Penulis: Dzurrotun Nafisah Anjali, Editor: Faiza Nadilah
Islam datang ke-Nusantara sebagai agama yang universal, sempurna, lentur, elastis dan selalu dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, sehingga memberikan dampak yang sangat signifikan bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Islam terus merambat ke semua penjuru bumi nusantara mengakibatkan bumi nusantara dianggap sebagai suatu negeri yang sangat kaya dengan budaya. Alasannya, secara ilmiah kehidupan agama dan budaya sedang memberi suatu ekspose tentang seluk beluk yang mendasar. Islam dikenal sebagai salah satu agama yang akomodatif terhadap tradisi lokal dan ikhtilāf ulama dalam memahami ajaran agamanya (Mubarok, 2008).
Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. kepada seluruh manusia dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang sosial politik. Beliau membebaskan manusia dari kegelapan peradaban menuju cahaya keimanan. Islam merupakan konsep agama yang humanis, yaitu agama yang mementingkan manusia sebagai tujuan sentral dengan mendasarkan pada konsep “humanisme teosentris” dimana poros Islam adalah tauhidullah yang diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dan peradaban umat manusia. Prinsip humanisme teosentris nantinya akan ditransformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan dalam konteks masyarakat budaya, dan dari sistem inilah muncul simbol-simbol yang terbentuk karena proses dialektika antara nilai agama dengan tata nilai budaya (Kuntowijoyo, 2008).
Konsep normatif agama mengenai budaya tidak hanya mencoba memahami, melukiskannya, dan mengakui keunikan-keunikannya tetapi agama mempunyai konsep tentang amr (perintah), dengan tanggung jawab. Sementara ilmu menjadikan budaya sebagai sasaran pemahaman, agama memandang budaya sebagai sasaran pembinaan. Masalah budaya bukanlah bagaimana kita memahami, tetapi bagaimana kita mengubah Di dalam keberagamaan masyarakat Muslim tidak bisa lepas dari tradisi lokal yang hidup dan berkembang sesuai dengan keadaan masyarakat setempat, dimana mereka hidup, berkomunikasi, dan beradaptasi sesuai dengan lingkungan yang ada. Proses penyebaran agama Islam yang ada di Nusantara tidak pernah terlepas dari proses akulturasi budaya, sehingga ajaran agama Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Arab dan para wali dengan mudah diterima oleh masyarakat Nusantara. Karena dalam ajaran agama Islam tidak ada istilah paksaan dalam beragama. Para penyebar agama Islam tidak pernah menyiarkan agama melalu kekerasan dan permusuhan, akan tetapi melalui kedamaian, adaptasi dengan budaya lokal sehingga lambat laun terbentuk kebudayaan baru dengan tidak menghilangkan bentuk asli dari kebudayaan tersebut.
Penerapan hal tersebut bisa kita lihat di Desa Linggoasri yang masyarakatnya memiliki keragaman beragama, tidak hanya agama Islam saja yang diyakini sebagai kepercayaan masyarakat tetapi mereka juga menganut agama Hindu, Buddha, dan Katolik. Awal mula masuk beberapa agama di Linggoasri juga sama dengan masuknya agama di Nusantara. Terjadi akulturasi antara agama-agama yang ada di Linggoasri dengan kebudayaannya menjadi sebuah praktik keagamaan yang toleran dan memiliki keterlekatan dengan modal sosial, simbolik, kebudayaan, dan material masyarakatnya.
Agama tidak lain menjadi identik dengan tradisi atau sebuah ekspresi budaya yang meyakinkan seseorang terhadap sesuatu yang suci, dan tentang ungkapan keimanan terhadap yang kuasa. Jika hubungan agama dan tradisi ditempatkan sebagai wujud interpretasi sejarah dan kebudayaan, maka semua domain agama adalah kreatifitas manusia yang sifatnya sangat relatif. Artinya bahwa, kebenaran agama yang diyakini setiap orang sebagai yang “benar”, pada dasarnya hal itu sebatas yang bisa ditafsirkan dan diekspresikan oleh manusia yang relatif atas “kebenaran”, bahwa tuhan absolut. Dengan demikian apapun bentuk yang dilakukan oleh sikap manusia untuk mempertahankan, memperbaharui atau memurnikan tradisi agama, tetap saja harus dipandang sebagai fenomena manusia atas sejarahnya, tanpa harus dilihat banwa yang satu berhak menegasikan “kebenaran” yang diklaim oleh orang lain, sambil menyatakan bahwa “kebenaran” yang dimilikinya sebagai yang “paling benar” (Abdurrahman, 2003).
Kehidupan masyarakat di Linggoasri jauh dari kata perselisihan antar umat beragama. Mereka hidup dengan rukun dan damai tanpa mengusik kepercayaan masing-masing. Sikap toleransi yang tinggi menjadi kunci utama dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera, tentram dan religius. Masyarakat disana menjalankan ibadah ajaran agama sesuai dengan kepercayaan yang dianut tanpa mengganggu kegiatan ibadah agama lain.
Pentingnya Hubungan Agama dan Budaya Lokal
Agama selalu dipandang sakral oleh para pemeluknya. Sebagai panutan hidup, setiap pemeluk agama akan berusaha sedapat mungkin untuk menyesuaikan diri sesuai dengan kadar pengetahuannya masing-masing demi mewujudkan ajaran agama tersebut dan tingkah laku sosialnya sehari-hari. Dalam keadaan seperti ini, maka agama kemudian menyatakan diri dalam bentuk tingkah laku keagamaan, baik dalam format individu maupun kelompok. Oleh sebab itu, maka secara sosiologis dikenal adanya istilah, seperti: orang-orang yang beragama (penganut), umat beragama (komunitas), dan tokoh umat beragama (pemimpin) (Abdurrahman, 1980).
Semua hasil pemikiran manusia adalah budaya; proses berpikir adalah proses kebudayaan. Kalau keberagamaan seseorang merupakan sebuah keyakinan yang banyak diperankan oleh pikiran, maka sulit untuk disangkal ketika seseorang menentukan agama tertentu untuk di anut tidak dapat terlepas dari aspek kebudayaan. Antara agama dan budaya keduanya sama-sama melekat pada diri seorang beragama dan di dalamnya sama-sama terdapat keterlibatan akal pikiran mereka. Dari aspek keyakinan maupun ibadah formal, praktik agama akan selalu bersamaan dan bahkan berintraksi dengan kebudayaan.
Kebudayaan sangat berperan penting dalam pembentukan sebuah peraktik keagamaan bagi seseorang atau masyarakat. Tidak hanya melahirkan bermacam- macam agama, kebudayaan inilah yang juga mempunyai andil besar bagi terbentuknya aneka ragam praktik beragama dalam satu payung agama yang sama. Oleh karena itu kita sebagai pemeluk agama harus akomodatif terhadap budaya yang berlaku di masyarakat.