Menguak Misi Terselubung: Strategi Israel dalam Konflik Palestina

Penulis: Nala Qurota Aeni, Editor: Tegar Dwi Pangestu

Konflik Israel-Palestina telah berkembang seiring berjalannya waktu. Perselisihan ini mencakup politik, batas-batas wilayah, kekhawatiran tentang keamanan, serta berbagai faktor lainnya sekarang dominan dalam menghadapi masalah yang sebelumnya hanya didominasi oleh Agama. Perselisihan antara keduanya mencerminkan salah satu tantangan paling kompleks dalam hubungan Internasional.

Dilansir dari CNBC, konflik ini dimulai pada 2 November 1917 dengan Deklarasi Balfour oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, yang mendukung pendirian rumah nasional bagi Yahudi di Palestina. Pada 1923-1948, Eropa menjanjikan dukungan kepada gerakan Zionis di wilayah yang 90% penduduknya adalah Arab Palestina. Akibatnya, PBB mengadopsi Resolusi 181 untuk membagi wilayah antara Palestina dan Yahudi. Namun, Palestina menolak karena resolusi ini akan memberikan 56% wilayahnya kepada Yahudi. Konflik ini adalah salah satu tantangan paling kompleks dalam hubungan internasional, dan menggambarkannya hanya sebagai konflik agama mengabaikan banyak elemen kritis yang diperlukan untuk mencapai resolusi yang adil dan berkelanjutan.

Konflik Israel-Palestina telah berkembang menjadi perselisihan yang melibatkan banyak negara dan mengancam stabilitas global. Pasukan Zionis menyerang dengan dalih mencari teroris di antara warga Palestina, namun seringkali menargetkan semua orang, terutama anak-anak dan wanita. Konflik ini mencerminkan benturan identitas nasional, sejarah panjang penindasan dan perlawanan, serta kepentingan politik dan ekonomi yang bersaing. Meskipun aspek agama memainkan peran dalam identitas dan motivasi, konflik ini jauh lebih kompleks daripada sekadar pertikaian agama. Berikut adalah beberapa poin penting yang menjelaskan kompleksitas konflik ini :

1. Sejarah Kolonial dan Nasionalisme

Konflik ini memiliki akar sejarah yang mendalam, termasuk periode kolonial di bawah kekuasaan Inggris dan kebangkitan Nasionalisme baik di kalangan Yahudi maupun Arab. Periode Kolonial yang meliputi Kekuasaan Ottonom (1577-1917), Mandat Inggris (1920-1948) serta Deklarasi Balfour (1917). Sedangkan kebangkitan Nasionalisme yang terjadi pada saat itu Zionisme dan Nasionalisme Arab. Hal ini menyebabkan dampak jangka panjang meninggalkan masalah perbatasan yang disengketakan, pemisahan, dan ketidakpercayaan yang mendalam antara komunitas Yahudi dan Arab.

2. Isu Perbatasan dan Tanah

Salah satu inti permasalahan adalah klaim teritorial yang tumpang tindih dan perbatasan yang disengketakan. Kedua belah pihak mengklaim tanah yang sama sebagai tanah air mereka: Israel berdasarkan hubungan historis dan religius, sementara Palestina berdasarkan hak nasional dan sejarah panjang tinggal di wilayah itu. Yerusalem, kota suci bagi tiga agama besar, adalah titik sengketa utama. Israel mengklaim seluruh Yerusalem sebagai ibu kotanya, sementara Palestina menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan mereka. Konflik ini diperumit oleh perang, perubahan perbatasan, pembangunan pemukiman oleh Israel di wilayah yang diduduki, dan kesulitan mencapai kesepakatan damai yang komprehensif.

3. Keamanan dan Kekerasan

Kekhawatiran akan keamanan menjadi isu utama bagi Israel, sementara warga Palestina seringkali menghadapi kekerasan dan penindasan, termasuk pengusiran paksa dan pembatasan gerak. Kekerasan yang di alami Palestina diantaranya yaitu pengeboman di Gaza, peristiwa ini merupakan aspek paling tragis dan kompleks dari konflik Israel-Palestina. Insiden pengeboman sering terjadi selama eskalasi konflik, biasanya antara militer Israel dan kelompok militan Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam. Insiden pengeboman juga terjadi di Rafah baru-baru ini, semua mata tertuju ke Rafah.  Secara keseluruhan, situasi di Rafah mencerminkan tantangan yang lebih luas di jalur Gaza, dimana blokade, kekerasan dan kondisi hidup yang sulit saling memperburuk satu sama lain.

4. Identitas Nasional

Konflik ini juga merupakan perjuangan Identitas Nasional, dimana baik Israel maupun Palestina berusaha mempertahankan eksistensi dan hak untuk menentukan nasib sendiri dengan setiap sisi mengklaim kedaulatan atas wilayah tertentu sebagai bagian dari Identitas Nasional mereka. Disisi lain upaya kedua belah pihak untuk mempertahankan Budaya, Bahasa, dan Identitas Agama mereka masing-masing. Jadi, konflik Israel-Palestina juga tentang perjuangan untuk mempertahankan Identitas Nasional, Budaya, dan Hak-hak Asasi Manusia masing-masing pihak.

5. Diplomasi dan Negoisasi Politik

Berbagai upaya diplomasi dan negoisasi politik telah dilakukan untuk mencapai pendamaian, namun sering terhambat oleh kurangnya kepercayaan dan kepentingan politik yang berbeda. Contoh konkret diantaranya Perjanjian Oslo (1993), Konferensi Camp David (2000), Rencana Perdamaian Donald Trump (2020). Upaya-upaya tersebut sering terhambat oleh kurangnya kepercayaan di antara kedua belah pihak dan kepentingan politik yang berbeda. Misalnya, isu-isu sensitif seperti status Yarusalem, pengungsi Palestina, dan kekerasan yang terus berlanjut di wilayah tersebut seringkali menghambat upaya perdamaian di antara kedua belah pihak.

6. Ekonomi dan Pembangunan

Kondisi ekonomi dan akses terhadap sumber daya juga menjadi faktor penting. Blokade dan pembatasan ekonomi seringkali memperburuk kondisi hidup warga Palestina. Misi terselubung mereka untuk melemahkan umat Islam melalui 3F (food, fun, fashion) adalah bagian dari strategi soft power mereka untuk memperbaiki citra negara dan memperluas pengaruhnya secara global. Di sisi lain ada pula upaya boikot internasional terhadap produk-produk israel dalam sektor-sektor tersebut, yang dapat berdampak negatif pada perekonomian Israel. Dengan menarik dukungan finansial, boikot dapat memberikan tekanan ekonomi yang signifikan, yang dapat mendorong perubahan dalam kebijakan pemerintah Israel.

Dari analisis yang disampaikan, dapat disimpulkan bahwa konflik Israel-Palestina merupakan permasalahan yang kompleks dan tidak dapat disederhanakan menjadi sekedar pertikaian agama. Sejarah Kolonialisme, Isu Perbatasan dan Tanah, Keamanan, Identitas Nasional, Diplomasi, Ekonomi, serta strategi terselubung seperti “3F” semuanya memainkan peran penting dalam dinamika konflik ini. Dalam melihat konflik Israel-Palestina kita harus mengingat bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi yang luas dan mempengaruhi banyak kehidupan. Penting untuk memperlakukan semua pihak dengan empati dan mempertimbangkan perspektif mereka dalam mencari solusi yang berkelanjutan. Dengan  mengedepankan dialog, toleransi, dan kerjasama antara Israel dan Palestina, kita bisa berharap untuk melihat terciptanya perdamaian yang mensejahterakan kedua belah pihak serta masyarakat di kawasan tersebut.

Sikap Moderasi Beragama dapat memainkan peran penting dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina dengan mempromosikan sikap saling menghormati dan Toleransi, sikap Moderasi juga dapat membantu memperkuat upaya perdamaian dengan menekankan pentingnya menghargai Hak-hak Asasi Manusia dan mencari solusi yang adil bagi semua pihak tanpa memandang latar belakang. Dengan demikian, Integrasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam penyelesaian konflik dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan stabil bagi masyarakat di Israel dan Palestina.