NU Urus Tambang: Mandiri Secara Ekonomi, Tapi Gimana dengan Amanah Menjaga Alam?

Penulis: M. Robba Masula,  Editor: Muslimah

Belakangan ini, langkah NU—khususnya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)—mengelola tambang jadi sorotan publik. Kenapa? Karena pemerintah memberikan izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada PBNU untuk mengelola wilayah tambang seluas 26 ribu hektare di Kalimantan Timur. Untuk menjalankannya, NU membentuk perusahaan bernama PT Berkah Usaha Muamalah Nusantara.

Pemberian izin ini bukan asal tunjuk, semuanya dimungkinkan karena adanya perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021, yang membuka pintu bagi organisasi kemasyarakatan—termasuk NU—untuk ikut serta dalam dunia pertambangan. Tujuannya, supaya ormas-ormas besar bisa lebih mandiri secara ekonomi dan tidak terus bergantung pada bantuan pemerintah.

Secara ide, langkah ini terlihat strategis, NU berusaha memberdayakan umat melalui sektor ekonomi yang sebelumnya dikuasai segelintir pemain besar. Tapi, pertanyaannya: apakah keterlibatan NU di sektor tambang ini selaras dengan misi spiritual dan keislaman NU sendiri?

Baca juga: Jaga Dana Rakyat Menuju Indonesia Emas 2045: Strategi Mitigasi Resiko Kecurangan

Nah, untuk menjawab ini, kita bisa intip pemikiran Seyyed Hossein Nasr, seorang filsuf Islam kontemporer yang banyak bicara perihal hubungan manusia dengan alam. Menurut Nasr, krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini bukan sekadar persoalan teknis atau kebijakan keliru, tapi lebih dalam: krisis spiritual. Manusia modern, katanya, semakin terlepas dari cara pandang sakral terhadap alam.

Alam kini hanya dilihat sebagai “sumber daya” untuk dieksploitasi, bukan sebagai ayat Tuhan yang harus dihormati. Padahal dalam Islam, tugas manusia adalah menjadi khalifah, bukan penguasa absolut atas bumi. Kita diminta menjaga keseimbangan (mizan), bukan merusak tatanannya.

Kalau NU ikut main di sektor tambang tanpa membawa kesadaran spiritual ekologis, maka besar kemungkinan NU hanya akan mengulang pola lama: tambang sebagai mesin ekonomi, bukan sebagai amanah Tuhan. Bahkan bisa jadi, semangat kemandirian ekonomi justru berubah menjadi ketergantungan baru—bukan pada negara, tapi pada logika pasar dan komoditas.

Baca juga: RMB Sejati Bersamai Kelas Berkah Keuangan Muslimat NU guna Perkuat Resiliensi Keluarga Maslahah

Padahal, NU punya kekayaan intelektual dan spiritual yang luar biasa: mulai dari tradisi tasawuf, prinsip fiqh al-bi’ah, hingga kearifan lokal pesantren yang terbiasa hidup selaras dengan alam. Semua ini bisa jadi pondasi untuk menciptakan model pengelolaan tambang yang etis, adil, dan ekologis—yang tidak hanya mengejar profit, tapi juga memastikan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan warga sekitar.

Menurut Nasr, kita butuh resacralization of nature—menghidupkan kembali cara pandang bahwa alam adalah suci. Tambang, dalam hal ini, bukan sekadar urusan alat berat dan laporan keuangan, tapi juga ruang ujian moral dan spiritual.

Jika NU bisa mewujudkan ini—dengan pengawasan independen, pelibatan masyarakat adat, audit lingkungan terbuka, serta distribusi hasil yang berkeadilan—maka tambang bisa menjadi ladang dakwah ekologis. Tapi kalau tidak? Maka yang tersisa mungkin hanya debu, luka ekologis, dan retaknya kepercayaan publik terhadap organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan.

Sebagai organisasi keagamaan yang punya pengaruh besar di Indonesia, langkah NU terlibat dalam tambang tentu nggak bisa dianggap enteng. Langkah ini tentunya berdampak besar, bukan cuma secara ekonomi, tapi juga secara sosial, politik, dan—yang sering luput dibahas—secara spiritual dan ekologis.

Baca juga: Peran Dosen dalam Transformasi Sosial dan Pengabdian Masyarakat Berbasis Moderasi Beragama

Masalahnya, pengelolaan tambang penuh risiko. Seperti yang terlihat di berbagai daerah, tambang bisa menjadi sumber konflik, perusak lingkungan, bahkan penderitaan warga sekitar.

Jika NU tidak memiliki kerangka nilai yang kuat, bukan tidak mungkin niat baik untuk membangun umat malah menjadi bumerang. Dan masyarakat pasti akan meminta pertanggungjawaban—bukan hanya soal untung-rugi, tapi juga soal komitmen NU terhadap nilai-nilai Islam yang selama ini mereka bawa.

Karena itu, penting untuk NU menjadikan proyek tambang ini bukan sekadar urusan manajemen, tapi juga ruang dakwah nilai-nilai Islam tentang alam. Ini momen untuk menunjukkan bahwa Islam dapat hadir secara nyata dalam menjawab isu-isu besar zaman—termasuk soal krisis lingkungan.

Dengan pendekatan ini, NU bisa membuktikan bahwa Islam tidak hanya relevan di masjid atau majelis taklim, tapi juga di ruang-ruang kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam. Jika dijalankan dengan prinsip adil, transparan, dan spiritual, pengelolaan tambang oleh NU bisa menjadi teladan, bukan bahan celaan.

Karena pada akhirnya, ukuran keberhasilan NU dalam tambang bukan sekadar seberapa besar untung rugi, tapi seberapa besar manfaat yang dibawa—bagi bumi, manusia, dan generasi yang akan datang.

Jadi, pertanyaannya bukan hanya “boleh nggak NU kelola tambang?” tapi “apa nilai yang akan dibawa NU ke dalam tambang?” Jika jawabannya adalah tanggung jawab spiritual, keadilan sosial, dan cinta terhadap ciptaan Tuhan, maka ini bisa jadi model baru pembangunan Islam yang utuh: berkah untuk umat, rahmat untuk alam.

*sumber foto : listrikindonesia.com
Referensi:
NU dan Tambang, Sebuah Perspektif Kritik dari Perspektif Ekosofi Sayyed Hossein Nasr, (https://omong-omong.com/)
Sayyed Hossein Nasr: Islam dan Spiritual Ekologis, (https://rumahbacakomunitas.org/)
PBNU Pastikan Tidak Akan Ajukan Konsesi Tambang Untuk Perguruan Tinggi NU, (https://www.tempo.co/politik/)