Penulis: Azzam Nabil H., Editor: Amarul Hakim
Saat ini, umat Islam memasuki bulan Dzulqa’dah yang mana menjadi salah satu bulan dilaksanakannya ibadah haji. Sebagaimana dalam Quran surat al-Baqarah ayat 197, Allah swt. berfirman:
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!” (QS Al-Baqarah [2]: 197)
Sebagian besar Ulama menafsirkan bahwa bulan-bulan yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Dalam hal ini Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, maksud ayat di atas adalah waktu pelaksanaan ihram, bukan semua rangkaiaan haji. Karena pada dasarnya pelaksanaan haji tidak sampai berbulan-bulan.
Disisi lain, ada fenomena menarik yang berkaitan dengan ibadah Haji ini, dimana sebagian masyarakat Indonesia yang telah selesai melaksanakan ibadah haji, kerap kali dipasangkan dengan gelar “haji”. Namun bagaimana sebenarnya sejarah penyematan gelar haji ini?
Gelar “Haji” mulai dikenal secara luas dan digunakan secara resmi di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda. Gelar ini disematkan kepada umat Islam yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekah. Pada masa itu, perjalanan ke tanah suci sangat sulit, memakan waktu lama, dan membutuhkan biaya besar. Karena itu, hanya orang-orang tertentu yang mampu melakukannya, dan mereka pun memperoleh status sosial yang tinggi di mata masyarakat. Gelar “Haji” kemudian menjadi lambang kehormatan, keberagamaan, serta kesuksesan finansial.
Melihat sebagian masyarakat Indonesia yang melaksanakan ibadah haji, pemerintah kolonial Belanda menyadari meningkatnya jumlah jamaah haji dan merasa khawatir terhadap kemungkinan masuknya gagasan-gagasan politik Islam dari Timur Tengah yang dapat memicu perlawanan terhadap kolonialisme. Sebagai bentuk pengawasan, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Konsulat Jenderal di Arab Saudi pada tahun 1872. Konsulat ini berperan dalam mendata aktivitas jamaah asal Hindia Belanda dan mewajibkan mereka mengenakan atribut khusus, termasuk gelar “Haji,” guna memudahkan proses pemantauan, termasuk melalui izin resmi dan pencatatan administratif. Dalam hal ini, gelar “Haji” juga berfungsi sebagai instrumen kontrol sosial dan politik, karena pemerintah bisa memantau individu-individu yang berpotensi menjadi pemimpin berpengaruh di kalangan umat Islam.
Sementara itu, masyarakat memaknai gelar “Haji” sebagai simbol kemuliaan sosial dan religius. Mereka yang menyandang gelar ini sering dijadikan teladan dan dianggap memiliki tingkat spiritualitas yang lebih tinggi. Di tengah situasi kolonial, gelar ini juga menjadi bentuk perlawanan budaya terhadap dominasi Barat, karena umat Islam tetap mempertahankan identitas keagamaannya melalui ibadah dan simbol keislaman seperti gelar “Haji”. Dengan demikian, gelar ini bukan hanya mencerminkan aspek religius, tetapi juga mengandung dimensi sosial dan politik dalam konteks penjajahan.
Sehingga berkaitan dengan hal ini, ibadah haji tidak hanya menjadi kewajiban spiritual bagi umat Islam, tetapi juga memiliki makna sosial, budaya, dan politik yang kuat, terutama dalam konteks sejarah Indonesia. Gelar “Haji” yang disematkan kepada mereka yang telah menunaikannya, mencerminkan perjalanan panjang umat Islam dalam menjaga identitas, kehormatan, dan keteguhan iman di tengah tekanan kolonialisme. Kini, meskipun akses terhadap ibadah haji jauh lebih terbuka dibanding masa lalu, makna simbolis dan spiritual dari gelar tersebut tetap hidup dan menjadi bagian penting dari konstruksi sosial umat Islam Indonesia. Ibadah haji pun terus menjadi jembatan yang menghubungkan antara nilai-nilai keagamaan dan dinamika masyarakat dalam lintasan sejarah.
*Source: BPKH Sejarah Penyematan Gelar Haji di Indonesia
Sumber ilustrasi: blitar.inews.id (haji zaman kolonial belanda)