Mengembangkan Moderasi Beragama Melalui Interaksi Sosial yang Inklusif Dan Toleran

Penulis Artikel : Pujiwati, Editor : Nafis Mahrusah

Desa Linggo Asri ialah desa yang memiliki perbedaan agama antar umat beragama, salah satunya yaitu moderasi beragama. Prinsip moderasi beragama berfokus dengan  dua hal, yakni memahami teks (kitab suci) keagamaan harus sesuai dengan konteks dan meyakini dari agama itu sendiri. Seorang non-Muslim di Desa Linggo Asri, baik individu maupun institusi agama lain, perlu mengambil bagian dalam menghidupi moderasi beragama.

Moderasi beragama adalah pendekatan yang seimbang dan moderat dalam menjalankan keyakinan agama, yang melibatkan toleransi, pemahaman, dan penghormatan terhadap keyakinan dan praktik agama lain. Keragaman budaya dan keyakinan di Linggo Asri memerlukan interaksi sosial yang harmonis. Islam memiliki konsep toleransi yang jelas, yaitu tidak ada paksaan dalam agama. Toleransi ini dapat diwujudkan dengan membina kerukunan hidup beragama.

Moderasi beragama dengan toleransi perlu dibangun kepada masyarakat untuk menghormati perbedaan dan mempersatukan masyarakat. Moderasi beragama dapat ditunjukkan melalui sikap tawazun (berkeseimbangan), i’tidal (lurus dan tegas), tasamuh (toleransi), musawah (egaliter), syura (musyawarah), ishlah (reformasi), aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), serta tathawwur wa ibtikar (dinamis dan inovatif). Oleh karena itu, desa ini disebut desa moderasi beragama.

Baca juga : Moderasi Beragama sebagai Pendorong Mobilitas Sosial di Era Modern

Konsepsi moderasi bukanlah hal yang baru bagi umat Islam karena semangat moderasi merupakan salah satu ajaran yang bersumber pada Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an, moderasi disebut sebagai al-wasatiyyah. Secara etimologis, kata ini berasal dari akar kata al-wasath yang memiliki arti “di antara”. Kata ini memiliki beberapa makna, yaitu: (1) berada di antara dua posisi; (2) pilihan, utama, dan terbaik; (3) adil; dan (4) berada di antara hal buruk dan hal baik. Raghib al-Ashfahani memaknai kata wasathiyyah sebagai titik tengah yang tidak condong ke kanan maupun ke kiri dan juga bermakna keadilan, persamaan, dan kemuliaan.

Yusuf Al-Qardhawi mendefinisikan wasathiyyah sebagai usaha menyeimbangkan dua sisi yang bertolak belakang (at-tawazun), misalnya egoisme dengan altruism. At-tawazun berarti memberikan proporsi secara proporsional. Misalnya, kata “dermawan”, sebagai sikap antara boros dan kikir, atau “pemberani”, sebagai sikap antara nekad (tahawur) dan penakut (al-jubn). Adapun lawan kata moderasi adalah tatharruf atau berlebihan, yang berarti ekstrim atau radikal.

Baca juga : Moderasi Beragama dalam Perspektif Hadis: Studi atas Konsep Wasathiyah

Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah disebut wasith, yang diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “wasit” yang artinya penengah, pemimpin, dan pemisah. Orang yang adil akan menjaga keseimbangan dan berada di tengah. Pertengahan itu dalam bahasa Arab disebut wasath. Kata wasath seringkali dilekatkan dengan kebaikan. Dalam hadits Nabi disebutkan “sebaik-baik urusan adalah yang ada di pertengahan”. Dalam Al-Qur’an kata wasatha disebutkan sebanyak lima kali antara lain:

  • Dalam surat al-Adiyat (100): masuknya pasukan ke tengah-tengah medan perang.
  • Dalam surat al-Qalam (68): 28 dan al-Baqarah (2): 238, yang berarti lebih adil dan berakal. 
  • Dalam surat al-Maidah (5): 89, berarti antara boros dan bakhil.

Pengarusutamaan moderasi beragama mengutamakan pada pembentukan paham maupun sikap sosial keberagamaan yang moderat, yakni menghormati kemajemukan sosial serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Pola interaksi mencerminkan komitmen kebangsaan dan akomodatif terhadap kearifan lokal. Moderasi menekankan pada nasionalisme dan tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan agama. Isolasi sosial di kalangan individu religius seringkali dipicu oleh fanatisme agama dan sikap individualisme yang berlebihan.

Baca juga : Nilai-Nilai Moderasi Beragama Dalam Budaya Halal Bihalal

Bertujuan untuk menyoroti pentingnya keseimbangan ibadah ritual dan interaksi sosial. Masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan, sosial, dan pendidikan berperan penting dalam memfasilitasi interaksi sosial dan memperkuat nilai kebersamaan. Kegiatan keagamaan seperti shalat berjamaah, dakwah, dan peringatan hari besar Islam, serta kegiatan sosial seperti kerja bakti, zakat, dan buka puasa bersama, semuanya berkontribusi pada pembentukan hubungan sosial yang kuat dan harmonis. Moderasi beragama penting dalam masyarakat Indonesia yang beragam. Tokoh agama bersama pemerintah berupaya mencegah radikalisme dan intoleransi, salah satunya melalui moderasi lintas agama.

Konsep Islam moderat relevan dalam konteks keberagaman di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, moderasi menjadi topik yang sangat menarik. Moderasi diyakini sebagai kunci menghindari ekstremisme. Namun, seringkali konsep ini disalahartikan sehingga memicu kontroversi. Kerukunan antar umat beragama penting dalam menjaga keharmonisan sosial di Indonesia yang majemuk. Di Desa Linggo Asri, Kabupaten Pekalongan, tingkat toleransinya sangat tinggi melalui kegiatan dialog interaktif dan partisipatif. Hasilnya meliputi terbentuknya persepsi yang lebih baik tentang toleransi, terwujudnya kerukunan, dan meningkatnya modal sosial masyarakat.

Langkah-langkah yang melibatkan pembina formal dan nonformal, meningkatkan pemahaman masyarakat, serta menyosialisasikan peraturan yang mendukung kerukunan telah membentuk lingkungan sosial yang harmonis dan toleran. Kesimpulannya, kerukunan antar umat beragama di Desa Linggo Asri menjadi modal sosial penting dalam menjaga kesatuan dan kedaulatan Indonesia.

Menunda Ikatan: Mengapa Generasi Z Memilih Karir dan Kebebasan di Atas Pernikahan?

Penulis: Nihadhu Adilah; Editor: Azzam Nabil H.

Pernikahan di Indonesia merupakan salah satu peristiwa kependudukan yang tercatat secara resmi dan harus dilakukan berdasarkan agama untuk diakui secara hukum. Meskipun pernikahan dianggap penting bagi stabilitas sosial, tren penurunan angka pernikahan dalam beberapa dekade terakhir telah menjadi perhatian global, termasuk di Amerika Serikat yang mengalami penurunan sebesar 60 persen pada 2023 dibandingkan dengan era 1970-an, menurut laporan CNBC. Fenomena serupa juga terjadi di beberapa negara Asia seperti China, Jepang, dan Korea Selatan. Di Indonesia, penurunan jumlah pernikahan tercatat signifikan dari 2,01 juta pasangan pada 2018 menjadi 1,58 juta pada 2023, dengan penurunan sekitar 128.000 pasangan dibandingkan tahun sebelumnya. Generasi muda yang menunda pernikahan diduga menjadi salah satu faktor penyebab. Deputi BKKBN, Sukaryo Teguh Santoso, mengusulkan agar data ini ditinjau lebih mendalam untuk pemahaman yang lebih komprehensif.

Globalisasi dan modernisasi yang memengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat dunia, termasuk Indonesia, juga berdampak pada cara pandang masyarakat Indonesia. Wanita kini memiliki peluang yang setara untuk bersaing di berbagai bidang. Banyak hal yang ingin dicapai, seperti kesuksesan, karier, pengakuan sosial, dan kenyamanan hidup sendiri, membuat prioritas menikah di usia muda menjadi kurang penting. Pergeseran pola pikir masyarakat, yang lebih fokus pada peningkatan kualitas hidup melalui pendidikan dan ekonomi, turut berkontribusi pada penurunan angka pernikahan, terutama di kalangan perempuan. Selain itu, maraknya perceraian di berbagai kelompok usia menimbulkan kekhawatiran di kalangan anak muda, terutama yang berada di usia menikah, tentang makna pernikahan itu sendiri. Kekhawatiran ini dapat menimbulkan trauma. Selain itu, budaya yang mengaitkan pernikahan dengan pesta besar sudah mengakar, sehingga pernikahan yang hanya dicatat dan disahkan tanpa resepsi sering kali dianggap tidak lazim oleh masyarakat.

Baca juga: Memahami Aturan Pernikahan bagi Gen Z

Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki kehidupan sosial yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam. Dalam hal ini, tafsir Al-Qur’an menjadi referensi penting dalam membentuk nilai-nilai sosial, budaya, dan pandangan hidup masyarakat. Salah satu ayat yang sering dibahas adalah Q.S. An-Nisa:34, yang sering dianggap sebagai dasar normatif untuk sistem patriarki dalam masyarakat Muslim. Ayat tersebut membahas peran laki-laki sebagai “qawwam” (pemimpin atau pelindung) bagi perempuan, yang sering ditafsirkan sebagai pembenaran bagi dominasi laki-laki dalam rumah tangga dan kehidupan sosial. Qawwamah dalam ayat ini tidak hanya merujuk pada kepemimpinan, tetapi mencakup makna yang lebih luas, seperti mengatur, melindungi, mendidik, dan membimbing istri. Ayat ini secara khusus berbicara tentang hubungan dalam keluarga, dan menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “al- rijâl” adalah suami.

Dari perspektif Islam, pernikahan merupakan institusi yang sangat dianjurkan dan dianggap sebagai bagian dari ibadah yang mulia. Islam mengajarkan bahwa pernikahan adalah sarana untuk mencapai kehidupan yang harmonis (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya pernikahan sebagai salah satu cara untuk menjaga kehormatan, memenuhi kebutuhan emosional dan fisik, serta memperkuat masyarakat dengan membentuk keluarga yang stabil. Namun, ketika kita mengaitkan penurunan angka pernikahan dengan ajaran Islam, terlihat adanya tantangan antara idealitas agama dan realitas modern yang dihadapi oleh generasi muda.

Baca juga: Pandangan Islam dan Hukum Indonesia tentang Pernikahan Beda Agama

Salah satu faktor utama yang menyebabkan generasi muda, termasuk Generasi Z, menunda pernikahan adalah perubahan sosial dan kultural. Dalam Islam, laki-laki memiliki peran sebagai qawwam (pemimpin dan pelindung) dalam keluarga, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. An- Nisa: 34. Namun, dalam dunia modern, banyak perempuan yang kini mandiri secara finansial dan memiliki posisi yang setara dalam masyarakat, sehingga peran tradisional ini dipertanyakan oleh sebagian orang. Hal ini membuat generasi muda mempertimbangkan ulang struktur peran gender dalam rumah tangga, terutama dalam konteks pernikahan. Kemandirian ekonomi perempuan dan meningkatnya pendidikan membuat banyak wanita merasa tidak perlu terburu-buru menikah untuk bergantung pada pasangan, berbeda dengan pandangan tradisional dalam Islam yang menekankan kerja sama suami-istri dalam membentuk keluarga. Meskipun Islam tidak melarang perempuan untuk berkarier atau mandiri, ajarannya tetap menekankan  pentingnya keseimbangan antara tanggung jawab keluarga dan individu.

Selain itu, Islam mendorong pernikahan yang sederhana dan tanpa beban finansial yang berlebihan. Namun, budaya masyarakat Indonesia, yang sering mengaitkan pernikahan dengan pesta besar dan resepsi mewah, berlawanan dengan prinsip kesederhanaan yang dianjurkan Islam. Tekanan sosial ini turut menyebabkan penundaan pernikahan karena banyak yang merasa belum mampu secara finansial untuk menyelenggarakan pernikahan yang dianggap sesuai dengan ekspektasi masyarakat. Islam juga sangat menekankan pentingnya keluarga yang kokoh dan harmonis. Ketakutan terhadap perceraian, yang semakin marak di kalangan generasi muda, menyebabkan trauma dan keraguan terhadap pernikahan. Meskipun Islam memberikan jalan keluar melalui talak (perceraian), ajaran Islam menekankan bahwa perceraian adalah hal yang paling dibenci oleh Allah di antara hal-hal yang halal. Kekhawatiran ini bisa menjadi salah satu alasan mengapa banyak generasi muda, meskipun memahami pentingnya pernikahan dalam Islam, memilih untuk menunda atau bahkan menghindarinya hingga mereka merasa lebih siap secara emosional dan finansial.

Baca juga: Tingkatkan Kesadaran Pola Makan Sehat: KKN 60 UIN Gus Dur kelompok 22 Gelar Sosialisasi Gizi Seimbang pada Anak

Secara keseluruhan, penundaan pernikahan oleh Generasi Z dapat dilihat sebagai benturan antara nilai-nilai modern dan ajaran Islam. Meski demikian, dalam Islam, pernikahan tetap dipandang sebagai bagian dari jalan hidup yang penuh berkah. Tantangan bagi generasi ini adalah bagaimana menyeimbangkan keinginan untuk mencapai kebebasan pribadi dan kesuksesan karier dengan komitmen religius terhadap pernikahan sebagai bentuk ibadah yang diridhai Allah.