Penulis: Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy,M.E; Editor: Azzam Nabil H.
Bulan Ramadan adalah bulan yang dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, menyambut Ramadan tidak hanya dilakukan dengan persiapan spiritual, tetapi juga melalui berbagai tradisi lokal yang kaya akan makna. Beberapa tradisi yang populer di masyarakat Indonesia antara lain perang petasan, kembang api, bersih-bersih masjid, hingga “Nyekar”. Tradisi-tradisi ini tidak hanya menjadi bagian dari budaya, tetapi juga memiliki nilai spiritual yang dalam.
Nyekar: Ziarah Kubur Sebelum Ramadan
Salah satu tradisi yang paling dikenal adalah Nyekar, yaitu ziarah ke makam leluhur seperti orang tua, nenek, kakek, buyut, atau saudara yang telah meninggal. Dalam tradisi ini, keluarga biasanya membacakan doa, seperti surat Yasin dan tahlil, serta menaburkan bunga di makam. Pertanyaan yang sering muncul adalah, mengapa Nyekar dilakukan sebelum Ramadan? Jawabannya sederhana: ini soal “roso” atau perasaan.
Ketika Ramadan tiba, semua amal ibadah dilipatgandakan pahalanya. Bahkan tidurnya orang yang berpuasa dianggap sebagai ibadah. Namun, bagaimana dengan orang-orang yang kita sayangi tetapi sudah meninggal? Mereka tidak bisa lagi menikmati “diskon pahala” atau “cuci gudang dosa” yang terjadi selama Ramadan. Oleh karena itu, sebagai bentuk rasa syukur dan kasih sayang, kita mengunjungi makam mereka dan mengirimkan doa. Doa anak sholeh adalah salah satu pahala yang terus mengalir bagi orang yang telah meninggal, selain sedekah jariyah dan ilmu yang bermanfaat.
Padusan: Membersihkan Diri Sebelum Ramadan
Selain Nyekar, ada juga tradisi “Padusan” yang populer di Jawa. Padusan berasal dari kata “adus” yang berarti mandi. Tradisi ini dilakukan sebagai simbol pembersihan diri secara fisik dan spiritual sebelum memasuki bulan Ramadan. Filosofi Padusan memiliki beberapa makna mendalam:
Makna mendalam dari filosofi tersebut yang pertama adalahPembersihan Diri: Padusan melambangkan pembersihan diri dari dosa dan kesalahan, sehingga kita bisa memulai ibadah dengan hati yang bersih.
Kedua, Pembaharuan Diri: Tradisi ini juga melambangkan pembaharuan diri, yaitu meninggalkan kebiasaan buruk dan memulai kebiasaan baru yang lebih baik. Ketiga, Pengukuhan Iman: Padusan dapat memperkuat iman dan meningkatkan kesadaran spiritual, sehingga kita lebih siap menghadapi tantangan hidup selama Ramadan.
Keempat, Pembersihan Jiwa: Padusan juga diartikan sebagai pembersihan jiwa dari kotoran batin seperti kesombongan, kebencian, dan keinginan yang tidak baik. Dan yang kelima adalah Persiapan untuk Ramadan: Secara khusus, Padusan adalah persiapan untuk menjalankan ibadah puasa dengan hati yang bersih dan jiwa yang suci.
Nyadran: Akulturasi Budaya Jawa dan Islam
Selain Nyekar dan Padusan, ada juga tradisi Nyadran yang merupakan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Nyadran biasanya dilakukan pada bulan Ruwah (menurut kalender Jawa) atau Sya’ban (menurut kalender Hijriyah). Tradisi ini juga dikenal sebagai Ruwahan karena dilakukan pada bulan Ruwah. Beberapa ciri khas Nyadran antara lain:
Ziarah Kubur: Seperti Nyekar, ziarah kubur adalah bagian penting dari Nyadran; Mandi di Sungai (Padusan): Membersihkan diri di sungai sebagai simbol pembersihan jiwa dan raga; Membersihkan Lingkungan: Kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan sekitar; Kenduri: Acara makan bersama sebagai bentuk syukur dan silaturahmi; Kirab dan Ujub: Prosesi budaya yang melibatkan masyarakat setempat.; Doa dan Tasyukuran: Acara doa bersama sebagai bentuk rasa syukur atas datangnya Ramadan.
Makna Nyadran
Nyadran bukan sekadar tradisi, tetapi juga ekspresi rasa gembira, syukur, dan kebahagiaan menyambut Ramadan. Tradisi ini mengandung nilai-nilai sosial budaya seperti gotong royong, pengorbanan, ekonomi, dan silaturahmi. Melalui Nyadran, masyarakat tidak hanya mempersiapkan diri secara spiritual, tetapi juga mempererat hubungan sosial antarwarga.
Tradisi-tradisi seperti Nyekar, Padusan, dan Nyadran adalah warisan budaya yang patut dilestarikan. Meskipun berasal dari budaya lokal, tradisi ini sejalan dengan nilai-nilai Islam. Mereka mengajarkan pentingnya membersihkan diri, mempererat silaturahmi, dan mempersiapkan hati untuk menyambut bulan suci Ramadan.
Jadi, sudah siap menjadi bagian dari “Golkar” (Golongan Nyekar)? Mari kita jaga tradisi lama yang baik ini, sambil terus memperkaya makna spiritualnya dalam kehidupan kita. Dengan begitu, Ramadan tidak hanya menjadi bulan penuh berkah, tetapi juga bulan yang penuh dengan kebersamaan dan kasih sayang.