Antara Niat dan Legalitas: Refleksi Moderasi Beragama dalam Kasus Visa Furoda

Penulis: Alifah Indriyani, Editor: Ika Amiliya Nurhidayah

Tahun 2025 menjadi tahun yang penuh pembelajaran bermakna bagi umat Islam di seluruh Indonesia. Dimana ribuan warga Indonesia yang sudah bersiap untuk menunaikan ibadah haji, namun mereka harus menelan pil pahit karena gagal melakukan ibadah di Tanah Suci. Padahal, mereka telah melangkah jauh dengan semangat membara dan niat yang tulus pula. Ironisnya, sebagian besar dari mereka merasa telah “sah” secara niat dan pembayaran. Namun, visa yang mereka gunakan yang dikenal sebagai visa furoda ternyata tidak diakui secara resmi oleh otoritas Kerajaan Arab Saudi pada musim haji 2025.

Peristiwa seperti ini bukan semata-mata berasal dari kelalaian administratif saja, tetapi justru menjadi gambaran bagaimana semangat dalam beragama yang tinggi tetap harus berjalan selaras dengan aturan-aturan yang berlaku. Dalam konteks ini, menjadi krusial untuk merenungkan kembali bagaimana kita memahami dan mengamalkan nilai-nilai keberagamaan secara utuh, adil, dan moderat.

Tahukah kalian? Visa furoda adalah jalur non-kuota resmi yang biasanya diberikan secara langsung oleh pemerintah Arab Saudi melalui undangan pribadi. Meskipun jalur ini memberikan berbagai kemudahan dan mempercepat keberangkatan, dalam penggunaan jalur ini harus tetap melewati proses dari Penyelenggara Haji dan Umrah (PIHK) yang resmi dan sudah terdaftar.

Baca Juga: Mabrur: Menjaga Konsistensi Kebajikan (al-Birr) Hingga Ajal

Secara resmi, penggunaan visa furoda di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, khususnya Pasal 18 Ayat (2), yang menyatakan bahwa visa haji yang sah harus diurus melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang terdaftar dan diawasi oleh Kementerian Agama. Namun, pada musim keberangkatan haji tahun 2025 ini, pemerintah Arab Sudi ternyata tidak menerbitkan visa furoda milik jemaah haji furoda dari Indonesia.

Menurut Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag RI, Hilman Latief, dari kuota reguler sebanyak 203.320 orang, hanya 203.279 visa yang berhasil diterbitkan. Sementara itu, lebih dari 1.000 calon jemaah haji furoda yang telah membayar biaya hingga ratusan juta rupiah akhirnya batal berangkat karena visanya tidak diterbitkan.

Menteri Agama Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa pemerintah Arab Saudi sedang melakukan penataan penyelenggaraan ibadah haji dengan menerbitkan berbagai aturan baru. Beliau juga menjelaskan pengurusan visa haji furoda dilakukan oleh agen dan bekerja sama langsung dengan otoritas di Arab Saudi dan penyelesaian juga dilakukan oleh penyelenggara haji furoda. Beliau menyebut urusan visa haji merupakan domain Arab Saudi dan harus dihormati.

Menurut keterangan resmi yang dimuat dalam berbagai media, seperti CNN Indonesia, Tempo, dan Detik, keputusan ini murni kebijakan dari otoritas Arab Saudi dalam rangka penataan ulang sistem perhajian global. Ribuan Jemaah haji asal Indonesia pun harus menerima risiko besar karena mereka telah membayar nominal hingga ratusan juta rupiah tanpa adanya kepastian yang jelas saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa niat mulia sekali sewaktu-waktu dapat kandas jika tidak dibarengi dengan pemahaman dan kehati-hatian terhadap peraturan yang berlaku.

Moderasi beragama mengajarkan bahwa niat baik harus disertai dengan cara yang baik pula. Dalam kasus ini, berangkat haji dengan menggunakan jalur visa yang tidak sah, walaupun diniatkan untuk ibadah, tetap menjadi pelanggaran hukum. Rasulullah SAW pun pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim). Artinya, tidak cukup hanya dengan niat, tetapi juga bagaimana cara dan proses menuju ibadah tersebut harus benar dan sesuai syariat serta peraturan yang berlaku.

Dalam situasi seperti ini, pendekatan moderasi beragama menjadi sangat relevan. Di dalam konsep ini, moderasi beragama tidak bertujuan melemahkan semangat keimanan, namun dapat mendorong cara beragama yang seimbang dengan menghargai akal, etika, dan hukum. Dalam kasus visa furoda ini, kita dapat melihat bagaimana tidak adanya sikap moderat, seperti contohnya pada banyak orang yang mengambil jalan pintas tanpa prosedur yang jelas, justru menimbulkan kerugian yang sangat besar.

Jika seseorang hanya fokus pada tujuan tanpa mempertimbangkan cara yang digunakan, maka niat yang sudah direncanakan dengan baik bisa saja berubah menjadi masalah yang begitu serius. Melalui nilai moderasi beragama, dapat mengajarkan kita bahwa spiritualitas sejati dapat tercermin dengan cara kita menghormati peraturan.

Dengan fenomena tersebut, juga memperlihatkan kita semua bahwa masih banyak masyarakat yang kurang memahami seluk-beluk penyelenggaraan haji secara resmi. Sebagian besar calon jemaah tidak mengetahui bahwa visa furoda yang sah harus diurus lewat lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah. Akibat kurang adanya informasi ini, banyak membuka celah bagi agen travel yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan keinginan kuat masyarakat untuk pergi berangkat haji dengan didasari iming-iming untuk berangkat cepat. Oleh karena itu, peningkatan literasi keagamaan tidak bisa hanya sebatas aspek ritual saja. Pemahaman tentang prosedur, legalitas, dan pengambilan keputusan yang bijak dalam hal ibadah juga harus menjadi bagian dari pendidikan keagamaan. Selain itu, pengawasan dari pemerintah terhadap travel haji perlu diperketat agar kasus seperti ini tidak kembali terjadi.

Kejadian ini mengajarkan kita bahwa semangat untuk beribadah tetap harus diselaraskan dengan aturan yang sah. Legalitas bukan sekedar memiliki dokumen administratif, tetapi juga wujud dari ketaatan kita pada prinsip keadilan dan ketertiban sosial dalam Islam. Sikap moderat dalam beragama juga hadir untuk menyeimbangkan antara hasrat spiritual dan akal sehat yang kita punya. Kita juga perlu menyadari bahwa ibadah yang diterima bukan hanya dinilai dari niat saja, akan tetapi juga dari cara kita untuk mencapaianya. Jalan yang salah, meskipun niatnya baik, bisa menjauhkan kita dari tujuan yang diridhai.

Maka, dalam setiap langkah menuju Tuhan, pastikan bahwa kaki kita berpijak di jalan yang lurus bukan hanya karena keinginan kuat, tapi karena kesadaran, pengetahuan, dan ketaatan terhadap hukum yang berlaku. Semoga pengalaman pahit ini menjadi bahan renungan bagi kita semua, supaya dalam mengejar keberkahan, kita tidak melupakan pentingnya menjalani proses yang benar, sah, dan penuh kesabaran.

*Sumber gambar: lajur.co

Mabrur: Menjaga Konsistensi Kebajikan (al-Birr) Hingga Ajal

Penulis: Abdul Basid*, Editor: Azzam Nabil H.

Semua orang yang menunaikan ibadah haji mengharapkan kemabruran. Haji bukan sekadar sah secara fiqh karena telah memenuhi syarat, rukun, dan kewajiban haji, melainkan harus memberikan dampak (Impact) nyata dalam kehidupan setelah kembali dari Tanah Suci. Niat yang tulus, proses ibadah yang khusyuk, dan kesungguhan untuk menjadi pribadi yang lebih baik akan memengaruhi sejauh mana ibadah haji berdampak pada diri sendiri maupun lingkungan masyarakat.

Tidak sedikit orang menganggap bahwa seseorang yang telah menunaikan ibadah haji memiliki status sosial dan tingkat keislaman yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang belum berhaji. Bahkan, ada yang merasa kecewa atau marah bila tidak dipanggil “Pak Haji” atau jika huruf “H” tidak dicantumkan di depan namanya. Gelar haji yang dianggap istimewa dan dihormati  tersebut, sengaja dibuat pada masa kolonial Hindia Belanda, untuk mengontrol masyarakat yang telah berinteraksi dengan orang-orang dunia yang dapat mengancam eksistensi pemerintah kolonial.

Baca juga: Menelisik Sisi Historis Penyebutan Gelar Haji di Indonesia

Ada pula sebagian orang yang, setelah menunaikan ibadah haji, benar-benar berharap meraih kemabruran dengan tetap menjaga keistiqamahan dalam shalat berjamaah dan berbuat baik kepada sesama. Namun, tidak sedikit pula yang tampaknya mengabaikan perubahan karakter setelah berhaji, seolah-olah ibadah haji hanya dipahami sebagai pelaksanaan kewajiban semata, pergi ke Tanah Suci, tidur di tenda, mengelilingi Ka’bah, dan melakukan ritual fisik lainnya tanpa memahami makna spiritual yang mendalam. Hal ini serupa dengan orang yang menunaikan shalat, tetapi tidak membawa pengaruh apa pun terhadap perilaku dan akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagian yang lain menunaikan ibadah haji dengan harapan memperoleh surga. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari disebutkan, “Al-hajju al-mabrur laisa lahu jazaa’ illa al-jannah,” yang kurang lebih artinya, “Tidak ada balasan yang lebih baik pada haji yang mabrur kecuali surga.” Namun, siapakah yang sebenarnya layak memperoleh julukan mabrur? Apakah setiap orang yang telah berhaji secara otomatis menjadi haji yang mabrur?

Mabrur berasal dari kata dasar birr yang berarti kebaikan atau kebajikan. Ada beberapa kata al-birr dalam al-Quran yang berarti kebajikan. Al-birr (QS. Al-Baqarah: 177) ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Al-birr (kebajikan) adalah (perbuatan) orang yang bertakwa (Q.S. Al-Baqarah:189). Salah satu kebajikan (al-birr) adalah menginfakkan harta yang dicintai (Q.S Ali Imran: 92). Pembicaraan terbaik adalah membicarakan kebajikan (birr) dan ketakwaan (taqwa) (QS. Al-Mujadilah:9), dan saling tolong-menolong dalam keduanya (Q.S. al-Maidah:3), tanpa melupakan kewajiban perbuatan baik atas diri kita (Q.S. al-Baqarah:44).

Jika kemabruran dikaitkan dengan makna birr sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, maka orang yang pulang dari ibadah haji seharusnya menunjukkan wujud ketakwaan yang nyata. Mereka menjaga keimanan kepada Allah, hari akhir, para malaikat, kitab-kitab-Nya, dan para nabi. Keimanan itu termanifestasi dalam amal perbuatan: menjaga shalat, menunaikan zakat, bersabar, serta menginfakkan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, fakir miskin, peminta-minta, dan hamba sahaya. Mereka juga senantiasa berbicara mengenai kebaikan dan ketakwaan, serta saling tolong-menolong dalam kedua hal tersebut.

Baca juga: Pengorbanan Nabi Ibrahim as: Makna Ketauhidan dan Kepasrahan dalam Berkurban

Dalam hadis riwayat Imam Bukhari-Muslim disampaikan bahwa ciri-ciri kemabruran haji seseorang adalah “thayyibul kalam,” (santun dalam bertutur kata), ifsya’ al-salam (menebar kedamaian), dan “ith’amu at-tha’am,” (mengenyangkan orang lapar) atau memiliki kepedulian sosial. Ciri-ciri tersebut akan nampak setelah kembali ke tanah air, dan terjaga hingga kematiannya. Bila dikaitkan dengan ayat-ayat di atas, thayyibul kalam: yang dibicarakan mereka adalah kebaikan (sisi positif), kalimat thayibah (dzikir, santun, dan menggunakan diksi yang baik dalam berkomunikasi), dan diam bila tidak dapat berkata baik (solutif). ifsya’ al-salam (menebar kedamaian): mereka tidak membuat pertentangan antar pribadi atau kelompok (tajassasu wa tahasadu), shalatnya memberikan dampak pada kehidupan sosial dan menjaga kedamaian. Dan ith’amu at-tha’am: mereka mengenyangkan orang lapar, dan memberikan harta terbaiknya kepada yang berhak.

Kemabruran tidak diukur dari durasi empat puluh hari sepulang haji, atau dari kopiah putih yang selalu dikenakan, melainkan dari kemampuan seseorang menjaga konsistensi ketakwaannya hingga akhir hayat. Haji yang mabrur harus memberikan dampak positif bagi diri sendiri, masyarakat, dan lingkungannya. Dampak bagi diri tercermin dalam hubungan vertikal dengan Allah Swt. (ḥablun minallāh), sebagai bentuk ketakwaan yang mendalam. Sementara itu, dampak sosial ditunjukkan melalui hubungan horizontal (ḥablun minannās dan ḥablun minal-bi’ah) dalam bentuk kesalehan sosial yang tercermin melalui kebajikan interaktif dengan sesama manusia dan alam sekitar.

*Direktorat Pendidikan Tinggi keagamaan Islam

Awas Keliru! Bolehkah Berkurban Satu Ekor Kambing untuk Satu Keluarga?

Penulis: Ika Amiliya Nurhidayah, Editor: Nehayatul Najwa

Hari ini, umat muslim seluruh dunia sedang merayakan euforia Idul Adha yang telah lama dinanti. Di momen ini, ibadah kurban menjadi satu amalan yang diimpi-impikan semua umat muslim. Bagaimana tidak? Ibadah kurban menjanjikan keutamaan yang tidak main-main.

Salah satu keutamaannya sebagaimana yang dijelaskan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA. dalam kitab Al-Firdaus karya Imam Ad-Dailami, bahwa hewan kurban akan menjadi tunggangan bagi yang mengurbankannya untuk melewati shirath. Rasulullah Saw. pun tidak pernah meninggalkan ibadah satu ini.

Namun di balik keutamaan tersebut, tidak semua umat muslim mampu menunaikannya. Beberapa dari mereka belum berkesempatan menunaikan ibadah kurban karena keterbatasan finansial atau kendala lain.

Baca juga: Puasa Qada Ramadhan di Hari Arafah, Bagaimana Hukumnya?

Salah satu hewan yang paling umum dan paling ringan untuk berkurban adalah kambing. Selama ini, ketentuan berkurban dengan kambing menurut jumhur ulama adalah untuk satu orang. Namun jika suatu saat terkendala finansial, bolehkah berkurban satu ekor kambing untuk satu keluarga?

Sebelum menyelam lebih jauh, terdapat kerancuan redaksi yang perlu diluruskan, yaitu penggunaan kata “untuk” dan “oleh.” Dikutip dari rumahfiqih.com, Jika berkurban untuk satu keluarga, maka maksud redaksi tersebut adalah berkurban yang pahalanya diperuntukkan kepada satu keluarga. Sedangkan jika berkurban oleh satu keluarga, maka maksud redaksi tersebut adalah berkurban yang dipersembahkan oleh satu keluarga.

Dikutip dari nu.or.id, Ketentuan berkurban satu ekor kambing sendiri telah disepakati oleh jumhur ulama, bahwa satu ekor kambing adalah hanya boleh dipersembahkan oleh satu orang, tidak boleh lebih. Lain halnya dengan menghadiahkan pahala hewan kurban kepada keluarga maka hukumnya boleh, dan itu tidak terbatas pada berapa pun jumlah anggota keluarganya.

Baca juga: MAKNA DAN HIKMAH PUASA TARWIYAH DAN PUASA ARAFAH

Itu artinya, kurban satu ekor kambing tetap dilakukan oleh satu orang, namun pahalanya untuk satu keluarga. Hal tersebut sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah RA. Hadist ini mengungkapkan doa Rasulullah Saw. ketika berkurban.

بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad serta umat Muhammad.”

Doa tersebut bukan berarti Rasulullah dan seluruh umatnya berkurban satu ekor kambing, melainkan atas nama Rasulullah namun pahalanya diperuntukkan kepada seluruh umatnya.

Dikutip dari baznas.id, berdasarkan salah satu kitab Madzhab Maliki yaitu At-Taj Wa Iklil dijelaskan bahwa boleh-boleh saja berkurban satu ekor kambing untuk mewakili satu keluarga asalkan memenuhi 3 syarat, yaitu:

  1. Keluarga tersebut tinggal bersama
  2. Memiliki hubungan kekerabatan
  3. Memiliki pemberi nafkah yang sama.

Dengan demikian, sebelum memperdebatkan boleh atau tidaknya berkurban satu ekor kambing untuk satu keluarga, perlu diluruskan dahulu kerancuan redaksi yang bisa saja menimbulkan kekeliruan. Intinya, berkurban satu ekor kambing boleh diperuntukkan pahalanya kepada satu keluarga.

MAKNA DAN HIKMAH PUASA TARWIYAH DAN PUASA ARAFAH

Penulis : Aris Priyanto, M.Ag, Editor : Nehayatul Najwa

Puasa tarwiyah dan puasa arafah merupakan ibadah sunnah yang juga dipraktekkan oleh Rasulullah SAW. Melaksanakan puasa sunnah akan memperoleh keutamaan dan pahala yang tidak bisa di hitung. Bahkan jika seseorang puasa karena Allah, maka Allah menjauhkan dirinya dari neraka selama 70 tahun (BAZNAS, 2024). Selain itu, puasa adalah ibadah yang langsung akan di balas oleh Allah. Sebagaimana hadis Nabi:

كُلُّ عَمَلٍ ابنِ اَدَمَ لَهُ اِلَّا الصَّوْمُ فَاِنَّهُ ِليِ وَأَنَا أَجزْيْ بِهِ

Artinya:

“Seluruh amal ibadah anak adam itu untuk dirinya sendiri kecuali puasa, karena puasa ini untuk-Ku (Allah) dan saya (Allah) akan membalasnya”.

Selain itu, hadis lain mengatakan:

مَنْ صَامَ يَوْمَ فِيْ سَبيِلِ للهِ بَاعَدَ اللهُ وَجْهَهُ عَنِ  النّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا

Artinya:

“Barangsiapa yang berpuasa sehari karena Allah, maka Allah akan menjauhkan dirinya dari neraka selaa 70 tahun”. (HR. Bukhari dan Muslim)”.

Baca Juga : Refleksi Puasa: Dari Tradisi Nabi Hingga Makna Spiritual di Era Modern

Puasa tarwiyah disunahkan bagi umat muslim untuk mengenang dan memperingati beberapa peristiwa yang pernah dialami oleh para nabi, diantaranya ketaatan nabi Ibrahim AS dalam menjalankan perintah Allah. Sehingga tarwiyah sendiri memiki arti merenung atau berfikir. Saat itu, Nabi Ibrahim bermimpi kalau beliau diperintahkan untuk menyembelih anaknya yaitu Nabi Ismail As. Kemudian beliau mengalami masa kebingungan dan merenung mencari kebenaran, dan itulah yang dinamakan tarwiyah. Sehingga kita kemudian disunahkan untuk mengingat atau mengikuti jejak Nabi Ibrahim AS melalui puasa tarwiyah (Unwaha, 2024).

Dinamakan “tarwiyah”, karena berasal dari kata tarawwa yang artinya bekal air. Karena pada hari itu, para jama’ah haji membawa banyak bekal air zam-zam untuk persiapan ke arafah dan menuju Mina. Mereka minum, memberi minum untanya dan membawanya dalam wadah. Secara umum, manfaat dari puasa tarwiyah dan Arafah adalah untuk merasakan nikmat yang sedang dirasakan oleh para jama’ah haji yang sedang menjalankan ibadah haji di tanah suci.

Puasa arafah sangat disunahkan bagi umat Muslim yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji. Oleh karena itu, puasa arafah tidak disunahkan bagi yang sedang melaksanakan ibdah haji. Seseorang yang berpuasa arafah akan diampuni dosa-dosanya setahun sebelumnya dan setahun setelahnya. (M. Rufait Balya, B, 2025).Hal ini sesuai hadis Nabi Muhammad SAW:

Baca Juga : Perpaduan Islam dan Tradisi Lokal: Sebuah Studi Kasus di Kuripan Kidul dan Kertoharjo dalam Peringatan Bulan Muharram

صَوْمُ يَوْمَ التَّرْوِيَةِ كَفَارَةُ سَنَةٍ وَصَوْمُ يَوْمَ عَرَفَةَ كَفَارَةُ سَنَتَيْنِ

Artinya:

“Puasa hari tarwiyah dapat menghapus dosa setahun, Puasa hari Arafah menghapus dosa dua tahun”. (HR. Abus Syekh Al-Ishfahani dan Ibnu Najar)

Sebagaimana dalam buku “Sejarah Lengkap Rasulullah” jilid 2 (cetakan 2012) karya Muhammad Ash-Shallabi dijelaskan bahwa Rasulullah menyampaikan khutbah terakhir beliau pada hari Arafah di hadapan ratusan ribu kaum muslimin. Khutbah terakhir tersebut merupakan ibadah haji Nabi yang terakhir (haji wada’). Di padang arafah tersebut beliau menyampaikan tentang tata cara, sunnah-sunnah dan hukum-hukum ibadah haji. Beberapa hukum haji tersebut diantaranya mengenai hukum puasa di hari Arafah bagi orang yang sedang menunaikan ibadah haji, cara mengurus jenazah orang yang meninggal dalam keadaan ihram dan ketentuan mengenai boleh atau tidaknya menunaikan ibadah haji untuk orang lain (Devi Satya, 2022).

Secara umum peristiwa yang terjadi pada saat hari tarwiyah dan arafah tidak lain adalan seruan untuk mendekatkan diri kepada Allah, meninggalkan aktivitas duniawi, mempertanggungjawabkan atas segala perbuatan yang dilakukan selama ini, perbanyak dzikir dan berdoa kepada Allah. Praktik tarwiyah sebenarnya merupakan ritual yang dipraktikan oleh Nabi Muhammad ketika melaksanakan haji wada’ (adminmasjid, 2023). Sebagaimana disebutkan dalam hadis sebagai berikut:

عَنْ ابْن عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ صَلَّى بِمِنَّى يَوْمَ التَّرْوِيَةَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ ثُمَّ غَدَا اِلَى عَرَفَةَ

Artinya:

“Dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW pada hari tarwiyah melaksanakan shalat dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh, kemudian pagi hari berangkat ke Arafah” (HR. Ibnu Majah)”.

Hari tarwiyah merupakan hari dimana para jama’ah haji memulai berangkat menuju arafah untuk melaksanakan ritual haji. Dalam praktinya Nabi Muhammad ketika menuju arafah, ia mengambil jalur melalui Mina, dan singgah di Mina untuk melaksanakan seluruh salat 5 waktu, dari dhuhur sampai subuh. Praktik haji ini tidak diikuti oleh seluruh jamaah haji, terutama jamah haji dari Indonesia. Padahal tanggal 8 Dzulhijjah, jamah haji Indonesia berangkat menuju arafah namun tidak melalui jalur Mina, mereka langsung ke arafah dan bermalamnya di arafah, bukan di Mina (Rajab, n.d.).

Baca Juga : Menelisik Sisi Historis Penyebutan Gelar “Haji” di Indonesia

Hal ini sesungguhnya kadang menjadi masalah di kalangan para jamaah, sebab sebagian jamaah memaksakan diri untuk melaksanakan salah satu manasik haji ini sesuai dengan praktik Nabi Muhammad SAW. Mereka mencari dan melakukan berbagai cara agar bisa melakukannya baik secara perorangan maupun berkelompok dan siap menanggung segala resiko yang mungkin timbul akibat dari keputusannya itu. Mereka kemudian bergabung dengan jamaah-jamaah dari negara lain yang juga melakukan tarwiyah dan memisahkan diri dari rombongan mereka.

Penamaan tanggal 8 Zulhijjah dalam kalender Islam dengan nama hari tarwiyah memiliki bebrapa alasan. Adapun sebab penamaannya sebagai hari tarwiyah ada 2 pendapat ulama. Pertama, didasarkan pada kata rawa, yarwi, tarwiyatan, yang berarti berpikir, dan mengamalkan apa yang dipikirkan dan diinginkan; kedua, berasal dari perkataan orang Arab, rawahu min al-mai, yang artinya memberinya air untuk menghilangkan dahaganya. Oleh karena itu, pengertian pertama sebagai menurut Fakhruddin al-Razi merujuk pada 3 peristiwa berikut (M. Syakir, NF, 2024):

  1. Karena Nabi Adam as. diperintahkan untuk membangun sebuah rumah dan saat ia membangunnya, ia berpikir dan berkata kepada Tuhan: Wahai Tuhanku, semua orang yang bekerja akan menerima upah dan upah, jadi apa upah yang akan kudapatkan dari pekerjaan ini? Allah SWT menjawab: saat kamu tawaf di tempat ini, akan kuampuni dosa-dosa kamu dari putaran pertama dari tawafmu. Nabi Adam kemudian memohon: “tambahlah upahku”. Allah menjawab: “Aku akan memberikan ampunan untuk keturunanmu apabila melakukan tawaf di sini”. Nabi Adam memohon lagi: “tambahlah upahku”. Allah menjawab: “Saya akan mengampuni (dosa) setiap orang yang memohon ampunan saat melaksanakan tawaf dari keturunanmu yang mentauhidkan Allah”.
  2. Nabi Ibrahim as. bermimpi saat sedang tidur di malam tarwiyah, seolah-olah mau menyembelih anaknya. Maka ketika waktu pagi datang, ia berpikir apakah mimpi itu dari Allah swt. atau dari setan? Saat malam Arafah, mimpi itu kembali datang dan ia diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Lalu Nabi Ibrahim as. berkata: Aku paham wahai Tuhanku bahwa mimpi itu dari sisi-Mu.
  3. Penduduk Makkah keluar pada hari Tarwiyah menuju Mina, kemudian mereka berpikir tentang doa-doa yang akan mereka panjatkan pada keeseokan harinya, di hari Arafah.

Baca Juga : Media Sosial dan Moderasi Beragama: Antara Dakwah Digital dan Polarisasi

Sementara itu, pengertian kedua menjelaskan bahwa kata tarwiyah bermakna menyiapkan air untuk menghilangkan dahaga. Hal ini mengacu pada 3 hal yaitu:

    1. Bahwa penduduk Mekkah menyiapkan air untuk para jamaah haji yang datang dari seluruh dunia. Di hari ini jamaah haji seluruhnya istirahat dari kepenatan perjalanan, menikmati keberadaan air, dan memberi minum hewan-hewan mereka setelah kesulitan karena kekurangan air dalam perjalanan.
    2. Bahwa mereka menyiapkan bekal air untuk di arafah; dan
    3. Bahwa orang-orang berdosa itu ibarat orang-orang yang haus, yang datang ke lautan rahmat Allah dan meminumnya sampai kenyang

Dengan demikian, tarwiyah merupakan salah satu ritual dalam ibadah haji yang sudah dilakukan sejak sebelum Islam datang, sebagaimana juga seluruh rangkaian ibadah haji yang telah dipraktikkan sejak jaman Nabi Ibrahim AS. Hari tarwiyah memiliki sejarah yang sangat luar biasa, yaitu menjadi hari persiapan untuk bekal menuju ibadah haji. Semua orang mengumpulkan air untuk dibagi kepada seluruh jamaah yang akan menunaikan haji. Mereka memberikannya kepada jamaah setelah para jamaah itu merasakan lelah dan haus saat menempuh perjalanan ke Mekkah, atau mereka akan mendistribusikan air-air itu kepada jamaah haji yang sedang melaksanakan haji, dikarenakan saat itu tanah Arab sangat gersang dan air sulit didapatkan. Hal itu adalah ibarat bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji yang sangat dahaga akan atas rahmat Allah. Karena itu, Allah telah menyiapkan rahmat-Nya kepada mereka semua setelah melakukan ibadah dengan mengampuni dosa-dosa mereka.

Pelaksanaan kedua puasa ini seperti puasa pada umumnya, yaitu niat pada saat malam harinya hingga terbitnya fajar dan ada kesunahan untuk makan sahur juga. Sedangkan lafadh niat puasa tarwiyah dan puasa arafah yaitu

Niat Puasa Tarwiyah

نَوَيْتُ صَوْمَ تَرْوِيَةَ سُنَّةً للهِ تَعَالَى

Artinya:

“Saya niat puasa sunnah tarwiyah karena Allah ta’ala”.

Niat Puasa Arafah

نَوَيْتُ صَوْمَ عَرَفَةَ سُنَّةً للهِ تَعَالَى

Artinya:

“Saya niat puasa sunnah Arafah karena Allah ta’ala”.

Baca Juga : Kisah Kehidupan Nabi Ibrahim Alaihissalam: Renungan Kurban untuk Mendekatkan Dirikepada Allah, Meningkatkan Kualitas Keluarga, dan Menyadari Pentingnya Peran Sebagai Orang Tua

Secara umum perbedaan antara orang yang sedang haji dengan orang yang tidak haji pada arafah tidak begitu signifikan. Sebab keduanya sama-sama dianjurkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan kualitas hidupnya. Kedua hari itu memiliki keutaman sebagaimana dalam Al-Qur’an Allah berfirman (Ahmad Zayadi, 2023):

وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ ( الفجر : ٣ )

Artinya:

“Demi yang genap dan yang ganjil”. (Al-Fajr: 3)

Syekh Abu Hafs Umar bin Ali bin ‘Adil Ad-Dimisyqi mengutip pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ yang berpendapat, maksud ayat di atas adalah hari Tarwiyah dan hari Arafah (Sunnatullah, 2021). Dalam kitabnya disebutkan:

قَالَ ابْنُ عَبَّاس (الشَّفْعِ) يَوْمُ التَّرْوِيَةِ وَعَرَفَةَ (وَالْوَتْرِ) يَوْمُ النَّحْرِ

Artinya:

“Ibnu Abbas berkata: ‘(Maksud ayat) wassyaf’i yaitu hari Tarwiyah dan hari Arafah, dan maksud ayat wal watri, yaitu hari kurban”. (Abu Hafs Ad-Dimisyqi, Al-Lubâb fi Ulûmil Kitâb (Bairut, Dârul Fikr: 2005), juz III, halaman 418).

Pendapat lain mengatakan bahwa arafah diambil dari kata arafah yang mempunyai makna bau yang harum. Artinya, dengan melaksanakan ibadah haji di arafah, menunjukkan bahwa orang ingin bertobat kepada-Nya, melepas semua kesalahan yang pernah dilakukan, dan menghindar dari perbuatan dosa (A. Syamsul Arifin, 2024). Dengan demikian, secara tidak langsung orang sedang berusaha untuk mendapatkan surga di sisi Allah, dan kelak akan memiliki bau yang harum di dalam surga.

Allah berfirman:

يُدْخِلُهُمُ الْجَنَّةَ عَرَّفَها لَهُمْ (محمد: 6)

“Artinya: Dan memasukkan mereka ke dalam surga yang telah diperkenankan-Nya kepada mereka”.  (QS. Muhammad: 6)

Maksud ayat di atas sebagaimana yang disampaikan Imam Fakhruddin Ar-Razi adalah, sesungguhnya orang-orang yang berdosa ketika bertobat di tanah Arafah, sungguh mereka telah terlepas dari kotoran dosa, dan berusaha dengan (ibadah)nya di sisi Allah sehingga akan menjadi jiwa yang harum (terbebas dari dosa dan kesalahan).

Baca Juga : Pengorbanan Nabi Ibrahim as: Makna Ketauhidan dan Kepasrahan dalam Berkurban

Hikmah dari puasa tarwiyah diantaranya yaitu Allah akan menerangi kuburnya selama di alam barzah. Allah akan memudahkan kematiannya, Allah akan menerangi kuburnya selama di alam barzah, Allah akan memberatkan timbangan amal baiknya di Padang Mahsyar, Allah akan menyelamatkannya dari kejatuhan kedudukan di dunia ini, dan Allah akan menaikkan martabatnya di sisi Allah SWT (Anisa Rizki Febriani, 2024).

Beberapa hikmah lain dari puasa tarwiyah adalah mendapatkan pahala kesabaran sebagaimana sabarnya Nabi Ayub atas cobaan yang dialaminya, sedangkan hikmah lain dari puasa arafah adalah Allah memberikan rahmat-Nya yang lebih banyak dan Allah akan mengabulkan hajatnya orang yang puasa arafah baik hajat dunia maupun akhirat. Puasa arafah juga akan menghapus dosa-dosa satu tahun yang telah lewat dan dosa setahun yang akan datang. Upaya yang dilakukan oleh seseorang yang sedang menjalankan puasa tarwiyah dan arafah dalam meningkatkan keimanan dan ketaqwaan yaitu berdoa dan berdzikir kepada Allah SWT.

Ngaji Budaya: Ruang Bertemunya Tradisi Dan Moderasi Beragama Di Desa Jetaklengkong

Penulis: Miftakhul Jannah, Editor: Sirli Amry

Indonesia memiliki warisan budaya yang sangat kaya dan beragam, salah satunya adalah tradisi Sedekah Bumi. Tradisi ini tidak hanya menjadi wujud rasa syukur masyarakat agraris kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga menjadi ruang sosial yang menyatukan berbagai latar belakang agama dan budaya. Di sinilah nilai “moderasi beragama” menemukan ruang aktualisasinya yakni pada praktik sosial budaya yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.

Moderasi beragama yang terkemas dalam balutan budaya lokal ini dilaksanakan pada Minggu, 25 Mei 2025, Pemerintah Desa Jetak lengkong, Kecamatan Wonopringgo, Kabupaten Pekalongan, menyelenggarakan acara “Ngaji Budaya” dalam rangka Tasyakuran Sedekah Bumi. Kegiatan ini diisi dengan pertunjukan wayang oleh Ki Haryo Enthus Susmono, dalang muda yang dikenal memadukan dakwah, nilai moral, dan hiburan dalam setiap pementasannya.

Baca Juga:  Wayang sebagai Jembatan Harmoni antara Spiritualitas dan Sains dalam Budaya Jawa

Acara ini mengangkat dua aspek penting yang menjadi kekuatan masyarakat Indonesia seperti keberagaman budaya dan keberagaman agama. Meski secara umum masyarakat desa ini beragama Islam, acara ini terbuka untuk semua kalangan tanpa memandang latar belakang agama atau kepercayaan. Inilah contoh konkret penerapan nilai moderasi beragama yang menekankan sikap saling menghormati, menerima perbedaan, serta menjaga harmoni sosial.

Wayang sebagai media toleransi dan edukasi, wayang tidak hanya sekedar hiburan rakyat. Dalam banyak pementasan, wayang dijadikan sarana dakwah, edukasi moral, dan refleksi kehidupan. Dalam konteks acara “Ngaji Budaya” ini, pementasan wayang menjadi wadah untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan, penguatan nilai-nilai kemanusiaan, serta pentingnya hidup berdampingan dalam damai.

Baca Juga:  Dialog Kebudayaan: Hidup Harmonis dengan Budaya Warga Desa Rowolaku

Hal ini sejalan dengan pernyataan Kementerian Agama RI bahwa moderasi beragama dapat diinternalisasi melalui pendekatan budaya lokal. Tradisi dan kesenian menjadi media yang efektif untuk membangun kesadaran toleransi dan mencegah radikalisme keagamaan (Kemenag, 2020). Acara ”Ngaji Budaya” yang dikemas dalam tradisi Sedekah Bumi di Desa Jetaklengkong bukan hanya pelestarian budaya, tetapi juga menjadi momentum penguatan nilai-nilai moderasi beragama. Melalui kegiatan budaya yang inklusif, masyarakat belajar untuk hidup dalam perbedaan tanpa konflik, membangun empati, dan menjaga persatuan. Dengan demikian, budaya lokal bukanlah penghambat kemajuan, melainkan jembatan menuju masyarakat yang lebih toleran, adil, dan sejahtera.

Korelasi Antara Tradisi Nyadran dengan Nilai-nilai Moderasi Beragama

Penulis : Salsabilah Fitri Riani, Editor : Jinan Uqsida

Tradisi merupakan praktik atau kegiatan yang dilakukan secara turun temurun dari masa ke masa. Tradisi diturunkan oleh nenek moyang ribuan tahun lalu, pada mulanya tradisi berasal dari kebiasaan nenek moyang kita terdahulu lalu berkembang pesat di masyarakat karena dinilai memiliki nilai-nilai yang baik. Di Indonesia terdapat ribuan budaya yang dipercaya masyarakat, salah satunya yaitu budaya nyadran. Dalam bahasa Jawa, nyadran berasal dari kata Sadran yang artinya Ruwa Shakban. Nyadran sendiri adalah tradisi yang biasanya dilakukan oleh orang jawa khususnya Jawa Tengah. Kegiatan nyadran biasanya diisi dengan menyapu atau membersihkan makam saudara dan kebanyakan terjadi di daerah pedesaan. Tradisi nyadran biasanya dilakukan sebelum datangnya pulang ramadhan, kegiatan dalam tradisi nyadran biasanya berupa membersihkan makam para saudara, menggelar doa bersama, dan berbagi makanan. 

Secara sejarah, tradisi nyadran sendiri berakar dari masa Hindu-Budha dimana dalam tradisi Hindu-Budha penghormatan yang diberikan kepada para leluhur merupakan bagian penting dalam tatanan kehidupan spiritual masyarakatnya. Kemudian ketika Islam masuk dan penyebaran agama Islam yang tidak bersifat konfruntatif melainkan adaptif oleh Wali Songo tradisi nyadran ini menyatu dengan ajaran agama Islam. Hal ini berkaitan erat dengan pendekatan yang digunakan oleh salah satu Wali Songo yaitu Sunan Kalijaga yang terkenal dengan pendekatan dakwahnya yang akomodatif terhadap buadaya lokal. Tradisi nyadran tersebut kemudian diadopsi oleh masyarakat Islam dan dilakukan sampai saat ini. 

Latar belakang inilah yang menjadikan nyadran masih eksis sampai saat ini. Di tengah kehidupan yang semakin individualis ini nyadran menjadi wadah sosial dan spiritual yang mempertemukan masyrakat dalam bingkai semangat kebersamaan. Selain itu, nyadran sendiri  bukan hanya semata-mata ajang untuk melestarikan budaya, tetapi tradisi nyadran memiliki makna serta nilai-nilai moderasi beragama di dalamnya antara lain; toleransi, gotong royong. Nilai-nilai ini sangat penting dalam membentuk masyarakat yang rukun damai dan moderat.

Baca juga : Tradisi Menyambut Ramadan: Nyekar, Padusan, dan Nyadran

Moderasi beragama berasal dari kata “moderat” yang artinya tidak berlebih-lebihan atau sedang sikap ini penting agar kita bisa hidup dengan adil tidak terlalu liberal maupun tidak terlalu radikal moderat mengusung hidup yang seimbang antara agama dan sains, agama dan budaya Jadi dapat disimpulkan moderasi beragama yaitu suatu sikap tengah-tengah dalam beragama atau sikap yang tidak terlalu condong kiri maupun condong kanan atau bisa di artikan sebagai sikap yang netral. Dengan moderasi beragama seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan, tetapi berada di tengah-tengah dan mengamalkan nilai toleransi, perdamaian, dan kebersamaan. Dalam tradisi nyadran sendiri, nilai–nilai tersebut tumbuh secara alami dan nyata. 

  • Toleransi: nyadran mengajarkan kita untuk toleransi dan menghargai antar sesama. Meskipun pada mulanya tradisi nyadran berasal dari masyarakat Islam di Jawa namun pada praktiknya tradisi ini sering kali melibatkan seluruh masyarakat tanpa melihat latar belakang agama, ras, maupun suku.

 

  • Kebersamaan: tradisi nyadran menunjukkan nilai-nilai kebersamaan. Pada sebagian masyarakat tradisi nyadran diikuti dengan pembacaan tahlil bersama serta kenduri. Hal ini dapat mempererat tali silaturrahmi antar anggota masyarakat desa.

 

  • Sebagai identitas budaya: nyadran juga berfungsi sebagai identitas budaya Indonesia. Melalui nyadran, masyarakat luar menjadi tahu akan banyaknya budaya di Indonesia yang religius sekaligus plural.

 

  • Sebagai bukti masyarakat yang moderat: tradisi nyadran juga membuktikan bahwa agama dan praktik budaya bisa berjalan berdampingan. Melalui nyadran nilai-nilai Islam juga dapat dilihat melalui ziarah dan pembacaan doa bersama. Di sisi lain tradisi nyadran juga tetap menghargai cara-cara lokal yang sudah hidup terlebih dahulu.

Baca juga : Merangkai Tradisi: Keberagaman dan Kekuatan Identitas dalam Nyadran Gunung Silurah

Meskipun merupakan bagian dari tradisi yang sudah dilaksanakan sejak puluhan tahun, Nyadran tidak lepas dari kritik. Sebagian masyarakat menilai bahwa praktik Nyadran bertentangan dengan akidah Islam, terutama karena adanya aktivitas seperti memberikan sesajen dan mendoakan arwah leluhur yang dianggap berpotensi mengarah pada kemusyrikan. Beberapa orang juga menganggap tradisi ini masih sarat dengan unsur mistik atau animisme yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang murni. Pandangan ini dapat dipahami, namun perlu disikapi secara lebih objektif.

Pada kenyataannya, Nyadran bukanlah bentuk pemujaan arwah, melainkan wujud penghormatan dan doa bagi mereka yang telah wafat. Islam pun mengajarkan ziarah kubur sebagai sarana untuk mengingat kematian dan mendoakan orang yang telah meninggal. Unsur budaya seperti kenduri atau sedekah makanan lebih berfungsi sebagai sarana mempererat hubungan sosial dan menumbuhkan rasa syukur, bukan sebagai kewajiban ritual keagamaan. Oleh karena itu, pendekatan edukatif dan dialog antar kelompok dengan pandangan berbeda menjadi penting. Tradisi seperti Nyadran perlu dipahami secara kontekstual, bukan hanya berdasarkan pendekatan tekstual semata.

Kesimpulannya ialah, nyadran sebagai perwujudan nyata bagaimana budaya lokal dan agama dapat berjalan dengan harmonis. Tradisi nyadran ini bukan hanya menjadi pengingat antara hubungan dengan leluhur, tetapi mengajarkan menjadi waduh untuk memperkuat nilai-nilai sosial dalam bermasyarakat. Dalam era yang saat ini penuh dengan kekerasan, kebencian dan semakin menurunnya sikap empati, tradisi nyadran menjadi model moderasi beragama yang bukan hanya mengandalkan doktrin semata, melainkan ada nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya yang lebih universal. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita sebagai generasi muda dapat melestarikan tradisi ini, tetapi tidak hanya sampai disitu kita juga harus bisa memahami tradisi ini secara lebih dalam agar tidak adanya salah persepsi yang justru dapat merusak nilai atau makna yang terkandung di dalamnya. 

Ibu: Kasih Sayang Tak Terbatas, Pengorbanan Tanpa Pamrih

Penulis: Bambang Sri Hartono*
Editor: Syam

Ibu adalah sosok luar biasa yang tak tergantikan dalam kehidupan setiap manusia. Dalam Islam, ibu memiliki kedudukan istimewa—bahkan Rasulullah SAW menyebutkan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu. Ia adalah perempuan tangguh yang dengan penuh cinta mengandung, melahirkan, menyusui, membesarkan, dan mendidik anak-anaknya tanpa pernah meminta imbalan apa pun.

Kasih sayang ibu sering digambarkan sebagai cinta yang paling tulus, tanpa syarat dan tanpa batas. Sejak dalam kandungan, ibu telah berbagi segalanya: dari makanan, tenaga, hingga rasa aman. Ia menahan rasa mual, kelelahan, bahkan nyeri yang tak terkira demi menjaga kehidupan yang sedang ia bawa dalam rahimnya.

Setelah anak lahir, ibu menjadi madrasah pertama. Dari lisan ibulah anak belajar kata pertama, dari pelukannya anak memahami rasa aman, dan dari teladannya anak mengenal nilai-nilai kehidupan. Semua ini dijalani dengan penuh keikhlasan, bahkan sering kali pengorbanannya luput dari perhatian.

Tak jarang, ibu rela terjaga malam demi menenangkan tangis bayi, menahan lapar demi anaknya makan lebih dulu, atau menunda keinginan pribadi demi kebutuhan keluarga. Gambaran ini tertuang indah dalam bait lagu klasik:
“Tak pernah kau minta apa-apa, hanya doa yang kau panjatkan…”
Begitu pula dalam syair Iwan Fals:
“Ingin kudekap dan menangis di pangkuanmu, sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu…”

Dalam sejarah Islam, kita mengenal kisah mengharukan dari Salamah Al-Farisi yang menggendong ibunya menempuh perjalanan panjang untuk menunaikan ibadah haji. Ia tidak mengeluh, tidak pula merasa terbebani. Saat ditanya alasannya, ia menjawab, ini adalah bentuk rasa syukur dan bakti kepada ibunya yang telah menjaganya sejak kecil.

Sayangnya, kita sering menyadari betapa berharganya seorang ibu justru setelah kepergiannya. Padahal, membahagiakan ibu bisa dimulai dari hal-hal sederhana: menyapanya melalui telepon, pulang menemuinya, atau sekadar mendengarkan ceritanya. Jangan tunggu sampai terlambat, karena kesempatan bisa hilang kapan saja.

Ada ungkapan bijak yang patut kita renungkan:
“Sehebat apa pun dirimu, jangan pernah lupa bahwa ada seorang perempuan yang melahirkanmu dengan perjuangan.”

Ibu adalah anugerah terbesar dalam hidup. Kasihnya tak terhingga, doanya selalu menyertai, dan harapannya sederhana: melihat anak-anaknya tumbuh dalam kebaikan. Sebagai anak, meski tak akan pernah sebanding, kita tetap punya tanggung jawab moral dan spiritual untuk berbakti, mendoakan, dan menyayanginya.

Terima kasih, Ibu. Aku tak akan pernah menjadi apa-apa tanpamu. Semoga Allah SWT senantiasa memberikanmu kesehatan, kebahagiaan, dan tempat terbaik di sisi-Nya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

*Dosen FEBI UIN Gus Dur Pekalongan

Tradisi Perlon Unggahan Bonokeling oleh Masyarakat Desa Pekuncen, Kabupaten Banyumas

Penulis : Fanisa Nur Fauzia, Editor : Rosyita Annisni

Indonesia kaya bukan hanya alamnya saja, tapi juga budayanya. Dari Sabang hingga Merauke, hampir setiap daerah punya tradisi sendiri yang unik dan penuh makna. Salah satunya datang dari sebuah desa kecil di Banyumas, Jawa Tengah, namanya Desa Pekuncen. Di sini, ada tradisi yang masih terus dijaga dan dijalani sampai sekarang yaitu Perlon Unggahan Bonokeling.

Untuk masyarakat di sana, Perlon Unggahan bukan hanya acara rutin tahunan, tapi sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Tradisi ini biasanya digelar seminggu sebelum Ramadan, tepatnya di bulan Sya’ban menurut kalender Islam. Tujuannya sederhana tapi mempunyai makna yang dalam sebagai bentuk syukur kepada Tuhan dan penghormatan kepada para leluhur.

Kalau dilihat dari sisi kehidupan sosial, masyarakat Pekuncen ini  saling melengkapi. Mereka memiliki ikatan yang kuat, bukan hanya karena tinggal di tempat yang sama, tapi karena saling terhubung lewat budaya dan sejarah yang sudah turun-temurun. Menurut para ahli sosiologi seperti Ralph Linton, masyarakat itu bisa dibilang sekelompok orang yang hidup bersama, mempunyai budaya, saling interaksi, dan biasanya memiliki tokoh panutan, baik formal seperti kepala desa atau nonformal seperti pemuka adat.

Baca juga : Tradisi Sya’banan di Pekalongan. Menyambung Silaturahmi, Menyatukan Habaib dan Kyai dalam Bingkai Ahlussunnah Wal Jamaah

Masyarakat Pekuncen bisa dibilang contoh nyata dari definisi itu. Mereka hidup rukun dan punya budaya yang terus dilestarikan. Salah satunya tradisi Perlon Unggahan Bonokeling ini. Serunya lagi, di tengah arus modernisasi yang makin kencang, mereka tetap setia menjalani tradisi ini. Dan ini bisa jadi contoh bagus soal moderasi beragama mengenai bagaimana caranya tetap menjalankan ajaran agama tanpa meninggalkan budaya lokal.

Tradisinya sendiri punya rangkaian acara yang cukup panjang, tapi justru itu yang membuat spesial. Semuanya dimulai dari ziarah ke makam leluhur. Dari anak-anak sampai orang tua, jalan kaki bersama sambil membawa berbagai hasil bumi. Biasanya laki-laki bawa sayur atau buah, sementara ibu-ibu bawa nasi di dalam bakul. Semuanya dikumpulkan di rumah pemuka adat, semacam sesepuh desa yang dihormati.

Setelah itu, barulah dimulai proses masak-memasak. Uniknya, di sini yang masak justru para bapak-bapak. Mereka masak lauk dari ayam atau kambing yang sudah dikumpulkan sebelumnya. Ini jadi bukti bahwa dalam tradisi ini, semua orang punya peran, tanpa pandang gender. Setelah makanan siap, semua warga makan bersama dalam suasana yang penuh kekeluargaan. Tidak ada yang dibeda-bedakan. Semua duduk sama rata, makan dengan hati senang.

Satu lagi yang menarik adalah busana adat yang dikenakan. Para lelaki biasanya pakai lurik coklat lengkap dengan blangkon, sementara para perempuan tampil anggun dengan baju kemben. Bukan sekadar buat gaya-gayaan, tapi sebagai simbol kebanggaan terhadap identitas Jawa. Lewat pakaian itu, mereka menunjukkan bahwa meskipun zaman berubah, jati diri tetap dijaga.

Tapi yang paling berkesan dari tradisi ini bukan cuma soal makanan atau baju adatnya. Yang membuat hati hangat adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tentang kebersamaan, gotong royong, saling menghormati, dan tentu saja rasa syukur. Ini menjadi momen buat saling menguatkan antar warga, mempererat tali silaturahmi, dan mengenang jasa para leluhur.

Baca juga : Tradisi dan Transformasi: Pendidikan Pesantren dalam Era Modern

Dari sisi spiritual, perlon unggahan juga jadi waktu yang pas untuk merenung. Sebelum masuk bulan puasa, masyarakat diajak untuk bersih-bersih hati, bersyukur atas nikmat hidup, dan berdoa agar diberikan kelancaran di bulan Ramadan nanti.

Tradisi ini juga mengajarkan kita bahwa agama dan budaya itu bukan sesuatu yang harus dipisahkan. Justru kalau bisa berjalan berdampingan, hasilnya luar biasa. Harmoni bisa tercipta, dan kehidupan sosial jadi lebih damai dan penuh makna. Di tengah dunia yang kadang terasa makin individualis, tradisi seperti begini terasa seperti oase pengingat bahwa kita hidup bukan hanya buat diri sendiri, tapi juga buat sesama.

Harapannya, tradisi Perlon Unggahan Bonokeling ini bukan sekadar jadi tontonan budaya, tapi terus dijaga dan diteruskan ke generasi muda. Karena lewat tradisi inilah, kita bisa belajar banyak hal tentang kehidupan, kebersamaan, dan rasa cinta terhadap tanah kelahiran.

Photo by : Kompas

Menelisik Sisi Historis Bacaan Tasmi “Sami’allahu Liman Hamidah” Saat Bangkit dari Ruku’

Penulis: Azzam Nabil H., Editor: Amarul Hakim

Salat merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dikerjakan oleh setiap muslim. Sebagaimana firman Allah swt. pada Q.S. Al-Baqarah ayat 43, yang artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”

Berkaitan dengan salat, ada satu riwayat historis dimana terdapat istilah takbir intiqâl dalam salat, yaitu anjuran untuk mengucapkan kalimat  الله اكبر  (Allahu Akbar) setiap kali berpindah gerakan. Namun, terdapat satu pengecualian, yaitu saat berdiri dari rukuk. Pada momen ini, yang disunahkan bukan membaca takbir, melainkan mengucapkan kalimat tasmi’ yaitu  سمع الله لمن حمده  (Sami’allahu liman hamidah).

Mengutip kitab I’anatut Thalibin Juz 1 halaman 236, karya Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi (Beirut: Darul Fikr, 1997), mengisahkan latar belakang adanya perbedaan anjuran bacaan saat bangkit dari rukuk tersebut.

والسبب في سن سمع الله لمن حمده: أن الصديق رضي الله عنه ما فاتته صلاة خلف رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قط، فجاء يوما وقت صلاة العصر فظن أنه فاتته مع رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، فاغتم بذلك وهرول ودخل المسجد فوجده – صلى الله عليه وسلم – مكبرا في الركوع، فقال: الحمد لله. وكبر خلفه – صلى الله عليه وسلم -. فنزل جبريل والنبي – صلى الله عليه وسلم – في الركوع، فقال يا محمد، سمع الله لمن حمده. … اجعلوها في صلاتكم عند الرفع من الركوع، – وكان قبل ذلك يركع بالتكبير ويرفع به – فصارت سنة من ذلك الوقت ببركة الصديق رضي الله عنه.

Artinya, “Sebab kesunahan ucapan سمع الله لمن حمده (Allah mendengar orang yang memuji-Nya), adalah karena Abu Bakar As-Shiddiq RA tidak pernah  tertinggal shalat berjama’ah di belakang Rasulullah SAW. Hingga suatu hari, pada waktu shalat ashar, Abu Bakar RA tertinggal shalat bersama Rasulullah SAW.

Abu Bakar sangat bersedih dan bergegas masuk masjid. Sampai di masjid, Abu Bakar masih bisa mendapati Rasulullah Saw. sedang bertakbir untuk ruku’, maka Abu Bakar berucap: “Alhamdulillah” sebagai bentuk pujian terhadap Allah, lantas takbiratul ihram dan shalat di belakang Rasulullah SAW.

Jibril kemudian turun saat Nabi sedang ruku‘, lalu berkata: “Wahai Muhammad, ucapkan: سمع الله لمن حمده . ‘Allah mendengar orang-orang yang memuji-Nya.’ … baca kalimat itu setiap shalat saat bangun dari ruku‘. Sebelum kejadian ini setiap akan ruku‘ dan bangun dari ruku‘ yang dibaca adalah takbir. Berkah dari Sahabat Abu Bakar RA membuat tasmi’ jadi disunahkan.”

Baca juga: Menelisik Sisi Historis Penyebutan Gelar Haji di Indonesia

Dari kisah tersebut dapat dipahami bahwa anjuran membaca tasmi’ saat bangkit dari rukuk merupakan bentuk respons terhadap pujian yang diucapkan oleh Sahabat Abu Bakar RA, karena beliau tetap konsisten menjaga keistiqamahan dalam salat berjamaah bersama Rasulullah SAW.
Wallahu’alam.

*Sumber: Kitab Ianatuth Thalibin karya Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi
Ilustrasi: Khazanah Republika.co 

Menelisik Sisi Historis Penyebutan Gelar “Haji” di Indonesia

Penulis: Azzam Nabil H., Editor: Amarul Hakim

Saat ini, umat Islam memasuki bulan Dzulqa’dah yang mana menjadi salah satu bulan dilaksanakannya ibadah haji. Sebagaimana dalam Quran surat al-Baqarah ayat 197, Allah swt. berfirman:

اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ

“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!” (QS Al-Baqarah [2]: 197)

Sebagian besar Ulama menafsirkan bahwa bulan-bulan yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Dalam hal ini Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, maksud ayat di atas adalah waktu pelaksanaan ihram, bukan semua rangkaiaan haji. Karena pada dasarnya pelaksanaan haji tidak sampai berbulan-bulan.

Disisi lain, ada fenomena menarik yang berkaitan dengan ibadah Haji ini, dimana sebagian masyarakat Indonesia yang telah selesai melaksanakan ibadah haji, kerap kali dipasangkan dengan gelar “haji”. Namun bagaimana sebenarnya sejarah penyematan gelar haji ini?

Gelar “Haji” mulai dikenal secara luas dan digunakan secara resmi di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda. Gelar ini disematkan kepada umat Islam yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekah. Pada masa itu, perjalanan ke tanah suci sangat sulit, memakan waktu lama, dan membutuhkan biaya besar. Karena itu, hanya orang-orang tertentu yang mampu melakukannya, dan mereka pun memperoleh status sosial yang tinggi di mata masyarakat. Gelar “Haji” kemudian menjadi lambang kehormatan, keberagamaan, serta kesuksesan finansial.

Melihat sebagian masyarakat Indonesia yang melaksanakan ibadah haji, pemerintah kolonial Belanda menyadari meningkatnya jumlah jamaah haji dan merasa khawatir terhadap kemungkinan masuknya gagasan-gagasan politik Islam dari Timur Tengah yang dapat memicu perlawanan terhadap kolonialisme. Sebagai bentuk pengawasan, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Konsulat Jenderal di Arab Saudi pada tahun 1872. Konsulat ini berperan dalam mendata aktivitas jamaah asal Hindia Belanda dan mewajibkan mereka mengenakan atribut khusus, termasuk gelar “Haji,” guna memudahkan proses pemantauan, termasuk melalui izin resmi dan pencatatan administratif. Dalam hal ini, gelar “Haji” juga berfungsi sebagai instrumen kontrol sosial dan politik, karena pemerintah bisa memantau individu-individu yang berpotensi menjadi pemimpin berpengaruh di kalangan umat Islam.

Sementara itu, masyarakat memaknai gelar “Haji” sebagai simbol kemuliaan sosial dan religius. Mereka yang menyandang gelar ini sering dijadikan teladan dan dianggap memiliki tingkat spiritualitas yang lebih tinggi. Di tengah situasi kolonial, gelar ini juga menjadi bentuk perlawanan budaya terhadap dominasi Barat, karena umat Islam tetap mempertahankan identitas keagamaannya melalui ibadah dan simbol keislaman seperti gelar “Haji”. Dengan demikian, gelar ini bukan hanya mencerminkan aspek religius, tetapi juga mengandung dimensi sosial dan politik dalam konteks penjajahan.

Sehingga berkaitan dengan hal ini, ibadah haji tidak hanya menjadi kewajiban spiritual bagi umat Islam, tetapi juga memiliki makna sosial, budaya, dan politik yang kuat, terutama dalam konteks sejarah Indonesia. Gelar “Haji” yang disematkan kepada mereka yang telah menunaikannya, mencerminkan perjalanan panjang umat Islam dalam menjaga identitas, kehormatan, dan keteguhan iman di tengah tekanan kolonialisme. Kini, meskipun akses terhadap ibadah haji jauh lebih terbuka dibanding masa lalu, makna simbolis dan spiritual dari gelar tersebut tetap hidup dan menjadi bagian penting dari konstruksi sosial umat Islam Indonesia. Ibadah haji pun terus menjadi jembatan yang menghubungkan antara nilai-nilai keagamaan dan dinamika masyarakat dalam lintasan sejarah.

*Source: BPKH Sejarah Penyematan Gelar Haji di Indonesia
Sumber ilustrasi: blitar.inews.id (haji zaman kolonial belanda)