Melintasi Batas: Nuansa Corak Budaya dalam Tafsir Al-Qur’an yang Menggugah Pemikiran

Penulis : Fatimah Az Zahro, Editor : Ika Amiliya

Tafsir Al-Qur’an bukan sekadar penjelasan atas teks suci, tetapi juga merupakan hasil interaksi antara teks dan konteks budaya di mana tafsir itu dihasilkan. Setiap penafsir membawa latar belakang budaya dan pemikiran yang memengaruhi cara mereka memahami dan menyampaikan pesan-pesan Al-Qur’an. Dalam hal ini, nuansa corak budaya menjadi kunci dalam menggali makna yang lebih dalam dan relevan dengan konteks zaman.

Esai ini akan mengeksplorasi bagaimana budaya memengaruhi tafsir Al-Qur’an dan bagaimana hal ini dapat menggugah pemikiran kita. Penting untuk menyadari bahwa tafsir Al-Qur’an telah diwarnai oleh beragam tradisi budaya. Tafsir yang muncul di dunia Arab, misalnya, sangat berbeda dengan yang berkembang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dalam tradisi Arab, penekanan pada bahasa dan sastra sangat kuat, sedangkan di Indonesia, aspek sosial dan kearifan lokal sering kali diintegrasikan, menciptakan tafsir yang lebih kontekstual dan praktis.

Contoh yang menarik dapat dilihat dari karya-karya ulama Indonesia yang mengaitkan konteks budaya lokal dengan penafsirannya. Karya A. Mustofa Bisri, misalnya, menunjukkan bagaimana nilai-nilai lokal dapat dipadukan dengan prinsip-prinsip Islam. Ini menciptakan pendekatan yang tidak hanya menghargai teks suci tetapi juga menjawab kebutuhan masyarakat lokal. Di sisi lain, banyak penafsir yang lebih berfokus pada aspek teologis dan historis, seperti Ibn Kathir, yang sering kali mengaitkan konteks sejarah dengan penafsirannya.

Baca juga : Mengeramatkan Sesuatu dalam Perspektif Islam: Memahami Perbedaan Antara Kesyirikan, Penghormatan, dan Sunnah Berdasarkan Niat dan Konteks Budaya

Nuansa corak budaya ini tidak hanya memperkaya khazanah tafsir, tetapi juga memunculkan tantangan. Ketika tafsir dibingkai dalam konteks budaya tertentu, ada risiko terjadinya penafsiran yang bias atau eksklusif. Dalam beberapa kasus, tafsir yang dihasilkan dapat menguatkan stereotip atau pemahaman yang salah tentang Islam, terutama ketika ditafsirkan tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi dan mendiskusikan berbagai tafsir ini dengan kritis agar kita dapat menemukan makna yang lebih universal dan relevan dengan konteks global saat ini.

Perbedaan budaya dalam tafsir Al-Qur’an juga berimplikasi pada cara umat Islam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Misalnya, beberapa tafsir kontemporer, seperti karya Azyumardi Azra, berusaha menjembatani antara tradisi Islam dan modernitas. Azra mengajak umat untuk melihat nilai-nilai universal yang terdapat dalam Al-Qur’an, seperti keadilan, kasih sayang, dan toleransi. Pendekatan ini membantu membangun jembatan antara tradisi dan inovasi, serta memberikan ruang bagi pemahaman yang lebih inklusif.

Di Indonesia, penafsir yang mengintegrasikan nilai-nilai sosial, seperti gotong royong, musyawarah, dan toleransi, sangat berperan dalam membangun komunitas yang harmonis. Ini terlihat dalam berbagai program sosial yang diinisiasi oleh organisasi keagamaan, yang sering kali berakar dari tafsir dan pemahaman terhadap teks suci. Pendekatan ini menunjukkan bahwa tafsir bukan hanya alat untuk memahami teks, tetapi juga sebagai media untuk membentuk identitas komunitas.

Baca juga : Prof. Quraish Shihab Bersama Mahasiswa UIN Gusdur Diskusikan Toleransi, Pendidikan Akhlak, dan Moderasi Beragama

Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana komunitas Muslim di seluruh dunia berinteraksi dengan teks suci. Penelitian menunjukkan bahwa komunitas Muslim di Indonesia memiliki kemampuan untuk menafsirkan Al-Qur’an secara kreatif dengan mempertimbangkan konteks sosial dan budaya mereka. Hal ini menegaskan bahwa interpretasi tidak hanya terjadi dalam ruang akademis, tetapi juga dalam praktik sehari-hari masyarakat.

Namun, tantangan lain muncul dari berbagai aliran pemikiran yang mengklaim otoritas dalam menafsirkan Al-Qur’an. Beberapa kelompok ekstremis menggunakan tafsir yang sangat literal dan mengabaikan konteks budaya, yang dapat menyebabkan radikalisasi pemikiran. Oleh karena itu, penting bagi ulama dan penafsir untuk menjelaskan bahwa tafsir yang baik harus memperhatikan konteks dan relevansi ajaran dalam kehidupan sehari-hari.

Penafsiran yang sempit dan kaku dapat menciptakan ketidakpahaman yang lebih luas terhadap ajaran Islam. Era digital juga membawa perubahan dalam cara tafsir disebarluaskan. Akses terhadap berbagai tafsir dan interpretasi menjadi lebih mudah, tetapi ini juga membawa risiko penyebaran pemahaman yang tidak tepat. Dalam hal ini, penafsir modern perlu lebih proaktif dalam menyampaikan tafsir yang responsif terhadap tantangan zaman. Pemanfaatan platform digital untuk menyebarluaskan tafsir yang inklusif dan beragam dapat menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan ini.

Di tengah semua perubahan ini, penting untuk memerhatikan bagaimana tafsir dapat berfungsi sebagai alat untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan. Dalam konteks Indonesia, di mana keberagaman budaya dan agama sangat kaya, tafsir yang mengintegrasikan kearifan lokal menjadi sangat relevan. Ini memungkinkan masyarakat untuk merasakan kedekatan antara ajaran agama dengan kehidupan sehari-hari mereka.

Baca juga : Perspektif Islam terhadap Kebaya: Antara Tradisi Budaya dan Tuntutan Keagamaan

Tafsir yang berbasis pada kearifan lokal dapat menciptakan rasa saling menghargai dan toleransi antaragama. Selain itu, penafsiran yang inovatif juga berpotensi menciptakan ruang untuk dialog antarbudaya. Ketika berbagai perspektif budaya saling berinteraksi, hal ini dapat menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap teks suci. Dialog ini penting untuk menciptakan komunitas yang inklusif dan harmonis, serta mempromosikan nilai-nilai universal yang terdapat dalam ajaran Al-Qur’an.

Melintasi batas budaya dalam tafsir Al-Qur’an memberikan wawasan yang lebih kaya dan mendalam terhadap makna teks suci ini. Dengan mempertimbangkan nuansa budaya, kita dapat menggali pemahaman yang lebih relevan dan aplikatif dalam konteks saat ini. Sebuah tafsir yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai lokal dengan prinsip-prinsip universal akan menjadi jalan menuju pemahaman yang lebih inklusif dan harmonis. Dalam dunia yang semakin terhubung, menggugah pemikiran melalui tafsir yang kaya akan nuansa budaya akan menjadi kontribusi penting dalam memperkuat pemahaman dan praktik Islam yang relevan di era modern.

Masjid Lerabaing Alor : Keunikan, Misteri, dan Saksi Bisu Toleransi di Nusa Tenggara Timur

Penulis : Bunga Erna, Editor : Dina Fitriana

Masjid At-Taqwa Lerabaing di Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan tempat ibadah yang memiliki nilai sejarah dan keindahan alam yang luar biasa. Masjid ini tidak hanya menjadi pusat kegiatan keagamaan, namun juga menjadi ikon penting bagi masyarakat setempat. Keberadaannya sebagai pusat peninggalan sejarah dan kegiatan keagamaan memberikan nilai dan kebanggaan yang besar bagi masyarakat setempat.

Salah satu hal yang menarik dari masjid ini adalah arsitektur tradisionalnya yang mencerminkan warisan budaya dan kearifan lokal. Berlokasi strategis di Desa Wakapsir, Kecamatan Abad Selatan, Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Masjid ini memiliki desain yang unik sehingga menjadi salah satu tempat wisata religi yang menarik bagi pengunjung. Bukan hanya karena arsitekturnya saja, namun juga karena keistimewaannya.

Beberapa cerita mengemukakan bahwa terdapat juga benda peninggalan di sekeliling masjid. Peninggalan tersebut diantaranya seperti tongkat yang digunakan untuk khotbah, rotan yang digunakan untuk meluruskan shaf dalam barisan sholat, dua buah tasbih, juga terdapat peninggalan berupa alat-alat tajam yang masing-masing mempunyai kegunaan tersendiri. Keberadaan benda-benda peninggalan ini menambah nilai sejarah dan keistimewaan dari Masjid At-Taqwa Lerabaing.

Baca Juga : Suronan: Memelihara Tradisi dan Kebudayaan dalam Kearifan Lokal Jawa

Selain itu, keindahan alam di sekitar masjid juga menawarkan pengalaman spiritual yang mendalam. Pemandangan masjid di sisi utara pegunungan terjal menambah keunikan tempat ini sebagai tempat beribadah yang damai dan indah. Lokasi strategis masjid ini memberikan suasana yang tenang dan khusyuk bagi para jamaah yang beribadah.

Masjid At-Taqwa Lerabaing juga menjadi simbol kerukunan, bukan sekedar tempat beribadah, tetapi juga toleransi antar umat beragama. Provinsi NTT yang memiliki keberagaman budaya dan agama, menjadikan masjid ini sebagai contoh nyata kerukunan antar masyarakat. Keberadaan masjid ini menjadi cerminan harmonisnya kehidupan beragama di daerah tersebut.

Menurut cerita warga setempat, pada zaman dahulu ketika masjid ini dibangun, seluruh penduduk di sekitarnya diwajibkan untuk bersembunyi. Menariknya, penyangga atau tiang-tiang bangunan masjid tersebut berdiri dengan sendirinya tanpa bantuan atau campur tangan warga. Fenomena ini semakin menambah kesakralan dan keajaiban yang melekat pada Masjid At-Taqwa Lerabaing. Konon, tidak sembarang orang diperbolehkan masuk ke dalam masjid tua ini dan jika seseorang tidur atau menginap di dalamnya, mereka akan mengalami pengalaman yang sulit dijelaskan secara logika. Bukan hanya itu saja, masjid ini juga memiliki banyak kisah unik lainnya. Dahulu saat tentara Portugis berusaha menguasai Pantai Selatan Alor, mereka berkali-kali mencoba menembaki Masjid Lerabaing dengan meriam, namun tembakan mereka selalu meleset atau salah sasaran.

Baca Juga : Potret Keharmonisan Agama di Indonesia : Surabaya Suguhkan 6 Tempat Ibadah yang Berdampingan

Keunikan arsitektur, keindahan alam, serta nilai sejarah dan spiritual yang terkandung di dalamnya, menjadikan Masjid At-Taqwa Lerabaing sebagai salah satu destinasi wisata religi yang menarik di NTT. Keberadaannya tidak hanya memberikan manfaat bagi umat Muslim, tetapi juga menjadi simbol persatuan dan keharmonisan bagi seluruh masyarakat di wilayah tersebut. Namun, seperti tempat ibadah lainnya, Masjid At-Taqwa Lerabaing juga perlu mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik. Upaya pelestarian dan perawatan masjid ini harus terus dilakukan agar keberadaannya sebagai warisan sejarah dan budaya dapat terjaga dengan baik untuk generasi mendatang.

Masjid ini diharapkan tetap menjadi tempat penting bagi masyarakat setempat dan terus menjadi ikon penting dalam kehidupan beragama di NTT. Sebagai warisan budaya dan sejarah, Masjid At-Taqwa Lerabaing harus terus dijaga dan dilestarikan agar dapat menjadi inspirasi bagi generasi mendatang tentang pentingnya menjaga kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Secara keseluruhan, Masjid At-Taqwa Lerabaing merupakan tempat ibadah yang memiliki nilai sejarah, keindahan alam, dan makna spiritual yang mendalam bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Keberadaan masjid ini tidak hanya memberikan manfaat bagi umat Muslim, tetapi juga menjadi saksi bisu kerukunan dan toleransi beragama di wilayah tersebut.

Harmoni Budaya dan Agama serta Tradisi Rumah Karang Memadu di Desa Panglipuran Bali

Penulis : Abilah Mei Sinta, Editor : Amarul Hakim

Bali adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki pesona keindahan alam yang luar biasa, bukan hanya di daratannya saja tetapi juga lautnya. Di Bali juga memiliki budaya dan adat istiadat  yang unik, yaitu seni dan upacara adatnya.

Selain itu, masyarakat Bali terkenal dengan tingkat toleransi yang tinggi, baik terhadap penduduk lokal maupun turis yang berkunjung. Mereka juga memiliki kepedulian yang besar terhadap alam, terutama lingkungan sekitar. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa desa di Bali dinobatkan sebagai desa terbersih kedua di dunia.

Desa terbersih kedua di dunia ini, bernama Desa Penglipuran yang terletak di kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali. Nah sebagai salah satu desa di Bali yang disorot dunia, Penglipuran memiliki sebuah peraturan adat istiadat yang unik, peraturan tersebut di beri nama Rumah Karang Memadu. Rumah Karang Memadu ini adalah rumah yang dipergunakan untuk orang yang melakukan poligami.

Baca juga : Perspektif Islam terhadap Kebaya: Antara Tradisi Budaya dan Tuntutan Keagamaan

Rumah Karang Memadu ini merupakan salah satu adat tradisi yang masih dipertahanan di Desa Panglipuran. karena hal ini dianggap sebagai undang-undang yang diterapkan, dimana masyarakat melarang warganya untuk berpoligami. Sehingga warga di desa Panglipuran hanya memiliki satu istri tidak lebih. Pekarangan Rumah Karang Memadu ini sampai sekarang masih kosong, dikarenakan belum ada masyarakat disana yang melakukan poligami sampai sekarang.

Hal tersebut yang mendukung program masyarakat di Panglipuran untuk menjaga dan melestarikannya sampai sekarang. Karena di dalam aweg-aweg (Undang-Undang) tersebut mencakup peraturan setiap kehidupan yang ada di Desa Panglipuran. Setiap orang diatur dalam aweg-aweg termasuk peraturan tidak membuang sampah sembarangan. Setiap peraturan yang ada disana sanksinya berupa sanksi moral. Salah satunya seperti membuat sesajen, meminta maaf kepada Tuhan Yang Maha ESA dan meminta maaf kepada seluruh warga Panglipuran.

Bagi mereka yang melakukan poligami, mereka akan tinggal di karang memadu dan tidak diperkenankan untuk melewati area batas suci yang ada di Desa Penglipuran, termasuk catus pata, tidak boleh menginjakkan kaki di tempat-tempat ibadah, dan tidak boleh bersosialisasi dengan warga lain (dikucilkan secara kasepekang) oleh masyarakat, serta tidak diperkenankan untuk ikut upacara adat di Desa Panglipuran. Dengan sanksi yang begitu keras warga Desa panglipuran tak ada yang berani untuk berpoligami dan tetap menjaga kesetiaannya.

Baca juga : Dialog Lintas Agama dan Kepercayaan antar Tokoh Lembaga Adat Desa Kutorojo

Dari keunikan adat istiadat dan budaya di sana, Bali sering dijadikan rekomendasi oleh para turis dari mancanegara dan mahasiswa hingga siswa dalam negeri sebagai objek penelitian dan kunjungan wisata, seperti kunjungan Mahasiswa KKL dari UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan. Karena disana memiliki adat istiadat dan budaya yang mengispirasi, serta orang-orang yang patuh terhadap peraturan sehingga bisa menjadi refleksi dan evaluasi bagi kita agar bisa meningkatkan rasa solidaritas, rasa peduli terhadap alam dan rasa menghargai antara sesama serta rasa toleransi yang tinggi. Sehingga kita dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik lagi karena terinspirasi dari Bali.

Menyelami Makna Kata Maulid dan Maulud Mana yang Lebih Tepat?

Penulis: Azzam Nabil H, Editor : Syam

Maulid Nabi Muhammad saw. merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad yang telah menjadi tradisi di berbagai daerah. Sehingga dalam momentum ini, seringkali dijumpai penyebutan yang berbeda di kalangan masyarakat. Di beberapa daerah ada yang menyebutkan maulud nabi atau di bahasa jawa adalah “Muludan.”

Jika dijabarkan lebih rinci, secara bahasa kata Maulid dan Maulud memiliki makna yang berbeda. Maulud dalam amtsilatut tashrif diposisikan sebagai isim maf’ul yang memiliki arti “yang dilahirkan.” Sedangkan Maulid memiliki tiga posisi, yakni sebagai isim masdar mim yang memiliki arti “kelahiran”. Kedua, sebagai isim zaman yang memiliki arti “waktu lahir”. Ketiga, sebagai isim makan yang memiliki arti “tempat lahir”.

Dari penjelasan tersebut, maka tidak tepat jika kita menyebut “Maulud” karena sudah bergeser dari maknanya. Sehingga yang lebih tepat yakni “Maulid” karena masih dalam konteks memperingati dan menghormati kelahiran, waktu kelahiran, dan tempat lahir, Nabi Muhammad saw.

Dengan memahami makna kata tersebut, peringatan maulid nabi akan menjadi lebih indah dan bukan hanya sekedar menjadi perayaan atau memorial belaka, namun dapat meningkatkan sikap kita dalam meneladani sikap Nabi Muhammad saw.

Seperti yang kita semua tahu bahwa ada 4 sifat yang ada pada diri Nabi. Sifat itu di antaranya: sidiq, amanah, fathonah, dan tablig. Sidiq artinya orang yang jujur, amanah adalah dapat dipercaya, fathonah berarti orang yang pandai atau cerdas, dan tablig artinya orang yang menyampaikan. Dengan adanya peringatan maulid nabi, tentu keempat sifat ini seharusnya sudah menyatu di dalam tubuh umat Muslim sebagai bentuk cintanya kepada Nabi Agung Muhammad saw.

Balai Kota Surakarta Sebagai Wadah Harmonisasi Keberagaman Umat di Indonesia

Penulis : Rachmatika Salma Yulianto, Editor : Sirli Amry

Surakarta atau yang kerap dikenal dengan sebutan Solo, tidak hanya terkenal dengan keindahan budaya dan kekayaan tradisinya, tetapi juga kerukunan umat beragamanya. Sama halnya dengan berbagai kota di Indonesia, Kota Surakarta juga mengupayakan kerukunan dengan memahami perbedaan dan keberagaman. Dengan menjadikanya salah satu pilar penting dalam pembangunan pemerintahan kota Surakarta.

Pentingnya toleransi antar umat beragama dalam membangun harmoni sosial di Surakarta tidak dapat diragukan lagi. Dalam masyarakat yang beragam seperti Surakarta, keselarasan antara umat beragama menjadi pondasi utama dalam menciptakan kerukunan dan perdamaian. Melalui toleransi, masyarakat Surakarta mampu menjalin hubungan yang harmonis, menghormati perbedaan, dan saling mendukung dalam membangun kota yang lebih baik.

Dalam berberapa tahun terakhir, kota ini telah menunjukan komitmen yang kuat untuk memupuk dan mempromosikan toleransi antar umat beragama. Upaya untuk menciptakan harmoni dalam keberagaman menjadi prioritas utama bagi pemerintah Kota Surakarta. Hal ini jelas terlihat pada saat Kota Surakarta memperoleh skor 5,883 dan berada di posisi keempat dari 10 kota-kota yang paling toleran. Dalam Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2022 yang dilakukan oleh SETARA Institute menunjukan bahwa Surakarta menjadi salah satu kota yang memiliki tingkat toleransi yang baik.

Baca Juga: Sedekah Bumi: Tradisi Syukur, Kepedulian Sosial, dan Pelestarian Alam untuk Generasi Mendatang

Dalam suatu kota pasti mempunyai bangunan ikonik yang memiliki fungsi sebagai maskot serta ciri khas suatu wilayah. Kota Surakarta sendiri memiliki balai kota yang berfungsi bukan hanya sekedar bangunan ikonik di tengah kota. Balai Kota Surakarta lebih dari sekedar menjadi bangunan ikonik ditengah kota, melainkan menjadi pusat kegiatan administratif dan operasional yakni sebagai ”rumah” bagi pemerintah Kota Surakarta. Dalam konteks toleransi, Balai Kota Surakarta berperan sebagai ruang netral atau tempat bagi orang-orang dari berbagai latar belakang untuk menjalin kerukunan dan memupuk rasa toleransi melalui berbagai pertemuan yang diselenggarakan. Balai kota ini mencerminkan semangat inklusivitas dan penghargaan terhadap perbedaan. Selain itu, balai kota ini juga memberikan kontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih toleran dan harmonis.

Salah satu upaya yang dilakukan Kota Surakarta adalah menjadikan Balai Kota Surakarta wadah aktivitas terbuka untuk perayaan keagamaan. Diawali pada awal tahun 2023 dalam perayaan imlek bagi masyarakat etnis tionghoa. Dengan memberikan berbagai hiasan imlek berupa lampion-lampion serta ornamen pernak-pernik imlek lainnya yang terpasang di kawasan balai kota, termasuk Jalan Jendral Soedirman hingga kawasan Pasar Gede. Perayan ini sudah dilaksanakan Pemerintah Kota Surakarta sejak tahun 2011 secara rutin hingga sekarang. Perayaan imlek juga dibarengi dengan Event Grebeg Suudiro yang merupakan perayaan kebudayaan dari masyarakat jawa.

Tak lama setelah perayaan Imlek 2023, Perayaan Nyepi 2023 bagi umat Hindu juga diselenggarakan pertama kalinya dengan dukungan Pemerintah Kota Surakarta. Acara ini juga diiringi berbagai rangkaian perayaan Nyepi berupa festival Ogoh-ogoh yang digelar di Plaza Balai Kota. Panjor janur kuning juga menghiasi sepanjang Jalan Jendral Sudirman. Masyarakat dari berbagai lintas agama dan budaya pun turut menyaksikan dan memeriahkan acara tersebut. 

Memasuki bulan Ramadhan 1444 H/ 2023, ornamen khas Ramadhan bergantian menghiasi Plaza Balai Kota. Kampung Ramadhan juga digelar sepanjang Bulan Ramadhan yang berlokasi di sisi utara balai kota dengan menjual berbagai jajanan dan takjil oleh puluhan UMKM. Seluruh warga masyarakat Kota Surakarta turut menikmati kehadiran Kampung Ramadhan tersebut baik dari beragam etnis dan kepercayaan.

Baca Juga : Sedekah Bumi: Tradisi Syukur, Kepedulian Sosial, dan Pelestarian Alam untuk Generasi Mendatang

Selanjutnya, disusul Perayaan Natal 2023, umat kristiani diberikan kesempatan yang sama dalam menggelar perayaan Natal di Plaza Balai Kota, dengan memutar dan menyanyikan lagu-lagu Rohani. Ornamen Natal juga menghiasi sepanjang Jalan Jendral Sudirman dan kawasan balai kota, seperti replika pohon natal serta ornamen lainya.

Dalam perjalanan menjelajahi Kota Solo, kita tidak hanya disuguhi dengan pemandangan arsitektur yang memukau dann kekayaan budayanya. Melainkan harmoni toleransi antar umat beragama juga dapat kita rasakan saat menjelajahi kota tersebut. Kota ini adalah bukti nyata bahwa keberagaman kepercayaan dapat bersatu dalam kerukunan dan menciptakan lingkungan yang saling menghormati dan menghargai.

Balai Kota Surakarta hanyalah wadah bagi kerukunan umat beragama melalui perayaan yang diselenggarakan oleh berbagai umat beragama. Kesadaran masyarakat juga berperan penting dalam menjaga kerukunan yang sudah terjalin. Dengan demikian, mari bersama-sama merayakan kerukunan umat beragama di Kota Solo dan menjadikannya sebagai teladan bagi kota-kota lain di Indonesia. 

Sedekah Bumi: Tradisi Syukur, Kepedulian Sosial, dan Pelestarian Alam untuk Generasi Mendatang

Penulis :  Elsa Juni Setyowati, Editor : Amarul Hakim

Sedekah bumi, sebuah tradisi yang kaya makna dan nilai, telah menjadi bagian integral dari budaya dan spiritualitas banyak masyarakat di seluruh dunia. Tradisi ini bukan sekadar tentang memberikan sebagian dari hasil bumi kepada yang membutuhkan, tetapi juga mengajarkan tentang rasa syukur, kepedulian terhadap sesama, dan kesadaran akan pentingnya berbagi rezeki. 

Di berbagai belahan dunia, sedekah bumi diperingati dengan cara yang berbeda-beda, tetapi intinya tetap sama: mengakui karunia-karunia yang diberikan oleh alam dan berbagi dengan orang lain, terutama yang kurang beruntung. Dalam konteks agraris, seperti di banyak masyarakat agraris di Asia Tenggara, sedekah bumi merupakan ungkapan terima kasih kepada alam atas hasil panen yang melimpah.

Sedekah bumi bukan hanya tentang memberi dari hasil pertanian. Dalam era modern ini, konsep sedekah bumi telah berkembang untuk mencakup segala bentuk rezeki yang diterima, termasuk rezeki dari pekerjaan, bisnis, atau usaha lainnya. Ini mengajarkan kita untuk tidak hanya berterima kasih atas hasil bumi secara harfiah, tetapi juga atas segala bentuk nikmat yang kita terima dalam hidup.

Baca juga : Dialog Kebudayaan: Hidup Harmonis dengan Budaya Warga Desa Rowolaku

Sedekah bumi juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Melalui tradisi ini, kita diajarkan untuk memperhatikan kebutuhan orang lain di sekitar kita dan untuk berbagi dengan mereka. Ini menciptakan rasa solidaritas dan kebersamaan dalam masyarakat, mengurangi kesenjangan sosial, dan memperkuat hubungan antar individu.

Dalam  proses pelaksanaannya, sedekah bumi membutuhkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat mulai dari menyiapkan bahan, menentukan hari yang baik, menyusun baik sumberdaya yang akan disedekahkan dan rangkaian acaranya. Langkah-langkah ini jelas membutuhkan kreatifitas kaum muda, hasil tani para orang tua dan juga pelaksanaan filosofis dari tetua adat sehingga dibutuhkan gotong royong dan saling menghargai antar generasi.

Selain itu, sedekah bumi juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga alam dan lingkungan. Dengan menghargai hasil bumi yang diberikan kepada kita, kita juga diingatkan untuk bertanggung jawab terhadap alam ini. Ini mencakup praktik-praktik berkelanjutan dalam pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana, untuk memastikan bahwa kita dapat terus menikmati karunia-karunia alam ini dalam jangka panjang.

Baca juga : Merangkai Tradisi: Keberagaman dan Kekuatan Identitas dalam Nyadran Gunung Silurah

Namun, meskipun nilai-nilai sedekah bumi begitu penting, tradisi ini tidak selalu mudah dijalankan dalam dunia modern yang serba cepat ini. Terkadang, kesibukan, keserakahan, atau ketidakpedulian membuat kita lupa akan pentingnya berbagi dan bersyukur. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengingat dan merayakan tradisi ini, tidak hanya sebagai sebuah ritual, tetapi sebagai sebuah gaya hidup.

Sedekah bumi mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya didapatkan melalui akumulasi kekayaan atau keberhasilan pribadi, tetapi juga melalui kemampuan kita untuk berbagi dan peduli terhadap orang lain. Itulah sebabnya, dalam setiap langkah hidup kita, mari kita selalu mengingat dan menerapkan nilai-nilai yang diajarkan oleh tradisi sedekah bumi: rasa syukur, kepedulian, dan keberlanjutan.

Puncak Harmoni Agama Dalam Seni Dan Arsitektur Goa Sunyaragi Cirebon

Penulis: Risky Ardian, Editor: Ika Amiliya Nurhidayah

Goa Sunyaragi, dengan segala keindahan dan kompleksitasnya, melambangkan bukan hanya sebuah situs bersejarah, tetapi juga karya seni dan arsitektur yang mencerminkan moderasi beragama. Di antara lorong-lorong dan ruang-ruangnya yang gelap, terdapat jejak-jejak yang menghubungkan tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda. Dari relief-relief yang menceritakan kisah-kisah epik Hindu, hingga detil-detil seni Buddha yang mempesona, serta kata-kata bijak Islam yang tertulis indah di dinding-dindingnya, goa ini menjadi simbol harmoni antar-umat beragama.

Goa Sunyaragi merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang kaya akan sejarah dan nilai-nilai kulturalnya. Melihat corak goa tersebut dalam konteks moderasi beragama, dapat dilihat bahwa ada beberapa elemen yang bisa ditarik sebagai representasi dari moderasi dalam praktik keagamaan.

Baca Juga: Tradisi Pesta Giling Tebu: Mengenal lebih dalam Warisan Budaya Kota Pekalongan

Pertama, goa tersebut merupakan simbol harmoni antara agama-agama yang berbeda. Dalam goa tersebut terdapat beragam simbol keagamaan dari tradisi Hindu, Buddha, dan Islam. Kehadiran simbol-simbol tersebut mencerminkan toleransi dan kerukunan antar-umat beragama. Hal ini penting dalam konteks moderasi beragama karena menunjukkan bahwa meskipun perbedaan kepercayaan ada, namun ada ruang bagi semua keyakinan untuk hidup berdampingan secara damai.

Kedua, arsitektur dan seni relief yang terdapat di dalam goa tersebut mungkin menggambarkan pesan-pesan universal tentang perdamaian, cinta, dan harmoni. Pesan-pesan ini dapat diinterpretasikan secara inklusif oleh semua penganut agama, tanpa memandang perbedaan kepercayaan. Dalam konteks moderasi beragama, hal ini menggarisbawahi pentingnya nilai-nilai universal yang dapat menyatukan umat beragama dalam semangat persaudaraan.

Ketiga, Goa Sunyaragi juga dapat menjadi tempat untuk refleksi dan meditasi bagi pemeluk berbagai agama. Keberadaan tempat suci yang bersahaja seperti goa tersebut dapat menjadi tempat bagi individu untuk menggali makna spiritual dalam kehidupan mereka, tanpa harus terjebak dalam pertentangan dogma keagamaan yang keras. Dalam hal ini, Goa Sunyaragi dapat menjadi simbol praktik spiritual yang moderat dan inklusif.

Baca Juga: Batik Warisan Budaya Yang Mendunia

Sebagai warisan budaya Indonesia yang berharga, Goa Sunyaragi mengajarkan kita bahwa harmoni agama bukanlah sekadar impian, tetapi sesuatu yang bisa diwujudkan melalui penghargaan terhadap perbedaan dan kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai. Dalam keragaman kita, terdapat kekuatan untuk menciptakan dunia yang lebih baik, di mana setiap individu dihargai atas keunikan dan kepercayaannya.

Tradisi Pesta Giling Tebu: Mengenal lebih dalam Warisan Budaya Kota Pekalongan

Penulis: Hikmatul Ismila Nasthasya, Editor: Sirli Amry

Pekalongan memiliki banyak budaya dan adat istiadat yang unik serta menarik, salah satunya adalah Tradisi Pengantin Glepung Pesta Giling Tebu. Tradisi ini sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat daerah Pekalongan tepatnya di Kecamatan Sragi, Kabupaten Pekalongan. Setiap satu tahun sekali, masyarakat disana selalu menyelenggarakan tradisi tersebut. Pelaksanaan tradisi ini dianggap sebagai bentuk ungkapan rasa syukur dan pemanjatan doa ketika memasuki musim panen tebu dengan harap guna kelancaran dan kesuksesan proses produksi gula. Masyarakat pun sangat antusias dalam acara ini, tak jarang wisatawan asing juga turut menyaksikan. Selain itu, tradisi ini memberikan manfaat seperti menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat, serta untuk membaur dengan masyarakat sekitar.

Dalam pelaksanaan pesta giling tebu terdapat beberapa rangkaian acara salah satunya yaitu pengantin glepung. Pengantin glepung ini adalah sepasang boneka yang terbuat dari tepung beras atau dalam istilah Bahasa Jawa disebut glepung. Dalam boneka tersebut, biasanya diisi dengan gula jawa yang dianggap seperti darah manusia. Selain itu, boneka glepung tersebut juga diberi nama lengkap dan berpakaian seperti halnya sepasang pengantin. Boneka pengantin tersebut kemudian dinikahkan dengan adat Jawa seperti pasangan pengantin manusia pada umumnya.

Pelaksanaan tradisi pengantin glepung dimulai dari pengambilan beberapa tebu dari kebun. Kemudian tebu yang diambil secara acak tersebut diarak oleh karyawan pabrik gula secara bersama-sama. Arak-arakan ini dianggap sebagai simbolis dimulainya panen tebu dan siap diproduksi menjadi gula. Dalam arak-arakan tersebut juga diiringi kirab budaya seperti barongan, gendruwo, ondel-ondel, musik gamelan, serta hiburan lainnya. Acara tersebut berlangsung hingga malam hari hingga puncaknya ditutup dengan penutupan pasar malam.

Baca Juga: Menghargai dan Memperbarui: Kontribusi Islam dalam Pelestarian Budaya Lokal

Budaya pengantin glepung ini memiliki perbedaan sudut pandang di kalangan masyarakat. Beberapa masyarakat ada yang menyukai dan adapula yang menentang budaya tersebut. Mereka yang menentang beranggapan bahwa budaya ini menyimpang dari nilai-nilai islam. Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa tradisi ini merupakan salah satu warisan budaya dan sebagai simbol penghargaan kepada nenek moyang. Dalam tradisi tersebut juga memiliki banyak nilai yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya yaitu nilai kekeluargaan dan kerukunan. Selain itu, terdapat pula nilai spiritual dalam proses pelaksanaannya dimana semua orang yang hadir dalam acara ini diajak untuk berdo’a bersama-sama memohon ridho Allah SWT. Tentunya proses pelaksaan tradisi ini sangat diperhatikan agar tidak terjadi penyimpangan yang juga didalamnya terdapat bimbingan secara islam oleh ustadz setempat.

Sebagai kearifan lokal tradisi pesta giling tebu harus dilestarikan. Hal ini karena tradisi tersebut dianggap memiliki nilai-nilai sosial sosial dan filosofi yang patut dipertahankan agar tidak hilang ditelan zaman yang semakin berkembang. Upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan tradisi ini yakni dengan melaksanakan tradisi dalam satu tahun sekali ketika menjelang musim panen tebu tiba. Selain itu, kita juga dapat menjadikan tradisi ini sebagai ajang wisata sekaligus untuk menambah wawasan bagi generasi muda.

 

Penghayat Jawa Jawata: Memahami Keberagaman dan Menjaga Kerukuan

Penulis : Aida Fissa Bellina, Editor : Sirli Amry

Kawruh Jawa Jawata diartikan sebagai Piwulang atau wejangan supaya mengetahui, melihat (ngaweruhi) tentang ajaran kehidupan dan penghidupan agar menjadi insan yang Lantip Ing Pangraito Lan Tanggap Ing Sasmitha Gaib. Jawa adalah warisan ajaran berketuhanan dan warisan nilai budaya dari para leluhur yang menggunakan bahasa Jawa dalam melakukan sembahyang serta permohonannya.

Jawata berarti Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, Paguyuban Kawruh Jawa Jawata ialah persatuan dan kerukunan berdasarkan kesamaan sebagai pewaris ajaran sekaligus nilai budaya para leluhur dalam hal penghayatan, persembahyangan, dan pengamalan kepercayaan terhadap Tuhan YME yang ada di tanah Jawa.

Paguyuban Jawa Jawata didirikan oleh Romo Guru Darim Aji Darmoleksono (Darim) beserta adik kandungnya Romo Guru Pandji Sabdo Guno (Saridjo) pada 6 Mei 1981 di Desa Sumurjomblangbogo, Kecamatan Bojong, Kabupaten Pekalongan. Tujuan dari organisasi ini adalah agar para putra dan kadang (anggota) selalu meneruskan dan melestarikan kemurnian ajaran (wejangan) dari romo Guru Darim Darmoleksono.

Selain itu juga sebagai pengembangan dan pengamalan budi pekerti luhur dalam kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara serta mengantarkan ke jalan yang benar untuk mencapai kesejahteraan yang abadi.

Menurut Ibu Sri Renggani dalam paguyuban Kawruh Jawa Jawata, seseorang tidak boleh memakan tulang dan kepala hewan jika usianya sudah dewasa yaitu masa baligh (diarkat). Sedangkan batas diperbolehkannya memakan tulang adalah ketika seseorang itu belum diarkat. Dalam acara Arkat (baiat) biasanya orang yang diarkat akan membuat sesajen untuk para leluhur terdahulu.

Pada hari orang akan diarkat maka orang tersebut tidak boleh memakan tulang dan kepala hewan. Dalam paguyuban tersebut seseorang tidak di perbolehkan memakan tulang dan kepala karena mereka percaya bahwa tulang dan kepala adalah lambang guru dari paguyuban mereka yang disebut sang hyang widhi.

Menurut penuturan paguyuban tersebut, sang hyang widhi tidak memiliki badan. Mereka hanya memiliki kepala dan leher saja. Sedangkan tidak diperbolehkannya memakan tulang karena tulang sebagai lambang gusti sulfi (seperti malaikat).

Sembahyang (ibadah) yang dilakukan para penghayat ini biasanya dilakukan pada jam 9 malam ke atas dimana orang-orang harus sudah bersih (suci) yang di sebut dengan ritual lelewur. Tempat sembahyang bagi penghayat Jawa Jawata boleh dimana saja. Pada tanggal 15 ramadhan ke atas biasanya penghayat melakukan puasa selama 3 hari 3 malam dan mereka hanya berbuka dengan air putih suci pada saat matahari terbenam. Pada hari terakhir puasa orang tersebut tidak boleh keluar kamar dan hanya melakukan semedi (berdiam diri) sampai ia tertidur.

Pada tanggal 1 juni para penghayat yang masih mampu akan pergi ke atas gunung lawu untuk melakukan sembahyang karena mereka menganggap leluhur mereka berada di gunung lawu yang Bernama Brahwijaya. Mereka juga akan memberikan sesajen berupa semar mendem, telur, dan ketan.

Ibu Sri Renggani menganut kepercayaan Kawruh Jawa Jawata sejak beliau dari kecil karena beliau mengikuti kedua orang tuanya. Akan tetapi, pada saat beliau masih sekolah beliau tetap mengikuti pelajaran Agama Islam bahkan terkadang juga mengikuti teman beliau yang sembahyang di gereja. Beliau mulai menetap untuk mengikuti kepercayaan Jawa Jawata saat usainya mencapai masa baligh.

Awal mula ibu Sri Renggani masuk kedalam kepercayaan ini karena pada saat itu beliau ingin mencari sebuah kebenaran. Alhasil kebenaran tersebut ia temukan di paguyuban Kawruh Jawa Jawata. Di lingkungan keluarganya, tidak semuanya meng anut kepercayaan Jawa Jawata, tetapi ada juga yang menganut ajaran islam.

Di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, hanya ada sebagian orang yang menjadi penganut penghayat. Masyarakat disana sudah mengetahui bahwa Ibu Sri Renggani adalah seorang penganut penghayat bahkan dirinya juga bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Ketika masyarakat penganut agama islam mengadakan acara keagamaan, Ibu Sri juga ikut serta dalam memeriahkan acara tersebut.

Sehingga tidak ada jarak antara Ibu Sri dengan masyarakat sekitar yang berbeda kepercayaan. Menurut ajaran Kawruh Jawa Jawata hubungan sosial antara manusia lebih penting daripada hubungan dengan tuhan. Menurut mereka, semua manusia adalah saudara dan harus saling tolong menolong. Berbeda dengan hubungan antara kita dan tuhan. Dimana hal itu urusan tuhan mau diterima atau tidak, yang paling penting adalah kita harus memanusiakan manusia.

Agama yang tertera di KTP Ibu Sri itu islam, tetapi dalam KTP Bapak Asworo itu kosong (-). Tanggapan Ibu Sri tentang hak sipil penghayat sudah di penuhi oleh pemerintah, dan pemerintah sudah menfasilitasi semua yang di butuhkan oleh penghayat. Menurut Ibu Sri, kita harus menjalankan kehidupan yang ada.

Di desa sumurjomblang tidak membatasi antar pemeluk agama dengan pemeluk agama lainnya. Semua Masyarakat disana hidup saling tolong menolong dan toleransi antar sesama. Pemerintah sudah melakukan pendataan pengahayat yang ada di Indonesia khususnya di Pekalongan. Namun, hanya ada beberapa penghayat yang sudah diresmikan.

Sejauh ini tidak ada konflik diantara orang islam dengan para penghayat. Mereka saling hidup berdampingan secara rukun dan damai. Orang disana tidak memaksa keyakinan seseorang karena agama atau kepercayaan itu di pilih oleh diri sendiri tanpa adanya tuntutan dari siapapun. Perilaku dan sikap orang islam di sekitar desa sumurjomblang sangat baik.

Mereka tidak pernah membeda-bedakan seseorang berdasarkan keyakinannya. Selain itu, di desa tersebut juga sudah ada tempat untuk perkumpulan para penganut penghayat, tetapi sembahyang untuk orang penghayat tersebut kebanyakan di rumah masing-masing. Biasanya mereka akan mengkhususkan satu kamar untuk di jadikan tempat sembahyang. Toleransi antar masyarakat yang berbeda keyakinan sangatlah penting. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan sekaligus menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Dengan toleransi, seluruh umat akan rukun dan damai tanpa adanya diskriminasi.

Perspektif Islam tentang Tradisi Lokal dan Pemaknaan Tradisi Rebo Wekasan di Pekalongan

Penulis : Ahmada Ghina Ghoniah, Editor : Kharisma Shafrani

Istilah “rebo wekasan” tidaklah asing bagi orang Pekalongan, biasanya ada yang menyebutnya “rebu pungkasan.” Rebo Wekasan merupakan “hari keramat” yang dipercaya masyarakat pada hari itu akan diturunkan bencana dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Rabu wekasan berakar dari dua kata, yaitu “Rabu” yang artinya Hari Rabu dan “wekasan” atau pungkasan yang artinya terakhir artinya hari rabu terakhir pada bulan safar. Tradisi “Rebo Wekasan” merupakan tradisi yang dimulai sejak para waliyullah dan dilestraikan sampai saat ini, masyarakat setempat biasanya merayakan ini agar mensyukuri nikmat Allah SWT serta menolak berbagai musibah, bahkan akan diturunkan sebanyak 3.200 musibah. 

Abu Hurairah berkata, Rasullah Bersabda “tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak ada burung dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarilah dari peyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa.” H. R. Imam Al- Bukhari dan Muslim). Tasa’um (anggapan sial) ini sudah terkenal pada umat jahiliyah dan sisa-sisanya masih ada pada kalangan muslimin saat ini. Ungkapan hadits la ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan takdir Allah.  

Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang kental dengan ritual-ritual atau berdasarkan tradisi suatu komunitas tertentu, sebagai salah satu ciri masyarakat Jawa yaitu melestarikan budaya nenek moyangnya. Terlepas dari ciri masyarakat Jawa, mereka juga sangat mendambakan hubungan dinamis antara manusia, alam dan Tuhan. Di tanah Jawa, ada ritual rebo wekasan yaitu ritual tolak bala. Biasanya kegiatan rebo wekasan diisi dengan puasa sunnah, sholat sunnah, pembacaan doa, membaca Al-Quran dan membaca Berzanji. Di Kota Pekalongan saat rebo wekasan banyak masyarakaat yang melakukan tradisi yaitu yang biasa dilakukan oleh para kyai dan orang yang tahu tentang rebo wekasan ini mereka setiap malam rebo wekasan selalu mengadakan membaca sholawat tolak bala’, tahlilan, dan melakukan shalat mutlak dengan harapan semua dihindarkan dari bencana yang sudah disebutkan oleh waliyullah bahwa allah akan menurunkan 320.000 bala’ dalam satu malam. 

Kemudian ada juga masyarakat yang melakukan tradisi udik-udik atau udik-udikan, tradisi ini adalah sebuah kegiatan sedekah dengan cara melakukan penebaran uang recehan di kerumunan massa yang berkumpul yang bertujuan untuk Selamatan, sedekah, silaturrahim dan berbuat baik kepada sesama. Tradisi Rebo Wekasan pada mulanya berawal dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi dalam kitab “Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid”, yang disebut dengan “Mujarrabat ad-Dairobi.” Pemahaman lain mengenai Rebo Wekasan berasal dari Islam. Biasanya uang recehan itu dicampur dengan beras kuning dan kembang. Selanjutnya Masyarakat Pekalongan biasanya melakukan tradisi ini mulai dari pagi setelah sholat subuh dari sebelum fajar muncul sampai terbenamnya matahari, tujuannya agar mereka bisa mendapatkan lebih banyak uang recehan. Tradisi ini biasanya tersebar dibeberapa desa di Kota Pekalongan seperti, desa Jenggot, Krapyak, Setono, Gamer, dan beberapa desa lainnya. 

Masyarakat kota Pekalongan sangat antusias menyambut rebo wekasan mulai dari anak kecil sampai orang dewasa mereka berbondong-bondong mencari rumah warga yang akan melakukan tradisi udik-udikan. Biasanya, para Masyarakat sudah mulai mencari tradisi ini dari pagi hari hingga sore hari, dengan berkeliling ke tetangga, gang-gang sebelah, bahkan sampai ke tetangga desa. Dengan begitu, tradisi ini juga memiliki dampak negatif di lingkungan Masyarakat seperti, terjadinya kerusuhan karena berdesak-desakan dengan warga sekitar yang bisa menyebabkan luka bahkan korban jiwa. Walaupun begitu, tradisi ini juga memiliki dampak positif seperti, menjaga kelestarian tradisi rebo wekasan di Kota Pekalongan. Melalui adanya tradisi rebo wekasan kita dapat mengetahui bagaimana antusias masyarkat saat menyambut tradisi tersebut, kemudia kita juga tau bagaiman rebo wekasan dalam islam, serta kita tahu bahwa Masyarakat masih menjunjung tinggi nilai ketuhanan, sosial hingga moral, dengan begitu kita sebagai Masyarakat harus bisa melestarikan tradisi tersebut.