Penulis: Fani Azka Radifan, Editor: Nehayatul Najwa
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman, baik dalam aspek etnis, bahasa, agama, dan budaya. Dengan lebih dari 17.000 pulau dan ratusan kelompok etnis, tantangan untuk menjaga stabilitas sosial sangat besar. Jika keberagaman ini tidak dikelola dengan baik, potensi konflik sosial dan keagamaan bisa muncul. Dalam situasi seperti ini, diperlukan individu-individu yang mampu menjadi jembatan dan penjaga harmoni sosial. Salah satu kelompok yang memiliki peran penting dalam hal ini adalah santri.
Santri yang lahir dan dibesarkan di pesantren lembaga pendidikan Islam tradisional yang tersebar di seluruh Indonesia, khususnya di daerah pedesaan tidak hanya mempelajari ilmu agama secara mendalam, tetapi juga nilai-nilai akhlak, cinta tanah air, dan toleransi. Pendidikan ini membekali santri dengan kemampuan moral dan sosial yang kuat, sehingga dapat berperan sebagai agen perdamaian dan toleransi di masyarakat.
Dalam konteks global saat ini, di mana ekstremisme agama, populisme identitas, dan ketegangan sosial-politik sering terjadi, kehadiran santri sebagai pelopor Islam moderat menjadi sangat relevan. Santri bukan hanya menjaga tradisi Islam Nusantara yang damai, tetapi juga menjadi pelaku perubahan sosial yang mampu menjembatani nilai-nilai lokal dengan tuntutan modernitas.
Baca juga: Mengembangkan Moderasi Beragama melalui Interaksi Sosial yang Inklusif dan Toleran
Keterlibatan santri dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan menunjukkan komitmen mereka terhadap kerukunan dan harmoni. Mereka sering berperan sebagai mediator dalam konflik sosial, aktif dalam dialog antaragama, dan terlibat dalam proyek-proyek kemanusiaan. Dalam hal ini, santri berfungsi sebagai pilar penting dalam menciptakan masyarakat yang inklusif dan harmonis.
Pendidikan di pesantren memiliki karakteristik khas yang membedakannya dari lembaga pendidikan lainnya. Salah satu aspek yang paling mencolok adalah pendekatan berbasis komunitas yang mengedepankan pengasuhan langsung antara kiai dan santri. Hubungan ini tidak hanya berfungsi untuk mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan spiritualitas santri.
Dalam kehidupan sehari-hari, santri diajarkan untuk hidup disiplin, sederhana, dan memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi. Mereka terbiasa berinteraksi dalam komunitas yang majemuk, di mana mereka belajar untuk menghormati perbedaan pandangan dan latar belakang. Bahkan di dalam satu pesantren, terdapat santri yang berasal dari berbagai budaya dan bahasa, menciptakan lingkungan di mana nilai-nilai toleransi dan saling menghargai tumbuh secara alami dan menjadi bagian integral dari praktik sehari-hari.
Ketika santri kembali ke masyarakat setelah menyelesaikan pendidikan mereka, nilai-nilai ini tidak hanya dibawa, tetapi juga disebarkan melalui berbagai aktivitas dakwah, pendidikan, dan pengabdian masyarakat. Di banyak desa di Indonesia, santri memegang peran sentral sebagai tokoh agama sekaligus tokoh masyarakat yang dihormati.
Mereka tidak hanya memimpin pengajian dan ibadah, tetapi juga menjadi rujukan dalam penyelesaian masalah sosial, seperti konflik antarwarga, mediasi keluarga, dan penggerak kegiatan sosial serta ekonomi lokal. Peran ini menunjukkan bahwa santri tidak hidup terpisah dari realitas masyarakat, tetapi bersatu dengan denyut nadi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, mereka berfungsi sebagai jembatan antara nilai-nilai agama dan kebutuhan masyarakat, menciptakan sinergi yang positif.
Bahkan dalam situasi pascabencana atau konflik horizontal, pesantren dan santri yang menjadi pihak pertama yang hadir untuk memberikan bantuan dan mendukung rekonsiliasi sosial. Dalam situasi-situasi kritis ini, santri tidak hanya berperan sebagai pemberi bantuan, tetapi juga sebagai mediator yang membantu meredakan ketegangan dan menciptakan kembali ikatan sosial yang mungkin telah terputus. Mereka terlibat dalam kegiatan kemanusiaan, memberikan dukungan moral dan materi kepada korban bencana, serta berupaya mendorong dialog antar kelompok yang terlibat dalam konflik. Ini adalah contoh nyata dari implementasi nilai-nilai Islam yang tidak hanya bersifat ritualistik, tetapi juga sosial-transformatif.
Baca juga : Tradisi dan Transformasi: Pendidikan Pesantren dalam Era Modern
Peran Santri dalam Menghadapi Radikalisme
Dalam era digital, santri memainkan peran yang sangat krusial dalam menghadapi radikalisme dan ekstremisme. Generasi santri milenial dan generasi Z, mereka kini memiliki akses yang lebih luas terhadap media sosial dan teknologi informasi yang memungkinkan mereka untuk menciptakan konten dakwah yang relevan dan menarik bagi kalangan muda.
Kini, dakwah santri tidak hanya dilakukan di masjid atau majelis taklim, tetapi juga menjangkau audiens yang lebih luas melalui platform-platform seperti TikTok, YouTube, dan Instagram. Mereka menciptakan konten yang kreatif dan edukatif, menghadirkan wajah Islam yang santun, inklusif, dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Dalam konteks ini, dakwah santri menjadi viral, membawa pesan damai ke ruang-ruang virtual yang sebelumnya dikuasai oleh narasi kebencian dan intoleransi.
Dengan pendekatan yang humanis dan menyenangkan, santri melawan narasi negatif yang sering beredar di media sosial. Konten-konten dakwah yang mereka hasilkan, seperti video pendek, infografis, dan cerita inspiratif, tidak hanya mendidik tetapi juga menghibur. Hal ini membuat pesan-pesan Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat luas, terutama generasi muda yang lebih aktif di dunia digital.
Baca juga : Tantangan Dakwah Moderasi Beragama di Era Digital
Santri juga menciptakan ruang diskusi yang konstruktif di kalangan generasi muda. Dengan konten yang menarik, mereka mengajak audiens untuk berdialog dan memahami ajaran Islam dengan lebih baik. Ini penting dalam melawan ideologi radikal yang seringkali menyebar melalui misinformasi dan narasi yang menyesatkan. Diskusi yang dibangun di ruang-ruang virtual ini memungkinkan pertukaran pikiran yang sehat dan menguatkan pemahaman yang lebih luas tentang toleransi dan kerukunan.
Melalui konten-konten yang mereka buat, santri meningkatkan kesadaran sosial di kalangan masyarakat. Mereka seringkali mengangkat isu-isu sosial yang relevan dan memberikan perspektif Islam yang mendukung keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan. Dengan cara ini, santri berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang lebih sadar akan pentingnya toleransi dan keberagaman.
Namun, ada juga pesantren yang dianggap radikal seperti pada Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki di Sukoharjo, Jawa Tengah, juga menjadi contoh yang sering dikaitkan dengan ekstrimisme karena beberapa alumninya terlibat dalam aksi terorisme. Meskipun pihak pesantren membantah mengajarkan terorisme, sejumlah tokoh jaringan teroris diketahui pernah menimba ilmu di sana. Tetapi tidak semua santri melakukan hal-hal seperti itu hanya beberapa oknum saja.
Keterlibatan dalam Kebijakan Publik
Peran santri dalam kebijakan publik juga tidak bisa diabaikan. Banyak alumni pesantren kini berkiprah di berbagai sektor, seperti parlemen, kementerian, lembaga pendidikan tinggi, dan organisasi keagamaan. Mereka membawa nilai-nilai pesantren, seperti kesederhanaan, musyawarah, dan cinta tanah air, ke dalam proses pengambilan keputusan politik dan pembangunan nasional.
Baca juga : Parodi Gus dan Habib di Media Sosial: Antara Kritik Sosial dan Etika Keagamaan
Salah satu contoh konkret adalah keterlibatan aktif komunitas pesantren dalam mendukung program Moderasi Beragama yang diinisiasi oleh Kementerian Agama RI. Santri menjadi ujung yombak dalam sosialisasi program ini melalui ceramah, pelatihan, dan pendekatan komunitas. Peran ini menunjukkan bahwa santri adalah aktor paling penting dalam pembangunan nasional.
Duta Kebudayaan Islam Nusantara
Dalam era globalisasi, santri memiliki potensi besar sebagai duta kebudayaan Islam Nusantara yang damai dan toleran. Beberapa pesantren bahkan telah menjalin kerja sama internasional dalam bidang pendidikan dan dakwah lintas negara. Alumni-alumni pesantren Indonesia yang belajar di Timur Tengah, Eropa, atau Asia Selatan membawa pendekatan keislaman yang kontekstual dan memperkenalkan kekhasan Islam Indonesia yang ramah budaya. Mereka berperan sebagai jembatan antara budaya lokal dan global, menunjukkan bahwa Islam dapat beradaptasi tanpa kehilangan identitasnya.
Di banyak forum internasional, Islam Nusantara yang diusung oleh komunitas pesantren mendapat apresiasi sebagai model Islam yang cocok untuk masyarakat pluralistik. Dalam diskusi-diskusi internasional, santri seringkali menjadi pembicara yang mewakili suara Islam yang moderat dan toleran. Mereka menunjukkan bahwa Islam dapat berkontribusi positif dalam membangun masyarakat yang damai dan adil.
Keterlibatan santri dalam dialog internasional dan proyek-proyek lintas budaya semakin memperkuat posisi mereka sebagai pelopor toleransi dan perdamaian. Dengan memperkenalkan nilai-nilai Islam yang inklusif, santri membantu membangun citra positif Islam di mata dunia, yang sangat penting dalam menghadapi stereotip negatif yang kerap mengemuka.
