Mabrur: Menjaga Konsistensi Kebajikan (al-Birr) Hingga Ajal

Penulis: Abdul Basid*, Editor: Azzam Nabil H.

Semua orang yang menunaikan ibadah haji mengharapkan kemabruran. Haji bukan sekadar sah secara fiqh karena telah memenuhi syarat, rukun, dan kewajiban haji, melainkan harus memberikan dampak (Impact) nyata dalam kehidupan setelah kembali dari Tanah Suci. Niat yang tulus, proses ibadah yang khusyuk, dan kesungguhan untuk menjadi pribadi yang lebih baik akan memengaruhi sejauh mana ibadah haji berdampak pada diri sendiri maupun lingkungan masyarakat.

Tidak sedikit orang menganggap bahwa seseorang yang telah menunaikan ibadah haji memiliki status sosial dan tingkat keislaman yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang belum berhaji. Bahkan, ada yang merasa kecewa atau marah bila tidak dipanggil “Pak Haji” atau jika huruf “H” tidak dicantumkan di depan namanya. Gelar haji yang dianggap istimewa dan dihormati  tersebut, sengaja dibuat pada masa kolonial Hindia Belanda, untuk mengontrol masyarakat yang telah berinteraksi dengan orang-orang dunia yang dapat mengancam eksistensi pemerintah kolonial.

Baca juga: Menelisik Sisi Historis Penyebutan Gelar Haji di Indonesia

Ada pula sebagian orang yang, setelah menunaikan ibadah haji, benar-benar berharap meraih kemabruran dengan tetap menjaga keistiqamahan dalam shalat berjamaah dan berbuat baik kepada sesama. Namun, tidak sedikit pula yang tampaknya mengabaikan perubahan karakter setelah berhaji, seolah-olah ibadah haji hanya dipahami sebagai pelaksanaan kewajiban semata, pergi ke Tanah Suci, tidur di tenda, mengelilingi Ka’bah, dan melakukan ritual fisik lainnya tanpa memahami makna spiritual yang mendalam. Hal ini serupa dengan orang yang menunaikan shalat, tetapi tidak membawa pengaruh apa pun terhadap perilaku dan akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagian yang lain menunaikan ibadah haji dengan harapan memperoleh surga. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari disebutkan, “Al-hajju al-mabrur laisa lahu jazaa’ illa al-jannah,” yang kurang lebih artinya, “Tidak ada balasan yang lebih baik pada haji yang mabrur kecuali surga.” Namun, siapakah yang sebenarnya layak memperoleh julukan mabrur? Apakah setiap orang yang telah berhaji secara otomatis menjadi haji yang mabrur?

Mabrur berasal dari kata dasar birr yang berarti kebaikan atau kebajikan. Ada beberapa kata al-birr dalam al-Quran yang berarti kebajikan. Al-birr (QS. Al-Baqarah: 177) ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Al-birr (kebajikan) adalah (perbuatan) orang yang bertakwa (Q.S. Al-Baqarah:189). Salah satu kebajikan (al-birr) adalah menginfakkan harta yang dicintai (Q.S Ali Imran: 92). Pembicaraan terbaik adalah membicarakan kebajikan (birr) dan ketakwaan (taqwa) (QS. Al-Mujadilah:9), dan saling tolong-menolong dalam keduanya (Q.S. al-Maidah:3), tanpa melupakan kewajiban perbuatan baik atas diri kita (Q.S. al-Baqarah:44).

Jika kemabruran dikaitkan dengan makna birr sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, maka orang yang pulang dari ibadah haji seharusnya menunjukkan wujud ketakwaan yang nyata. Mereka menjaga keimanan kepada Allah, hari akhir, para malaikat, kitab-kitab-Nya, dan para nabi. Keimanan itu termanifestasi dalam amal perbuatan: menjaga shalat, menunaikan zakat, bersabar, serta menginfakkan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, fakir miskin, peminta-minta, dan hamba sahaya. Mereka juga senantiasa berbicara mengenai kebaikan dan ketakwaan, serta saling tolong-menolong dalam kedua hal tersebut.

Baca juga: Pengorbanan Nabi Ibrahim as: Makna Ketauhidan dan Kepasrahan dalam Berkurban

Dalam hadis riwayat Imam Bukhari-Muslim disampaikan bahwa ciri-ciri kemabruran haji seseorang adalah “thayyibul kalam,” (santun dalam bertutur kata), ifsya’ al-salam (menebar kedamaian), dan “ith’amu at-tha’am,” (mengenyangkan orang lapar) atau memiliki kepedulian sosial. Ciri-ciri tersebut akan nampak setelah kembali ke tanah air, dan terjaga hingga kematiannya. Bila dikaitkan dengan ayat-ayat di atas, thayyibul kalam: yang dibicarakan mereka adalah kebaikan (sisi positif), kalimat thayibah (dzikir, santun, dan menggunakan diksi yang baik dalam berkomunikasi), dan diam bila tidak dapat berkata baik (solutif). ifsya’ al-salam (menebar kedamaian): mereka tidak membuat pertentangan antar pribadi atau kelompok (tajassasu wa tahasadu), shalatnya memberikan dampak pada kehidupan sosial dan menjaga kedamaian. Dan ith’amu at-tha’am: mereka mengenyangkan orang lapar, dan memberikan harta terbaiknya kepada yang berhak.

Kemabruran tidak diukur dari durasi empat puluh hari sepulang haji, atau dari kopiah putih yang selalu dikenakan, melainkan dari kemampuan seseorang menjaga konsistensi ketakwaannya hingga akhir hayat. Haji yang mabrur harus memberikan dampak positif bagi diri sendiri, masyarakat, dan lingkungannya. Dampak bagi diri tercermin dalam hubungan vertikal dengan Allah Swt. (ḥablun minallāh), sebagai bentuk ketakwaan yang mendalam. Sementara itu, dampak sosial ditunjukkan melalui hubungan horizontal (ḥablun minannās dan ḥablun minal-bi’ah) dalam bentuk kesalehan sosial yang tercermin melalui kebajikan interaktif dengan sesama manusia dan alam sekitar.

*Direktorat Pendidikan Tinggi keagamaan Islam

Menelisik Sisi Historis Penyebutan Gelar “Haji” di Indonesia

Penulis: Azzam Nabil H., Editor: Amarul Hakim

Saat ini, umat Islam memasuki bulan Dzulqa’dah yang mana menjadi salah satu bulan dilaksanakannya ibadah haji. Sebagaimana dalam Quran surat al-Baqarah ayat 197, Allah swt. berfirman:

اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ

“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!” (QS Al-Baqarah [2]: 197)

Sebagian besar Ulama menafsirkan bahwa bulan-bulan yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Dalam hal ini Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, maksud ayat di atas adalah waktu pelaksanaan ihram, bukan semua rangkaiaan haji. Karena pada dasarnya pelaksanaan haji tidak sampai berbulan-bulan.

Disisi lain, ada fenomena menarik yang berkaitan dengan ibadah Haji ini, dimana sebagian masyarakat Indonesia yang telah selesai melaksanakan ibadah haji, kerap kali dipasangkan dengan gelar “haji”. Namun bagaimana sebenarnya sejarah penyematan gelar haji ini?

Gelar “Haji” mulai dikenal secara luas dan digunakan secara resmi di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda. Gelar ini disematkan kepada umat Islam yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekah. Pada masa itu, perjalanan ke tanah suci sangat sulit, memakan waktu lama, dan membutuhkan biaya besar. Karena itu, hanya orang-orang tertentu yang mampu melakukannya, dan mereka pun memperoleh status sosial yang tinggi di mata masyarakat. Gelar “Haji” kemudian menjadi lambang kehormatan, keberagamaan, serta kesuksesan finansial.

Melihat sebagian masyarakat Indonesia yang melaksanakan ibadah haji, pemerintah kolonial Belanda menyadari meningkatnya jumlah jamaah haji dan merasa khawatir terhadap kemungkinan masuknya gagasan-gagasan politik Islam dari Timur Tengah yang dapat memicu perlawanan terhadap kolonialisme. Sebagai bentuk pengawasan, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Konsulat Jenderal di Arab Saudi pada tahun 1872. Konsulat ini berperan dalam mendata aktivitas jamaah asal Hindia Belanda dan mewajibkan mereka mengenakan atribut khusus, termasuk gelar “Haji,” guna memudahkan proses pemantauan, termasuk melalui izin resmi dan pencatatan administratif. Dalam hal ini, gelar “Haji” juga berfungsi sebagai instrumen kontrol sosial dan politik, karena pemerintah bisa memantau individu-individu yang berpotensi menjadi pemimpin berpengaruh di kalangan umat Islam.

Sementara itu, masyarakat memaknai gelar “Haji” sebagai simbol kemuliaan sosial dan religius. Mereka yang menyandang gelar ini sering dijadikan teladan dan dianggap memiliki tingkat spiritualitas yang lebih tinggi. Di tengah situasi kolonial, gelar ini juga menjadi bentuk perlawanan budaya terhadap dominasi Barat, karena umat Islam tetap mempertahankan identitas keagamaannya melalui ibadah dan simbol keislaman seperti gelar “Haji”. Dengan demikian, gelar ini bukan hanya mencerminkan aspek religius, tetapi juga mengandung dimensi sosial dan politik dalam konteks penjajahan.

Sehingga berkaitan dengan hal ini, ibadah haji tidak hanya menjadi kewajiban spiritual bagi umat Islam, tetapi juga memiliki makna sosial, budaya, dan politik yang kuat, terutama dalam konteks sejarah Indonesia. Gelar “Haji” yang disematkan kepada mereka yang telah menunaikannya, mencerminkan perjalanan panjang umat Islam dalam menjaga identitas, kehormatan, dan keteguhan iman di tengah tekanan kolonialisme. Kini, meskipun akses terhadap ibadah haji jauh lebih terbuka dibanding masa lalu, makna simbolis dan spiritual dari gelar tersebut tetap hidup dan menjadi bagian penting dari konstruksi sosial umat Islam Indonesia. Ibadah haji pun terus menjadi jembatan yang menghubungkan antara nilai-nilai keagamaan dan dinamika masyarakat dalam lintasan sejarah.

*Source: BPKH Sejarah Penyematan Gelar Haji di Indonesia
Sumber ilustrasi: blitar.inews.id (haji zaman kolonial belanda)