Refleksi Pemikiran Politik Menurut Imam Al Ghazali dalam Konteks Nilai-Nilai Islam dan Relevansinya pada Era Modern

Penulis: Ahya Adi Septiansyah, Editor: Choerul Bariyah

Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad bin Ahmad Al – Ghazali Avh-Thusi Asy-Syafi’i atau lebih di kenal dengan sebutan Al-Ghazali merupakan ulama yang ahli di bidang fiqih, filsafat, teolog, sufi dan ulama islam sunni terkemuka yang lahir di Thus, Khurasan Iran pada tahun 450 H/1058 M.

Sebagai figur yang berpengaruh dalam memberikan kontribusi yang sangat signifikat terhadap politik islam, konsep-konsep pemikiran Imam Al-Ghazali tentang kepemimpinan kenegaraan dan masyarakat yang adil dan makmur masih sangat relevan hingga saat ini.

Istilah politik tidak pernah luput dari algoritma platfrom-platfrom media sosial menjelang musim pemilu, hal ini terlihat setelah di adakannya deklarasi capres-cawapres ataupun caleg. Politik merupakan suatu proses atau kegiatan yang berkaitan dengan pengambilan sebuah keputusan khususnya dalam pemerintahan suatu negara  demokrasi yang sifatnya mengikat terkait dengan kebaikan masyarakat dan akan menjadi perubahan dalam suatu negara selanjutnya.

Imam Al-Ghazali merupakan intelektual muslim yang telah di akui keilmuannya oleh imam-imam lain ataupun ulama pada zamannya, sehingga Imam Al Ghazali di juluki sebagai “Hujjatul islam” argumentator islam. Beliau di kenal sebagai tokoh tasawuf dan filosof sehingga tak heran kalau beliau memiliki banyak gagasan di berbagai bidang termasuk dalam bidang politik.

Pemikiran-pemikiran Imam Al Ghozali memiliki corak bahwa konsepsi etika politik Al Ghazali adalah suatu teori sistem pemerintahan yang berisikan masyarakat dan peraturan negara yang memiliki moral yang baik dengan di topang oleh agama sebagai dasar negara. Hal yang menarik dan patut menjadi referensi politik muslim adalah, Al Ghazali mementingkan ilmu dan adab yang benar dalam berpolitik. Dengan ilmu dan adab yang benar, akan melahirkan pemerintahan yang baik, termasuk unsur unsur yang sangan penting seperti keadilan, transperasi dan integrasi.  konsep politik menut Imam Al Ghazali di tulis didalam kitab karya beliau yaitu “Ihya Ulumuddin”. Dalam kitab tersebut Imam Al Ghazali membangun sebuah argumentasi dari hal hal yang sangat fundamental.  Tujuan politik menurutnya adalah untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera bagi semua masyarakat, baik di kehidupan dunia maupun kelak di akhirat nanti. Hal tersebut dapat di capai dengan menegakkan nilai-nilai keadilan, kesejahteraaan, dan kesalihan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, Imam AL Ghazali menekankan pentingnya memilih pemimpin yang memiliki kualitas moral dan intelektual yang tinggi. seorang pemimpin harus bijaksana, bertakwa, adil dan memiliki pemahaman yang sangat luas tentang agama dan politik. Serta harus memimpin dengan penuh hikmah, ikhlas, bijaksana dan lebih mengutamakan kepentingan rakyatnya dibanding kepentingan dirinya sendiri.

Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya ulumuddin juga membahas politik dengan istilah “siyasah”. Siyasah merupakan aspek utama yang tidak dapat di pisahkan dalam politik sebuah negara. Karena dengan adanya siyasah akan tercipta sebuah sistem ketatanegaraan yang mengatur kehidupan sosial warganya. Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa siyasah mempunyai posisi yang sangat akurat dalam sebuah negara  karena untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang baik, diperlukannya “siyasah”.

وَالسِّيَاسَةُوَهِيَ لِلتَّأْلِيْفِ وَاْلِاجْتِمَاعِ وَالتَّعَاوُنِ عَلَى أَسْبَابِ الْمَعِيْشَةِ وَضَبْطِهَا

Artinya: “Politik adalah tentang membentuk, mempertemukan, dan bekerja sama dalam sarana penghidupan dan pengendaliannya”

Dengan “siyasah” yang baik akan menunjang terealisasikannya urusan urusan keagamaan, oleh karna itu Imam Al Ghazali menegaskan

وَالسِّيَاسَةُ فِي اسْتِصْلَاحِ الْخَلْقِ وَإِرْشَادِهِمْ إِلَى الطَّرِيْقِ الْمُسْتَقِيْمِ الْمُنْجِي فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ

Artinya: “Politik merupakan usaha untuk mencapai kemaslahatan dan mengarahkan masyarakat kepada jalan yang benar. Yaitu selamat di dunia dan akhirat.”

Imam Al Ghazali berpendapat bahwa dunia merupakan “mazratul ahiroh” yaitu ladang menuju ahirat, artinya kehidupan di dunia harus dilandasikan untuk mencari bekal sebanyak banyaknya kelak menuju akhirat nanti, dengan cara melakukan segala kebaikan sesuai dengan perintah agama. Dalam Al Quran surat  Al Baqoroh ayat 148:

وَلِكُلٍّ وِّجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ۝١٤٨

Artinya; “Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Menurut Imam Al Ghazali hubungan antara agama, dunia dan politik tidak dapat di pisahkan, agama harus menjadi landasan moral spiritual dan hukum dalam menjalankan pemerintahan, politik juga harus sejalan dengan nilai nilai agama. Sebuah negara juga harus berlandaskan pada agama untuk menetapkan hukum hukum yang ada, hal tersebut sudah ada pada pancasila sila ke satu “ketuhanan yang maha esa”.

Seorang pemimpin dan pejabatnya juga harus membina hubungan baik dengan ulamanya, dalam Ihya ulumuddin jus II di jelaskan “Sesungguhnya kerusakan kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan pemimpin, dan kerusakan pemimpinnya disebabkan oleh kerusakan para ulamanya, dan kerusakan ulamanya disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan atau tahta, dan barang siapa di kuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurusi rakyat kecil apalagi penguasanya. Allah lah tempat meminta segala persoalan” (Ihya II hal 381).

Oleh karna itu imam Al Ghazali menegaskan bahwasannya seorang pemimpin tidak boleh di pisahkan dari ulamanya. Karena ulama merupakan penerus para anbiya’ (warosatul anbiya’), seorang ulama harus memberikan kontribusi dengan nasihat dan perintah terutama pada nasihat nasihat aqidah dan adab. Dua hal ini menurut Imam Al Ghazali merupakan faktor utama untuk menjadi hamba yang sejati, dengan istilah lain basicfaith yang ingin di kokohkan kepada para pejabat negara adalah pandangan dasar tentang imam. Karena asal bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas aktifitas ilmiah dan teknologi. Sedangkan adab menjadi penting karena manusia yang beradab (insan adabi) adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab kepada tuhan yang maha esa, yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sediri dan orang lain dalam masyarakatnya, yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan manusia.

Imam Al Ghazali memiliki pendapat bahwa seorang pemimpin harus memiliki syarat; di antaranya mampu berbuat adil di antara masyarakatnya (tidak nepotis), melindungi rakyatnya dari kerusakan dan keriminalitas, tidak dzalim, harus memiliki integritas,penguasaan dalam bidang ilmu kenegaraan dan agama, agar dalam menentukan kebijaksanaan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca indranya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu dalam menjalankan tugas), mempunyai anggota badan yang normal, pemberani, memiliki keahlian siasat perang, dan kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat.

Dalam kitab Al Tibr Al Masbuk fi nasehati Al Mulk, kitab tersebut berisi tentang nasihat-nasihat Imam Al Ghazali kepada sultan Muhammad Ibn Malik, yang pertama Imam Al Ghazali memprioritaskan pada kekuatan aqidah tauhid. Sedangkan isi yang kedua yakni berupa nasihat-nasihat moral, keadilan, keutamaan ilmu dan ulama. Dalam kitab tersebut, Imam Al Ghazali tidak lupa mengingatkan kepada sultan Al Mulk agar tetap loyal pada keimanan yang benar, ia  juga mengingatkan bahwa kekuasaan di dunia adalah titipan dari Allah swt, sedangkan kekuasaan tertinggi di dunia dan akhirat ini hanyalah kekuasaan Al Khalik yaitu Allah.