Pemuda dan Tantangan Moderasi Beragama di Era Globalisasi

Penulis: Inesya Nofita Orisan, Editor: Tegar Rifqi

Era globalisasi merupakan periode zaman interaksi dan integrasi antar negara. Penguatan segala aspek kehidupan seperti budaya dan ekonomi semakin erat dan terkoneksi secara terstruktur melalui globalisasi yang melibatkan perluasan pertukaran informasi, perdagangan, teknologi, dan budaya di seluruh dunia. Pertukaran segala bentuk informasi semakin dimudahkan dengan adanya perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi yang memungkinkan kita untuk berkomunikasi dari jarak jauh seperti saat ini.

Aspek  budaya di era globalisasi menciptakan pertukaran nilai, moral, dan gaya hidup ke berbagai dan antar masyarakat. Media massa dan internet turut serta memainkan peran  dalam menyebarkan informasi melalui proses difusi budaya. Meskipun globalisasi menjadi peran penting dalam perkembangan peradaban dunia, akan tetapi disisi lain juga memunculkan tantangan seperti homogenisasi budaya dan ketidaksetaraan ekonomi.  Selain itu, globalisasi juga berpengaruh terhadap politik internasional melalui penguatan kerjasama  antar negara, serta organisasi internasional dan pembentukan blok ekonomi yang pada akhirnya mengakibatkan interdependensi antar negara dan membawa dampak politik maupun ekonomi dari satu negara ke negara lainnya.

Selain dari sektor ekonomi dan kenegaraan, era saat ini juga berpengaruh terhadap nilai sosial budaya yang ada. Era dimana yang lebih ditekankan adalah nalar yang fragmentaris, sekularistik, hedonistik, transaksional,  dan materialitas yang dapat berpengaruh terhadap anak muda. Sekularisme contohnya, salah satu pengaruh buruk dari konsep pemikiran tersebut adalah memisahkan urusan dunia dan akhirat, dimana itu membuat orang bisa untuk bertindak dengan cara apapun dengan cara yang mereka inginkan tanpa adanya tanggung jawab agama dan moral yang mendalam. Oleh karena itu, pengenalan moderasi di kalangan pemuda itu sangat penting dalam mewujudkan adanya menciptakan lingkungan dan kehidupan yang aman dan  nyaman, moderasi membantu dalam pengendalian beragama supaya tidak ekstrem ke kanan maupun ke kiri melainkan di tengah-tengah. Di mana itu juga akan berpengaruh pada peran generasi muda yang jauh sangat penting dalam memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara.

Terkait perkembangan gerakan moderasi beragama yang mencakup peran pemuda perlu diperhatikan, karena para anak muda itu lah yang akan menjadi masa depan negara. Mau dibawa kearah mana negara berjalan tergantung dengan kualitas anak muda yang dimiliki saat ini. Oleh karena itu,  generasi muda harus lebih produktif dan inovatif dalam supaya sosialisasi guna menumbuhkan jiwa moderasi beragama kepada masyarakat demi terjaganya keharmonisan, kedamaian. Salah satu nya dengan cara yang paling dikuasai oleh anak muda yaitu teknologi internet dan media. Anak muda harus bisa memanfaatkan teknologi dalam mengembangkan dan menyebarluaskan sikap moderasi beragama dan menciptakan kerukunan antar umat beragama. Keterampilan dan pengetahuan anak muda terhadap teknologi  juga bisa membantu dalam mengolah dan memilih informasi di internet agar mengatasi isu-isu yang ada dan mengatasi tantangan kompleksitas yang dapat memahami dan membantu mempraktikan moderasi beragama.

Radikalisme menjadi ideologi yang tak kalah mengkhawatirkannya dengan sekularisme pada era saat ini dimana target utamanya sama yaitu anak muda yang kurang dalam pendidikan agama. Hal itu terjadi karena minimnya pendidikan agama secara mendasar dari kecil sehingga pada saat mulai terpapar dengan informasi yang ada di internet yang berkaitan dengan radikalisme anak muda cenderung lebih mudah tergoda. Selain dari minimnya pendidikan agama, sifat alami yang dimiliki anak muda seperti rasa penasaran dan pemikiran kurang matang yang sering kali membuat salah dalam pengambilan keputusan  menjadikan anak muda sebagai target utama penyebaran radikalisme. Disinilah seharusnya peran anak muda diperlukan untuk saling mengedukasi antar sebaya agar lebih mudah dipahami. Anak muda sudah semestinya menjadi penyaring paham-paham negatif dan ikut serta terjun ke dalam masyarakat dan ikut menyampaikan akan bahaya paham yang negatif itu. 

Dalam pendekatannya, kita bisa menggunakan salah satu teori sosiologi yaitu teori Interaksi sosial masyarakat dan kelompok. Mengapa menggunakan teori Interaksi sosial,Masyarakat,dan kelompok? Dikarenakan Menurut pengertian interaksi sosial, manusia membentuk ikatan yang erat dengan satu sama lain, dengan kelompok, atau bahkan dengan manusia lain. Hal itu membuat masyarakat lebih bisa bersikap terbuka dalam berinteraksi. Dalam penerapannya, bisa dengan cara mengajak berkomunikasi secara empat mata atau dari hati ke hati dan sedikit dijelaskan tentang moderasi beragama secara pelan dan bertahap serta memberikan contoh implementasi moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari juga memberikan contoh konflik yang terjadi apabila minim atau kurangnya pengetahuan tentang moderasi beragama.

Sejatinya moderasi dalam beragama juga secara tidak langsung sudah dianjurkan pada kita melalui salah satu hadits yang berisi tentang larangan untuk bersikap ekstrem atau berlebih lebihan terhadap agama. 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ ؛ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ 

“Wahai manusia jauhkanlah kalian berlebih-lebihan dalam agama. Karena orang-orang sebelum kalian telah binasa sebab mereka berlebih-lebihan dalam agama” (HR. Imam Ahmad, hadits shahih).

wallahu’alam bishawab

Refleksi Puasa: Dari Tradisi Nabi Hingga Makna Spiritual di Era Modern

Penulis: Muhammad Ash-Shiddiqy, Editor: Tegar Rifqi

Puasa, salah satu ibadah utama dalam Islam, memiliki sejarah panjang yang bermula dari tradisi Nabi Muhammad SAW dan para nabi sebelumnya. Sebelum puasa Ramadan disyariatkan, Nabi Muhammad SAW telah menjalankan puasa selama 13 tahun di Makkah dan hampir dua tahun pada awal kehidupannya di Madinah. Puasa yang beliau jalankan mengikuti tradisi Nabi Musa AS, yang juga dipraktikkan oleh bangsa Quraish, yaitu puasa pada tanggal 10 Muharram yang dikenal sebagai puasa Asyura. Tradisi ini mengungkap keterkaitan antara praktik puasa dalam Islam dengan tradisi puasa umat Yahudi dan Kristiani, setidaknya menurut versi sejarah Islam.

Kemudian, melalui turunnya ayat 183 surat Al-Baqarah, puasa Ramadan ditetapkan sebagai kewajiban bagi umat Muslim. Ayat tersebut menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Pernyataan ini tidak hanya menegaskan kewajiban berpuasa, tetapi juga mengaitkannya dengan tradisi spiritual umat terdahulu.

Baca juga: Keutamaan Awal Ramadan: Cara Niat Puasa di Malam Pertama Bulan Ramadan

Puasa juga menampakkan sisi kemanusiaannya. Dalam ayat-ayat selanjutnya—khususnya hingga ayat 186 surat Al-Baqarah—Allah SWT memberikan keringanan bagi mereka yang berhalangan menjalankan puasa, seperti orang sakit, musafir, atau wanita hamil dan menyusui, dengan alternatif fidyah berupa memberi makan orang miskin. Hal ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang berpihak pada kemanusiaan, di mana puasa bukan dimaksudkan untuk memberatkan, melainkan untuk menumbuhkan nilai ketakwaan, empati, dan kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, puasa menjadi sarana untuk merasakan penderitaan mereka yang kurang beruntung dan meningkatkan kepekaan sosial.

Di tengah arus modernitas yang serba cepat, puasa mengajarkan kita untuk melambatkan laju kehidupan. Ambisi untuk selalu melaju tanpa henti seringkali membuat kita lupa berhenti sejenak, merenung, dan menikmati hidup secara lebih bermakna. Puasa berperan sebagai “rem waktu” yang mengajarkan kita menahan diri, menanti waktu berbuka, serta merasakan setiap detik dengan intens, sehingga kita belajar untuk menghargai setiap momen dengan ketenangan dan kesadaran.

Baca juga: Ramadan Bulan Kebangkitan Ummat

Dalam menyambut Ramadan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar ibadah kita lebih maksimal. Ramadan adalah bulan yang penuh berkah, sehingga sebaiknya diisi dengan memperbanyak ibadah seperti shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, dan bersedekah. Kewajiban seperti puasa dan shalat berjamaah bagi laki-laki harus diprioritaskan, begitu pula shalat Tarawih dan tadarus Al-Qur’an sebagai ibadah sunnah yang sangat dianjurkan. Donasi buka puasa memang baik, tetapi hendaknya dilakukan dengan sederhana dan tidak berlebihan agar keikhlasan tetap terjaga.

Sepuluh hari terakhir Ramadan adalah waktu istimewa yang sebaiknya dimanfaatkan untuk meningkatkan ibadah, terutama dalam mencari malam Lailatul Qadar. Keluarga juga perlu dilibatkan dalam suasana Ramadan, dengan menanamkan nilai dan keutamaannya kepada istri dan anak-anak agar ibadah bersama menjadi lebih bermakna. Selain itu, menargetkan khatam Al-Qur’an minimal empat kali selama Ramadan bisa menjadi cara untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Berbuka puasa di rumah bersama keluarga lebih utama dan penuh berkah dibandingkan berbuka di luar. Ceramah Tarawih sebaiknya tidak terlalu panjang agar tidak memberatkan jamaah. Para imam shalat hendaknya memimpin dengan keikhlasan, bukan untuk mencari popularitas atau keuntungan materiil. Ramadan juga merupakan waktu yang tepat untuk melakukan muhasabah diri dan memperbanyak istighfar serta tobat sebagai bekal menuju kehidupan yang lebih baik.

Baca juga: Tradisi Menyambut Ramadan: Nyekar, Padusan, dan Nyadran

Puasa bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, melainkan juga merupakan sarana untuk mengasah spiritualitas, empati, dan kesadaran akan waktu. Dari tradisi Nabi Muhammad SAW hingga relevansinya di era modern, puasa mengajarkan kita untuk hidup lebih bermakna. Semoga Ramadan tahun ini menjadi momentum untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Tradisi Menyambut Ramadan: Nyekar, Padusan, dan Nyadran

Penulis: Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy,M.E; Editor: Azzam Nabil H.

Bulan Ramadan adalah bulan yang dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, menyambut Ramadan tidak hanya dilakukan dengan persiapan spiritual, tetapi juga melalui berbagai tradisi lokal yang kaya akan makna. Beberapa tradisi yang populer di masyarakat Indonesia antara lain perang petasan, kembang api, bersih-bersih masjid, hingga “Nyekar”. Tradisi-tradisi ini tidak hanya menjadi bagian dari budaya, tetapi juga memiliki nilai spiritual yang dalam.

Nyekar: Ziarah Kubur Sebelum Ramadan

Salah satu tradisi yang paling dikenal adalah Nyekar, yaitu ziarah ke makam leluhur seperti orang tua, nenek, kakek, buyut, atau saudara yang telah meninggal. Dalam tradisi ini, keluarga biasanya membacakan doa, seperti surat Yasin dan tahlil, serta menaburkan bunga di makam. Pertanyaan yang sering muncul adalah, mengapa Nyekar dilakukan sebelum Ramadan? Jawabannya sederhana: ini soal “roso” atau perasaan.

Ketika Ramadan tiba, semua amal ibadah dilipatgandakan pahalanya. Bahkan tidurnya orang yang berpuasa dianggap sebagai ibadah. Namun, bagaimana dengan orang-orang yang kita sayangi tetapi sudah meninggal? Mereka tidak bisa lagi menikmati “diskon pahala” atau “cuci gudang dosa” yang terjadi selama Ramadan. Oleh karena itu, sebagai bentuk rasa syukur dan kasih sayang, kita mengunjungi makam mereka dan mengirimkan doa. Doa anak sholeh adalah salah satu pahala yang terus mengalir bagi orang yang telah meninggal, selain sedekah jariyah dan ilmu yang bermanfaat.

Padusan: Membersihkan Diri Sebelum Ramadan

Selain Nyekar, ada juga tradisi “Padusan” yang populer di Jawa. Padusan berasal dari kata “adus” yang berarti mandi. Tradisi ini dilakukan sebagai simbol pembersihan diri secara fisik dan spiritual sebelum memasuki bulan Ramadan. Filosofi Padusan memiliki beberapa makna mendalam:

Makna mendalam dari filosofi tersebut yang pertama adalahPembersihan Diri: Padusan melambangkan pembersihan diri dari dosa dan kesalahan, sehingga kita bisa memulai ibadah dengan hati yang bersih.

Kedua, Pembaharuan Diri: Tradisi ini juga melambangkan pembaharuan diri, yaitu meninggalkan kebiasaan buruk dan memulai kebiasaan baru yang lebih baik. Ketiga, Pengukuhan Iman: Padusan dapat memperkuat iman dan meningkatkan kesadaran spiritual, sehingga kita lebih siap menghadapi tantangan hidup selama Ramadan.

Keempat, Pembersihan Jiwa: Padusan juga diartikan sebagai pembersihan jiwa dari kotoran batin seperti kesombongan, kebencian, dan keinginan yang tidak baik. Dan yang kelima adalah Persiapan untuk Ramadan: Secara khusus, Padusan adalah persiapan untuk menjalankan ibadah puasa dengan hati yang bersih dan jiwa yang suci.

Nyadran: Akulturasi Budaya Jawa dan Islam

Selain Nyekar dan Padusan, ada juga tradisi Nyadran yang merupakan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Nyadran biasanya dilakukan pada bulan Ruwah (menurut kalender Jawa) atau Sya’ban (menurut kalender Hijriyah). Tradisi ini juga dikenal sebagai Ruwahan karena dilakukan pada bulan Ruwah. Beberapa ciri khas Nyadran antara lain:

Ziarah Kubur: Seperti Nyekar, ziarah kubur adalah bagian penting dari Nyadran; Mandi di Sungai (Padusan): Membersihkan diri di sungai sebagai simbol pembersihan jiwa dan raga; Membersihkan Lingkungan: Kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan sekitar; Kenduri: Acara makan bersama sebagai bentuk syukur dan silaturahmi; Kirab dan Ujub: Prosesi budaya yang melibatkan masyarakat setempat.; Doa dan Tasyukuran: Acara doa bersama sebagai bentuk rasa syukur atas datangnya Ramadan.

Makna Nyadran

Nyadran bukan sekadar tradisi, tetapi juga ekspresi rasa gembira, syukur, dan kebahagiaan menyambut Ramadan. Tradisi ini mengandung nilai-nilai sosial budaya seperti gotong royong, pengorbanan, ekonomi, dan silaturahmi. Melalui Nyadran, masyarakat tidak hanya mempersiapkan diri secara spiritual, tetapi juga mempererat hubungan sosial antarwarga.

Tradisi-tradisi seperti Nyekar, Padusan, dan Nyadran adalah warisan budaya yang patut dilestarikan. Meskipun berasal dari budaya lokal, tradisi ini sejalan dengan nilai-nilai Islam. Mereka mengajarkan pentingnya membersihkan diri, mempererat silaturahmi, dan mempersiapkan hati untuk menyambut bulan suci Ramadan.

Jadi, sudah siap menjadi bagian dari “Golkar” (Golongan Nyekar)? Mari kita jaga tradisi lama yang baik ini, sambil terus memperkaya makna spiritualnya dalam kehidupan kita. Dengan begitu, Ramadan tidak hanya menjadi bulan penuh berkah, tetapi juga bulan yang penuh dengan kebersamaan dan kasih sayang.