Peran Pendidikan dalam Memperkuat Moderasi dan Multikulturalisme di Kalangan Siswa

Penulis: Lutfiana Nazila Qorin, Editor: Azzam N.H.

Di era globalisasi saat ini, pemahaman tentang moderasi dan multikulturalisme menjadi sangat penting, terutama di kalangan siswa. Pendidikan memiliki peran krusial dalam membentuk karakter dan pola pikir generasi muda agar mampu menghargai perbedaan serta hidup berdampingan secara harmonis. Masyarakat kita semakin beragam dengan adanya berbagai suku, agama, dan budaya. Keberagaman ini membawa tantangan dan peluang yang signifikan bagi generasi muda. Dalam konteks ini, pendidikan memegang peranan penting dalam memperkuat moderasi dan multikulturalisme di kalangan siswa.

Pertama-tama, pendidikan dapat memperkenalkan konsep moderasi dan multikulturalisme sejak dini. Kurikulum yang mencakup nilai-nilai kebinekaan, toleransi, dan saling menghormati sangat penting untuk ditanamkan kepada siswa. Misalnya, pelajaran tentang sejarah, budaya, dan tradisi berbagai suku di Indonesia dapat meningkatkan pemahaman siswa mengenai kekayaan budaya bangsa. Dengan memahami latar belakang budaya yang berbeda-beda tersebut akan membuat siswa lebih terbuka terhadap perbedaan sehingga mengurangi sikap diskriminatif.

Baca juga: Efisiensi Anggaran, Imbas ke Pendidik dan Masa Depan Pendidikan Indonesia

Selanjutnya kegiatan ekstrakurikuler yang melibatkan siswa dari berbagai latar belakang juga dapat menjadi sarana efektif untuk mempromosikan moderasi. Melalui kegiatan bersama seperti program pertukaran pelajar atau festival budaya yang melibatkan siswa dari berbagai daerah dapat menciptakan ikatan serta saling pengertian antar-siswa.

Membangun Kesadaran Multikultural

Pendidikan bisa menjadi alat efektif untuk membangun kesadaran multikultural di kalangan siswa melalui kurikulum integratif tentang budaya sejarah maupun tradisi kelompok etnis-agama tertentu sehingga membantu mereka memahami-menghargai setiap bentuk keragaman sebagai bagian kehidupan sehari-hari.

Mengembangkan Sikap Toleransi & Empati

Pendidikan yang baik tidak hanya berfokus pada penguasaan pengetahuan, tetapi juga pada pengembangan karakter. Melalui kegiatan seperti diskusi, proyek kolaboratif, dan pengajaran tentang nilai-nilai kemanusiaan, siswa dapat belajar untuk mengembangkan sikap toleransi dan empati. Kegiatan tersebut memungkinkan siswa untuk mendengar dan memahami perspektif orang lain, sehingga mereka dapat belajar untuk tidak hanya menghormati perbedaan, tetapi juga mencari kesamaan yang dapat mempererat hubungan satu sama lain.

Memperkuat Moderasi Beragama

Moderasi beragama merupakan aspek penting dalam konteks multikulturalisme. Pendidikan dapat memberikan landasan yang kuat bagi siswa untuk memahami pentingnya sikap moderat dalam beragama. Dengan mengajarkan prinsip-prinsip toleransi dan menghormati keyakinan orang lain, sekolah dapat membantu siswa menghindari sikap ekstremis yang dapat mengarah pada konflik. Pengajaran yang berbasis pada dialog antaragama juga dapat memperkuat pemahaman dan menghargai keragaman keyakinan. 

Menciptakan Lingkungan yang Aman dan Inklusif

Sekolah harus menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif, di mana setiap siswa merasa diterima tanpa memandang latar belakang budaya atau agama mereka. Dengan mengembangkan kebijakan yang mendukung keberagaman dan mengedukasi siswa tentang pentingnya saling menghormati, sekolah dapat menjadi tempat di mana siswa belajar untuk hidup berdampingan dengan damai. Aktivitas ekstrakurikuler yang melibatkan budaya berbeda, seperti festival, pertunjukan seni, dan diskusi budaya, juga dapat menjadi sarana untuk memperkuat persatuan dalam keberagaman

Menghadapi Tantangan di Era Digital

Di tengah kemajuan teknologi dan akses informasi yang semakin mudah, tantangan dalam mempertahankan moderasi dan multikulturalisme menjadi semakin besar. Banyak siswa terpapar pada informasi yang bersifat ekstrem dan intoleran melalui media sosial. Oleh karena itu, pendidikan harus mampu memberikan keterampilan literasi digital yang baik, sehingga siswa dapat berpikir kritis terhadap informasi yang mereka terima. Dengan cara ini, mereka dapat membedakan antara informasi yang mendidik dan yang menyesatkan, serta mengembangkan pemikiran yang lebih moderat.

Baca juga: Penguatan Pendidikan Inklusif sebagai Wujud Implementasi Nilai–Nilai Luhur Ajaran Islam

Selain itu guru sebagai fasilitator perlu memberi contoh baik bersifat moderat menghargai segala macam bentuk keanekaragamanan tadi sambil menciptakan suasana belajar inklusif dimana semua peserta didiknya merasa dihargainya pula. Diskusi terbuka isu-isu sosial-politiknya jadi ruang ekspresi pendapatnya masing-masing sembari mendengar sudut pandangnya orang lain mencari titik temunya bersama-sama.

Namun demikian, tantangan dalam mengimplementasikan pendidikan yang memperkuat moderasi dan multikulturalisme tetap ada. Dalam beberapa kasus, masih terdapat pandangan eksklusif dan intoleran yang dapat mengganggu proses pembelajaran. Oleh karena itu, keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam mendukung pendidikan multikultural sangat penting. Dengan melibatkan berbagai pihak, kita dapat menciptakan ekosistem pendidikan yang kondusif untuk pengembangan sikap moderat. Hal ini dapat menunjukkan bahwa pendidikan memiliki peran sangat penting dalam membentuk karakter dan pandangan siswa. Terlebih di Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman budaya, agama, dan etnis yang tinggi, pendidikan harus menjadi sarana utama untuk memperkuat moderasi dan multikulturalisme.

Di era globalisasi ini di mana informasi serta budaya mudah diakses oleh siapa saja dari mana saja kapan pun juga; maka persiapan matang diperlukan agar generasi muda siap menjadi warga dunia bertanggung jawab penuh atas tindakan mereka ke depannya.

Mayoritarianisme: Akar Konflik Klasik Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

Penulis: Nanang Hasan Susanto, Editor: Azzam Nabil H.

Konflik dalam pendirian rumah ibadah merupakan fenomena klasik di Indonesia. Hampir setiap tahun, konflik yang bersumber dari pendirian rumah ibadah terus terjadi. Menurut Setara Institut, dari tahun 2007 hingga 2018 saja, terdapat ratusan kasus penolakan, hingga penyerangan yang dilakukan dari kalangan yang berbeda agama/keyakinan terhadap pendirian rumah ibadah. Berbagai kasus lain yang juga sering terjadi yaitu mulai dari penyegelan, intimidasi, hingga aksi kekerasan.

Beberapa kalangan berpendapat, salah satu penyebab terjadinya konflik pendirian rumah ibadah adalah adanya Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pendirian rumah ibadah. Berdasarkan PBM tersebut, syarat pendirian rumah ibadah paling sedikit diajukan oleh 90 orang yang akan menggunakan rumah ibadah tersebut. Syarat selanjutnya, harus didukung minimal 60 warga setempat, serta disahkan oleh lurah atau kepala desa, mendapat rekomendasi tertulis dari kepala kantor kementerian agama tingkat kabupaten/kota, serta rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/kota. Berbagai syarat tersebut tentu memberatkan bagi komunitas minoritas dalam mendirikan rumah ibadah. Padahal, rumah ibadah merupakan salah satu kebutuhan pokok mereka dalam menjalankan ritual agama dan keyakinannya.

Melihat fenomena rumitnya persoalan pendirian rumah ibadah, akar persoalan sesungguhnya terletak pada sikap mayoritarianisme yang masih tumbuh subur pada masyarakat. Adanya PBM yang menyulitkan kaum minoritas memang menyulut konflik. Meskipun begitu, PBM tersebut tidak mungkin ada, jika tidak didahului oleh suburnya budaya mayoritarianisme. Sebagai lembaga politik, pemerintah tentu kesulitan untuk menolak aspirasi kaum mayoritas. Teori electoral change disini dapat digunakan untuk menjelaskan, bahwa demokrasi berpotensi mewujudkan terjadinya transaksi antara pemilih dan penguasa. Sederhananya, kebijakan yang dibuat penguasa, seringkali berorientasi untuk mengamankan kepentingan penyumbang suara (Müller and Strom, 1999). Penyumbang suara dimaksud, tentu saja dari kalangan mayoritas.

Baca juga: Potret Keharmonisan Agama di Indonesia : Surabaya Suguhkan 6 Tempat Ibadah yang Berdampingan

Secara teoritis, mayoritarianisme merupakan bahaya laten bagi keberlangsungan kehidupan sosial. Menurut Gramsci, hegemoni mayoritas terlihat dari artikulasi identitas, yang selalu bertendensi hegemonik pada kelompok minoritas.  Hegemoni tersebut tidak hanya terjadi pada kelas-kelas berdasarkan ekonomi, tetapi juga pada masyarakat sipil, termasuk etnisitas, dan  kepercayaan (Kholiq, 2013). Tendensi hegemonik sebagaimana disampaikan Gramsci ini terlihat pada kehidupan keberagamaan di Indonesia. Diskriminasi, persekusi, bahkan kekerasan kerap dilakukan kelompok agama mayoritas terhadap agama/kepercayaan minoritas. Salah satunya ditunjukkan pada susahnya mendirikan rumah ibadah bagi kelompok minoritas.

Indonesia merupakan Negara yang multikultur, multi etnik, multi agama dan kepercayaan. Tidak kurang dari 300 etnis yang memiliki budaya sendiri, serta lebih dari 250 bahasa daerah  yang digunakan. Terkait agama, ada 6 agama yang diakui, dan begitu banyak kepercayaan yang belum diakui (Zada 2006). Pada satu sisi, keragaman termasuk pada aspek agama dan kepercayaan di Indonesia merupakan kekayaan tersendiri. Namun, jika tidak diwaspadai, kondisi ini berpotensi mengancam keutuhan Bangsa.

Hans Kung sebagaimana dikutip Morgan mengatakan, bahwa tidak mungkin ada perdamaian di dalam sebuah Negara, tanpa adanya perdamaian diantara agama pada Negara tersebut (Morgan 2011). Pernyataan Hans Kung ini nampaknya didasarkan pada keyakinan, bahwa agama merupakan isu sensitif yang harus dikelola dengan baik. Terkait dengan isu pendirian rumah ibadah, berbagai konflik sosial yang terjadi berpotensi mengoyak keutuhan Bangsa. Persoalan seringkali muncul, ketika kelompok agama/ kepercayaan minoritas berinisiatif untuk mendirikan rumah ibadah. Sikap arogansi kelompok mayoritas sebagaimana diungkap Gramsci, kerap muncul, setiap ada keinginan mendirikan rumah ibadah kelompok minoritas.

Baca juga: Moderasi Beragama: Solusi untuk Kehidupan Harmonis di Masyarakat Multikultural

Persoalan menjadi lebih rumit, ketika melihat fakta tersebarnya kelompok agama mayoritas-minoritas di Indonesia. Pada wilayah Indonesia bagian Barat, Islam adalah agama mayoritas. Tapi, pada wilayah Indonesia Timur, umat Kristen lah yang mayoritas. Diskriminasi yang dirasakan oleh kelompok minoritas di daerah tertentu, seringkali dibalas oleh kelompok tersebut, ketika berada di wilayah mayoritas. Jika dibiarkan, kondisi ini akan terus menerus terjadi, berulang, tanpa ada kata akhir.

Menyikapi persoalan tersebut, pendidikan toleransi dengan meminimalisir sikap mayoritarianisme perlu dilakukan.  Proses pendidikan toleransi memang membutuhkan waktu yang tidak singkat. Hal ini mengingat konstruksi sosial masyarakat yang sudah terbentuk lama terkait pandangan keagamaan tradisional masyarakat yang eksklusif, dan terjebak pada truth claim. Pada proses pendidikan toleransi tersebut, berbagai wacana keagamaan yang inklusif harus terus menerus direproduksi di berbagai kesempatan. Struktur sosial yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia harus diarahkan untuk membentuk wacana pendidikan toleransi. Lembaga Pendidikan formal, tokoh agama, tokoh masyarakat, ormas dll, harus menjadi agen untuk menyebarkan wacana keagamaan yang toleran.

Menurut Foucault, wacana yang terus-menerus dilakukan, diulang, direproduksi, akan mengkristal pada ruang bawah sadar sebuah komunitas, sehingga mengarahkan mereka pada sebuah tindakan tertentu (Foucault 1965). Pada perkembangannya, di tingkat masyarakat, pola tindakan yang berulang, dapat mencerminkan karakteristik masyarakat tertentu.  Berdasarkan konsepsi ini, tindakan intoleransi bahkan persekusi dalam pendirian rumah ibadah yang selama ini dilakukan, berangkat dari wacana keagamaan eksklusif yang terus menerus direproduksi dan dikembangkan. Maka, berdasarkan konsepsi ini pula, untuk membangun masyarakat yang toleran, perlu diwacanakan pendidikan toleransi yang massif, dilakukan terus-menerus, serta menjadi gerakan bersama semua kalangan.

Baca juga: Menghayati Kekayaan Mozaik Nusantara Melalui Program KKN Moderasi Beragama se-Indonesia

Sejak dulu, tafsir keagamaan selalu memiliki dua sisi. Pertama, tafsir keagamaan yang ekslusif dan terjebak pada truth claim. Biasanya, kalangan ini menafsirkan teks keagamaan dengan kaku, literalis, serta menolak fakta keragaman, dan berbagai perubahan/ perkembangan zaman. Kedua, tafsir keagamaan inklusif dan progressif. Tafsir keagamaan seperti ini lebih menitikberatkan pada tujuan utama diturunkannya agama, yakni untuk menebarkan keselamatan, kedamaian, kesejahteraan, bahkan mewujudkan keadilan sosial.

Dihadapkan pada dua pilihan tafsir keagamaan tersebut, pilihan yang menjanjikan adalah tafsir keagamaan yang kedua. Masyarakat religious yang menjadi karakteristik masyarakat Indonesia, merupakan sesuatu yang given, dan harus disyukuri. Di dunia ini tidak ada yang hitam putih. Karakteristik religious pada tahap tertentu berpotensi mendorong pada karakteristik Bangsa yang santun, serta menjunjung nilai-nilai dan etika tradisionalitas.  Namun disisi lain, persoalannya adalah, bagaimana menjadikan karakteristik masyarakat yang religious tersebut, menjadi sebuah added value untuk kejayaan Bangsa. Sehingga untuk menangani hal ini, maka solusinya adalah mewacakan tafsir keagamaan yang inklusif dan progressif. Jika ini terus menerus dilakukan dengan konsisten, maka sikap mayoritarianisme akan terkikis seiring dengan berjalannya waktu. Dengan demikian, pendirian rumah ibadah kelompok agama dan kepercayaann minoritas bukan lagi menjadi masalah yang terus menerus berulang di bumi Nusantara ini.