Harmoni dalam Perbedaan Membaca Doa Qunut antar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah

Penulis: Hikmatul Ismila Nasthasya, Editor: Sirli Amry

Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah organisasi dakwah yang sangat populer dan dianggap sebagai organisasi islam terbesar di Indonesia. Hal ini dipandang dari segi jumlah anggotanya yang sangat besar dan banyak cabang-cabang yang tersebar di penjuru negara ini. NU dan Muhammadiyah mempunyai beberapa perbedaan atau distingsi terutama dalam pengamalan ibadah salah satunya adalah doa qunut dalam salat subuh.

NU membaca doa qunut dalam salat subuh sedangkan Muhammadiyah tidak membaca doa qunut dalam salat subuh. Perbedaan ini sering kali menjadi perbincangan yang sangat panas. Hal ini karena terdapat beberapa oknum yang mempermasalahkan Muhammadiyah yang tidak membaca doa qunut. Mereka beranggapan bahwa salat subuh dengan tidak membaca doa qunut maka salatnya tidak sah. Ada pula yang beranggapan bahwa salat dengan tidak membaca doa qunut adalah ajaran yang sesat.

Padahal penyebab perbedaan ini terjadi karena perbedaan pemahaman hadist dan cara qiyas oleh kedua organisasi tersebut. Secara historis awal mulanya diberlakukannya qunut adalah ketika 70 orang penghafal Al-Qur’an dibantai oleh Bani Sulaim, Ri’l dan Dzakwan di dekat mata air bir al-ma’unah. Sebagaimana dalam hadist riwayat al-Bukhari yang berarti:

“Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits telah meceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz dari Anas r.a., dia berkata: “Nabi saw. pernah mengutus tujuh puluh orang untuk suatu keperluan, mereka disebut sebagai qurra’ (para ahli Al-Quran), mereka dihadang oleh penduduk dari Bani Sulaim, Ri’l dan Dzakwan dekat mata air yang disebut dengan Bir Ma’unah, mereka berkata, “Demi Allah, bukan kalian yang kami inginkan, kami hanya ada perlu dengan Nabi saw. mendoakan kecelakaan kepada mereka (Sulaim, Ri’l, dan Dzakwan) selama sebulan pada salat subuh, itu adalah awal kali dilakukannya qunut, sebelumnya kami tidak pernah melakukan doa qunut”. (HR. Bukhari)

Tanggapan Muhmmadiyah mengenai hadist tersebut berbeda dengan pemahaman Nahdatul Ulama. Muhammadiyah memahami bahwa hadits-hadist tentang qunut pada salat subuh dinilai lemah dan banyak diperselisihkan oleh para ulama. Argumen tidak adanya qunut dalam salat subuh juga diperkuat oleh hadist riwayat al-Khatib.

Pemahaman Muhammadiyah mengenai qunut bukan berarti tidak menerima. Menurut Syamsul Anwar selaku Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, hadist-hadist tentang qunut salat subuh hingga Nabi saw. meninggal tidak dibenarkan karena dalilnya dhaif. Bukan hanya dhaif, hadist-hadist tersebut bertentangan dengan hadist shahih yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah qunut selama satu bulan setelah itu ditinggalkan dan tidak pernah lagi qunut. Qunut kurang relevan dilakukan hanya dalam salat subuh apabila pemahaman qunut itu lakukan untuk menolak bala/ agar terhindar dari musibah. Seharusnya, apabila pemahaman qunut seperti hal tersebut maka qunut tidak dikhususkan dalam salat subuh saja akan tetapi dalam salat 5 waktu.

NU memahami hadist diatas sebagai sebuah anjuran dari Nabi saw. sehingga dalam fiqh NU qunut ditetapkan sebagai sunnah ab’adnya salat. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwasannya dalil yang dijadikan landasan sebagai pendukung dalam ibadah, berstatus shahih. Argumen NU juga diperkuat oleh hadist riwayat Ahmad.

Meskipun berbeda dalam memahami sebuah hadist, sebagai sesama pemeluk agama islam keduanya saling menerima dan mengahargai. Perbedaan ini juga tidak mengubah tujuan NU dan Muhammadiyah yaitu untuk mensejahterakan umat muslim. NU dan Muhammadiyah juga memiliki peran penting dalam pembanguan demokrasi dan perdamaian di Indonesia. Gus Baha juga pernah mengatakan bahwa tokoh-tokoh terdahulu kedua organisasi tersebut sangat mengedepankan dialog ilmu, sehingga saling memahami perbedaan.