Penulis : Fanisa Nur Fauzia, Editor : Rosyita Annisni
Indonesia kaya bukan hanya alamnya saja, tapi juga budayanya. Dari Sabang hingga Merauke, hampir setiap daerah punya tradisi sendiri yang unik dan penuh makna. Salah satunya datang dari sebuah desa kecil di Banyumas, Jawa Tengah, namanya Desa Pekuncen. Di sini, ada tradisi yang masih terus dijaga dan dijalani sampai sekarang yaitu Perlon Unggahan Bonokeling.
Untuk masyarakat di sana, Perlon Unggahan bukan hanya acara rutin tahunan, tapi sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Tradisi ini biasanya digelar seminggu sebelum Ramadan, tepatnya di bulan Sya’ban menurut kalender Islam. Tujuannya sederhana tapi mempunyai makna yang dalam sebagai bentuk syukur kepada Tuhan dan penghormatan kepada para leluhur.
Kalau dilihat dari sisi kehidupan sosial, masyarakat Pekuncen ini saling melengkapi. Mereka memiliki ikatan yang kuat, bukan hanya karena tinggal di tempat yang sama, tapi karena saling terhubung lewat budaya dan sejarah yang sudah turun-temurun. Menurut para ahli sosiologi seperti Ralph Linton, masyarakat itu bisa dibilang sekelompok orang yang hidup bersama, mempunyai budaya, saling interaksi, dan biasanya memiliki tokoh panutan, baik formal seperti kepala desa atau nonformal seperti pemuka adat.
Masyarakat Pekuncen bisa dibilang contoh nyata dari definisi itu. Mereka hidup rukun dan punya budaya yang terus dilestarikan. Salah satunya tradisi Perlon Unggahan Bonokeling ini. Serunya lagi, di tengah arus modernisasi yang makin kencang, mereka tetap setia menjalani tradisi ini. Dan ini bisa jadi contoh bagus soal moderasi beragama mengenai bagaimana caranya tetap menjalankan ajaran agama tanpa meninggalkan budaya lokal.
Tradisinya sendiri punya rangkaian acara yang cukup panjang, tapi justru itu yang membuat spesial. Semuanya dimulai dari ziarah ke makam leluhur. Dari anak-anak sampai orang tua, jalan kaki bersama sambil membawa berbagai hasil bumi. Biasanya laki-laki bawa sayur atau buah, sementara ibu-ibu bawa nasi di dalam bakul. Semuanya dikumpulkan di rumah pemuka adat, semacam sesepuh desa yang dihormati.
Setelah itu, barulah dimulai proses masak-memasak. Uniknya, di sini yang masak justru para bapak-bapak. Mereka masak lauk dari ayam atau kambing yang sudah dikumpulkan sebelumnya. Ini jadi bukti bahwa dalam tradisi ini, semua orang punya peran, tanpa pandang gender. Setelah makanan siap, semua warga makan bersama dalam suasana yang penuh kekeluargaan. Tidak ada yang dibeda-bedakan. Semua duduk sama rata, makan dengan hati senang.
Satu lagi yang menarik adalah busana adat yang dikenakan. Para lelaki biasanya pakai lurik coklat lengkap dengan blangkon, sementara para perempuan tampil anggun dengan baju kemben. Bukan sekadar buat gaya-gayaan, tapi sebagai simbol kebanggaan terhadap identitas Jawa. Lewat pakaian itu, mereka menunjukkan bahwa meskipun zaman berubah, jati diri tetap dijaga.
Tapi yang paling berkesan dari tradisi ini bukan cuma soal makanan atau baju adatnya. Yang membuat hati hangat adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tentang kebersamaan, gotong royong, saling menghormati, dan tentu saja rasa syukur. Ini menjadi momen buat saling menguatkan antar warga, mempererat tali silaturahmi, dan mengenang jasa para leluhur.
Baca juga : Tradisi dan Transformasi: Pendidikan Pesantren dalam Era Modern
Dari sisi spiritual, perlon unggahan juga jadi waktu yang pas untuk merenung. Sebelum masuk bulan puasa, masyarakat diajak untuk bersih-bersih hati, bersyukur atas nikmat hidup, dan berdoa agar diberikan kelancaran di bulan Ramadan nanti.
Tradisi ini juga mengajarkan kita bahwa agama dan budaya itu bukan sesuatu yang harus dipisahkan. Justru kalau bisa berjalan berdampingan, hasilnya luar biasa. Harmoni bisa tercipta, dan kehidupan sosial jadi lebih damai dan penuh makna. Di tengah dunia yang kadang terasa makin individualis, tradisi seperti begini terasa seperti oase pengingat bahwa kita hidup bukan hanya buat diri sendiri, tapi juga buat sesama.
Harapannya, tradisi Perlon Unggahan Bonokeling ini bukan sekadar jadi tontonan budaya, tapi terus dijaga dan diteruskan ke generasi muda. Karena lewat tradisi inilah, kita bisa belajar banyak hal tentang kehidupan, kebersamaan, dan rasa cinta terhadap tanah kelahiran.
Photo by : Kompas