Penulis: Fatih Qosdana, Editor: Nehayatul Najwa
Dasawarsa akhir-akhir ini sering kita jumpai bencana alam terjadi dimana-dimana, baik ditanah air maupun mancanegara, baik itu bencana alam berupa banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan bencana-bencana lainnya, yang semua itu berasal dari alam. Lantas apakah kemudian semua itu dikarenakan murka Allah terhadap makhluk-Nya atau dikarenakan alam yang enggan bersahabat kepada manusia sebab tingkah laku manusia yang angkuh, sombong, congkak, bodoh, serta enggan untuk menengok kembali harmonisasi dirinya (manusia) dengan alam semesta.
Dalam QS. Luqman ayat 14: KH. Jadul Maula Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (LESBUMI NU) masa khidmah 2022-2027, sekaligus pengasuh pondok pesantren budaya kaliopak yogyakarta menafsirkan: “anisykurlii-bersyukurlah kepada-Ku”. yaitu sikap, rasa syukur kita kepada Allah dengan cara menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan yang lebih penting daripada anisykurlii adalah kalimat selanjutnya yaitu, “waliwaalidaika-dan bersyukurlah kepada kedua orangtuamu”. Rasa syukur secara terus-menerus kita curahkan kepada makhluk-makhluk, penghuni sebelum manusia sebab manusia merupakan spesies belakangan. Sebelum manusia sudah ada spesies lain seperti mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan sebagainya. Dalam kata lain “kedua orangtua”, bapak sebagai representasi langit dan ibu sebagai representasi bumi.
Baca juga: Pergantian Siang dan Malam: Tanda Kebesaran Allah Ciptakan Alam Semesta
Imam Fakhruddin al-Razi yang akrab dengan sebutan sulthanul mutkallimin, polimatik berkebangsaan Persia menafsirkan kalimat, “anisykurlii wa liwaalidaika”, kedua orang tua adalah representasi daripada Tuhan sebab hakikat daripada segala yang wujud (yang ada didunia) berasal dari-Nya, manifestasi-Nya tergambar pada kedua orang tua. Sehingga dalam hal ini manusia harus bersyukur kepada keduanya, Allah dan kedua orang tua. “ilayyal mashir-hanya kepada-Ku kamu kembali” sebentuk benih-benih yang manusia tanam didunia guna dipetik diakhirat kelak. Dalam kata lain, balasan dari Allah bagi orang yang bersyukur kepada-Nya dan kedua orang tuanya adalah di dunia dan di akhirat kelak.
Selain dua penafsiran diatas, Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Tafsir al-Jilani yang cicitnya dari generasi ke-23 bernama, Syekh Fadhil al-Jilani al-Hasani mengungkapkan tafsir ayat tersebut, “Wawashainal insana biwalidaihi…” merupakan prototipe, perjalanan manusia dari lahir kedunia, disapih, hingga dibesarkan oleh kedua orangtuanya, kemudian Allah menyuruh manusia untuk bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan kepadanya sebab karena Allah manusia ada, dari ketiadaan. Syukur kedua yaitu manusia diperintahkan untuk melayani kedua orangtua yang telah menjaga dan menyapih hingga dewasa sehingga sempurna akal pikirannya sebab lebih lanjut dalam ayat tersebut disebutkan, karena segala yang nampak dari aktifitas manusia sejatinya adalah tindakan Allah.
Baca juga: Tekhnologi (AI) VS Kemanusiaan
Dari tiga penafsiran tersebut diatas menunjukan adanya kesinambungan antara Allah, alam, dan manusia. Pertama, manusia sebagai makhluk penghuni dunia pada fase akhir diajak untuk selalu uluk salam, menghormati, menciptakan harmonisasi terhadap seluruh penghuni langit dan bumi, baik yang tampak seperti tumbuhan, hewan, mineral ataupun yang tidak tampak seperti malaikat-malaikat Allah dan para pendahulu yang telah berpulang keharibaan Allah, juga Nabi Adam dan Siti Hawa. Kedua, sejatinya menghormati, mensyukuri terhadap alam raya yang telah Allah berikan kepada manusia adalah sebentuk rasa syukur kita kepada Tuhan, dan yang ketiga segala tindakan dan aktivitas manusia baik itu mengasihi ataupun menyakiti alam sejatinya manusia sedang dalam kontrol Tuhan, ketika ia berbuat baik dengan alam berarti nampak cahaya dalam hatinya yang bersih sedangkan ketika berbuat buruk nampak gelap hatinya yang sedang kotor.
Kemudian dalam penafsiran atas alam semesta, manusia, dan Tuhannya setidaknya bisa menjadi renungan bagi manusia bahwasannya Allah menciptakan seluruh alam raya guna manusia mau berfikir, mengingat Allah baik dalam keadaan berdiri (al-dzikr al-adzamah wa al-kibriya Allah, mengingat keagungan dan kecakapan Allah), duduk (al-dzikr al-jamal wa husn al-afdzal, mengingat kebaikan dan kemuliaan Allah), dan berbaring (al-dzikr al-basth wa al-inbisath, mengingat uluran kasih sayang dan bergembira atas kekuasaan Allah). Wallahu a’lam.