Penulis: Azzam Nabil Hibrizi dan Ahmad Farhan, Editor: Huda
Media sosial merupakan sebuah manifestasi dari kemajuan teknologi saat ini yang digunakan oleh banyak orang untuk bersosialisasi dan membagikan informasi. Dalam era ini, manusia sedang mengalami fase menjalin komunikasi melalui teknologi digital dan jaringan internet. Orang-orang dapat membagi eksistensinya ke dalam dua dunia, yakni dunia virtual (maya) dan dunia nyata. Di dunia nyata, komunikasi dapat terjadi baik secara virtual maupun secara langsung. Dengan kata lain, kemajuan dalam teknologi informasi dan komunikasi saat ini telah menghilangkan batasan ruang dan waktu yang digunakan manusia untuk berinteraksi satu sama lain. Orang dapat berkomunikasi di antara negara atau wilayah yang berbeda. [1]
Dengan didorong adanya berbagai fitur yang terdapat dalam masing-masing platform media sosial, membuat para penggunanya dapat merasakan sensasi layaknya bersosialisasi secara tatap muka meski dipisahkan oleh jarak yang jauh. Seperti misalnya dalam fitur live streaming yang ada di platform Instagram, Tiktok, dan Youtube.[2] Disamping itu, ada pula fitur upload video seperti reels, short video di youtube, dan fitur upload foto yang dapat dikonsumsi oleh banyak orang.[3] Melalui konten yang dibagikan tersebut, para penonton dapat memberikan komentar secara langsung melalui kolom komentar, serta mereka dapat membagikan konten tersebut ke orang lain secara langsung. Atau dengan adanya fitur like seseorang dapat menunjukan rasa emosionalnya, hingga dapat membentuk sebuah algoritma yang membawa penonton melihat konten serupa dengan apa yang telah ditonton dan disukainya.[4] Dengan fitur-fitur inilah yang menjadi daya tarik banyak orang untuk menggunakan media sosial. Di Indonesia sendiri, pada awal tahun 2025 tercatat sebanyak 143 juta identitas pengguna aktif yang terdaftar di media sosial yang mana angka ini setara dengan 50,2% dari total populasi di Indonesia.[5]
Dengan banyaknya jumlah pengguna media sosial dan jangkauannya, membuat media sosial menjadi sarana dalam memudahkan seseorang di berbagai bidang, termasuk dalam ranah menyebarkan ajaran islam seperti yang dilakukan oleh influencer dakwah saat ini. Dalam hal ini, media sosial yang dimanfaatkan dalam berdakwah tentu menjadi sebuah kesempatan besar bagi para da’i untuk menyebarkan pesan dakwah dengan jangkauan yang lebih luas. Melihat luasnya jangkauan media sosial tersebut, maka seorang influencer dakwah harus memperhatikan metode yang digunakannya dalam berdakwah. Sebab, pengguna media sosial adalah pengguna yang heterogen atau berasal dari berbagai suku, agama dan kepercayaan yang tentunya apabila tidak dilakukan dengan hati-hati maka dapat memantik api perpecahan.[6] Sehingga dakwah yang dilakukan di media sosial sudah seharusnya menggunakan metode dakwah yang arif, bijaksana, tidak diskriminatif atau bahkan provokatif. Hal inilah yang membuat pesan dakwah dapat diterima dengan baik oleh mad’u. Terlebih jika melalui media sosial, dakwah dengan metode tersebut dapat menjadi lebih mudah, dengan tetap memperhatikan norma dan etika dalam menyampaikan pesan dakwah kepada khalayak di media sosial atau yang biasa disebut sebagai netizen.[7]
Disisi lain, penyebaran nilai-nilai moderasi beragama melalui media sosial sebagai framing dalam berdakwah di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia adalah unsur yang penting untuk dilakukan oleh para influencer dakwah. Seperti contohnya adalah dengan membuat konten yang menunjukkan sikap saling menghargai, toleransi antarumat beragama, serta tidak mengandung unsur kekerasan dalam berdakwah. Konten tersebut dapat berupa artikel, video, infografis, dan diskusi yang mengingatkan masyarakat tentang pentingnya sikap saling menghormati antar umat beragama, serta bagaimana menjalani keyakinan dengan cara yang damai dan tidak ekstrem. Dengan konten semacam ini, masyarakat dapat mengakses berbagai sumber dan pemikiran yang beragam, sehingga memperkaya pengetahuan keagamaan mereka. Sehingga media sosial dapat mengambil peran dalam menyebarkan pesan moderasi beragama yang sesuai dengan pluralitas yang ada di Indonesia.[8]
Pemanfaatan media sosial dalam menyebarkan pesan dakwah yang moderat juga berfungsi untuk menghadapi tantangan yang sangat mungkin muncul, seperti polarisasi opini yang muncul karena perbedaan pendapat.[9] Hal ini dapat disebabkan oleh pesan dakwah yang terjebak di dalam filter bubble yang berkaitan dengan algoritma media sosial di setiap penggunanya.[10] Tantangan lainnya adalah persaingan pesan dakwah yang moderat dengan pesan dakwah yang tidak moderat hingga dapat menyebabkan sulitnya menjangkau auidens dengan paham yang berbeda. Namun tantangan semacam ini dapat ditangani dengan strategi yang efektiv sehingga dapat mencapai jangkauan audiens yang tepat dan akurat.[11] Pentingnya menggunakan strategi yang efektiv adalah, mengingat moderasi beragama bukan hanya penting dalam lingkup internal, namun juga menjadi penting pada skala global. Terlebih sebagai negara yang memiliki populasi muslim terbesar di Asia, Indonesia mempunyai peran penting dalam menyuarakan keutamaan moderasi beragama. Melalui penerapan moderasi beragama yang dapat terus digaungkan di media sosial, Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara lain dalam ranah implementasi ajaran agama yang inklusif, adil, dan toleran.[12]
Dengan demikian, upaya dalam menyebarkan konten dakwah yang mengandung nilai-nilai moderasi beragama di media sosial dapat menjadi langkah preventif terhadap pemahaman atau ideologi yang memicu perpecahan dan menjadi ancaman bagi persatuan bangsa. Atau dengan kata lain, pemanfaatan media sosial yang memiliki jangkauan luas dan interaktivitas, pesan-pesan moderasi beragama dapat disebarluaskan dengan lebih efektif. Hal ini dapat didukung dengan substansi dari konten moderasi beragama yang harus fokus pada pemahaman tentang agama, keberagaman, penghargaan, toleransi, dan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada Al-Quran dan Pancasila. Informasi yang disajikan secara visual maupun audio dapat memikat perhatian pengguna media sosial, mengundang mereka untuk membaca, menonton, dan memahami konten yang disajikan. Dengan demikian, media sosial dapat menciptakan ruang bagi individu dari berbagai latar belakang untuk terlibat dalam diskusi yang konstruktif dan saling menghormati. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana media sosial dapat digunakan secara strategis untuk mendukung upaya moderasi beragama dan mendorong masyarakat menuju harmoni yang lebih besar.[13]
- Pengaruh Media Sosial terhadap Pemahaman Keagamaan
Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari yang mana dapat mempengaruhi berbagai aspek, termasuk dalam membentuk opini keagamaan di kalangan penggunanya. Hal inilah yang kemudian dapat memicu efek positif dan negatif tergantung siapa yang menyebarkan konten tersebut dan bagaimana respon dari para penggunanya. Salah satu efek positif media sosial adalah mudahnya orang-orang dalam mengakses konten dakwah melalui berbagai platform media sosial. Dalam hal ini, pengguna media sosial dapat menambah pemahaman dan pengetahuannya tentang ajaran agama. Dalam berbagai penelitian, banyak orang yang mendapatkan informasi keagamaan melalui media sosial dan bahkan meningkatkan semangat mereka dalam menambah pengetahuan agamanya. Disamping itu, dengan adanya fitur yang mendukung seseorang dalam membuat group atau komunitas di platform media sosial, tentu hal ini dapat dimanfaatkan untuk membentuk komunitas atau group keagamaan sebagai sarana dalam berdiskusi dan menjalin interaksi serta memperkuat rasa kebersamaan dan toleransi antarumat beragama.[14]
Disisi lain, media sosial tentu dapat menjadi alat untuk mempromosikan toleransi dan pemahaman agama yang moderat melalui berbagai konten. Melalui penyebaran pesan-pesan positif dan edukatif, media sosial dapat membantu mengurangi stereotip dan prasangka buruk terhadap suatu ajaran atau kepercayaan yang dianut oleh orang lain. [15] Namun, di balik semua manfaatnya, media sosial juga menyimpan potensi bahaya yang perlu diwaspadai. Salah satu kekhawatiran utama adalah penyebaran informasi yang salah dan konten ekstrem. Algoritma media sosial sering kali memprioritaskan konten yang menarik perhatian dan menghasilkan interaksi, tanpa mempertimbangkan keakuratan atau dampaknya. Hal ini dapat menyebabkan orang hanya terpapar pada informasi yang sesuai dengan pandangan mereka sendiri, menciptakan apa yang disebut “filter bubble” di mana pandangan ekstrem dapat berkembang.[16]
Selain itu, media sosial rentan terhadap fenomena “ustaz karbitan” atau tokoh agama, baik yang aktif berdakwah di media sosial maupun yang dakwahnya secara offline lalu disebarkan oleh pengikutnya yang aktif di media sosial, yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan yang mumpuni untuk menyebarkan pesan dakwah. Orang-orang ini sering kali memanfaatkan popularitas media sosial untuk menyebarkan ajaran yang dangkal, menyesatkan, atau bahkan berbahaya, yang dapat membingungkan umat dan merusak citra agama secara keseluruhan.[17] Penting bagi pengguna media sosial untuk bersikap kritis terhadap sumber informasi dan mencari bimbingan dari tokoh agama yang terpercaya dan memiliki reputasi baik.
Salah satu konsekuensi paling mengkhawatirkan dari media sosial adalah kontribusinya terhadap polarisasi sosial.[18] Platform media sosial sering kali menjadi sarana perdebatan sengit tentang isu-isu agama yang sensitif, yang dapat memperdalam perbedaan dan permusuhan antar kelompok, hingga memunculkan ujaran-ujaran kebencian antar kelompok. Anonimitas dan kurangnya interaksi tatap muka di media sosial dapat mendorong individu untuk mengeluarkan komentar yang kasar dan provokatif yang tidak akan mereka katakan secara langsung.[19]
Polarisasi sosial di media sosial dapat diperburuk oleh kecenderungan platform untuk mengelompokkan pengguna ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki pandangan yang sama. Algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan interaksi dapat secara tidak sengaja menciptakan situasi di mana orang hanya melihat pandangan yang sesuai dengan keyakinan mereka. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya rasa empati dan pengertian terhadap orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda.[20]
Selain itu, perlu diketahui bahwasannya media sosial juga dapat menjadi sumber distraksi yang mengurangi kualitas ibadah serta refleksi spiritual seseorang. Terlebih bagi remaja yang terkadang lalai dan kecanduan ketika sudah menggunakan media sosial. Sehingga waktu yang seharusnya digunakan untuk beribadah, justru tersita oleh aktivitas yang kurang produktif seperti terlalu lama mengakses konten-konten di media sosial. Ditambah dengan sifat remaja yang masih mudah terpengaruh, apabila mereka sering terpapar konten yang tidak sesuai dengan ajaran islam atau bahkan mengandung pesan intoleran, hal ini dapat mengalihkan pemahaman mereka tentang ajaran agama.[21] Paham-paham yang bertolak belakang dengan prinsip moderasi beragama ini juga dapat disebarluaskan melalui informasi yang tidak akurat atau hoaks terkait agama, atau dengan kata lain menyesatkan para pengguna media sosial yang dapat memicu kesalahpahaman antarumat beragama. Apabila sampai benar terjadi, maka akan merugikan persatuan dan kerukunan yang telah terjalin. Sehingga perbedaan-perbedaan pendapat yang memicu perdebatan harus dikontrol dengan baik agar tidak berkembang menjadi perselisihan.[22]
Secara garis besar, media sosial memainkan peran yang kompleks dalam membentuk pemahaman keagamaan, terutama di kalangan remaja. Platform seperti Instagram, TikTok, Facebook, dan WhatsApp telah menjadi sumber informasi penting, di mana remaja dapat mengakses berbagai konten keagamaan seperti ceramah, video pendek tentang hukum Islam, motivasi agama, dan diskusi mengenai kehidupan Islami. Kemudahan akses ini memberikan peluang besar untuk memperluas wawasan agama, tetapi juga menghadirkan tantangan terkait dengan kualitas dan validitas informasi.
Disisi lain, media sosial menawarkan akses luas ke berbagai informasi seputar Islam, mulai dari blog dan video hingga meme. Hal ini memungkinkan remaja untuk mengikuti akun-akun yang memberikan informasi berharga dan mendidik tentang ajaran Islam, disajikan dengan cara yang menarik dan mudah dipahami. Konten-konten ini dapat membantu remaja lebih memahami nilai-nilai agama dan meningkatkan motivasi untuk beribadah serta memperbaiki perilaku sehari-hari sesuai dengan prinsip-prinsip agama. Selain itu, guna meminimalisir penyebaran konten intoleransi dan ideologi yang berlawanan dengan prinsip moderasi beragama, perlu adanya peningkatan literasi digital tentang nilai-nilai ajaran islam yang moderat melalui berbagai jenis konten di media sosial. Sehingga pengguna media sosial dapat lebih bijak dan kritis terhadap banyaknya konten keagamaan yang tersebar di media sosial. Sehingga, mengatasi tantangan yang disebabkan oleh media sosial terhadap pemahaman agama dan polarisasi masyarakat membutuhkan berbagai upaya dari berbagai pihak.
- Strategi Dakwah Moderat di Media Sosial
Di era digital ini, media sosial bukan hanya tempat untuk bersosialisasi, tetapi juga menjadi lahan subur untuk menyebarkan berbagai ideologi, termasuk pesan-pesan keagamaan. Namun, tidak semua pesan agama yang beredar di media sosial membawa kedamaian dan toleransi. Banyak juga yang justru memicu perpecahan dan ekstremisme. Oleh karena itu, penting bagi para juru dakwah (da’i) untuk memanfaatkan media sosial secara cerdas dan efektif dalam menyebarkan pesan moderasi beragama, salah satunya melalui teknik komunikasi persuasif.[23]
Komunikasi persuasif adalah proses komunikasi yang bertujuan untuk memengaruhi keyakinan, sikap, atau perilaku orang lain.[24] Dalam konteks dakwah, komunikasi persuasif digunakan untuk mengajak orang agar memiliki pemahaman agama yang lebih moderat, toleran, dan inklusif. Dengan kata lain, komunikasi persuasif membantu mengubah pandangan yang ekstrem menjadi lebih seimbang dan damai.[25]
Komunikasi persuasif ini bisa menjadi sebuah strategi dakwah moderat yang dapat diimplementasikan melalui media sosial. Sebab, perkembangan dengan hadirnya media sosial sebagai bentuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, maka diperlukan pendekatan yang inovatif dan relevan untuk menjangkau audiens yang luas, terutama generasi muda. Oleh sebab itu, salah satu kunci utama adalah penggunaan bahasa yang akrab dan mudah dipahami oleh generasi milenial dan generasi Z. Pendekatan ini dapat dicontoh dari tokoh seperti Habib Husein Ja’far Al-Hadar yang sukses memanfaatkan platform YouTube dan podcast dengan gaya bahasa yang santai namun tetap bermakna, sehingga pesan-pesan dakwah dapat diterima dengan lebih baik oleh kalangan muda yang cenderung menghindari gaya dakwah yang kaku dan formal.
Penyajian konten dakwah yang menarik dan bervariasi juga sangat penting. Selain ceramah singkat dalam bentuk video, ulasan isu terkini dari sudut pandang moderat dapat menjadi daya tarik tersendiri. Kolaborasi dengan content creator lain yang memiliki audiens yang berbeda juga dapat memperluas jangkauan dakwah. Tidak hanya itu, menyisipkan humor yang bijaksana dalam penyampaian pesan dapat membuat audiens lebih mudah menerima dan mencerna informasi yang disampaikan, sehingga dakwah tidak terkesan menggurui tetapi lebih bersifat mengajak.
Disisi lain, media sosial menawarkan berbagai fitur yang mendukung komunikasi persuasif. Para da’i dapat menggunakan teks, gambar, video, dan berbagai format konten lainnya untuk menyampaikan pesan-pesan mereka.[26] Selain itu, media sosial juga memungkinkan interaksi dua arah antara da’i dan audiens, sehingga pesan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan minat masing-masing individu.[27]Adapun salah satu teknik komunikasi persuasif yang efektif di media sosial adalah teknik asosiasi. Teknik ini dilakukan dengan mengaitkan pesan moderasi beragama dengan hal-hal yang sedang populer atau viral di kalangan masyarakat.[28] Misalnya, seorang da’i dapat membuat konten yang menghubungkan nilai-nilai Islam yang damai dengan tren gaya hidup sehat atau isu-isu lingkungan.
Teknik lain yang dapat digunakan adalah teknik integrasi. Dalam teknik ini, da’i berusaha membangun kedekatan dengan audiens dengan cara menunjukkan bahwa mereka memiliki kesamaan atau pengalaman yang serupa. Misalnya, seorang da’i dapat berbagi cerita tentang bagaimana ia dulu memiliki pandangan yang ekstrem, tetapi kemudian berubah setelah berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda keyakinan.[29] Selain teknik-teknik tersebut, da’i juga perlu memperhatikan strategi komunikasi persuasif secara umum. Pesan yang disampaikan harus sederhana, mudah dipahami, dan relevan dengan kebutuhan audiens. Da’i juga perlu mendorong keberagaman pendapat dan menciptakan ruang diskusi yang sehat, di mana setiap orang merasa aman untuk menyampaikan pandangan mereka tanpa takut dihakimi.[30]
Dalam era digital ini, visual memegang peranan penting dalam menarik perhatian audiens. Oleh karena itu, da’i perlu memanfaatkan gambar dan video yang menarik dan berkualitas tinggi dalam konten mereka. Visual yang relevan dan estetis akan membantu menyampaikan pesan dengan lebih efektif. Namun, da’i juga perlu berhati-hati terhadap potensi penyalahgunaan media sosial. Mereka harus menghindari penyebaran berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech), dan konten-konten yang dapat memicu konflik atau kekerasan.[31] Da’i memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga etika dan integritas dalam berdakwah di media sosial. Untuk mengukur efektivitas komunikasi persuasif di media sosial, da’i dapat menggunakan berbagai metrik yang disediakan oleh platform media sosial, seperti jumlah tayangan, komentar, dan interaksi lainnya. Analisis terhadap metrik ini dapat membantu da’i untuk memahami apa yang berhasil dan apa yang tidak, sehingga mereka dapat terus meningkatkan strategi komunikasi mereka.
Selain itu, da’i juga perlu membangun jaringan dengan para da’i lain dan organisasi keagamaan yang memiliki visi yang sama. Dengan bekerja sama, mereka dapat memperluas jangkauan dakwah mereka dan menciptakan gerakan yang lebih besar untuk mempromosikan moderasi beragama di media sosial. Penting untuk diingat bahwa komunikasi persuasif bukanlah tentang memaksakan keyakinan kepada orang lain, melainkan tentang mengajak mereka untuk berpikir kritis dan membuka diri terhadap perspektif yang berbeda. Da’i perlu menghormati kebebasan beragama dan keyakinan setiap individu, serta menghindari segala bentuk diskriminasi atau intoleransi.[32]
Dalam konteks Indonesia, moderasi beragama adalah kunci untuk menjaga kerukunan dan persatuan bangsa. Media sosial dapat menjadi alat yang ampuh untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama, seperti toleransi, inklusivitas, dan gotong royong. Dengan memanfaatkan media sosial secara cerdas dan efektif, para da’i dapat berkontribusi pada terciptanya masyarakat Indonesia yang lebih damai dan harmonis. Namun, upaya menyebarkan pesan moderasi beragama di media sosial juga menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah resistensi dari kelompok-kelompok ekstrem yang memiliki agenda tersendiri. Kelompok-kelompok ini sering kali menggunakan media sosial untuk menyebarkan propaganda dan ujaran kebencian, yang dapat memengaruhi opini publik dan memicu konflik.[33]
Oleh karena itu, da’i perlu memiliki strategi yang komprehensif untuk menghadapi tantangan ini. Selain menyebarkan pesan-pesan positif, mereka juga perlu aktif melawan narasi-narasi ekstrem yang beredar di media sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan penjelasan yang logis dan berdasarkan fakta, serta melaporkan konten-konten yang melanggar aturan platform media sosial. Selain itu, da’i juga perlu membangun kepercayaan dengan audiens mereka. Kepercayaan adalah kunci untuk memengaruhi keyakinan dan perilaku orang lain. Da’i dapat membangun kepercayaan dengan cara bersikap jujur, transparan, dan konsisten dalam menyampaikan pesan-pesan mereka.[34]
Disisi lain, komunikator perlu memahami bahwa komunikasi persuasif adalah proses yang berkelanjutan. Tidak ada jaminan bahwa setiap orang akan langsung berubah pikiran setelah terpapar pada pesan-pesan moderasi beragama. Namun, dengan terus menerus menyebarkan pesan-pesan positif dan membangun dialog yang konstruktif, da’i dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam menciptakan masyarakat yang lebih toleran dan inklusif melalui pesan dakwah yang efektif hingga mampu merangkul audiens lintas agama dan budaya.[35]
Membangun dialog yang konstruktif untuk merespons isu-isu agama yang sensitif dapat membantu menciptakan pemahaman yang lebih baik dan menghindari kesalahpahaman. Dalam konteks media sosial, hal ini dapat dilakukan melalui sesi tanya jawab, diskusi terbuka, atau konten yang membahas isu-isu kontroversial dengan pendekatan yang bijaksana dan menghargai perbedaan pendapat. Dengan memaksimalkan fitur-fitur yang ditawarkan oleh berbagai platform media sosial juga sangat penting. YouTube dapat dimanfaatkan untuk mengunggah video berkualitas tinggi dan menggunakan fitur analytics untuk memahami audiens serta membuat konten yang mendukung moderasi beragama dan menghormati keberagaman. Twitter dapat digunakan untuk menyampaikan pesan singkat namun padat, menggunakan kutipan inspiratif, dan mengadakan diskusi singkat melalui tweet atau Twitter Spaces. Sementara itu, Instagram, TikTok, dan Facebook dapat dimanfaatkan untuk menjangkau pendengar yang lebih luas, terutama generasi zilenial yang saat ini sudah sangat jarang mengikuti kajian-kajian mengenai keagamaan. Dengan memanfaatkan semua fitur ini secara optimal dan didukung dengan strategi komunikasi persuasif yang tepat, dakwah moderat dapat menjadi lebih efektif dan relevan dalam era digital ini.
- Kesimpulan dan Rekomendasi
Media sosial telah menjadi arena penting dalam penyebaran nilai-nilai keagamaan, menawarkan peluang dakwah digital yang luas namun juga tantangan polarisasi yang signifikan. Di satu sisi, platform seperti Facebook dan Instagram dapat dimanfaatkan untuk menyuarakan moderasi beragama, menjangkau berbagai kalangan usia dan latar belakang dengan pesan-pesan yang informatif, persuasif, dan edukatif. Kementerian Agama pun menggandeng media dan memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan nilai-nilai keagamaan yang moderat, menargetkan generasi Z dan milenial yang mayoritas mendapatkan berita dari platform tersebut. Pemanfaatan media sosial ini efektif dalam menumbuhkembangkan pemahaman beragama yang moderat.
Organisasi keagamaan, baik lokal maupun internasional, memanfaatkan media sosial untuk mengkampanyekan moderasi beragama. Dengan bahasa yang mudah dipahami dan format yang menarik, mereka mampu menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk generasi muda yang lebih aktif di dunia maya. Pesan-pesan tentang toleransi, inklusivitas, dan perdamaian dapat dengan cepat menyebar, menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya menjaga keharmonisan antar umat beragama. Para dai dapat berbagi ceramah, kajian, tulisan, dan kutipan inspiratif mengenai ajaran Islam dengan mudah dan cepat melalui media sosial
Dalam konteks ini, peran Da’i (pendakwah) sangat krusial. Da’i tidak hanya perlu menguasai teknologi dan platform media sosial, tetapi juga memahami etika komunikasi Islam. Nilai-nilai seperti qaulan sadidan (perkataan yang benar dan jujur), qaulan kariman (perkataan yang mulia dan terhormat), qaulan layyinan (perkataan yang lembut dan santun), dan qaulan balighan (perkataan yang jelas dan efektif) harus menjadi landasan dalam setiap pesan yang disampaikan. Da’i juga perlu aktif melawan narasi-narasi dengan memberikan penjelasan yang logis dan berdasarkan fakta, serta membangun kepercayaan dengan audiens melalui sikap jujur, transparan, dan konsisten.
Selain Da’i, pemerintah juga memegang peranan penting dalam penguatan moderasi beragama di media sosial. Pemerintah dapat meningkatkan literasi digital masyarakat agar lebih kritis dalam menerima informasi dan mampu membedakan antara konten yang konstruktif dan destruktif. Selain itu, pemerintah dapat berkolaborasi dengan media, tokoh agama, dan organisasi masyarakat sipil untuk memproduksi dan menyebarkan konten-konten moderasi beragama yang menarik dan relevan bagi berbagai segmen masyarakat. Penghargaan bagi media yang aktif menyebarkan konten moderasi beragama juga dapat menjadi insentif positif.
Kontribusi pendidik juga tidak kalah penting dalam menanamkan nilai-nilai moderasi beragama sejak dini. Pendidikan agama yang inklusif dan toleran perlu diintegrasikan dalam kurikulum formal maupun non-formal. Pendidik dapat memanfaatkan media sosial sebagai sarana pembelajaran yang kreatif dan interaktif, mengajak siswa untuk berdiskusi, bertukar pandangan, dan menghasilkan konten-konten positif yang mempromosikan perdamaian dan kerukunan. Dengan demikian, generasi muda akan tumbuh menjadi agen perubahan yang mampu menyebarkan moderasi beragama di media sosial dan di dunia nyata.
Terakhir, setiap pengguna media sosial memiliki tanggung jawab untuk turut serta dalam menciptakan ekosistem digital yang sehat dan konstruktif. Pengguna perlu lebih selektif dalam memilih informasi yang dibagikan, menghindari penyebaran berita palsu atau ujaran kebencian, dan aktif melaporkan konten-konten yang melanggar aturan platform media sosial. Selain itu, pengguna dapat berkontribusi dengan membuat dan menyebarkan konten-konten positif yang mempromosikan moderasi beragama, toleransi, dan persatuan. Dengan kolaborasi dari semua pihak, media sosial dapat menjadi wahana yang efektif dalam menyebarkan moderasi beragama dan mencegah polarisasi, mewujudkan Indonesia yang damai, inklusif, dan harmonis.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shidiq, M. A., and A. R. Pratama. “Ujaran Kebencian Di Kalangan Pengguna Media Sosial Di Indonesia : Agama Dan Pandangan Politik.” Universitas Islam Indonesia 2, no. 1 (2021): 1–11.
Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. 2nd ed. Jakarta: Kencana, 2021.
Cindrakasih, RR Roosita, Amalliah Amalliah, Flora Meliana Siahaan, and Safrezi Fitra. “Pelatihan Memaksimalkan Fitur Live Streaming Di Media Sosial Sebagai Digital Marketing Kepada Siswa SMK Di Jakarta Barat (252-259).” Pengabdian Sosial 3, no. 2 (2023): 253–59. https://doi.org/10.32493/pbs.v3i2.32138.
Dyatmika, Teddy. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Zahir Publishing, 2021.
Hablun Ilham. “Agama Dan Komunitas Virtual: Studi Pergeseran Orientasi Keagamaan Di Era Digital.” Mukaddimah: Jurnal Studi Islam 7, no. 1 (2022): 26–39. https://doi.org/10.14421/mjsi.71.2945.
Handayani, A D. “Hoax Isu Agama Dan Upaya Melawan Penyebarannya.” Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi … 5, no. 2 (2023): 263–75. https://ejurnal.stikpmedan.ac.id/index.php/JIKQ/article/view/196%0Ahttps://ejurnal.stikpmedan.ac.id/index.php/JIKQ/article/download/196/81.
Harista, Eva. “Pengunaan Bahasa Persuasi Di Media Sosial Dalam Berdakwah Pada Akun Facebook ‘Yusuf Mansur (Official).’” Mawa’Izh: Jurnal Dakwah Dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan 8, no. 2 (2018): 308–24. https://doi.org/10.32923/maw.v8i2.778.
Hudaa, Syihaabul, Nuryani, and Bambang Sumadyo. “Pesan Dakwah Hijrah Influencer Untuk Kalangan Muda Di Media Sosial.” Maarif 17, no. 2 (2023): 105–21. https://doi.org/10.47651/mrf.v17i2.198.
Iryani, Juniarti, and Nurwahid Syam. “Peran Media Sosial Dalam Menyebarkan Pesan Agama Dan Perubahan Sosial.” Pusaka 11, no. 2 (2023): 359–72. https://doi.org/10.31969/pusaka.v11i2.1242.
Karim, Abdul. “Dakwah Melalui Media: Sebuah Tantangan Dan Peluang.” IAIN Kudus : At-Tabsyir 4, no. 1 (2016): 157–72.
Kastolani. “Understanding The Delivery of Islamophobic Hate Speech Via Social Media In Indonesia.” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 10, no. 2 (2020): 247–70. https://doi.org/10.18326/IJIMS.V10I2.247-270.
Kemp, Simon. “Digital 2025: Indonesia.” Data Reportal (We Are Social), 2025. https://datareportal.com/reports/digital-2025-indonesia.
Liedfray, Tongkotow, Fonny J Waani, and Jouke J Lasut. “Peran Media Sosial Dalam Mempererat Interaksi Antar Keluarga Di Desa Esandom Kecamatan Tombatu Timur Kabupaten Tombatu Timur Kabupaten Minasa Tenggara.” Jurnal Ilmiah Society 2, no. 1 (2022): 2. https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/jurnalilmiahsociety/article/download/38118/34843/81259.
Luthfia, Anisatul. “Peran Media Sosial Terhadap Pengetahuan Keagamaan Remaja Muslim Bersosialisasi Langsung , Sebagai Ajang Untuk Berkumpul , Bersilaturahmi Dan Sebagainya . Hal Ini.” Moral: Jurnal Kajian Pendidikan Islam 2, no. 1 (2025).
Meytha, Syamsu Kamaruddin, and A. Octamaya Tenri Awaru. “Peran Media Sosial Dalam Mempromosikan Kesadaran Pluralisme Dan Toleransi Di Masyarakat.” Jurnal Review Pendidikan Dan Pengajaran 7, no. 3 (2024): 6883–90.
Nur Aida, Azlika Purnama Sari,. “Teknik Komunikasi Persuasif Ahmad Rifa’i Rif’an Dalam Dakwah Kepada Kalangan Milenial.” Alamtara: Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam 5, no. 2 (2021): 127–47. https://doi.org/10.58518/alamtara.v5i2.762.
Pradilla, Chintya, Putri Dinda, Karunia Putri, Dwi Kurniawan, and Juanda Kurniawan. “Moderasi Beragama Dalam Era Digital : Dampak Media Sosial Terhadap Toleransi Beragama Di Desa Medang Baru” 1, no. 2 (2024): 512–18.
Purba, Jhon Leonardo Presley, and Priyantoro Widodo. “Kajian Etis Penggunaan Isu Agama Dalam Politik Polarisasi.” THRONOS: Jurnal Teologi Kristen 2, no. 2 (2021): 75–90. https://doi.org/10.55884/thron.v2i2.23.
Putri, Nanda, and Ade Irma. “Media Sosial Dan Isolasi Digital ( Kajian Teori Information Gaps Pada Algoritma Filter Bubble ).” Sadida 3, no. 1 (2023): 17–32.
Raffi, Muhammad, Fatimah Azzahra Mustofa, Masyita Angelia Pamboke, and Edi Suresman. “STRATEGI MENGHADAPI TANTANGAN DAKWAH AGAMA ISLAM DI ERA MEDIA DIGITAL.” El Hayah: Jurnal Studi Islam 14, no. 1 (2024): 29–38.
Rohani Shidiq. “Urgensi Deradikalisasi Dalam Pendidikan Islam Di Sekolah.” DUKASIA ISLAMIKA Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 1 (2017): 1–31.
Rohman, Fathur. “Media Sosial Sebagai Platform Dakwah Interaktif Dalam Membangun Dialog Dan Silaturahmi.” Jurnal Dakwah Dan Komunikasi volume 1, no. Md (2019): 20.
Safiaji, Achmad, and Abbyzar Aggasi. “Komunikasi Persuasif Habib Husein Ja’far Dalam Memanfaatkan Media Baru Sebagai Alat Penyebaran Pesan Dakwah.” Kaganga Komunika 05, no. 02 (2023): 196–207.
Sopiah, Devi Ulfah. “Teknik Komunikasi Persuasif Ustadz Syamsuddin Nur Pada Akun Tiktok @syam_elmarusy.” Tabligh 7, no. 1 (2022): 93–108.
Suryadi, Iyad, and Saeful Anwar. “Realitas Virtual Dan Polarisasi Agama: Menelaah Pengaruh Media Sosial Di Indonesia.” Al-Balagh: Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam 1, no. 1 (2024): 41–56.
Wawaysadhya, Tri Utami Oktafiani, Pingki Laeli Diaz Olivia, and Baruzzaman M. “Moderasi Beragama Di Media Sosial : Narasi Inklusivisme Dalam Dakwah.” AL MUNIR Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam 13, no. 2 (2022): 118–32.
Wulandari, Virani, Gema Rullyana, and Ardiansah Ardiansah. “Pengaruh Algoritma Filter Bubble Dan Echo Chamber Terhadap Perilaku Penggunaan Internet.” Berkala Ilmu Perpustakaan Dan Informasi 17, no. 1 (2021): 98–111. https://doi.org/10.22146/bip.v17i1.423.
Yusnawati, Yusnawati, Ahmad Wira, and Afriwardi. “Internalisasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama Di Instagram.” Tatar Pasundan: Jurnal Diklat Keagamaan 15, no. 1 (2021): 01–09. https://doi.org/10.38075/tp.v15i1.178.
[1] Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, 2nd ed. (Jakarta: Kencana, 2021), 127–37.
[2] RR Roosita Cindrakasih et al., “Pelatihan Memaksimalkan Fitur Live Streaming Di Media Sosial Sebagai Digital Marketing Kepada Siswa SMK Di Jakarta Barat (252-259),” Pengabdian Sosial 3, no. 2 (2023): 253–59, https://doi.org/10.32493/pbs.v3i2.32138.
[3] Tongkotow Liedfray, Fonny J Waani, and Jouke J Lasut, “Peran Media Sosial Dalam Mempererat Interaksi Antar Keluarga Di Desa Esandom Kecamatan Tombatu Timur Kabupaten Tombatu Timur Kabupaten Minasa Tenggara,” Jurnal Ilmiah Society 2, no. 1 (2022): 2, https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/jurnalilmiahsociety/article/download/38118/34843/81259.
[4] Virani Wulandari, Gema Rullyana, and Ardiansah Ardiansah, “Pengaruh Algoritma Filter Bubble Dan Echo Chamber Terhadap Perilaku Penggunaan Internet,” Berkala Ilmu Perpustakaan Dan Informasi 17, no. 1 (2021): 98–111, https://doi.org/10.22146/bip.v17i1.423.
[5] Simon Kemp, “Digital 2025: Indonesia,” Data Reportal (We Are Social), 2025, https://datareportal.com/reports/digital-2025-indonesia.
[6] Syihaabul Hudaa, Nuryani, and Bambang Sumadyo, “Pesan Dakwah Hijrah Influencer Untuk Kalangan Muda Di Media Sosial,” Maarif 17, no. 2 (2023): 105–21, https://doi.org/10.47651/mrf.v17i2.198.
[7] Abdul Karim, “Dakwah Melalui Media: Sebuah Tantangan Dan Peluang,” IAIN Kudus : At-Tabsyir 4, no. 1 (2016): 157–72.
[8] Yusnawati Yusnawati, Ahmad Wira, and Afriwardi, “Internalisasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama Di Instagram,” Tatar Pasundan: Jurnal Diklat Keagamaan 15, no. 1 (2021): 01–09, https://doi.org/10.38075/tp.v15i1.178.
[9] Kastolani, “Understanding The Delivery of Islamophobic Hate Speech Via Social Media In Indonesia,” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 10, no. 2 (2020): 247–70, https://doi.org/10.18326/IJIMS.V10I2.247-270.
[10] Wulandari, Rullyana, and Ardiansah, “Pengaruh Algoritma Filter Bubble Dan Echo Chamber Terhadap Perilaku Penggunaan Internet.”
[11] Karim, “Dakwah Melalui Media: Sebuah Tantangan Dan Peluang.”
[12] Juniarti Iryani and Nurwahid Syam, “Peran Media Sosial Dalam Menyebarkan Pesan Agama Dan Perubahan Sosial,” Pusaka 11, no. 2 (2023): 359–72, https://doi.org/10.31969/pusaka.v11i2.1242.
[13] Chintya Pradilla et al., “Moderasi Beragama Dalam Era Digital : Dampak Media Sosial Terhadap Toleransi Beragama Di Desa Medang Baru” 1, no. 2 (2024): 512–18.
[14] Hablun Ilham, “Agama Dan Komunitas Virtual: Studi Pergeseran Orientasi Keagamaan Di Era Digital,” Mukaddimah: Jurnal Studi Islam 7, no. 1 (2022): 26–39, https://doi.org/10.14421/mjsi.71.2945.
[15] Meytha, Syamsu Kamaruddin, and A. Octamaya Tenri Awaru, “Peran Media Sosial Dalam Mempromosikan Kesadaran Pluralisme Dan Toleransi Di Masyarakat,” Jurnal Review Pendidikan Dan Pengajaran 7, no. 3 (2024): 6883–90.
[16] Nanda Putri and Ade Irma, “Media Sosial Dan Isolasi Digital ( Kajian Teori Information Gaps Pada Algoritma Filter Bubble ),” Sadida 3, no. 1 (2023): 17–32.
[17] Rohani Shidiq, “Urgensi Deradikalisasi Dalam Pendidikan Islam Di Sekolah,” DUKASIA ISLAMIKA Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 1 (2017): 1–31.
[18] Iyad Suryadi and Saeful Anwar, “Realitas Virtual Dan Polarisasi Agama: Menelaah Pengaruh Media Sosial Di Indonesia,” Al-Balagh: Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam 1, no. 1 (2024): 41–56.
[19] M. A. Ash-Shidiq and A. R. Pratama, “Ujaran Kebencian Di Kalangan Pengguna Media Sosial Di Indonesia : Agama Dan Pandangan Politik,” Universitas Islam Indonesia 2, no. 1 (2021): 1–11.
[20] Jhon Leonardo Presley Purba and Priyantoro Widodo, “Kajian Etis Penggunaan Isu Agama Dalam Politik Polarisasi,” THRONOS: Jurnal Teologi Kristen 2, no. 2 (2021): 75–90, https://doi.org/10.55884/thron.v2i2.23.
[21] Anisatul Luthfia, “Peran Media Sosial Terhadap Pengetahuan Keagamaan Remaja Muslim Bersosialisasi Langsung , Sebagai Ajang Untuk Berkumpul , Bersilaturahmi Dan Sebagainya . Hal Ini,” Moral: Jurnal Kajian Pendidikan Islam 2, no. 1 (2025).
[22] A D Handayani, “Hoax Isu Agama Dan Upaya Melawan Penyebarannya,” Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi … 5, no. 2 (2023): 263–75, https://ejurnal.stikpmedan.ac.id/index.php/JIKQ/article/view/196%0Ahttps://ejurnal.stikpmedan.ac.id/index.php/JIKQ/article/download/196/81.
[23] Achmad Safiaji and Abbyzar Aggasi, “Komunikasi Persuasif Habib Husein Ja’far Dalam Memanfaatkan Media Baru Sebagai Alat Penyebaran Pesan Dakwah,” Kaganga Komunika 05, no. 02 (2023): 196–207.
[24] Teddy Dyatmika, Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: Zahir Publishing, 2021), 24.
[25] Safiaji and Aggasi, “Komunikasi Persuasif Habib Husein Ja’far Dalam Memanfaatkan Media Baru Sebagai Alat Penyebaran Pesan Dakwah.”
[26] Eva Harista, “Pengunaan Bahasa Persuasi Di Media Sosial Dalam Berdakwah Pada Akun Facebook ‘Yusuf Mansur (Official),’” Mawa’Izh: Jurnal Dakwah Dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan 8, no. 2 (2018): 308–24, https://doi.org/10.32923/maw.v8i2.778.
[27] Fathur Rohman, “Media Sosial Sebagai Platform Dakwah Interaktif Dalam Membangun Dialog Dan Silaturahmi,” Jurnal Dakwah Dan Komunikasi volume 1, no. Md (2019): 20.
[28] Devi Ulfah Sopiah, “Teknik Komunikasi Persuasif Ustadz Syamsuddin Nur Pada Akun Tiktok @syam_elmarusy,” Tabligh 7, no. 1 (2022): 93–108.
[29] Azlika Purnama Sari, Nur Aida, “Teknik Komunikasi Persuasif Ahmad Rifa’i Rif’an Dalam Dakwah Kepada Kalangan Milenial,” Alamtara: Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam 5, no. 2 (2021): 127–47, https://doi.org/10.58518/alamtara.v5i2.762.
[30] Safiaji and Aggasi, “Komunikasi Persuasif Habib Husein Ja’far Dalam Memanfaatkan Media Baru Sebagai Alat Penyebaran Pesan Dakwah.”
[31] Ash-Shidiq and Pratama, “Ujaran Kebencian Di Kalangan Pengguna Media Sosial Di Indonesia : Agama Dan Pandangan Politik.”
[32] Yusnawati, Wira, and Afriwardi, “Internalisasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama Di Instagram.”
[33] Ash-Shidiq and Pratama, “Ujaran Kebencian Di Kalangan Pengguna Media Sosial Di Indonesia : Agama Dan Pandangan Politik.”
[34] Muhammad Raffi et al., “STRATEGI MENGHADAPI TANTANGAN DAKWAH AGAMA ISLAM DI ERA MEDIA DIGITAL,” El Hayah: Jurnal Studi Islam 14, no. 1 (2024): 29–38.
[35] Wawaysadhya et al., “Moderasi Beragama Di Media Sosial : Narasi Inklusivisme Dalam Dakwah,” AL MUNIR Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam 13, no. 2 (2022): 118–32.