Mayoritarianisme: Akar Konflik Klasik Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

Penulis: Nanang Hasan Susanto, Editor: Azzam Nabil H.

Konflik dalam pendirian rumah ibadah merupakan fenomena klasik di Indonesia. Hampir setiap tahun, konflik yang bersumber dari pendirian rumah ibadah terus terjadi. Menurut Setara Institut, dari tahun 2007 hingga 2018 saja, terdapat ratusan kasus penolakan, hingga penyerangan yang dilakukan dari kalangan yang berbeda agama/keyakinan terhadap pendirian rumah ibadah. Berbagai kasus lain yang juga sering terjadi yaitu mulai dari penyegelan, intimidasi, hingga aksi kekerasan.

Beberapa kalangan berpendapat, salah satu penyebab terjadinya konflik pendirian rumah ibadah adalah adanya Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pendirian rumah ibadah. Berdasarkan PBM tersebut, syarat pendirian rumah ibadah paling sedikit diajukan oleh 90 orang yang akan menggunakan rumah ibadah tersebut. Syarat selanjutnya, harus didukung minimal 60 warga setempat, serta disahkan oleh lurah atau kepala desa, mendapat rekomendasi tertulis dari kepala kantor kementerian agama tingkat kabupaten/kota, serta rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/kota. Berbagai syarat tersebut tentu memberatkan bagi komunitas minoritas dalam mendirikan rumah ibadah. Padahal, rumah ibadah merupakan salah satu kebutuhan pokok mereka dalam menjalankan ritual agama dan keyakinannya.

Melihat fenomena rumitnya persoalan pendirian rumah ibadah, akar persoalan sesungguhnya terletak pada sikap mayoritarianisme yang masih tumbuh subur pada masyarakat. Adanya PBM yang menyulitkan kaum minoritas memang menyulut konflik. Meskipun begitu, PBM tersebut tidak mungkin ada, jika tidak didahului oleh suburnya budaya mayoritarianisme. Sebagai lembaga politik, pemerintah tentu kesulitan untuk menolak aspirasi kaum mayoritas. Teori electoral change disini dapat digunakan untuk menjelaskan, bahwa demokrasi berpotensi mewujudkan terjadinya transaksi antara pemilih dan penguasa. Sederhananya, kebijakan yang dibuat penguasa, seringkali berorientasi untuk mengamankan kepentingan penyumbang suara (Müller and Strom, 1999). Penyumbang suara dimaksud, tentu saja dari kalangan mayoritas.

Baca juga: Potret Keharmonisan Agama di Indonesia : Surabaya Suguhkan 6 Tempat Ibadah yang Berdampingan

Secara teoritis, mayoritarianisme merupakan bahaya laten bagi keberlangsungan kehidupan sosial. Menurut Gramsci, hegemoni mayoritas terlihat dari artikulasi identitas, yang selalu bertendensi hegemonik pada kelompok minoritas.  Hegemoni tersebut tidak hanya terjadi pada kelas-kelas berdasarkan ekonomi, tetapi juga pada masyarakat sipil, termasuk etnisitas, dan  kepercayaan (Kholiq, 2013). Tendensi hegemonik sebagaimana disampaikan Gramsci ini terlihat pada kehidupan keberagamaan di Indonesia. Diskriminasi, persekusi, bahkan kekerasan kerap dilakukan kelompok agama mayoritas terhadap agama/kepercayaan minoritas. Salah satunya ditunjukkan pada susahnya mendirikan rumah ibadah bagi kelompok minoritas.

Indonesia merupakan Negara yang multikultur, multi etnik, multi agama dan kepercayaan. Tidak kurang dari 300 etnis yang memiliki budaya sendiri, serta lebih dari 250 bahasa daerah  yang digunakan. Terkait agama, ada 6 agama yang diakui, dan begitu banyak kepercayaan yang belum diakui (Zada 2006). Pada satu sisi, keragaman termasuk pada aspek agama dan kepercayaan di Indonesia merupakan kekayaan tersendiri. Namun, jika tidak diwaspadai, kondisi ini berpotensi mengancam keutuhan Bangsa.

Hans Kung sebagaimana dikutip Morgan mengatakan, bahwa tidak mungkin ada perdamaian di dalam sebuah Negara, tanpa adanya perdamaian diantara agama pada Negara tersebut (Morgan 2011). Pernyataan Hans Kung ini nampaknya didasarkan pada keyakinan, bahwa agama merupakan isu sensitif yang harus dikelola dengan baik. Terkait dengan isu pendirian rumah ibadah, berbagai konflik sosial yang terjadi berpotensi mengoyak keutuhan Bangsa. Persoalan seringkali muncul, ketika kelompok agama/ kepercayaan minoritas berinisiatif untuk mendirikan rumah ibadah. Sikap arogansi kelompok mayoritas sebagaimana diungkap Gramsci, kerap muncul, setiap ada keinginan mendirikan rumah ibadah kelompok minoritas.

Baca juga: Moderasi Beragama: Solusi untuk Kehidupan Harmonis di Masyarakat Multikultural

Persoalan menjadi lebih rumit, ketika melihat fakta tersebarnya kelompok agama mayoritas-minoritas di Indonesia. Pada wilayah Indonesia bagian Barat, Islam adalah agama mayoritas. Tapi, pada wilayah Indonesia Timur, umat Kristen lah yang mayoritas. Diskriminasi yang dirasakan oleh kelompok minoritas di daerah tertentu, seringkali dibalas oleh kelompok tersebut, ketika berada di wilayah mayoritas. Jika dibiarkan, kondisi ini akan terus menerus terjadi, berulang, tanpa ada kata akhir.

Menyikapi persoalan tersebut, pendidikan toleransi dengan meminimalisir sikap mayoritarianisme perlu dilakukan.  Proses pendidikan toleransi memang membutuhkan waktu yang tidak singkat. Hal ini mengingat konstruksi sosial masyarakat yang sudah terbentuk lama terkait pandangan keagamaan tradisional masyarakat yang eksklusif, dan terjebak pada truth claim. Pada proses pendidikan toleransi tersebut, berbagai wacana keagamaan yang inklusif harus terus menerus direproduksi di berbagai kesempatan. Struktur sosial yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia harus diarahkan untuk membentuk wacana pendidikan toleransi. Lembaga Pendidikan formal, tokoh agama, tokoh masyarakat, ormas dll, harus menjadi agen untuk menyebarkan wacana keagamaan yang toleran.

Menurut Foucault, wacana yang terus-menerus dilakukan, diulang, direproduksi, akan mengkristal pada ruang bawah sadar sebuah komunitas, sehingga mengarahkan mereka pada sebuah tindakan tertentu (Foucault 1965). Pada perkembangannya, di tingkat masyarakat, pola tindakan yang berulang, dapat mencerminkan karakteristik masyarakat tertentu.  Berdasarkan konsepsi ini, tindakan intoleransi bahkan persekusi dalam pendirian rumah ibadah yang selama ini dilakukan, berangkat dari wacana keagamaan eksklusif yang terus menerus direproduksi dan dikembangkan. Maka, berdasarkan konsepsi ini pula, untuk membangun masyarakat yang toleran, perlu diwacanakan pendidikan toleransi yang massif, dilakukan terus-menerus, serta menjadi gerakan bersama semua kalangan.

Baca juga: Menghayati Kekayaan Mozaik Nusantara Melalui Program KKN Moderasi Beragama se-Indonesia

Sejak dulu, tafsir keagamaan selalu memiliki dua sisi. Pertama, tafsir keagamaan yang ekslusif dan terjebak pada truth claim. Biasanya, kalangan ini menafsirkan teks keagamaan dengan kaku, literalis, serta menolak fakta keragaman, dan berbagai perubahan/ perkembangan zaman. Kedua, tafsir keagamaan inklusif dan progressif. Tafsir keagamaan seperti ini lebih menitikberatkan pada tujuan utama diturunkannya agama, yakni untuk menebarkan keselamatan, kedamaian, kesejahteraan, bahkan mewujudkan keadilan sosial.

Dihadapkan pada dua pilihan tafsir keagamaan tersebut, pilihan yang menjanjikan adalah tafsir keagamaan yang kedua. Masyarakat religious yang menjadi karakteristik masyarakat Indonesia, merupakan sesuatu yang given, dan harus disyukuri. Di dunia ini tidak ada yang hitam putih. Karakteristik religious pada tahap tertentu berpotensi mendorong pada karakteristik Bangsa yang santun, serta menjunjung nilai-nilai dan etika tradisionalitas.  Namun disisi lain, persoalannya adalah, bagaimana menjadikan karakteristik masyarakat yang religious tersebut, menjadi sebuah added value untuk kejayaan Bangsa. Sehingga untuk menangani hal ini, maka solusinya adalah mewacakan tafsir keagamaan yang inklusif dan progressif. Jika ini terus menerus dilakukan dengan konsisten, maka sikap mayoritarianisme akan terkikis seiring dengan berjalannya waktu. Dengan demikian, pendirian rumah ibadah kelompok agama dan kepercayaann minoritas bukan lagi menjadi masalah yang terus menerus berulang di bumi Nusantara ini.