Cahaya Cinta dan Teladan dari Emha (Cak Nun)

Penulis: Said Kosim

Editor: Fajri Muarrikh

Muhammad Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, adalah tokoh yang tidak hanya dikenal di Indonesia tetapi juga di dunia internasional sebagai seorang budayawan, penyair, penulis, pemikir Islam, dan tokoh masyarakat.

Kehidupannya mencerminkan perjalanan panjang seorang intelektual yang senantiasa berpihak pada keadilan, kesetaraan, dan kedamaian.

Lahir pada 27 Mei 1953 di Desa Menturo, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Cak Nun tumbuh di lingkungan pesantren dan keluarga santri. Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Ayahnya, Mohammad Abdul Latief, adalah seorang guru agama yang dikenal taat. Tradisi Islam yang kuat di keluarganya menjadi pondasi bagi pemikiran Cak Nun di kemudian hari.

Silsilah Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) berkaitan dengan garis keturunan keluarga yang berasal dari lingkungan religius di Jawa Timur, khususnya daerah Jombang, yang dikenal sebagai salah satu pusat perkembangan pesantren dan tokoh-tokoh ulama besar. Cak Nun berasal dari keluarga yang sederhana namun religius dan penuh nilai-nilai luhur. Ayahnya, seorang guru agama, menjadi sosok sentral dalam membentuk karakter Cak Nun. Dari lingkungan pesantren dan tradisi keislaman di Jombang inilah, Cak Nun tumbuh menjadi seorang tokoh yang membawa pesan perdamaian, cinta, dan harmoni melalui karya, pemikiran, dan dakwah budaya.

Baca juga: KH. Abdul Hamid Pasuruan Sosok Ulama Sufi dan Tokoh-Panutan/

Pada usia remaja, Cak Nun mengalami pergolakan batin dan mencari makna kehidupan. Ia meninggalkan pesantren Gontor untuk mengembara ke Yogyakarta, kota yang kemudian membentuk sebagian besar kepribadiannya. Di Yogyakarta, ia bertemu dengan para seniman, intelektual, dan aktivis yang membentuk wawasannya.

Meskipun ia sempat kuliah di Universitas Gadjah Mada, ia memilih jalur pendidikan otodidak dan berguru kepada banyak tokoh besar, seperti Umar Kayam, Umbu Landu Paranggi, dan WS Rendra. Persentuhannya dengan komunitas sastra dan seni Yogya menjadikannya seorang pemikir yang tidak hanya religius, tetapi juga artistik.

Pada masa ini, ia mulai menulis puisi, esai, dan cerpen yang dimuat di media nasional seperti Kompas dan Tempo. Tulisannya sering kali sarat kritik sosial dan bernada spiritual, mencerminkan keresahannya terhadap ketimpangan sosial dan dekadensi moral masyarakat.

Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Lukman Hakim Saifuddin Pembawa Obor Toleransi Ala Gus Dur Muda

Cak Nun menonjol sebagai seorang sastrawan yang menghasilkan banyak karya monumental, seperti:
99 Untuk Tuhanku: Kumpulan puisi yang menjadi refleksi spiritual dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Indonesia Bagian dari Desa Saya: Esai kritis tentang kondisi sosial-politik Indonesia.
Markesot Bertutur: Kisah filsuf desa yang memberikan pandangan mendalam namun sederhana tentang kehidupan.
Arus Bawah: Kumpulan tulisan yang membahas dinamika sosial masyarakat kecil di Indonesia.
Cak Nun menggunakan sastra sebagai media untuk membangkitkan kesadaran masyarakat, mengkritik kekuasaan yang tidak adil, serta menyampaikan pesan spiritual secara humanis.

Cak Nun menjadi lebih dikenal luas melalui Maiyah, sebuah komunitas diskusi yang ia dirikan. Maiyah bukan hanya sekadar forum intelektual, tetapi juga sebuah ruang spiritual, budaya, dan sosial yang terbuka untuk semua kalangan.

Melalui Maiyah, ia menyampaikan pesan-pesan yang inklusif terhadap berbagai keyakinan dan pandangan; enekankan pentingnya cinta kasih, keadilan, dan keberpihakan kepada kaum marginal; menggugah umat untuk tidak sekadar beragama secara ritual, tetapi juga mempraktikkan nilai-nilai universal Islam dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan Maiyah sering kali dikemas dengan pengajian budaya dan musik yang melibatkan Kiai Kanjeng, kelompok musik yang ia bentuk. Musik mereka menggabungkan elemen tradisional, modern, dan spiritual, menciptakan harmoni yang unik dan menyentuh hati berbagai kalangan.

Pemikiran Cak Nun tidak hanya tentang agama, tetapi juga kritik terhadap politik, ekonomi, dan sosial. Ia sering menyerukan: kejujuran dan keadilan dalam kepemimpinan; kesadaran kolektif masyarakat untuk hidup berdampingan tanpa diskriminasi; pentingnya merawat kebudayaan sebagai identitas bangsa.

Ia sering hadir di tengah konflik untuk menjadi mediator, seperti dalam kasus konflik sosial di Ambon, Poso, dan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Perannya sebagai penyejuk di tengah ketegangan menjadikannya tokoh yang dihormati oleh berbagai golongan, baik Islam maupun non-Islam.

Cak Nun memiliki peran yang sangat penting dan unik dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, terutama melalui pendekatan budaya, seni, dan dialog kemanusiaan. Berbeda dengan pendekatan formal yang sering bersifat doktrinal, Cak Nun menyampaikan nilai-nilai Islam secara inklusif, damai, dan membumi, menjadikannya mudah diterima oleh berbagai kalangan masyarakat.

Cak Nun menggunakan seni dan budaya sebagai media untuk menyampaikan ajaran Islam yang penuh cinta, kedamaian, dan toleransi. Salah satu contoh konkret adalah melalui KiaiKanjeng, kelompok musik yang ia bentuk.

KiaiKanjeng menggabungkan unsur musik tradisional, modern, dan spiritual, menciptakan harmoni yang merefleksikan ajaran Islam sebagai agama yang merangkul keberagaman. Musik mereka sering dijadikan sebagai pengantar refleksi ajaran Islam dalam suasana yang lebih santai namun mendalam. Contohnya, dalam pengajian budaya, Cak Nun menyelipkan nilai-nilai tauhid, akhlak mulia, dan pentingnya kebersamaan sambil diiringi oleh lantunan musik dari KiaiKanjeng.

Hal ini membuat dakwahnya lebih “menghidupkan” dibandingkan ceramah formal.
Cak Nun mendirikan Maiyah, yaitu forum pengajian budaya yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri.

Maiyah bukan hanya tempat pengajian, tetapi juga ruang terbuka untuk diskusi spiritual, budaya, dan isu-isu kemanusiaan. Forum ini tidak hanya dihadiri oleh umat Islam, tetapi juga oleh orang dari berbagai latar belakang agama, etnis, dan kelas sosial.

Cak Nun mendorong dialog dua arah, sehingga masyarakat merasa dihargai dan didengarkan pendapatnya. Cak Nun juga mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang merangkul semua, bukan memecah belah. Pesan-pesan tentang keadilan, kemanusiaan, dan kasih sayang sering kali menjadi inti dari diskusinya.

Dengan pendekatan ini, Cak Nun berhasil menyebarkan pemahaman Islam yang ramah, terbuka, dan menyatu dengan kehidupan sehari-hari.
Cak Nun selalu menekankan bahwa Islam harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar dihafalkan atau dimaknai secara simbolis.

Beberapa poin penting dalam penyebaran nilai Islam menurut Cak Nun adalah: menjunjung tinggi keadilan, kepedulian terhadap sesama, dan menjauhi sifat-sifat merusak; Cak Nun mengkritik cara beragama yang hanya menekankan ritual tanpa memahami esensi dan nilai spiritual di baliknya. Islam mengajarkan keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Cak Nun sering menyampaikan hal ini dalam konteks ekonomi, politik, dan sosial.

Di tengah situasi global dan nasional yang sering kali dipenuhi konflik atas nama agama, Cak Nun tampil sebagai tokoh yang menyebarkan ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Cak Nun sering hadir di tengah masyarakat yang berkonflik, seperti saat kerusuhan Ambon atau Poso, untuk menjadi penengah dan menyampaikan pesan kedamaian dari perspektif Islam.

Melalui pendekatan bahasa yang sederhana, lugas, dan penuh hikmah, Cak Nun berhasil menjangkau generasi muda dalam memahami Islam. Ia mengemas dakwah dengan bahasa modern dan relevan dengan kehidupan anak muda. Pesan-pesan spiritualnya menyentuh sisi emosional, sosial, dan rasional, sehingga mudah dicerna dan diaplikasikan. Generasi muda tidak hanya melihat Islam sebagai kewajiban ritual, tetapi juga sebagai cara hidup yang menyejukkan dan memberi makna.

Cak Nun juga sering mengkritik ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik sebagai bagian dari dakwahnya. Kritik ini bukan untuk menjatuhkan pihak tertentu, melainkan untuk mengingatkan bahwa Islam mengajarkan keadilan sebagai fondasi utama kehidupan bermasyarakat.

Misalnya: Mengingatkan pemimpin agar amanah dalam mengemban tugas. Menyerukan kepedulian terhadap kaum miskin dan tertindas sebagai bagian dari kewajiban umat Islam.

Peran Cak Nun dalam penyebaran agama Islam tidak hanya terbatas pada dakwah konvensional, tetapi melalui pendekatan yang lebih inklusif, dan humanis. Beliau berhasil menggabungkan seni dan budaya sebagai media dakwah, mendirikan forum Maiyah sebagai ruang dialog terbuka, menanamkan Islam sebagai ajaran yang praktis dan hidup dalam keseharian, menyebarkan nilai-nilai Islam yang moderat, toleran, dan rahmatan lil ‘alamin.

Pendekatan Cak Nun menjadikan Islam lebih dekat dengan hati masyarakat, lintas generasi, dan lintas golongan, sehingga nilai-nilainya mampu menginspirasi kehidupan yang lebih damai dan harmonis.