Penulis : M. Ady Fairuzabadi, Editor : Lulu Salsabilah
Disetap penjuru kampus islami pasti terus menggema soal moderasi. Walaupun begitu banyak masyarakat yang mencari pasangan non-muslim atas dasar tersebut. Dalam artikel ini membahas bolehkah kita menikah dengan insan non-muslim? Dan apa saja dasarnya?
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah SWT mengharamkan bagi orang mukmin menikah dengan orang musyrik yang menyembah berhala. Kemudian ayat ini memukul rata hukum haramnya menikah dengan orang musyrik dari kitabiyah (Yahudi dan Nasrani) dan Watsaniyah (penyembah berhala). Meskipun demikian, Ibnu Katsir mengecualikan pernikahan muslim dengan perempuan Ahli Kitab berdasarkan Surat al-Maidah ayat 5:
اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi”
Menurut Syekh at-Thanthawi dalam Kitab Al-Wasith, yang dimaksud Ahli Kitab dalam ayat ini ialah Yahudi dan Nasrani. Meskipun demikian, menurut Imam Nawawi, Imam al-Syafi’i berfatwa, laki-laki muslim boleh menikahi wanita kitabiyah apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkannya al-Qur’an, dan mereka tetap beragama menurut kitab sucinya. Sementara menurut tiga mazhab lainnya sebaliknya, meskipun agama Ahli Kitab tersebut telah dinasakh (diubah).
Dalam ayat yang lain, Allah SWT menerangkan bahwa haram hukumnya seorang muslim menikah dengan orang kafir. Hal ini dijelaskan dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 10 sebagai berikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana”. (QS. Al-Mumtahanah: 10).
Menurut Imam At-Thabari ayat di atas memaparkan tentang perjanjian Nabi s.a.w dengan kaum musyrik Mekkah di Hudaibiyah, dengan salah satu isinya: setiap orang yang datang dari mereka harus dikembalikan kepada kaum musyrik Mekkah. Lalu ketika ada perempuan yang datang dari musyrik Mekkah dikecualikan jika setelah diuji ternyata ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka perempuan itu tidak boleh dikembalikan kepada kaum musyrikin Mekkah. Sebab orang mukmin tidak halal menikah dengan perempuan orang kafir dan orang muslimah tidak halal dinikahi oleh laki-laki kafir.
Surat al-Baqarah ayat 221 Allah SWT melarang pernikahan beda agama dan sama sekali tak membuka peluang disahkan:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْن ࣖ – ٢٢١
Artinya, “Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak perempuan yang mu’min itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kalian menikahkan laki-laki musyrik (dengan Wanita Muslimah) sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman itu lebih baik dari pada orang musyrik sekalipun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya, dan Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran” (QS Al-Baqarah: 221).
Adapun ashabul nuzul ayat ini, menurut riwayat dari Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Wahidi bersumber dari al-Muqatil adalah ketika Ibnu Abi Martsad al-Ghanawi meminta izin kepada Rasulullah saw untuk menikahi anak seorang wanita Quraisy yang miskin namun cantik yang dulu pernah menjadi kekasihnya sebelum masuk Islam, tatapi masih musyrikah. Sedangkan beliau seorang Muslim. Rasulullah SAW melarangnya, kemudian Allah menurunkan ayat ini. (Tafsir Al-Baghawi). Dan dalam tafsir yang lain, adanya aib bila seseorang menikah dengan budak perempuan dan menyukai dalam pernikahan wanita merdeka musyrik (Tafsir Jalalain). Seseorang tersebut adalah Abdullah bin Rawahah atau Hudhayfah bin Al-Yaman. Beliau memiliki budak perempuan maka dimerdekakannya dan diperistri. Akhirnya mereka dipandang rendah (Tafsir Showi: 112).
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Nomor 1 Tahun 1991 Pasal 4 tentang Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”. Pasal 40 menyebutkan, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; seorang wanita yang tidak beragam Islam. Lebih tegas lagi larangan menikah beda agama pada Pasal 44: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Pasal 61 disebutkan: “Tidak sekutu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien.”
Dalam Islam, hukum menikah dengan orang non-Muslim telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan tafsir. Meskipun Allah melarang pernikahan dengan orang musyrik yang menyembah berhala, terdapat pengecualian untuk perempuan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) berdasarkan Surat al-Maidah ayat 5. Pendapat ulama berbeda terkait boleh tidaknya menikahi perempuan Ahli Kitab setelah diubahnya agama mereka. Selain itu, larangan menikah beda agama juga ditegaskan dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 10 dan Surat Al-Baqarah ayat 221.
Dalam konteks hukum Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa perkawinan sah jika dilakukan sesuai dengan hukum agama yang dianut. Larangan menikah beda agama juga dijelaskan secara tegas, seperti pada Pasal 44 yang melarang seorang wanita Islam menikah dengan pria non-Muslim. Keseluruhan, artikel ini menggambarkan pandangan Islam terkait pernikahan dengan fokus pada keabsahan dalam agama dan mencatat ketentuan hukum di Indonesia.