Dakwah No Ribet: Antara Pahala, Views, dan Moderasi Beragama di TikTok

Penulis: Safina, Editor: Nehayatul Najwa

Dakwah di era digital tidak akan pernah pudar, selalu berkembang pesat, apalagi sekarang  sudah ada media sosial yang sangat sering digunakan seperti Tik Tok. Saat ini, orang bisa belajar agama hanya dengan menonton video berdurasi 30 detik. Namun, tidak semua konten dakwah di media sosial benar-benar memberikan pemahaman yang mendalam. Banyak di antaranya yang lebih berfokus pada engagement, mendapatkan like, comment, dan share daripada menyampaikan ajaran agama secara utuh.

Baca juga: Tips & trik Bermedia (Tangkal Berita Hoax)

Kebiasaan penonton hanya share dakwah tanpa dicari kebenarannya dulu. Begitu juga content creator yang hanya asal buat konten, penting konten itu FYP walau belum pasti kebenarannya dalam syariat islam. Fenomena ini memunculkan banyak pertanyaan, apakah dakwah digital benar-benar membawa manfaat bagi pemahaman agama masyarakat, atau justru menyesatkan ajaran agama demi masuk FYP?

Dalam artikel ini, akan dibahas bagaimana media sosial mengubah pola dakwah, bagaimana moderasi beragama bisa berperan dalam menyeimbangkan trend ini, serta bagaimana pendekatan sosiologi agama dan media membantu memahami fenomena ini secara lebih luas.

Media sosial, terutama Tik Tok, bisa memberikan konten agama tersebar luas hanya dalam hitungan detik. Siapa saja bisa menjadi influencer dakwah. bahkan tanpa latar belakang pendidikan agama yang baik dan mendalam. Banyak akun yang menggunakan strategi clickbait seperti “like sekarang or masuk neraka” atau “Comment Aamiin biar masuk surga.”

Mayoritas manusia sekarang sangat menyukai hal yang instan, sampai dakwah pun instan no ribet. Dakwah yang dulunya memberikan kajian mendalam kini lebih sering dikaji dalam bentuk video pendek yang lebih menarik perhatian, tetapi sering kali kehilangan esensi pembelajarannya.

Algoritma Tik Tok bekerja dengan cara menampilkan konten yang paling banyak mendapat interaksi, seperti FYP, dan views hingga jutaan, sehingga banyak kreator lebih fokus membuat konten yang mengundang engagement daripada menyampaikan ajaran agama dengan benar. Orang lebih sering tertarik konten dakwah dan nonton hingga detik terakhir itu minimal dengan views ribuan sehingga masuk FYP.

Dalam sosiologi media, fenomena ini dikenal dengan mediatization of religion (Hjarvard, 2011), bahwa agama sekarang dipengaruhi oleh logika media. Dakwah tidak hanya berfungsi sebagai penyebaran nilai-nilai agama, tetapi juga harus bersaing dengan kreator lain agar tetap FYP dan views ribuan bahkan jutaan.

Dalam sosiologi agama, moderasi beragama didefinisikan sebagai praktik keberagamaan yang tidak ekstrem, inklusif, dan toleran (Kemenag RI, 2019). Moderasi ini juga berlaku dalam konteks dakwah digital. Dakwah yang baik seharusnya membantu memperluas wawasan keagamaan, bukan justru menyesatkan pemahaman agama demi popularitas.

Namun, ada banyak kasus, dakwah digital justru memperlihatkan dua sisi yang kontras. Di satu sisi, ada influencer dakwah yang menyampaikan ajaran Islam dengan cara yang ringan, mudah dipahami, dan relate dengan kehidupan modern, bahkan disesuaikan juga dengan generasi sekarang yaitu Gen Z dan Gen Alpha. Dalam pendekatan ini, mayoritas penonton dari kalangan Gen Z dan Gen Alpha karena mereka lebih pintar memilih dan tidak mudah percaya mengenai dakwah hoaks.

Di sisi lain, ada pula yang menggunakan pendekatan sensasional dengan menyebarkan narasi ekstrem, hoaks keagamaan, atau bahkan memanfaatkan ketakutan akan dosa agar mendapat views banyak. Pendekatan ini dengan target penonton itu mayoritas para Gen Milenial dan atasnya, karena mereka dari kalangan yang masi tergolong gaptek dan hanya percaya percaya saja.

Moderasi agama dalam dakwah digital berarti mencari keseimbangan antara penyampaian yang menarik dengan konten yang tetap edukatif dan tidak menyesatkan. Namun, influencer dakwah sekarang mayoritas lebih mementingkan followers dan views untuk mendapat keuntungan semata. Pendakwah seharusnya tidak hanya mengikuti trend, tetapi juga memastikan bahwa pesan yang disampaikan tetap sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang moderat.

Dalam konteks dakwah digital, adanya ulama dan pendakwah berperan penting untuk membentuk pemahaman agama yang lebih moderat dan inklusif. Para tokoh agama yang memiliki latar belakang pendidikan formal seharusnya lebih aktif dalam dunia digital untuk menyeimbangkan narasi yang berkembang.

Selain itu, content creator yang bukan berlatar belakang keagamaan juga seharusnya lebih bijak dalam menyebarkan konten religius. Banyak kasus di mana informasi agama yang tidak akurat menjadi viral dan dipercaya masyarakat tanpa adanya verifikasi. Oleh karena itu, perlu adanya edukasi tentang literasi digital keagamaan agar masyarakat bisa memilah mana konten dakwah yang benar-benar terpercaya dan mana yang hanya mencari sensasi.

Para viewers dan followes juga seharusnya lebih bijak dalam menangkap dakwah yang FYP. Percayai influencer dakwah yang sudah berpengalaman dalam berdakwah, contohnya seperti ustaD Hannan Attaki, jangan malah hanya karena dakwah itu FYP ikut-ikutan.

Dalam perkembangan zaman sekarang, dakwah digital adalah hal yang tidak bisa dihindari. Penyebaran ajaran agama kini memiliki peluang yang sangat besar melalui Tik Tok dan platfrom media sosial lainnya. Namun, di sisi lain, fenomena dakwah instan ini memiliki tantangan tersendiri yang bisa mengubah kualitas ajaran yang disampaikan.

Moderasi agama berperan penting dalam menyeimbangkan trend ini, supaya influencer dakwah tidak hanya menjadi ajang mencari viralitas, tetapi juga tetap memberikan pemahaman agama yang mendalam, toleran, dan inklusif. Dengan  memberikan literasi digital yang baik dan keterlibatan ulama di dunia digital, diharapkan dakwah di media sosial bisa menjadi sarana edukasi yang tetap menjaga esensi agama, tanpa terjebak dalam sekadar FYP semata atau “like, comment, dan share.”