Penulis: Krisna Hadi Wijaya, Editor: Lulu Salsabilah
Pancasila, sebagaimana disepakati oleh para pemuka dan founding father Republik Indonesia, sebagai ideologi dan dasar negara, juga demokrasi (syura), sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan, merupakan suatu rumusan dalam upayanya yang sangat mendasar sebagai respon atas keberagaman bangsa Indonesia yang sangat tinggi. Menurut K.H. As’ad Ali, Eks Ketua Tanfidziyah PBNU, sebagaimana dikutip oleh K.H. Afifuddin Muhajir, pancasila merupakan suatu konsensus dasar yang menjadi syarat utama atas terwujudnya bangsa yang demokratis. Hal ini tentunya sangat membutuhkan sebuah strategi dan politik (siyasah) untuk mengatur dan menjaga jalannya sistem pemerintahan yang telah ditetapkan tadi. Kebhinekaan dan keragaman ini sendiri tidak lain merupakan sebuah anugerah yang sangat besar dari Allah SWT terhadap makhluknya untuk semesta alam. Oleh karena itu, jika kebhinekaan dan keragaman ini tidak benar-benar dijaga dan dirawat dengan baik, maka akan menjadi suatu malapetaka pula bagi bangsa.
Islam, dalam pandangan Al-Qur’an dan Hadits, tidak merinci hubungan antara agama dan negara. Sebaliknya, dalil-dalil wahyu bersifat global (ijmali) dan universal (kulli). Nilai-nilai dalam dalil-dalil naqli terkait agama dan negara meliputi musyawarah (asy-syura), keadilan (al-adalah), persamaan (al-musawah), dan kemerdekaan (al-hurriyah). Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan dapat diserahkan kepada umat dengan berlandaskan pada nilai-nilai ini dan konsep maqashid asy-syari’ah sebagai tolok ukur untuk mencapai kemaslahatan. Dalam fiqh, hal ini mungkin tendensial, tetapi praktiknya diserahkan kepada umat agar memiliki strategi (siyasah) yang efisien.
Keberadaan negara bukanlah tujuan (ghayah) melainkan sekedar alat (wasilah) untuk mencapai kemaslahatan bersama dalam berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai kesempurnaan tujuan, harus dicapai pula kesempurnaan alat. Mengingat keragaman di Indonesia, tidak mungkin jika pengaturan berasal dari kesepakatan satu agama saja. Agama dan negara bukanlah dikotomi yang memperadukan keduanya. Sebaliknya, Islam adalah representasi tersendiri terhadap negara dalam mengatur dan mengelola kesejahteraan rakyat.
Berpijak dari fakta yang ada, terkait keragaman dan kebhinekaan yang harus dirawat dan dijaga kelestariannya, tentulah, dengan berdasar pada kaidah yang telah disebutkan pula, bahwa kepentingan umum dalam artian kepentingan negara lebih diutamakan daripada sekedar kepentingan suatu kelompok/golongan tertentu. Seperti kaidah ushul fiqh yang mengatakan: أَلْمَصْلَحَةُ الْعَامّةُ مُقَدَّمَةٌ مِنَ الْمَصْلَحَةِ الْخَاصّةِ yang berarti, “Kemaslahatan yang umum lebih didahulukan daripada kemaslahatan yang khusus.”
Selain itu, di dalam agama Islam strategi atau politik (siyasah) yang nantinya dijadikan sebagai sebuah konsensus bersama untuk mewujudkan cita-cita bersama dengan keragaman, masuk ke dalam kategori yurisprudensi fiqh muamalah (hukum sosial), yang mana pada dasarnya melaksanakannya ialah dihukumi ibahah (netral/diperbolehkan), selama dalam pelaksanaannya tidak ada hukum yang menyatakan keharamannya atau diketahui larangan untuk melakukannya. Dengan demikian, fiqh siyasah juga masuk ke dalam kategori fiqh muamalah tadi, sudah dimaklumi bersama bahwa hukumnya ialah diperbolehkan demi tercapainya sebuah kemaslahatan bersama (al-mashlahah al-ammah) yang tentunya lebih diutamakan dibanding kemaslahatan suatu kelompok/golongan (al-mashlahah al-khassah), lebih-lebih dalam negara Indonesia yang majemuk ini.
Rumusan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, serta sistem demokrasi (syura), adalah konsensus yang sangat mendasar dan relevan bagi masyarakat Indonesia. Perbedaan adalah fitrah dari keragaman suku, budaya, ras, dan agama. Dalam praktiknya, harus mengacu pada kesepakatan yang telah dibuat oleh para pendahulu, meski masyarakat berkembang secara dinamis. Konsensus ini adalah strategi (siyasah) untuk mencapai cita-cita bangsa dan negara: ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Negara Indonesia menyelenggarakan kehidupan beragama atas dasar spirit ketuhanan. Tuhan mendelegasikan umat manusia untuk menata sistem kenegaraan sesuai panduan kitab suci mereka serta memperhatikan konteks realitas manusia yang dihadapinya. Islam memandang manusia sebagai khalifatullah, yaitu pemimpin yang mendapatkan mandat atau amanah sebagai pelanjut tugas pokok kenabian: menjaga agama (hirasat ad-din) dan menjaga dunia (hirasat ad-dunya). Negara Islam lebih tepat disebut sebagai negara teo-demokrasi, yang memadukan konsep ketuhanan (teosentris) dan kemanusiaan (antroposentris) sebagai khalifah Tuhan secara berimbang. Politik yang relevan dengan syara’ disebut siyasah asy-syar’iyyah.
Negara tidak mengharuskan kesamaan golongan seperti suku, budaya, ras, atau agama, tetapi kesamaan cita-cita (ghayah). Strategi atau politik (siyasah) yang dijadikan landasan untuk mencapai hal tersebut harus menjadikan manusia lebih dekat dengan kebaikan dan menjauhi kerusakan (mafasid). Strategi dalam Islam menggunakan yurisprudensi fiqh muamalah, yang relevan dengan konsep maqashid asy-syari’ah.
Asy-Syatibi dalam Al-Muwafaqat menjelaskan konsep maqashid asy-syari’ah sebagai aturan hukum untuk mengambil kemaslahatan dan menjauhi kerusakan (jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid). Bagaimana Islam dengan konsep maqashid asy-syari’ah merepresentasikan moderasi beragama guna mencapai dua tugas pokok kenabian: menjaga agama (hirasat ad-din) dan menjaga dunia (hirasat ad-dunya) yang dikaitkan dengan keutuhan negara?
Asy-Syatibi membagi maqashid asy-syari’ah menjadi tiga aspek: dlaruriyat (primer), hajiyyat (sekunder), dan tahsinat (tersier). Maqashid dlaruriyat (primer) adalah sesuatu yang harus ada untuk tercapainya kemaslahatan agama dan dunia. Asy-Syatibi menyebut lima poin penting yang harus dijaga: hifdz ad-din (menjaga agama), hifdz an-nafs (menjaga jiwa), hifdz an-nasl (menjaga keturunan), hifdz al-mal (menjaga harta), dan hifdz al-aql (menjaga akal).
Penerapan moderasi beragama di Linggoasri, sebuah desa di Kecamatan Kajen Kabupaten Pekalongan, dengan pendekatan konsep maqashid asy-syari’ah, memperlihatkan bagaimana seruan moderasi dalam Islam diterapkan. Mini riset dilakukan di desa Linggoasri pada 14 November 2023 oleh mahasiswa UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan. Desa Linggoasri telah mendapatkan berbagai penghargaan sebagai desa moderasi beragama tingkat nasional dan internasional. Menurut Bapak Taswono, tokoh agama Hindu di desa Linggoasri, keberhasilan ini juga berkat kontribusi dosen pengampu mata kuliah moderasi beragama.
Di Linggoasri terdapat beragam agama: Islam (mayoritas), Hindu, Budha, dan Kristen. Keragaman agama dan budaya di sana telah ada sebelum generasi saat ini lahir. Keragaman tersebut adalah anugerah dari Tuhan yang harus dijaga agar tidak terjadi konflik.
Menurut Bapak Taswono, moderasi beragama adalah keharusan dan konsensus mendasar untuk mencapai kerukunan antar warga. Moderasi beragama di Linggoasri mencakup komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap budaya. Lima poin maqashid dlaruriyat/ maqashid syariah diterapkan dengan pendekatan min haitsu al-wujud (dari segi adanya) dan min haitsu al-adam (dari segi tiadanya):
- Hifdz ad-din (menjaga agama): Moderasi beragama mencegah fanatisme yang dapat menyebabkan pertikaian antar kelompok agama.
- Hifdz an-nafs (menjaga jiwa): Moderasi beragama mencegah ancaman terhadap jiwa dan psikis akibat konflik antar kelompok agama.
- Hifdz an-nasl (menjaga keturunan): Moderasi beragama mencegah ancaman terhadap keselamatan keturunan akibat konflik berkelanjutan.
- Hifdz al-mal (menjaga harta): Moderasi beragama mencegah ancaman terhadap interaksi sosial dan ekonomi antar kelompok agama.
- Hifdz al-aql (menjaga akal): Moderasi beragama mencegah pola pikir buruk yang dapat mengancam kesehatan akal dan keselamatan berpikir.
Moderasi beragama di Linggoasri adalah keharusan berkelanjutan untuk menjaga kelestarian agama dan dunia. Islam sebagai agama mayoritas di sana, menerapkan pilar-pilar moderasi beragama, yang sesuai dengan dalil-dalil naqli dalam Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran-ajaran agama harus diseriusi untuk mencapai kebaikan bersama.