Penulis : Ahmad Syadzali, Editor : Amarul Hakim
Indonesia adalah negara yang budaya dan agamanya sangat beragam, hal ini menjadi pusat perhatian dalam membahas isu-isu sosial terkait agama. Salah satu topik yang krusial dan relevan dalam konteks ini adalah moderasi beragama. Dalam perspektif sosiologi, moderasi beragama bukan hanya soal pemahaman dan pengamalan agama secara pribadi, tetapi juga terkait dengan bagaimana agama dipraktikkan dalam kehidupan sosial. Moderasi beragama diharapkan menjadi jembatan untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat yang plural ini.
Moderasi beragama adalah sesuatu yang relevan di era globalisasi ini. Dengan pandangan masyarakat yang semakin heterogen dan kompleks, moderasi beragama menjadi salah satu kunci untuk menjaga kerukunan masyarakat. Dari perspektif sosiologi, moderasi beragama dapat dipahami sebagai upaya untuk menyeimbangkan praktik keagamaan dengan nilai-nilai universal seperti toleransi, inklusivitas, dan dialog antarbangsa.
Keberagaman di Indonesia tidak hanya terjadi antar umat beragama. Terkadang dalam satu agamapun terdapat beberapa perbedaan. Seperti dalam Islam, perihal qunut dalam sholat subuh juga menuai perbedaan meskipun satu agama yaitu Islam.
Baca juga : Refleksi Puasa: Dari Tradisi Nabi Hingga Makna Spiritual di Era Modern
Qunut dalam konteks moderasi beragama di kalangan umat Islam merupakan topik yang kompleks dan sering menjadi perdebatan di kalangan para ulama. Qunut, yang merujuk pada doa yang dibaca dalam shalat, terutama shalat subuh, memiliki berbagai pandangan yang mencerminkan keragaman interpretasi dalam Islam.
Perselisihan tentang Qunut
- Pendapat Pro-Qunut
Sebagian ulama, seperti Imam Syafi’i, berpendapat bahwa qunut dalam shalat subuh hukumnya sunnah dengan landasan Nabi Muhammad SAW juga melakukannya. Beliau merujuk pada hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Nabi melakukan qunut sebagai bentuk doa untuk umatnya, terutama dalam situasi darurat atau musibah (qunut nazilah). Ulama berpendapat bahwa praktik ini adalah sunah yang seharusnya dilestarikan sebagai bagian dari ibadah sesuai dengan yang Nabi kerjakan.
- Pendapat Anti-Qunut
Di sisi lain, terdapat kelompok yang menolak qunut secara terus-menerus, mereka menganggap bahwa qunut itu bid’ah. Mereka berpendapat bahwa Nabi Muhammad hanya melakukannya dalam situasi tertentu dan setelah itu tidak lagi melanjutkan praktik tersebut. Misalnya, Muhammadiyah mengoreksi pelaksanaan qunut subuh dengan menyatakan bahwa hadis-hadis yang mendasari praktik tersebut adalah lemah dan tidak dapat dijadikan pegangan. Jadi, Muhammadiyah lebih menekankan pada qunut nazilah, yang dilakukan dalam situasi musibah, bukan sebagai rutinitas dalam salat subuh.
Baca juga : Keluarga dengan Nilai Keagamaan Kuat Lebih Harmonis dan Tangguh Hadapi Tekanan Ekonomi
Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh beberapa faktor utama yang berkaitan dengan pemahaman hadits dan interpretasi syariah.
- Pemahaman Hadits
Salah satu penyebab utama perbedaan ini adalah variasi dalam pemahaman dan penilaian terhadap hadits-hadits yang berkaitan dengan qunut. Misalnya, ulama dari mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa qunut subuh merupakan sunnah yang dianjurkan, baik dalam keadaan normal maupun saat terjadi musibah (qunut nazilah). Sebaliknya, mazhab Hanafi berpendapat bahwa qunut hanya dilakukan pada shalat witir dan tidak ada qunut dalam shalat subuh, menganggapnya sebagai bid’ah.
2. Metode Qiyas
Perbedaan juga muncul dari cara ulama melakukan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa qunut subuh hanya dilakukan pada saat ada musibah, sementara Imam Syafi’i menganggapnya sebagai sunnah ab’adl yang sebaiknya dilakukan setiap waktu. Ini menunjukkan bahwa metode penalaran yang berbeda dapat menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda.
3. Konteks Historis dan Budaya
Konteks historis dan budaya di mana masing-masing mazhab berkembang juga mempengaruhi pandangan mereka tentang qunut. Di Indonesia, misalnya, praktik qunut subuh lebih umum di kalangan pengikut mazhab Syafi’i, sedangkan di tempat lain mungkin tidak demikian.
4. Interpretasi Ulama Terkemuka
Beberapa ulama terkemuka juga memberikan pandangan yang berbeda mengenai qunut. Imam Malik membedakan antara sunnah dan mustahab, di mana qunut dianggap sebagai amalan yang dianjurkan tetapi tidak dilakukan secara konsisten oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini menambah keragaman dalam pandangan mengenai keharusan atau anjuran qunut.
Baca juga : Harmoni dalam Perbedaan Membaca Doa Qunut antar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
Qunut dalam Moderasi
Dengan adanya perbedaan pendapat mengenai qunut di atas tidak menjadikan masyarakat di Indonesia saling bertengkar atau saling membenci. Hal ini justru mendorong toleransi dan keterbukaan mengenai kepercayaan yang dianutnya setiap umat beragama.
- Mendorong Toleransi dan Keterbukaan
Praktik qunut yang dilakukan secara inklusif dapat menjadi simbol toleransi. Dalam konteks moderasi beragama, sikap terbuka terhadap perbedaan pandangan mengenai qunut dapat membantu menciptakan suasana dialog yang konstruktif antara umat Islam dan penganut agama lain. Dengan saling menghormati praktik ibadah masing-masing, umat beragama dapat membangun hubungan yang lebih harmonis.
- Mengurangi Potensi Konflik
Perbedaan pendapat mengenai qunut bisa menjadi sumber ketegangan jika tidak dikelola dengan baik. Namun, dengan menerapkan prinsip moderasi, umat Islam dapat belajar untuk mengelola perbedaan ini dengan cara yang tidak menimbulkan konflik. Sikap moderat dalam memahami qunut, baik sebagai praktik yang dianjurkan maupun sebagai amalan yang tidak wajib, dapat mengurangi potensi konflik antarumat beragama.
- Memperkuat Landasan Teologis
Moderasi beragama menekankan pentingnya pemahaman teologis yang inklusif. Qunut, ketika dipahami dalam konteks doa untuk kebaikan bersama, dapat menjadi jembatan untuk memperkuat hubungan antarumat beragama. Dengan menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan saling menghargai, qunut dapat digunakan sebagai alat untuk menyebarkan pesan damai dan kerukunan.
Baca juga : Mengenal Lebih Dekat Lukman Hakim Saifuddin: Pembawa Obor Toleransi ala Gus Dur Muda
- Membangun Jaringan Sosial
Praktik qunut yang dilakukan secara kolektif dalam komunitas Muslim dapat menciptakan kesempatan untuk interaksi sosial yang positif dengan komunitas non-Muslim. Kegiatan bersama seperti doa bersama atau acara sosial yang melibatkan berbagai agama dapat memperkuat jaringan sosial dan meningkatkan saling pengertian di antara kelompok-kelompok berbeda.
- Menjadi Contoh Moderasi
Di tengah berbagai tantangan ekstremisme dan intoleransi, praktik qunut yang dilakukan dengan sikap moderat dapat menjadi contoh bagi umat beragama lainnya. Ini menunjukkan bahwa perbedaan dalam praktik ibadah tidak harus menjadi penghalang untuk hidup berdampingan secara damai dan saling menghormati.