca juga : Merangkai Tradisi: Keberagaman dan Kekuatan Identitas dalam Nyadran Gunung Silurah

Namun, meskipun nilai-nilai sedekah bumi begitu penting, tradisi ini tidak selalu mudah dijalankan dalam dunia modern yang serba cepat ini. Terkadang, kesibukan, keserakahan, atau ketidakpedulian membuat kita lupa akan pentingnya berbagi dan bersyukur. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengingat dan merayakan tradisi ini, tidak hanya sebagai sebuah ritual, tetapi sebagai sebuah gaya hidup.

Sedekah bumi mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya didapatkan melalui akumulasi kekayaan atau keberhasilan pribadi, tetapi juga melalui kemampuan kita untuk berbagi dan peduli terhadap orang lain. Itulah sebabnya, dalam setiap langkah hidup kita, mari kita selalu mengingat dan menerapkan nilai-nilai yang diajarkan oleh tradisi sedekah bumi: rasa syukur, kepedulian, dan keberlanjutan.

Puncak Harmoni Agama Dalam Seni Dan Arsitektur Goa Sunyaragi Cirebon

Penulis: Risky Ardian, Editor: Ika Amiliya Nurhidayah

Goa Sunyaragi, dengan segala keindahan dan kompleksitasnya, melambangkan bukan hanya sebuah situs bersejarah, tetapi juga karya seni dan arsitektur yang mencerminkan moderasi beragama. Di antara lorong-lorong dan ruang-ruangnya yang gelap, terdapat jejak-jejak yang menghubungkan tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda. Dari relief-relief yang menceritakan kisah-kisah epik Hindu, hingga detil-detil seni Buddha yang mempesona, serta kata-kata bijak Islam yang tertulis indah di dinding-dindingnya, goa ini menjadi simbol harmoni antar-umat beragama.

Goa Sunyaragi merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang kaya akan sejarah dan nilai-nilai kulturalnya. Melihat corak goa tersebut dalam konteks moderasi beragama, dapat dilihat bahwa ada beberapa elemen yang bisa ditarik sebagai representasi dari moderasi dalam praktik keagamaan.

Baca Juga: Tradisi Pesta Giling Tebu: Mengenal lebih dalam Warisan Budaya Kota Pekalongan

Pertama, goa tersebut merupakan simbol harmoni antara agama-agama yang berbeda. Dalam goa tersebut terdapat beragam simbol keagamaan dari tradisi Hindu, Buddha, dan Islam. Kehadiran simbol-simbol tersebut mencerminkan toleransi dan kerukunan antar-umat beragama. Hal ini penting dalam konteks moderasi beragama karena menunjukkan bahwa meskipun perbedaan kepercayaan ada, namun ada ruang bagi semua keyakinan untuk hidup berdampingan secara damai.

Kedua, arsitektur dan seni relief yang terdapat di dalam goa tersebut mungkin menggambarkan pesan-pesan universal tentang perdamaian, cinta, dan harmoni. Pesan-pesan ini dapat diinterpretasikan secara inklusif oleh semua penganut agama, tanpa memandang perbedaan kepercayaan. Dalam konteks moderasi beragama, hal ini menggarisbawahi pentingnya nilai-nilai universal yang dapat menyatukan umat beragama dalam semangat persaudaraan.

Ketiga, Goa Sunyaragi juga dapat menjadi tempat untuk refleksi dan meditasi bagi pemeluk berbagai agama. Keberadaan tempat suci yang bersahaja seperti goa tersebut dapat menjadi tempat bagi individu untuk menggali makna spiritual dalam kehidupan mereka, tanpa harus terjebak dalam pertentangan dogma keagamaan yang keras. Dalam hal ini, Goa Sunyaragi dapat menjadi simbol praktik spiritual yang moderat dan inklusif.

Baca Juga: Batik Warisan Budaya Yang Mendunia

Sebagai warisan budaya Indonesia yang berharga, Goa Sunyaragi mengajarkan kita bahwa harmoni agama bukanlah sekadar impian, tetapi sesuatu yang bisa diwujudkan melalui penghargaan terhadap perbedaan dan kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai. Dalam keragaman kita, terdapat kekuatan untuk menciptakan dunia yang lebih baik, di mana setiap individu dihargai atas keunikan dan kepercayaannya.

Tradisi Pesta Giling Tebu: Mengenal lebih dalam Warisan Budaya Kota Pekalongan

Penulis: Hikmatul Ismila Nasthasya, Editor: Sirli Amry

Pekalongan memiliki banyak budaya dan adat istiadat yang unik serta menarik, salah satunya adalah Tradisi Pengantin Glepung Pesta Giling Tebu. Tradisi ini sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat daerah Pekalongan tepatnya di Kecamatan Sragi, Kabupaten Pekalongan. Setiap satu tahun sekali, masyarakat disana selalu menyelenggarakan tradisi tersebut. Pelaksanaan tradisi ini dianggap sebagai bentuk ungkapan rasa syukur dan pemanjatan doa ketika memasuki musim panen tebu dengan harap guna kelancaran dan kesuksesan proses produksi gula. Masyarakat pun sangat antusias dalam acara ini, tak jarang wisatawan asing juga turut menyaksikan. Selain itu, tradisi ini memberikan manfaat seperti menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat, serta untuk membaur dengan masyarakat sekitar.

Dalam pelaksanaan pesta giling tebu terdapat beberapa rangkaian acara salah satunya yaitu pengantin glepung. Pengantin glepung ini adalah sepasang boneka yang terbuat dari tepung beras atau dalam istilah Bahasa Jawa disebut glepung. Dalam boneka tersebut, biasanya diisi dengan gula jawa yang dianggap seperti darah manusia. Selain itu, boneka glepung tersebut juga diberi nama lengkap dan berpakaian seperti halnya sepasang pengantin. Boneka pengantin tersebut kemudian dinikahkan dengan adat Jawa seperti pasangan pengantin manusia pada umumnya.

Pelaksanaan tradisi pengantin glepung dimulai dari pengambilan beberapa tebu dari kebun. Kemudian tebu yang diambil secara acak tersebut diarak oleh karyawan pabrik gula secara bersama-sama. Arak-arakan ini dianggap sebagai simbolis dimulainya panen tebu dan siap diproduksi menjadi gula. Dalam arak-arakan tersebut juga diiringi kirab budaya seperti barongan, gendruwo, ondel-ondel, musik gamelan, serta hiburan lainnya. Acara tersebut berlangsung hingga malam hari hingga puncaknya ditutup dengan penutupan pasar malam.

Baca Juga: Menghargai dan Memperbarui: Kontribusi Islam dalam Pelestarian Budaya Lokal

Budaya pengantin glepung ini memiliki perbedaan sudut pandang di kalangan masyarakat. Beberapa masyarakat ada yang menyukai dan adapula yang menentang budaya tersebut. Mereka yang menentang beranggapan bahwa budaya ini menyimpang dari nilai-nilai islam. Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa tradisi ini merupakan salah satu warisan budaya dan sebagai simbol penghargaan kepada nenek moyang. Dalam tradisi tersebut juga memiliki banyak nilai yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya yaitu nilai kekeluargaan dan kerukunan. Selain itu, terdapat pula nilai spiritual dalam proses pelaksanaannya dimana semua orang yang hadir dalam acara ini diajak untuk berdo’a bersama-sama memohon ridho Allah SWT. Tentunya proses pelaksaan tradisi ini sangat diperhatikan agar tidak terjadi penyimpangan yang juga didalamnya terdapat bimbingan secara islam oleh ustadz setempat.

Sebagai kearifan lokal tradisi pesta giling tebu harus dilestarikan. Hal ini karena tradisi tersebut dianggap memiliki nilai-nilai sosial sosial dan filosofi yang patut dipertahankan agar tidak hilang ditelan zaman yang semakin berkembang. Upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan tradisi ini yakni dengan melaksanakan tradisi dalam satu tahun sekali ketika menjelang musim panen tebu tiba. Selain itu, kita juga dapat menjadikan tradisi ini sebagai ajang wisata sekaligus untuk menambah wawasan bagi generasi muda.

 

Penghayat Jawa Jawata: Memahami Keberagaman dan Menjaga Kerukuan

Penulis : Aida Fissa Bellina, Editor : Sirli Amry

Kawruh Jawa Jawata diartikan sebagai Piwulang atau wejangan supaya mengetahui, melihat (ngaweruhi) tentang ajaran kehidupan dan penghidupan agar menjadi insan yang Lantip Ing Pangraito Lan Tanggap Ing Sasmitha Gaib. Jawa adalah warisan ajaran berketuhanan dan warisan nilai budaya dari para leluhur yang menggunakan bahasa Jawa dalam melakukan sembahyang serta permohonannya.

Jawata berarti Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, Paguyuban Kawruh Jawa Jawata ialah persatuan dan kerukunan berdasarkan kesamaan sebagai pewaris ajaran sekaligus nilai budaya para leluhur dalam hal penghayatan, persembahyangan, dan pengamalan kepercayaan terhadap Tuhan YME yang ada di tanah Jawa.

Paguyuban Jawa Jawata didirikan oleh Romo Guru Darim Aji Darmoleksono (Darim) beserta adik kandungnya Romo Guru Pandji Sabdo Guno (Saridjo) pada 6 Mei 1981 di Desa Sumurjomblangbogo, Kecamatan Bojong, Kabupaten Pekalongan. Tujuan dari organisasi ini adalah agar para putra dan kadang (anggota) selalu meneruskan dan melestarikan kemurnian ajaran (wejangan) dari romo Guru Darim Darmoleksono.

Selain itu juga sebagai pengembangan dan pengamalan budi pekerti luhur dalam kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara serta mengantarkan ke jalan yang benar untuk mencapai kesejahteraan yang abadi.

Menurut Ibu Sri Renggani dalam paguyuban Kawruh Jawa Jawata, seseorang tidak boleh memakan tulang dan kepala hewan jika usianya sudah dewasa yaitu masa baligh (diarkat). Sedangkan batas diperbolehkannya memakan tulang adalah ketika seseorang itu belum diarkat. Dalam acara Arkat (baiat) biasanya orang yang diarkat akan membuat sesajen untuk para leluhur terdahulu.

Pada hari orang akan diarkat maka orang tersebut tidak boleh memakan tulang dan kepala hewan. Dalam paguyuban tersebut seseorang tidak di perbolehkan memakan tulang dan kepala karena mereka percaya bahwa tulang dan kepala adalah lambang guru dari paguyuban mereka yang disebut sang hyang widhi.

Menurut penuturan paguyuban tersebut, sang hyang widhi tidak memiliki badan. Mereka hanya memiliki kepala dan leher saja. Sedangkan tidak diperbolehkannya memakan tulang karena tulang sebagai lambang gusti sulfi (seperti malaikat).

Sembahyang (ibadah) yang dilakukan para penghayat ini biasanya dilakukan pada jam 9 malam ke atas dimana orang-orang harus sudah bersih (suci) yang di sebut dengan ritual lelewur. Tempat sembahyang bagi penghayat Jawa Jawata boleh dimana saja. Pada tanggal 15 ramadhan ke atas biasanya penghayat melakukan puasa selama 3 hari 3 malam dan mereka hanya berbuka dengan air putih suci pada saat matahari terbenam. Pada hari terakhir puasa orang tersebut tidak boleh keluar kamar dan hanya melakukan semedi (berdiam diri) sampai ia tertidur.

Pada tanggal 1 juni para penghayat yang masih mampu akan pergi ke atas gunung lawu untuk melakukan sembahyang karena mereka menganggap leluhur mereka berada di gunung lawu yang Bernama Brahwijaya. Mereka juga akan memberikan sesajen berupa semar mendem, telur, dan ketan.

Ibu Sri Renggani menganut kepercayaan Kawruh Jawa Jawata sejak beliau dari kecil karena beliau mengikuti kedua orang tuanya. Akan tetapi, pada saat beliau masih sekolah beliau tetap mengikuti pelajaran Agama Islam bahkan terkadang juga mengikuti teman beliau yang sembahyang di gereja. Beliau mulai menetap untuk mengikuti kepercayaan Jawa Jawata saat usainya mencapai masa baligh.

Awal mula ibu Sri Renggani masuk kedalam kepercayaan ini karena pada saat itu beliau ingin mencari sebuah kebenaran. Alhasil kebenaran tersebut ia temukan di paguyuban Kawruh Jawa Jawata. Di lingkungan keluarganya, tidak semuanya meng anut kepercayaan Jawa Jawata, tetapi ada juga yang menganut ajaran islam.

Di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, hanya ada sebagian orang yang menjadi penganut penghayat. Masyarakat disana sudah mengetahui bahwa Ibu Sri Renggani adalah seorang penganut penghayat bahkan dirinya juga bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Ketika masyarakat penganut agama islam mengadakan acara keagamaan, Ibu Sri juga ikut serta dalam memeriahkan acara tersebut.

Sehingga tidak ada jarak antara Ibu Sri dengan masyarakat sekitar yang berbeda kepercayaan. Menurut ajaran Kawruh Jawa Jawata hubungan sosial antara manusia lebih penting daripada hubungan dengan tuhan. Menurut mereka, semua manusia adalah saudara dan harus saling tolong menolong. Berbeda dengan hubungan antara kita dan tuhan. Dimana hal itu urusan tuhan mau diterima atau tidak, yang paling penting adalah kita harus memanusiakan manusia.

Agama yang tertera di KTP Ibu Sri itu islam, tetapi dalam KTP Bapak Asworo itu kosong (-). Tanggapan Ibu Sri tentang hak sipil penghayat sudah di penuhi oleh pemerintah, dan pemerintah sudah menfasilitasi semua yang di butuhkan oleh penghayat. Menurut Ibu Sri, kita harus menjalankan kehidupan yang ada.

Di desa sumurjomblang tidak membatasi antar pemeluk agama dengan pemeluk agama lainnya. Semua Masyarakat disana hidup saling tolong menolong dan toleransi antar sesama. Pemerintah sudah melakukan pendataan pengahayat yang ada di Indonesia khususnya di Pekalongan. Namun, hanya ada beberapa penghayat yang sudah diresmikan.

Sejauh ini tidak ada konflik diantara orang islam dengan para penghayat. Mereka saling hidup berdampingan secara rukun dan damai. Orang disana tidak memaksa keyakinan seseorang karena agama atau kepercayaan itu di pilih oleh diri sendiri tanpa adanya tuntutan dari siapapun. Perilaku dan sikap orang islam di sekitar desa sumurjomblang sangat baik.

Mereka tidak pernah membeda-bedakan seseorang berdasarkan keyakinannya. Selain itu, di desa tersebut juga sudah ada tempat untuk perkumpulan para penganut penghayat, tetapi sembahyang untuk orang penghayat tersebut kebanyakan di rumah masing-masing. Biasanya mereka akan mengkhususkan satu kamar untuk di jadikan tempat sembahyang. Toleransi antar masyarakat yang berbeda keyakinan sangatlah penting. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan sekaligus menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Dengan toleransi, seluruh umat akan rukun dan damai tanpa adanya diskriminasi.

Perspektif Islam tentang Tradisi Lokal dan Pemaknaan Tradisi Rebo Wekasan di Pekalongan

Penulis : Ahmada Ghina Ghoniah, Editor : Kharisma Shafrani

Istilah “rebo wekasan” tidaklah asing bagi orang Pekalongan, biasanya ada yang menyebutnya “rebu pungkasan.” Rebo Wekasan merupakan “hari keramat” yang dipercaya masyarakat pada hari itu akan diturunkan bencana dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Rabu wekasan berakar dari dua kata, yaitu “Rabu” yang artinya Hari Rabu dan “wekasan” atau pungkasan yang artinya terakhir artinya hari rabu terakhir pada bulan safar. Tradisi “Rebo Wekasan” merupakan tradisi yang dimulai sejak para waliyullah dan dilestraikan sampai saat ini, masyarakat setempat biasanya merayakan ini agar mensyukuri nikmat Allah SWT serta menolak berbagai musibah, bahkan akan diturunkan sebanyak 3.200 musibah. 

Abu Hurairah berkata, Rasullah Bersabda “tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak ada burung dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarilah dari peyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa.” H. R. Imam Al- Bukhari dan Muslim). Tasa’um (anggapan sial) ini sudah terkenal pada umat jahiliyah dan sisa-sisanya masih ada pada kalangan muslimin saat ini. Ungkapan hadits la ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan takdir Allah.  

Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang kental dengan ritual-ritual atau berdasarkan tradisi suatu komunitas tertentu, sebagai salah satu ciri masyarakat Jawa yaitu melestarikan budaya nenek moyangnya. Terlepas dari ciri masyarakat Jawa, mereka juga sangat mendambakan hubungan dinamis antara manusia, alam dan Tuhan. Di tanah Jawa, ada ritual rebo wekasan yaitu ritual tolak bala. Biasanya kegiatan rebo wekasan diisi dengan puasa sunnah, sholat sunnah, pembacaan doa, membaca Al-Quran dan membaca Berzanji. Di Kota Pekalongan saat rebo wekasan banyak masyarakaat yang melakukan tradisi yaitu yang biasa dilakukan oleh para kyai dan orang yang tahu tentang rebo wekasan ini mereka setiap malam rebo wekasan selalu mengadakan membaca sholawat tolak bala’, tahlilan, dan melakukan shalat mutlak dengan harapan semua dihindarkan dari bencana yang sudah disebutkan oleh waliyullah bahwa allah akan menurunkan 320.000 bala’ dalam satu malam. 

Kemudian ada juga masyarakat yang melakukan tradisi udik-udik atau udik-udikan, tradisi ini adalah sebuah kegiatan sedekah dengan cara melakukan penebaran uang recehan di kerumunan massa yang berkumpul yang bertujuan untuk Selamatan, sedekah, silaturrahim dan berbuat baik kepada sesama. Tradisi Rebo Wekasan pada mulanya berawal dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi dalam kitab “Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid”, yang disebut dengan “Mujarrabat ad-Dairobi.” Pemahaman lain mengenai Rebo Wekasan berasal dari Islam. Biasanya uang recehan itu dicampur dengan beras kuning dan kembang. Selanjutnya Masyarakat Pekalongan biasanya melakukan tradisi ini mulai dari pagi setelah sholat subuh dari sebelum fajar muncul sampai terbenamnya matahari, tujuannya agar mereka bisa mendapatkan lebih banyak uang recehan. Tradisi ini biasanya tersebar dibeberapa desa di Kota Pekalongan seperti, desa Jenggot, Krapyak, Setono, Gamer, dan beberapa desa lainnya. 

Masyarakat kota Pekalongan sangat antusias menyambut rebo wekasan mulai dari anak kecil sampai orang dewasa mereka berbondong-bondong mencari rumah warga yang akan melakukan tradisi udik-udikan. Biasanya, para Masyarakat sudah mulai mencari tradisi ini dari pagi hari hingga sore hari, dengan berkeliling ke tetangga, gang-gang sebelah, bahkan sampai ke tetangga desa. Dengan begitu, tradisi ini juga memiliki dampak negatif di lingkungan Masyarakat seperti, terjadinya kerusuhan karena berdesak-desakan dengan warga sekitar yang bisa menyebabkan luka bahkan korban jiwa. Walaupun begitu, tradisi ini juga memiliki dampak positif seperti, menjaga kelestarian tradisi rebo wekasan di Kota Pekalongan. Melalui adanya tradisi rebo wekasan kita dapat mengetahui bagaimana antusias masyarkat saat menyambut tradisi tersebut, kemudia kita juga tau bagaiman rebo wekasan dalam islam, serta kita tahu bahwa Masyarakat masih menjunjung tinggi nilai ketuhanan, sosial hingga moral, dengan begitu kita sebagai Masyarakat harus bisa melestarikan tradisi tersebut.

Moderasi Beragama sebagai Landasan Kehidupan Multireligi di Desa Linggoasri

Penulis : Zakya Qory’ Alfaatih, Editor : Ika Amiliya Nurhidayah

Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam budaya, bahasa, dan agama. Di Indonesia juga terdapat perbedaan antar agama, yang dari keberagaman ini  dapat mengacu keberadaan berbagai agama dan tradisi kepercayaan. Hal ini mencakup beragam keyakinan, praktik keagamaan, dan tradisi kepercayaan yang diikuti oleh masyrakat. Dan dari semua perbedaan dan keberagaman itu tidak menjadi suatu alasan bagi masyarakat Indonesia untuk saling membedabedakan dan saling menimbulkan perpecahan satu sama lain.

Dalam perbedaan tersebut ada prinsip moderasi beragama pada masingmasing agama, yang mana moderasi sangat penting dimiliki oleh setiap masyarakat beragama dalam mewujudkan masyarakat yang damai dan negara yang makmur. 

Mahasiswi dan mahasiswa UIN.K.H Abdurrahman Wahid melakukan study riset yang bertempatkan di desa Linggoasri. Moderasi beragama di Linggoasri, sebuah desa multireligi dengan empat agama, yaitu Islam, Kristen, Hindu, dan Budha, telah mewarnai kehidupan sehari-hari. Dari hasil riset, salah satunya berdasarkan penuturan Taswono sebagai penganut agama Hindu dan Mustajirin sebagai penganut agama Islam, mereka memberikan penjelasan tentang bagaimana bentuk moderasi beragama pada masyarakat Linggoasri, dimana konsep moderasi beragama tetap tertanamkan pada setiap agama.

Moderasi beragama pada agama Hindu menggunakan Catur Paramita sebagai suatu landasan untuk menerapkan moderasi beragama, landasan itu antara lain:

  • Maitri, yakni setiap manusia harus bersikap lemah lembut dan berlaku sopan santun kepada seluruh makluk hidup. Maitri juga berarti bahwa manusia harus selalu menghormati orang yang lebih tua dan menghargai yang lebih muda sebagai budi pekerti yang luhur.
  • Karuna,  yaitu memiliki sifat welas asih atau saling menyayangi kepada sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan serta menghindarkan diri dari tindakan yang bisa menyakiti orang lain .
  • Mudita, yaitu manusia baiknya selalu tersenyum dan bersikap ceria ataupun ramah dan bersahabat. Mudita juga bisa diartikan bahwa manusia perlu memiliki rasa simpati kepada siapa saja dan harus menjauhkan dirinya dari rasa iri dengki dengan selalu berbagi kegembiraan ke sekitarnya.
  • Upeksa, yaitu manusia harus memiliki sikap mau mengalah demi kebaikan serta tidak diperkenankan untuk menyimpan dendam. Upeksa juga diartikan sebagai sifat yang manusia yang perlu mengendalikan hawa nafsu agar tidak menimbulkan konflik.

Kemudian dari sisi agama Islam, masyarakat Desa Linggoasri menggunakan 4 dasar utama ahlussunnah waljamaah  yaitu:

  •  Tasamuh (Toleransi): Tasamuh mengacu pada sikap toleransi, yaitu kesediaan untuk menerima perbedaan dan pandangan yang berbeda dalam masyarakat. Ini mencakup penghargaan terhadap keberagaman dalam keyakinan, budaya, dan pandangan hidup.
  • Tawasuth (Moderasi): Tawasuth adalah konsep keseimbangan atau moderasi. Ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti agama, pekerjaan, dan hubungan sosial, tanpa melibatkan diri dalam ekstremisme atau perilaku berlebihan.
  • Taadul (Keadilan): Taadul mengacu pada konsep keadilan. Ini menuntut agar setiap individu diperlakukan dengan adil dan setiap keputusan dibuat berdasarkan prinsip keadilan, tanpa diskriminasi atau penyelewengan.
  • Tawazun (Keseimbangan): Tawazun berarti menjaga keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan. Ini melibatkan pendekatan seimbang terhadap tuntutan agama, pekerjaan, dan hubungan sosial, serta menghindari sikap ekstrem atau berlebihan.

Di setiap sudut desa Linggoasri, tersirat pesan perdamaian, dan dengan pesan itu mengajak kita untuk merangkul keberagaman dan menumbuhkan semangat persatuan. Bersama-sama, kita membentuk komunitas yang menghargai perbedaan, menjadikan Linggoasri sebagai tempat di mana moderasi beragama bukan hanya menjadi konsep, tetapi gaya hidup yang diterapkan dengan penuh kasih sayang.

Tradisi Lokal dan Pemaknaan Tradisi Rebo Wekasan di Pekalongan Perspektif Islam

Penulis : Ahmada Ghina Ghoniah, Editor : Tegar Dwi Pangestu

Pastinya kita tidak asing dengan istilah “rebo wekasan” orang pekalongan biasanya ada yang menyebutnya “rebu pungkasan”. Rebo Wekasan merupakan “hari keramat” yang dipercaya Masyarakat pada hari itu akan diturunkan bencana dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Rabu wekasan berakar dari dua kata yaitu rabu artinya hari rabu dan wekasan atau pungkasan yang artinya terakhir artinya hari rabu terakhir pada bulan safar. Tradisi “Rabu Wekasan” merupakan tradisi yang dimulai sejak para waliyullah dan dilestraikan sampai saat ini, masyarakat setempat biasanya merayakan ini agar mensyukuri nikmat Allah SWT serta menolak berbagai musibah, bahkan akan diturunkan sebanyak 3200 musibah. 

Abu Hurairah berkata, Rasullah Bersabda “tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tida pula ramalan sial, tidak ada burung dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarilah dari peyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa.” H. R. Imam Al- Bukhari dan Muslim). Tasa’um (anggapan sial) ini sudah terkenal pada umat jahiliyah dan sisa-sisanya masih ada pada kalangan muslimin saat ini. 

Ungkapan hadits la ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat ,enular dengan sendirinya, tanapa bersadar pada ketentuan takdir Allah.  

Masyarakat jawa dikenal sebagai masyarakat yang kental dengan ritua-ritual atau berdasarkan tradisi suatu komunitas tertentu, sebagai salah satu ciri masyarakat jawa yaitu melestarikan budaya nenek moyangnya. Terlepas dari ciri masyarakat jawa, masyarakat jawa juga sangat mendambakan hubungan dinamis antara manusia, alam dan Tuhan

Di tanah Jawa, ada ritual rebo wekasan yaitu ritual tolak bala. Biasanya kegiatan rebo wekasan diisi dengan puasa sunnah, sholat sunnah, pembacaan doa, membaca Al-Quran dan membaca Berzanji. Di Kota Pekalongan saat rebo wekasan banyak masyarakaat yang melakukan tradisi yaitu yang biasa dilakukan oleh para kyai dan orang yang tahu tentang rebo wekasan ini mereka setiap malam rebo wekasan selalu mengadakan membaca sholawat tolak bala’, Tahlilan, dan melakukan Shalat Mutlak dengan harapan semua dihindarkan dari bencana yang sudah disebutkan oleh waliyullah bahwa allah akan menurunkan 320.000 bala’ dalam satu malam. 

Kemudian ada juga masyarakat yang melakukan tradisi udik-udik atau udik-udikan, tradisi ini adalah sebuah kegiatan sedekah dengan cara melakukan penebaran uang recehan di kerumunan massa yang berkumpul yang bertujuan untuk Selamatan, sedekah, silaturrahim dan berbuat baik kepada sesama. Tradisi Rebo Wekasan pada mulanya berawal dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi dalam kitab “Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid”, yang disebut dengan “Mujarrabat ad-Dairobi”.Pemahaman lain mengenai Rebo Wekasan berasal dari Islam. Biasanya uang recehan itu dicampur dengan beras kuning dan kembang. Selanjutnya Masyarakat Pekalongan biasanya melakukan tradisi ini mulai dari pagi setelah sholat subuh dari sebelum fajar muncul sampai terbenamnya matahari, tujuannya agar mereka bisa mendapatkan lebih banyak uang recehan. Tradisi ini biasanya tersebar dibeberapa desa di Kota Pekalongan seperti, desa Jenggot, Krapyak, Setono, Gamer, dan beberapa desa lainnya. 

Masyarakat kota Pekalongan sangat antusias menyambut rebo wekasan mulai dari anak kecil sampai orang dewasa mereka berbondong-bondong mencari rumah warga yang akan melakukan tradisi udik-udikan. Biasanya, para Masyarakat sudah mulai mencari tradisi ini dari pagi hari hingga sore hari, dengan berkeliling ke tetangga, gang-gang sebelah, bahkan sampai ke tetangga desa.

Dengan begitu, tradisi ini juga memiliki dampak negatif di lingkungan Masyarakat seperti, terjadinya kerusuhan karena  berdesak-desakan dengan warga sekitar yang bisa menyebabkan luka bahkan korban jiwa. Walaupun begitu, tradisi ini juga memiliki dampak positif seperti, menjaga kelestarian tradisi rebo wekasan di Kota Pekalongan. 

Melalui adanya tradisi rebo wekasan kita dapat mengetahui bagaimana antusias masyarkat saat menyambut tradisi tersebut, kemudia kita juga tau bagaiman rebo wekasan dalam islam, serta kita tahu bahwa Masyarakat masih menjunjung tinggi nilai ketuhanan, sosial hingga moral, dengan begitu kita sebagai Masyarakat harus bisa melestarikan tradisi tersebut.

Potret Keharmonisan Toleransi dalam Keberagaman Agama di Desa Linggoasri

Penulis : Aznita Putri Kurnia, Editor : Faiza Nadilah

Sebelumnya izinkan saya menyampaikan sedikit hasil mini riset saya ketika berada di Desa linggo asri, desa yang berada di kec. Kajen kab. Pekalongan ini memiliki keragaman suku dan agama. Umumnya, setiap masyarakat lokal itu pastinya memiliki adat, ritual, dan tradisi unik mereka sendiri. 

Seperti masyarakat desa linggo asri, yang mempunyai adat dan tradisi tersendiri, contohnya adat dari agama islam, masyarakat Linggo Asri yang biasa melakukan ibadah sholat 5 waktu di masjid, berpuasa pada bulan ramadhan, mengeluarkan zakat untuk fakir miskin, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Dan terdapat beberapa tradisi lain disana seperti merayakan hari raya idul fitri dan idul adha, menyantuni anak yatim pada 10 muharrom, merayakan tahun baru islam, dll. 

Sedangkan agama hindu, mereka biasa melakukan ibadah² di pura, seperti pembaptisan atau upacara, pemujaan terhadap berbagai dewa, serta perayaan hari raya seperti Diwali. Pelaksanaan tradisi ini bisa berupa pelaksanaan upacara yajna atau persembahan, serta konsep karma dan reinkarnasi juga menjadi bagian penting dalam keyakinan Hindu. 

Harmonisasi antar umat beragama di Desa Linggo Asri sangat bagus, misalnya pada dialog antar agama, saling pengertian satu sama lain dan saling menghormati. Sehingga, hubungan antara islam dan hindu atau dengan agama lain menjadi rukun dan harmonis.

Masyarakat Desa Linggo Asri juga sudah sangat bertoleran baik dari segi apapun. Seperti dalam segi pendidikan, anak-anak disana akan diajarkan untuk memahami tentang berbagai macam agama, dan tidak membeda-bedakan antar agama satu dengan yang lainnya, serta menyediakan peluang bagi individu  untuk belajar satu sama lain secara langsung.

Kerukunan dalam berdialog tercermin pada saat salah satu warga mengadakan hajatan, dimana warga lain akan saling membantu saling tolong menolong. Selain itu, mereka juga membangun kesadaran multikultural agar tercipta toleransi. Kesadaran ini dibangun melalui kurikulum pendidikan dan media yang mendorong media untuk memunculkan pemberitaan yang memicu konflik keagamaan, dan menyoroti kisah-kisah positif tentang kerja sama antaragama.

Masyarakat Linggo Asri juga membangun jiwa sosial, agar selalu bekerja sama dalam mendorong proyek-proyek yang melibatkan berbagai kelompok agama untuk membangun keharmonian, dan saling mengutamakan kesejahteraan bersama di atas perbedaan keagamaan. 

Selain itu, kerukunan dan toleransi antar umat beragama lestrasi berkat peran dari para pemimpin agama yang mengajarkan nilai-nilai toleransi dan kerukunan kepada semua masyarakatnya, serta menggalang dukungan masyarakat untuk mempromosikan keharmonian.

Contoh-contoh toleransi yang mereka lakukan dalam sehari-hari seperti saling membantu dengan bergotong-royong, saling menghargai dan menghormati satu sama lain, dan jika salah satu agama melakukan perayaan maka agama lain pun ikut berpartisipasi dalam perayaan tersebut. 

Dengan implementasi langkah-langkah ini, masyarakat Linggo Asri pun dapat menciptakan lingkungan yang mendukung toleransi dan keharmonian serta kerukunan antar berbagai perbedaan keagamaan tanpa disertai konflik.

Penguatan Moderasi Beragama dalam Kehidupan Masyarakat Desa Linggoasri

Penulis: Devina Ayu Nafisah, Editor: Lulu Salsabilah

Indonesia adalah negara yang memliki berbagai macam budaya yang menarik pada masing-masing daerahnya, mulai dari tarian, rumah adat, lagu daerah, dan masih banyak lagi lainnya. Keaneka ragaman tersebut merupakan suatu anugrah dari Tuhan yang Maha Esa.  Salah satu dari banyaknya tradisi budaya yang masih berjalan yaitu sedekah bumi. Sedekah bumi bukan sekadar ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, melainkan juga simbol moderasi beragama. Para pemangku tradisi meyakini bahwa  sedekah bumi mengajarkan kepada kita arti keseimbangan dalam hidup yakni antara kebutuhan duniawi dan spiritual. Hal ini juga bertujuan untuk menghindari ekstremisme dalam beragama.

Melalui tradisi sedekah bumi kita juga dapat belajar mengenai beberapa nilai kehidupan seperti nilai ketuhanan, sosial, hingga nilai moral. Nilai ketuhanan tertuang pada ungkapan rasa syukur kita kepada Tuhan atas nikmat dan rezeki yang diberikan kepada kita. Nilai sosial yaitu kita dapat belajar untuk merangkai kerukunan dengan masyarakat lewat upacara sedekah bumi ini. Nilai moral yaitu dapat kita implementasikan pada sikap kita yang berusaha untuk melestarikan budaya ini agar tetap terjaga. Sedekah bumi yang diakomodasi dalam semangat moderasi beragama tidak hanya menjadi warisan budaya lokal, tetapi juga tonggak penting dalam menjaga harmoni sosial. Dengan merawat tradisi ini, kita berinvestasi pada masa depan yang penuh keharmonisan.

Selanjutnya kita akan membahas mengenai moderasi beragama. Salah seorang tokoh agama Hindu di Desa Linggoasri, Bapak Taswono, mengungkapkan bahwa Moderasi beragama adalah pendekatan dalam praktik agama yang menekankan pada keseimbangan, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan keyakinan. Ini melibatkan sikap yang moderat, tidak ekstrem, serta mengedepankan dialog dan pemahaman antar umat beragama. Hal ini disampaikan beliau dalam acara seminar dan riset pengarusutamaan moderasi beragama di Desa tersebut.

Dalam Desa Linggoasri sendiri terdapat 4 agama yaitu Hindu, Budha, Islam, dan kristen. Walaupun terdapat perbedaan kepercayaan yang dianutnya, masyarakat disana selalu hidup damai berdampingan dalam kerukunan dan kebersamaan. Mereka tidak pernah membeda-bedakan agama, sehingga mereka hidup saling membantu dan tolong-menolong. Seperti yang di ungkapkan bapak Taswono, beliau juga menegaskan lagi bahwa, “Kita rawan konflik dan pertikaian antar kelompok jika saja tidak ada upaya untuk menjaga kerukunan dalam bersikap moderat antar kelompok, terutama oleh kelompok antar agama.”  Bapak Taswono juga menyampaikan tetang dasar-dasar moderasi yang diajarkan oleh Agama Hindu. Di dalam Agama Hindu, moderasi diibaratkan sebagai sebuah bangunan rumah yang memiliki pondasi, tiang, hingga atap, yang semuanya itu harus  bersinergi.

Kata beliau, sebagai pondasinya dalam agama Hindu ada kaidah “Catur Parama Arta”, meliputi: Darma, Jenana (pengetahuan) dan Wijnana (kebijaksanaan), Ahimsa Parama Darma (tidak melakukan kekerasan), Bakti Rukyata (bakti dengan rasa tulus ikhlas didedikasikan untuk Sang Hyang Widi, yakni Tuhan).  Selanjutnya, ada pilar-pilar moderasi beragama yang mana juga digambarkan sebagai tiang suatu rumah: Maitri (sifat untuk menumbuhkan kasih sayang), Karuna (toleransi), Upeksa, dan Udita (sikap simpatik). Sementara atapnya, menurut beliau: Satwam, Siwam sundaram, dan Syastu.

Keseluruhannya itu, menurut Bapak Taswono, bertujuan tidak lain untuk mencapai sebuah kebahagiaan, di dalam Islam sendiri menggunakan istilah duniawi dan ukhrawi. Konsep moderasi beragama dalam Hindu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan lahir (duniawi) dan batin (ukhrawi). Dan menurut beliau, masih banyak lagi dalam ajaran Hindu yang jelas-jelas esensinya ialah untuk saling menjaga kerukunan antar umat seagama dan antar agama.

Juga dikatakan sama halnya dengan agama yang lainnya. “Dalam agama Hindu sendiri ada istilah: Sang Hyang Widi (hablun minallah), Pawongan (hablun minan nas), Palaman (hablun minal alam), yang kira-kira pasti sama dengan agama-agama yang lain,” tambah Bapak Taswono. Beliau juga mengatakan “Kita, dalam mendasari sikap moderasi, terdapat beberapa sikap untuk mencapainya: sikap terbuka, sikap bersedia menghargai dan menerima perbedaan, sikap rendah hati, sikap saling memaafkan.”

Materi terkait moderasi beragama juga turut disampaikan oleh tokoh agama Islam di Desa Linggoasri, yaitu Kyai Mustajirin. Tapi kali ini Kyai Mustajirin hanya menyampaikan sedikit tentang moderasi beragama, karena menurut beliau sudah dijelaskan panjang lebar oleh Bapak Taswono. Dalam Islam, konsep moderasi beragama dikenal dengan istilah “wasatiyyah” yang berasal dari kata Arab “وَسَطِيَّة” yang artinya tengah-tengah atau seimbang. Pemahaman wasatiyyah ini tercermin dalam berbagai aspek praktik keagamaan dan etika.

Beberapa prinsip moderasi beragama dalam Islam melibatkan:

  1. Tengah-Tengah (Tawassut): Menjauhi sikap ekstrem dan menempatkan diri pada jalur yang seimbang.
  2. Keadilan (Adl): Memiliki sikap adil dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam menjalankan ajaran agama.
  3. Keseimbangan (I‘tidāl): Menjaga keseimbangan antara tuntunan agama dan kebutuhan duniawi.
  4. Toleransi (tasamuh): Menerima perbedaan pendapat dan keyakinan tanpa merendahkan atau mengecilkan.
  5. Keteladanan (uswatun hasanah): Menjadi teladan yang baik dalam perilaku sehari-hari, mencerminkan nilai-nilai Islam secara positif.

Berdasarkan penuturan dari Kyai Mustajirin, kita dapat melihat bahwa untuk menekankan upaya yang relevan dengan suatu maqalah “khoir al-umur awsatuha”, yang artinya “sebaik-baiknya segala perkara ialah tengah-tengahnya”.

Moderasi beragama merupakan pendekatan yang menekankan keseimbangan, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan keyakinan, seperti yang diterapkan di Desa Linggoasri. Pengajaran dari tokoh agama setempat, seperti Bapak Taswono dari agama Hindu dan Kyai Mustajirin dari Islam, menegaskan pentingnya sikap moderat dan penerapan prinsip-prinsip keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan merawat tradisi dan mengamalkan moderasi beragama, Desa Linggoasri mampu menciptakan lingkungan yang damai dan harmonis, menjadi teladan bagi kerukunan antar umat beragama.