Penulis: Alifah Indriyani, Editor: Ika Amiliya Nurhidayah
Tahun 2025 menjadi tahun yang penuh pembelajaran bermakna bagi umat Islam di seluruh Indonesia. Dimana ribuan warga Indonesia yang sudah bersiap untuk menunaikan ibadah haji, namun mereka harus menelan pil pahit karena gagal melakukan ibadah di Tanah Suci. Padahal, mereka telah melangkah jauh dengan semangat membara dan niat yang tulus pula. Ironisnya, sebagian besar dari mereka merasa telah “sah” secara niat dan pembayaran. Namun, visa yang mereka gunakan yang dikenal sebagai visa furoda ternyata tidak diakui secara resmi oleh otoritas Kerajaan Arab Saudi pada musim haji 2025.
Peristiwa seperti ini bukan semata-mata berasal dari kelalaian administratif saja, tetapi justru menjadi gambaran bagaimana semangat dalam beragama yang tinggi tetap harus berjalan selaras dengan aturan-aturan yang berlaku. Dalam konteks ini, menjadi krusial untuk merenungkan kembali bagaimana kita memahami dan mengamalkan nilai-nilai keberagamaan secara utuh, adil, dan moderat.
Tahukah kalian? Visa furoda adalah jalur non-kuota resmi yang biasanya diberikan secara langsung oleh pemerintah Arab Saudi melalui undangan pribadi. Meskipun jalur ini memberikan berbagai kemudahan dan mempercepat keberangkatan, dalam penggunaan jalur ini harus tetap melewati proses dari Penyelenggara Haji dan Umrah (PIHK) yang resmi dan sudah terdaftar.
Baca Juga: Mabrur: Menjaga Konsistensi Kebajikan (al-Birr) Hingga Ajal
Secara resmi, penggunaan visa furoda di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, khususnya Pasal 18 Ayat (2), yang menyatakan bahwa visa haji yang sah harus diurus melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang terdaftar dan diawasi oleh Kementerian Agama. Namun, pada musim keberangkatan haji tahun 2025 ini, pemerintah Arab Sudi ternyata tidak menerbitkan visa furoda milik jemaah haji furoda dari Indonesia.
Menurut Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag RI, Hilman Latief, dari kuota reguler sebanyak 203.320 orang, hanya 203.279 visa yang berhasil diterbitkan. Sementara itu, lebih dari 1.000 calon jemaah haji furoda yang telah membayar biaya hingga ratusan juta rupiah akhirnya batal berangkat karena visanya tidak diterbitkan.
Menteri Agama Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa pemerintah Arab Saudi sedang melakukan penataan penyelenggaraan ibadah haji dengan menerbitkan berbagai aturan baru. Beliau juga menjelaskan pengurusan visa haji furoda dilakukan oleh agen dan bekerja sama langsung dengan otoritas di Arab Saudi dan penyelesaian juga dilakukan oleh penyelenggara haji furoda. Beliau menyebut urusan visa haji merupakan domain Arab Saudi dan harus dihormati.
Menurut keterangan resmi yang dimuat dalam berbagai media, seperti CNN Indonesia, Tempo, dan Detik, keputusan ini murni kebijakan dari otoritas Arab Saudi dalam rangka penataan ulang sistem perhajian global. Ribuan Jemaah haji asal Indonesia pun harus menerima risiko besar karena mereka telah membayar nominal hingga ratusan juta rupiah tanpa adanya kepastian yang jelas saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa niat mulia sekali sewaktu-waktu dapat kandas jika tidak dibarengi dengan pemahaman dan kehati-hatian terhadap peraturan yang berlaku.
Moderasi beragama mengajarkan bahwa niat baik harus disertai dengan cara yang baik pula. Dalam kasus ini, berangkat haji dengan menggunakan jalur visa yang tidak sah, walaupun diniatkan untuk ibadah, tetap menjadi pelanggaran hukum. Rasulullah SAW pun pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim). Artinya, tidak cukup hanya dengan niat, tetapi juga bagaimana cara dan proses menuju ibadah tersebut harus benar dan sesuai syariat serta peraturan yang berlaku.
Dalam situasi seperti ini, pendekatan moderasi beragama menjadi sangat relevan. Di dalam konsep ini, moderasi beragama tidak bertujuan melemahkan semangat keimanan, namun dapat mendorong cara beragama yang seimbang dengan menghargai akal, etika, dan hukum. Dalam kasus visa furoda ini, kita dapat melihat bagaimana tidak adanya sikap moderat, seperti contohnya pada banyak orang yang mengambil jalan pintas tanpa prosedur yang jelas, justru menimbulkan kerugian yang sangat besar.
Jika seseorang hanya fokus pada tujuan tanpa mempertimbangkan cara yang digunakan, maka niat yang sudah direncanakan dengan baik bisa saja berubah menjadi masalah yang begitu serius. Melalui nilai moderasi beragama, dapat mengajarkan kita bahwa spiritualitas sejati dapat tercermin dengan cara kita menghormati peraturan.
Dengan fenomena tersebut, juga memperlihatkan kita semua bahwa masih banyak masyarakat yang kurang memahami seluk-beluk penyelenggaraan haji secara resmi. Sebagian besar calon jemaah tidak mengetahui bahwa visa furoda yang sah harus diurus lewat lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah. Akibat kurang adanya informasi ini, banyak membuka celah bagi agen travel yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan keinginan kuat masyarakat untuk pergi berangkat haji dengan didasari iming-iming untuk berangkat cepat. Oleh karena itu, peningkatan literasi keagamaan tidak bisa hanya sebatas aspek ritual saja. Pemahaman tentang prosedur, legalitas, dan pengambilan keputusan yang bijak dalam hal ibadah juga harus menjadi bagian dari pendidikan keagamaan. Selain itu, pengawasan dari pemerintah terhadap travel haji perlu diperketat agar kasus seperti ini tidak kembali terjadi.
Kejadian ini mengajarkan kita bahwa semangat untuk beribadah tetap harus diselaraskan dengan aturan yang sah. Legalitas bukan sekedar memiliki dokumen administratif, tetapi juga wujud dari ketaatan kita pada prinsip keadilan dan ketertiban sosial dalam Islam. Sikap moderat dalam beragama juga hadir untuk menyeimbangkan antara hasrat spiritual dan akal sehat yang kita punya. Kita juga perlu menyadari bahwa ibadah yang diterima bukan hanya dinilai dari niat saja, akan tetapi juga dari cara kita untuk mencapaianya. Jalan yang salah, meskipun niatnya baik, bisa menjauhkan kita dari tujuan yang diridhai.
Maka, dalam setiap langkah menuju Tuhan, pastikan bahwa kaki kita berpijak di jalan yang lurus bukan hanya karena keinginan kuat, tapi karena kesadaran, pengetahuan, dan ketaatan terhadap hukum yang berlaku. Semoga pengalaman pahit ini menjadi bahan renungan bagi kita semua, supaya dalam mengejar keberkahan, kita tidak melupakan pentingnya menjalani proses yang benar, sah, dan penuh kesabaran.
*Sumber gambar: lajur.co