Mengenal Lebih Dekat Lukman Hakim Saifuddin: Pembawa Obor Toleransi ala Gus Dur Muda

Penulis: Dely Lutfia Ananda, Editor: Ika Amiliya Nurhidayah

Ketika mendengar mengenai tokoh moderasi beragama, pikiran kita pasti akan langsung tertuju pada Gus Dur, sosok pejuang toleransi di Indonesia yang menanamkan nilai-nilai keislaman yang moderat dan inklusif. Namun, yang perlu diketahui, banyak sekali tokoh-tokoh moderasi beragama di samping Gus Dur, misalnya saja Lukman Hakim Saifuddin, yang memopulerkan istilah “Moderasi Beragama” sehingga beliau dijuluki sebagai “Bapak Moderasi Umat Beragama.” Mantan Menteri Agama Indonesia yang menjabat di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekaligus Presiden Joko Widodo tersebut menghidupkan kembali nyala toleransi di Indonesia sebagai penerus Gus Dur dalam menyerukan pentingnya keharmonisan dalam keberagaman agama di Indonesia.

Biografi Dr. (H.C.) K.H. Lukman Hakim Saifuddin

Lukman Hakim Saifuddin (akrab disapa LHS) lahir di Jakarta pada 25 November 1962 merupakan putra bungsu dari Menteri Agama Indonesia ke-9, Saefuddin Zuhri, dan Nyai Siti Solichah, Ketua PW Muslimat NU Jateng 1950-1955. Riwayat pendidikannya dimulai dari SDN Jakarta dan Madrasah Ibtidaiyah Manaratul Ulum, lalu melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri XI Jakarta kemudian meneruskannya ke Pondok Modern Gontor, Jawa Timur, pada 1983. Lalu, pada 1990, beliau memasuki pendidikan sarjana di Fakultas Dakwah, Universitas Islam As-Syafiiyah, Jakarta.

Dibesarkan di keluarga yang kental dengan budaya Nahdlatul Ulama, membuat Lukman menjadi pribadi yang agamis, berpikiran terbuka, serta berpendirian teguh. Karirnya di organisasi kepengurusan NU dimulai ketika beliau dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Pimpinan Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (LKKNU) perangkat teknis PBNU yang bergerak dalam bidang pemberdayaan Masyarakat pada 1985-1988.

Setelahnya, pada tahun 1988-1999, Lukman bergelut di Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU sebagai Wakil Sekretaris, Kepala Bidang Administrasi Umum, Koordinator Program Kajian dan Penelitian, Koordinator Program Pendidikan dan Pelatihan, hingga menjadi Ketua Badan Pengurus.

Sementara itu, beliau memulai karir politiknya di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan kemudian menjadi anggota DPR RI periode 1997-2009. Setelahnya, beliau menjabat sebagai Wakil Ketua MPR-RI periode 2009-2014 kemudian barulah pada tahun 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin  menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia dua kali, yakni di Kabinet Indonesia Bersatu II pada 9 Juni 2014 lalu kembali menjadi menteri di Kabinet Kerja sejak 27 Oktober 2014.

Lukman Hakim Saifuddin dalam perjalanannya menerima anugerah gelar Dr. (H.C.) Bidang Pengkajian Islam Peminatan Moderasi Beragama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beliau juga menerbitkan buku berjudul “Moderasi Beragama” yang di dalamnya menjawab berbagai macam kekeliruan dan kesalahpahaman mengenai moderasi beragama.

Gagasan Dr. (H.C.) K.H. Lukman Hakim Saifuddin

Indonesia tidak hanya memiliki etnis, budaya, dan bahasa daerah yang beragam, tetapi juga memiliki agama yang bermacam-macam. Keberagaman yang telah ditakdirkan ada oleh Allah bukan hanya dijadikan simpanan kekayaan semata, melainkan merupakan sarana pemerkuat serta penghubung antara rantai ciri khas yang satu dengan yang lain agar menciptakan keselarasan dalam kebaikan. Dalam kehidupan bersosial, mau tidak mau, aspek kehidupan personal akan turut bergesekan dengan problem publik, seperti misalnya mengenai kepercayaan agama. Seringkali timbul gejolak masalah yang berakar dari ketidakmampuan seseorang dalam mengambil jalan tengah dalam suatu keputusan, sikap intoleran pada khususnya.

Menurut Lukman Hakim Saifuddin dalam Journal of Social Science Research Volume 3 Nomor 6 Tahun 2003, beliau ingin menyampaikan secara singkat poin dalam moderasi beragama itu adalah dengan bagaimana agar orang yang beragama tidak mengingkari inti pokok dari ajaran agama yang dianutnya. Dalam setiap ajaran agama, terdapat pesan-pesan Tuhan yang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni inti pokok yang universal dan inti pokok partikular. Inti pokok universal membawa pesan kedamaian yang mutlak yang menjadi kesepakatan bersama. Setiap insan pasti akan mengatakan bahwa melakukan kebaikan, menegakkan keadilan, memanusiakan manusia, serta menjaga kemasalahatan merupakan hal yang benar. Tidak mungkin ada agama yang membenarkan pembunuhan dan yang mengajarkan keburukan.

Sementara itu, inti pokok partikular adalah sesuatu yang lebih spesifik, mengatur hal-hal dan tata cara beribadah suatu agama. Ini bukan sesuatu yang dapat disepakati bersama antar umat beragama, justru dalam satu agama tertentu dapat memiliki pendapat yang berbeda-beda, bahkan seringkali menimbulkan perdebatan mana yang lebih baik dan mana yang tidak. Misalnya saja, penggunaan qunut di sholat subuh. Sebagian aliran tidak mempersoalkan penggunaan qunut, tetapi sebagian yang lain berpendapat bahwa qunut cukup penting untuk digunakan. Hal-hal seperti ini yang sering dipermasalahkan, dibandingkan berpikir bahwa yang lebih penting adalah mereka yang mendirikan sholat subuh, terlepas dari menggunakan qunut atau tidak. Hal seperti inilah yang ingin ditekankan oleh Lukman Hakim Saifuddin, bahwa yang perlu diwaspadai adalah sikap ekstremisme dalam beragama. Moderasi beragama adalah proses yang tidak berakhir, agar cara beragama tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas. Lalu, kapan seseorang dianggap telah bertindak berlebihan? Tolak ukurnya dikembalikan ke inti ajaran agama yang dianut oleh orang tersebut, apakah tindakan itu dapat membawa kemaslahatan umat sekaligus tidak mengingkari nilai-nilai kemanusiaan.

Lukman Hakim Saifuddin juga memfokuskan aspek penting dalam konsep moderasi beragama, yakni perihal sekat antara hal-hal internal dan eksternal dalam beragama. Wilayah internal yang dimaksud berkenaan dengan keimanan, berhubungan langsung dengan Tuhan dan perlu bersikap fanatik agar pondasi keyakinan tidak goyah. Di daerah internal ini, seseorang tidak diperbolehkan untuk mengintervensi kepercayaan seseorang terhadap Tuhannya dan haknya pula untuk berpegang teguh pada pesan-pesan Tuhan yang dia sembah.

Lain halnya dengan hal internal, hal eksternal berhubungan secara langsung dengan sesama makhluk Tuhan dan alam semesta. Lukman Hakim berpendapat bahwa di sinilah tempat dimana kemoderasian beragama dapat bergerak. Sikap toleransi betul-betul dibutuhkan untuk menghindari adanya permasalahan yang muncul akibat perbedaan cara pandang, sikap seseorang dalam beragama. Tidak ada yang perlu ditoleransi dalam agama, akan tetapi dalam hal cara beragamanyalah yang perlu untuk dimoderasikan karena pesan Tuhan sudah benar mutlaknya dan output manusia yang beragam terlalu mustahil untuk dapat dikendalikan menjadi satu. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh ada pada sikap menghormati dan menghargai keragaman yang ada.

Lukman Hakim Saifuddin menyebut bahwa moderasi beragama adalah proses dan ikhtiar yang tak berkesudahan dan tak berakhiran. Ia akan terus dinamis di tengah-tengah masyarakat yang agamis. Moderasi beragama haruslah dihayati dan diimplementasi sebagai gerakan bersama, bukan dimaknai sebatas program maupun proyek semata.