Penulis: Nihadhu Adilah; Editor: Azzam Nabil H.
Pernikahan di Indonesia merupakan salah satu peristiwa kependudukan yang tercatat secara resmi dan harus dilakukan berdasarkan agama untuk diakui secara hukum. Meskipun pernikahan dianggap penting bagi stabilitas sosial, tren penurunan angka pernikahan dalam beberapa dekade terakhir telah menjadi perhatian global, termasuk di Amerika Serikat yang mengalami penurunan sebesar 60 persen pada 2023 dibandingkan dengan era 1970-an, menurut laporan CNBC. Fenomena serupa juga terjadi di beberapa negara Asia seperti China, Jepang, dan Korea Selatan. Di Indonesia, penurunan jumlah pernikahan tercatat signifikan dari 2,01 juta pasangan pada 2018 menjadi 1,58 juta pada 2023, dengan penurunan sekitar 128.000 pasangan dibandingkan tahun sebelumnya. Generasi muda yang menunda pernikahan diduga menjadi salah satu faktor penyebab. Deputi BKKBN, Sukaryo Teguh Santoso, mengusulkan agar data ini ditinjau lebih mendalam untuk pemahaman yang lebih komprehensif.
Globalisasi dan modernisasi yang memengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat dunia, termasuk Indonesia, juga berdampak pada cara pandang masyarakat Indonesia. Wanita kini memiliki peluang yang setara untuk bersaing di berbagai bidang. Banyak hal yang ingin dicapai, seperti kesuksesan, karier, pengakuan sosial, dan kenyamanan hidup sendiri, membuat prioritas menikah di usia muda menjadi kurang penting. Pergeseran pola pikir masyarakat, yang lebih fokus pada peningkatan kualitas hidup melalui pendidikan dan ekonomi, turut berkontribusi pada penurunan angka pernikahan, terutama di kalangan perempuan. Selain itu, maraknya perceraian di berbagai kelompok usia menimbulkan kekhawatiran di kalangan anak muda, terutama yang berada di usia menikah, tentang makna pernikahan itu sendiri. Kekhawatiran ini dapat menimbulkan trauma. Selain itu, budaya yang mengaitkan pernikahan dengan pesta besar sudah mengakar, sehingga pernikahan yang hanya dicatat dan disahkan tanpa resepsi sering kali dianggap tidak lazim oleh masyarakat.
Baca juga: Memahami Aturan Pernikahan bagi Gen Z
Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki kehidupan sosial yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam. Dalam hal ini, tafsir Al-Qur’an menjadi referensi penting dalam membentuk nilai-nilai sosial, budaya, dan pandangan hidup masyarakat. Salah satu ayat yang sering dibahas adalah Q.S. An-Nisa:34, yang sering dianggap sebagai dasar normatif untuk sistem patriarki dalam masyarakat Muslim. Ayat tersebut membahas peran laki-laki sebagai “qawwam” (pemimpin atau pelindung) bagi perempuan, yang sering ditafsirkan sebagai pembenaran bagi dominasi laki-laki dalam rumah tangga dan kehidupan sosial. Qawwamah dalam ayat ini tidak hanya merujuk pada kepemimpinan, tetapi mencakup makna yang lebih luas, seperti mengatur, melindungi, mendidik, dan membimbing istri. Ayat ini secara khusus berbicara tentang hubungan dalam keluarga, dan menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “al- rijâl” adalah suami.
Dari perspektif Islam, pernikahan merupakan institusi yang sangat dianjurkan dan dianggap sebagai bagian dari ibadah yang mulia. Islam mengajarkan bahwa pernikahan adalah sarana untuk mencapai kehidupan yang harmonis (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya pernikahan sebagai salah satu cara untuk menjaga kehormatan, memenuhi kebutuhan emosional dan fisik, serta memperkuat masyarakat dengan membentuk keluarga yang stabil. Namun, ketika kita mengaitkan penurunan angka pernikahan dengan ajaran Islam, terlihat adanya tantangan antara idealitas agama dan realitas modern yang dihadapi oleh generasi muda.
Baca juga: Pandangan Islam dan Hukum Indonesia tentang Pernikahan Beda Agama
Salah satu faktor utama yang menyebabkan generasi muda, termasuk Generasi Z, menunda pernikahan adalah perubahan sosial dan kultural. Dalam Islam, laki-laki memiliki peran sebagai qawwam (pemimpin dan pelindung) dalam keluarga, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. An- Nisa: 34. Namun, dalam dunia modern, banyak perempuan yang kini mandiri secara finansial dan memiliki posisi yang setara dalam masyarakat, sehingga peran tradisional ini dipertanyakan oleh sebagian orang. Hal ini membuat generasi muda mempertimbangkan ulang struktur peran gender dalam rumah tangga, terutama dalam konteks pernikahan. Kemandirian ekonomi perempuan dan meningkatnya pendidikan membuat banyak wanita merasa tidak perlu terburu-buru menikah untuk bergantung pada pasangan, berbeda dengan pandangan tradisional dalam Islam yang menekankan kerja sama suami-istri dalam membentuk keluarga. Meskipun Islam tidak melarang perempuan untuk berkarier atau mandiri, ajarannya tetap menekankan pentingnya keseimbangan antara tanggung jawab keluarga dan individu.
Selain itu, Islam mendorong pernikahan yang sederhana dan tanpa beban finansial yang berlebihan. Namun, budaya masyarakat Indonesia, yang sering mengaitkan pernikahan dengan pesta besar dan resepsi mewah, berlawanan dengan prinsip kesederhanaan yang dianjurkan Islam. Tekanan sosial ini turut menyebabkan penundaan pernikahan karena banyak yang merasa belum mampu secara finansial untuk menyelenggarakan pernikahan yang dianggap sesuai dengan ekspektasi masyarakat. Islam juga sangat menekankan pentingnya keluarga yang kokoh dan harmonis. Ketakutan terhadap perceraian, yang semakin marak di kalangan generasi muda, menyebabkan trauma dan keraguan terhadap pernikahan. Meskipun Islam memberikan jalan keluar melalui talak (perceraian), ajaran Islam menekankan bahwa perceraian adalah hal yang paling dibenci oleh Allah di antara hal-hal yang halal. Kekhawatiran ini bisa menjadi salah satu alasan mengapa banyak generasi muda, meskipun memahami pentingnya pernikahan dalam Islam, memilih untuk menunda atau bahkan menghindarinya hingga mereka merasa lebih siap secara emosional dan finansial.
Secara keseluruhan, penundaan pernikahan oleh Generasi Z dapat dilihat sebagai benturan antara nilai-nilai modern dan ajaran Islam. Meski demikian, dalam Islam, pernikahan tetap dipandang sebagai bagian dari jalan hidup yang penuh berkah. Tantangan bagi generasi ini adalah bagaimana menyeimbangkan keinginan untuk mencapai kebebasan pribadi dan kesuksesan karier dengan komitmen religius terhadap pernikahan sebagai bentuk ibadah yang diridhai Allah.