Penulis: Said Kosim, Editor: Fajri Muarrikh
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kelahiran di beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat masih tergolong tinggi, terutama di wilayah-wilayah dengan tingkat kemiskinan yang signifikan seperti Kabupaten Garut, Cianjur, Indramayu, dan Tasikmalaya. Fenomena ini memperlihatkan korelasi yang erat antara tingginya angka kelahiran dengan rendahnya tingkat kesejahteraan keluarga.
Dalam berbagai studi sosial, keluarga miskin di Jawa Barat cenderung memiliki lebih dari tiga anak, bahkan dalam kondisi ekonomi yang belum stabil. Hal ini sering dipengaruhi oleh rendahnya literasi keluarga terhadap perencanaan hidup dan kurangnya akses terhadap informasi dan layanan Keluarga Berencana (KB), khususnya metode kontrasepsi jangka panjang atau permanen seperti vasektomi. Akibatnya, beban sosial dan ekonomi pemerintah daerah dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) terus meningkat dari tahun ke tahun.
Sebagai respon terhadap persoalan ini, gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengusulkan bahwa vasektomi atau kontrasepsi pria harus menjadi syarat untuk penerima bantuan sosial bagi masyarakat prasejahtera. Ia menyarankan insentif Rp.500.000 bagi warga yang bersedia menjalani vasektomi. Dedi menjelaskan banyaknya permintaan bantuan biaya kelahiran yang mencapai Rp.25 juta, terutama untuk kelahiran caesar. Dia menekankan pentingnya tanggung jawab dalam pernikahan terkait kehamilan, kelahiran, dan pendidikan anak. Jika seseorang tidak mampu membiayai hal tersebut, ia menyarankan agar tidak perlu menjadi orang tua. Dedi menginginkan penerima bantuan sosial, seperti untuk biaya kelahiran dan pendidikan, harus melakukan vasektomi sebagai bentuk tanggung jawab. Usulan ini bertujuan untuk mendorong pengendalian angka kelahiran di kalangan masyarakat miskin, serta sebagai bentuk komitmen jangka panjang dalam pemutusan mata rantai kemiskinan melalui keluarga kecil yang sejahtera.
Baca juga: NU Urus Tambang: Mandiri Secara Ekonomi, Tapi Gimana dengan Amanah Menjaga Alam?
Vasektomi merupakan prosedur kontrasepsi pria yang memutus saluran sperma dari testis, sehingga air mani tidak mengandung sperma dan kehamilan bisa dicegah. Prosedur ini dilakukan melalui operasi kecil dengan bius lokal dan memiliki risiko komplikasi yang rendah serta pemulihan yang cepat. Vasektomi bisa disebut juga sebagai sterilisasi atau kontrasepsi permanen pada pria.
Dalam pandangan Islam, penggunaan alat kontrasepsi diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat. Namun, vasektomi, yang bersifat permanen, menuai perdebatan di kalangan ulama. Mayoritas ulama menganggapnya haram jika dilakukan tanpa alasan darurat, karena dianggap memutus keturunan. Islam mendorong pengaturan kelahiran demi kesehatan keluarga. Jika vasektomi dilakukan karena faktor medis mendesak, maka hukumnya bisa berubah menjadi boleh dengan pertimbangan medis dan fatwa dari ulama. Keputusan ini harus diambil dengan hati-hati. Hal ini sesuai dengan kutipan yang ada di dalam kitab Asy Syarqowi, juz 2, halaman 332 yang berbunyi “Adapun jika menggunakan sesuatu untuk memutus kehamilan secara permanen maka hukumnya haram. Berbeda jika tidak memutus kehamilan secara permanen, tetapi hanya membatasinya sementara waktu karena ada udzur seperti untuk menyiapkan pendidikan anak maka hukumnya tidak haram dan tidak makruh. Kalau tidak ada udzur maka hukumnya makruh.”
Keharaman vasektomi ini berlaku selama tidak dalam kondisi darurat. Jika dalam keadaan darurat, maka diperbolehkan melakukan vasektomi dengan menerapkan kaidah fiqih: “Jika dua mafsadah bertentangan, maka yang diperhatikan adalah yang paling berbahaya dengan melakukan yang kecil risikonya.” Hal ini sesuai dengan pendapat pada Muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta, menegaskan bahwa sterilisasi hukumnya diperbolehkan selama dapat dipulihkan kembali kemampuan berketurunannya dan tidak sampai merusak atau menghilangkan bagian tubuh yang berfungsi. Sehingga untuk sterilisasi permanen seperti vasektomi, hukumnya tidak diperbolehkan. Berikut kutipan pendapat Muktamar NU yang ada di dalam Ahkamul Fuqaha, halaman 448-350. “Begitu pula menggunakan obat yang menunda atau memutus kehamilan sama sekali (sehingga tidak hamil selamanya), maka dimakruhkan dalam kasus pertama dan diharamkan dalam kasus kedua. Dan ketika terdapat kondisi darurat, maka berlaku kaidah fiqhiyah, ‘Jika dua mafsadah bertentangan, maka yang diperhatikan adalah yang paling berbahaya dengan melakukan yang kecil resikonya.”
Baca juga: Kontroversi Iklan Candi Borobudur: Ketika Simbol Agama Dijadikan Gimmick, di Mana Letak Etika?
Masyarakat perlu mendukung upaya pemerintah untuk mengatasi kemiskinan demi keadilan sosial dan kesejahteraan. Namun, kebijakan harus mengedepankan hak-hak seksual dan reproduksi. Hak asasi manusia termasuk hak atas tubuh dan layanan kesehatan reproduksi tidak boleh dilanggar. Peran penyuluh dan pendamping sangat penting dalam perubahan sosial di tingkat keluarga. Data tahun 2020 menunjukkan bahwa ada lebih dari 300 ribu tenaga pendamping dan penyuluh di Indonesia yang bekerja di berbagai sektor. Ini merupakan kekuatan sosial yang luar biasa yang membantu keluarga mempersiapkan diri untuk hidup sendiri.

