Beragama dan Berkepercayaan: Hak atau Kewajiban?

Oleh: Muhammad Jauhari Sofi, dosen Intercultural Communication di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, awardee LPDP-MoRA di Universitas Utrecht, Belanda. Editor: Tegar Rifqi

Di Indonesia ini, sering kita dengar ungkapan tentang kewajiban setiap warga negara untuk beragama atau berkepercayaan. Sekilas tidak ada yang aneh dengan ungkapan ini, karena di saat yang sama kita telah akrab dengan sila pertama dalam Pancasila. Tapi jika sedikit dicermati, dengan cara apa negara akan mewajibkan agama atau kepercayaan kepada warganya? Bagaimana negara akan mengawasi praktiknya? Bagaimana negara akan menindak pelanggarnya?

Agama dan kepercayaan masih menjadi topik yang hangat dibicarakan hingga sekarang. Fakta ini bisa dimaklumi mengingat ada begitu banyak hal dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan: peribadatan, ritual, adat-kebiasaan, nilai, simbol, dan sebagainya. Terlebih, agama juga kerap dikaitkan dengan masalah intoleransi, seperti penutupan tempat ibadah, persekusi terhadap komunitas keagamaan, tuduhan penistaan agama, dan sejenisnya.

Para penganut aliran kepercayaan juga pernah mengalami diskriminasi dalam pelayanan publik serta pencatatan sipil, sebelum akhirnya pada November 2017 Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan mereka untuk mencantumkan identitas kepercayaan dalam kartu tanda penduduk atau KTP (Sumber: Berita MK). Tulisan pendek ini ingin mengulas tentang status beragama dan berkepercayaan di Indonesia, apakah sebagai hak atau kewajiban.

Landasan konstitusional

Mari kita lihat status beragama dan berkepercayaan di Indonesia dari perspektif konstitusi, dalam hal ini Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). UUD 45 merupakan landasan hukum tertinggi yang menaungi seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Di hadapan konstitusi, kita semua sama: tidak ada mayoritas atau minoritas. UUD 45 Pasal 29 Ayat 2 secara eksplisit menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Baca Juga: Pandangan Islam dan Hukum Indonesia tentang Pernikahan Beda Agama

Bagaimana kita memaknai “kemerdekaan” di atas? Kemerdekaan berarti kebebasan yang diberikan kepada setiap individu atau warga negara untuk memilih (atau tidak memilih) dan menjalankan (atau tidak menjalankan) sesuatu, dalam konteks ini adalah beragama dan berkepercayaan. Kemerdekaan juga berarti kondisi terbebas dari tekanan atau paksaan apapun. Kemerdekaan jenis ini dijamin oleh negara. Dari pernyataan “Di warung ini, Anda bebas merokok,” misalnya, kita tahu bahwa dalam pesan bebas merokok tersirat juga kebebasan untuk tidak merokok.

Kebebasan dalam beragama dan berkepercayaan adalah bagian integral dari hak asasi manusia, sebagaimana juga diakui oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Beragama dan berkepercayaan merupakan salah satu cara manusia untuk mencari, memahami, dan mengekspresikan makna kehidupan menurut apa yang diyakininya. Oleh karenanya, jaminan perlindungan atas hak asasi ini penting karena menyangkut martabat dan harga diri manusia. Betapa pun berbeda suatu ajaran agama atau kepercayaan, perbedaan tersebut harus tetap dihormati.

Umpamanya, seseorang bebas memilih melanjutkan studi ke universitas untuk mempelajari bidang ilmu yang diyakini dapat membawa manfaat bagi masa depannya, sementara yang lain tidak. ‘Memilih melanjutkan’ atau ‘tidak memilih melanjutkan’ adalah pilihan hidup yang telah diukur berdasarkan keyakinan masing-masing orang tentang apa yang terbaik bagi diri mereka. Kebebasan perihal pilihan ini harus dilindungi karena menyangkut hak individu untuk menentukan arah dan makna hidup yang dikehendaki.

Sila ketuhanan

Meski ayat-ayat konstitusi, baik nasional ataupun internasional, mengamanatkan bahwa beragama dan berkepercayaan adalah hak, hal ini tidak otomatis menghilangkan perdebatan. Rujukannya tidak lain adalah Pancasila, dasar negara Indonesia. Banyak kalangan berpendapat bahwa beragama dan berkepercayaan adalah kewajiban, sebagaimana tersirat dalam sila ketuhanan. “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah nilai dasar yang dianut oleh negara.

Sila ketuhanan menjelaskan tentang pentingnya keberadaan Tuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Berketuhanan merupakan nilai sentral yang telah dipegang oleh masyarakat sejak berabad-abad yang lalu. Berketuhanan mendasari sendi-sendi kehidupan di Indonesia. Berketuhanan merupakan karakter kolektif masyarakat. Berketuhanan adalah identitas nasional kita, meski sila ketuhanan ini tidak dibicarakan secara spesifik dalam aturan hukum.

Baca Juga: Pendekatan Maqashid asy-Syari’ah Asy-Syatibi terhadap Moderasi Beragama dan Kebhinekaan di Desa Linggoasri

Apa artinya? Artinya, negara mendukung dan memfasilitasi kehidupan beragama dan berkepercayaan, tetapi tidak sampai memaksakannya. Dalam sistem pendidikan nasional, misalnya, pendidikan agama dijadikan sebagai mata pelajaran yang wajib diajarkan di semua jenjang sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa negara berupaya mendorong warganya untuk mampu memahami dan menjalankan nilai dan ajaran agama. Tapi apakah negara menindak orang-orang yang tidak memahami atau tidak menjalankan nilai dan ajaran agamanya? Jawabannya tidak. Negara mendukung dan memfasilitasi, namun tidak mewajibkan.

Status beragama dan berkepercayaan ini memang tampak kontradiktif antara hak dan kewajiban karena perbedaan penekanan antara Pancasila dan UUD 45. Pancasila menggariskan bahwa pengakuan terhadap Tuhan memiliki arti penting  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan UUD 45 mengaturnya sebagai bagian dari hak asasi manusia. Meski demikian, kontradiksi ini bisa dipahami sebagai harapan agar agama dan kepercayaan dijalankan atas dasar kemauan dan kesadaran warga negara.

Baca juga : Memahami Aturan Pernikahan bagi Gen Z

Sikap toleran

Kontradiksi antara beragama dan berkepercayaan sebagai hak atau kewajiban ini sebetulnya dapat menyulut isu intoleransi. Dalam hal ini, jika beragama dan berkepercayaan dilihat sebagai kewajiban mutlak, maka warga negara yang tidak memenuhi ekspektasi ini rentan menghadapi intoleransi dan eksklusi sosial. Situasi ini juga bisa melahirkan masalah-masalah lanjutan. Sementara jika dianggap sebagai hak, maka masyarakat tidak akan saling mencurigai dan potensi buruk di atas dapat dihindari. Sikap toleran perlu dikedepankan.

Istilah ‘toleransi’ sendiri diambil dari bahasa Latin ‘tolerare’ yang berarti menahan atau bertahan. Dalam pengertian umum, toleransi berarti kesabaran dalam menghadapi dan menilai pendapat, sikap, atau kebiasaan yang berbeda. Toleransi beragama, misalnya, bukanlah sikap menganggap sama nilai dan ajaran semua agama. Toleransi tidak berusaha menghapus perbedaan-perbedaan fundamental yang melekat pada setiap agama. Itulah mengapa lahir agama-agama yang berbeda.

Maka, sebenarnya, untuk bersikap toleran terhadap pemeluk agama dan kepercayaan lain, seseorang tidak perlu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang ada. Mengapa? Karena inti dari toleransi itu terletak pada kemampuan menerima perbedaan. Toleransi adalah seni menahan diri. Toleransi adalah sikap tidak terlalu menggurui. Hal ini melibatkan pengakuan bahwa setiap individu memiliki hak untuk memilih (atau tidak memilih) dan menjalankan (atau tidak menjalankan) keyakinannya sendiri.

Akhirnya, penulis menilai bahwa beragama dan berkeyakinan adalah hak asasi warga negara yang diakui dan dilindungi oleh konstitusi, bukan kewajiban. Warga negara sebagai entitas politik hanya terikat oleh ayat-ayat konstitusi, bukan ayat-ayat suci. Sedangkan ayat-ayat suci berdaulat di hati sanubari masing-masing pemeluk agama dan penganut kepercayaan sebagai pedoman diri. Hubungan seorang hamba dengan Tuhannya selalu bersifat privat dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun, oleh negara sekalipun.