Desain Masjid: Simbol Iman atau Keberagamaan?

Penulis : Ibnu Salim; Editor: Ika Amiliya

Moderasi beragama telah menjadi diskursus penting dalam konteks keberagaman di Indonesia, termasuk dalam hal desain bangunan masjid. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah apakah masjid boleh menyerupai bentuk bangunan tertentu yang diasosiasikan dengan tradisi atau simbol budaya lainnya? Pertanyaan ini tidak hanya menyangkut estetika, tetapi juga menyentuh aspek teologis, budaya, dan pemahaman masyarakat tentang makna keberagamaan.

Sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah menentukan bagaimana bentuk fisik masjid harus dibuat. Masjid Nabawi pada awal pembangunannya sangat sederhana, berupa struktur dengan atap pelepah kurma. Dalam perkembangannya, desain masjid beradaptasi dengan tradisi lokal. Kubah, misalnya, sebenarnya bukan tradisi asli Islam, melainkan berasal dari tradisi Bizantium yang kemudian diadopsi oleh Kekhalifahan Otan. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk fisik masjid bukanlah elemen sakral dalam Islam, melainkan wadah yang bisa beradaptasi dengan budaya setempat.

Baca juga: Masjid Lerabaing Alor : Keunikan, Misteri, dan Saksi Bisu Toleransi di Nusa Tenggara Timur

Arsitek Adhi Moersid, perancang Masjid K.H. Hasyim Asy’ari, Jakarta, menegaskan bahwa tuduhan masjid tersebut menyerupai simbol salib adalah hoaks. Desain masjid yang diberi sentuhan ornamen Betawi dengan konsep urban agriculture justru menunjukkan upaya untuk merepresentasikan identitas lokal. Adhi juga menyatakan bahwa membangun masjid harus didasari cinta, kesungguhan, dan kejujuran, sehingga menghasilkan karya yang dapat diterima masyarakat luas. Ini menjadi pelajaran bahwa desain masjid tidak harus berkiblat pada satu gaya tertentu, apalagi memaksakan konsep “kubah” sebagai simbol keislaman.

Kiai Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal, dalam tausiyahnya pernah menekankan pentingnya menyesuaikan desain masjid dengan budaya lokal. Beliau menyebutkan bahwa di Bali atau Papua, masjid sebaiknya mengadopsi ornamen lokal agar masyarakat setempat tidak merasa asing. Masjid yang relevan dengan budaya lokal justru mempermudah dakwah Islam karena membangun kedekatan emosional. Masjid Muhammad Cheng Hoo di Batam adalah contoh konkret bagaimana unsur budaya Tionghoa dapat berpadu dengan nilai-nilai Islam, menciptakan harmoni antara Muslim dan komunitas Tionghoa.

Namun, kontroversi seperti desain Masjid K.H. Hasyim Asy’ari menunjukkan bahwa moderasi beragama belum sepenuhnya dipahami. Tuduhan bahwa masjid menyerupai simbol tertentu mencerminkan pola pikir yang cenderung eksklusif dan sempit. Pandangan semacam ini mengabaikan bahwa Islam adalah agama yang inklusif, yang menerima keragaman budaya selama tidak bertentangan dengan prinsip tauhid.

Baca juga: Ini Dia Alasan Habib Umar Memberikan Nama Abu Bakar Ash-Siddiq Kepada Seorang Mualaf yang diislamkannya Di Masjid Istiqlal

Dalam moderasi beragama, penting untuk membangun pemahaman bahwa bentuk fisik masjid bukanlah representasi keimanan, melainkan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mempertanyakan desain masjid dengan pendekatan sempit justru berpotensi menciptakan polarisasi dan mengabaikan esensi utama masjid sebagai tempat ibadah.

Maka, moderasi beragama dalam pembuatan masjid seharusnya diarahkan pada penerimaan terhadap keragaman desain yang mencerminkan identitas lokal, tanpa kehilangan nilai-nilai Islam. Perdebatan tentang masjid yang “menyerupai” bangunan budaya lain atau agama lain harus dilihat dari sudut pandang niat dan fungsi. Selama desain tersebut bertujuan untuk mempermudah dakwah dan mempererat hubungan masyarakat, tidak ada alasan untuk menolaknya.

Moderasi beragama juga membuka peluang bagi masjid untuk menjadi ruang inklusif yang menarik perhatian khalayak luas. Desain masjid yang menyerupai elemen tertentu tidak hanya menarik umat Islam, tetapi juga komunitas dari agama lain. Ketertarikan ini sering kali bermula dari pertanyaan sederhana: Mengapa masjid ini berbeda? atau Apa filosofi di balik desainnya? Dari rasa ingin tahu tersebut, dialog lintas agama dapat terbangun, yang pada akhirnya menjadi peluang untuk memperkenalkan nilai-nilai Islam secara santun dan damai. Masjid pun tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol keterbukaan yang mengundang harmoni dan saling pengertian di tengah keberagaman.

Baca juga: Potret Keharmonisan Agama di Indonesia : Surabaya Suguhkan 6 Tempat Ibadah yang Berdampingan

Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia membutuhkan moderasi beragama yang tidak hanya mengedepankan toleransi, tetapi juga pemahaman mendalam terhadap keberagaman budaya. Desain masjid yang adaptif adalah wujud nyata dari semangat moderasi beragama ini. Jangan biarkan perdebatan estetika fisik menghalangi esensi Islam sebagai rahmat bagi semesta.