AI dalam Pendidikan: Pelengkap bukan Pengganti!

Penulis: Akhmad Aufa Syukron, Editor: Ika Amiliya Nurhidayah

Peran guru dalam perspektif pedagogik modern tidak dapat direduksi sekadar sebagai transmiter pengetahuan, melainkan sebagai fasilitator perkembangan holistik peserta didik. Vygotsky (1978) dalam teori konstruktivisme sosialnya menegaskan bahwa pembelajaran yang bermakna terjadi melalui interaksi sosial dan bimbingan dari pihak yang lebih kompeten, di mana guru berperan sebagai penyedia scaffolding untuk mengoptimalkan zona perkembangan proksimal siswa. Proses ini bersifat dinamis dan kontekstual, memerlukan pemahaman mendalam terhadap karakteristik individual siswa yang tidak mungkin dapat dipenuhi oleh sistem AI yang bersifat deterministik.

Dalam kerangka hukum Indonesia, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara eksplisit mendefinisikan guru sebagai pendidik profesional yang tidak hanya bertugas mengajar, tetapi juga membimbing, mengarahkan, dan mengevaluasi peserta didik secara komprehensif. Hal ini sejalan dengan temuan Hattie (2009) dalam meta-analisisnya yang menunjukkan bahwa faktor paling signifikan dalam keberhasilan pembelajaran adalah adanya guru yang mampu membangun hubungan pedagogis yang bermakna dengan siswa, suatu kapasitas yang tidak dimiliki oleh sistem AI sekalipun yang paling canggih sekalipun.

Dari perspektif pendidikan Islam, Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah ayat 151 menggariskan tiga dimensi fundamental pendidikan: ta’līm (transfer pengetahuan), tazkiyah (pemurnian jiwa), dan tadrīs (pembelajaran hidup). Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menjelaskan bahwa proses tazkiyah memerlukan keteladanan langsung (qudwah) dan interaksi manusiawi yang bersifat transformatif, berbeda dengan pengetahuan kognitif yang dapat diajarkan melalui media apapun. Hal ini diperkuat oleh penelitian Zarkasyi (2020) yang menemukan bahwa pendidikan karakter dalam tradisi pesantren efektif justru karena kuatnya hubungan emosional antara kyai dan santri.

Baca juga: Penguatan Pendidikan Inklusif sebagai Wujud Implementasi Nilai–Nilai Luhur Ajaran Islam

Penelitian terbaru oleh Luckin dkk. (2022) mengkonfirmasi bahwa meskipun AI dapat meningkatkan efisiensi pembelajaran kognitif, sistem ini memiliki keterbatasan mendasar dalam aspek pendidikan afektif dan psikomotorik. Studi longitudinal di Finlandia (Holmes dkk., 2023) menunjukkan bahwa kelas yang menggunakan tutor AI memang mengalami peningkatan nilai tes standar, tetapi menunjukkan penurunan signifikan dalam motivasi intrinsik dan keterampilan sosial dibandingkan kelas dengan guru manusia. Temuan ini konsisten dengan teori humanistik Rogers (1969) yang menekankan pentingnya unconditional positive regard dalam proses pembelajaran, suatu kualitas yang melekat pada relasi manusiawi.

Integrasi AI dalam pendidikan seharusnya dipahami dalam kerangka augmentasi (penambahan) bukan substitusi (penggantian). Sebagaimana dinyatakan oleh Selwyn (2021), teknologi pendidikan paling efektif ketika berfungsi sebagai alat bantu guru, bukan sebagai pengganti. Paradigma ini sejalan dengan konsep Islam tentang teknologi sebagai wasilah (sarana), bukan ghayah (tujuan akhir), sebagaimana termaktub dalam kaidah fiqih “al-wasā’il lahā ahkām al-maqāshid“(sarana-sarana itu hukumnya mengikuti tujuan-tujuannya).

Perdebatan mengenai kemampuan AI menggantikan peran guru pada hakikatnya menyentuh persoalan fundamental tentang hakikat pendidikan itu sendiri. Berdasarkan analisis multidimensi yang mencakup landasan hukum (UU No. 14 Tahun 2005), teori pedagogik (konstruktivisme, humanistik), penelitian empiris terkini, serta perspektif Al-Qur’an dan pendidikan Islam, menjadi jelas bahwa teknologi AI dengan segala kecanggihannya hanya mampu berperan sebagai alat bantu (tool) dalam proses pembelajaran, bukan sebagai pengganti (substitute) untuk peran sentral guru.

Baca juga: Pentingnya Pendidikan dan Sosial dalam Mengadvokasi Moderasi Beragama

Pendidikan yang hakiki bukan sekadar transmisi pengetahuan, melainkan proses humanisasi yang melibatkan pembentukan karakter, penanaman nilai, dan pengembangan kecerdasan emosional-spiritual, di mana semua itu memerlukan sentuhan manusiawi yang hanya dapat diberikan oleh guru. Dalam konteks ini, AI ibarat pisau bermata dua: bisa menjadi mitra strategis guru jika digunakan secara bijak, tetapi berpotensi mereduksi makna pendidikan jika dianggap sebagai solusi tunggal.

Di masa depan, kolaborasi sinergis antara kecerdasan buatan (AI) dan kecerdasan manusiawi guru dengan tetap menempatkan guru sebagai subjek utama menjadi keniscayaan untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang tidak hanya cerdas secara teknologis, tetapi juga berkarakter secara moral dan spiritual, sebagaimana diajarkan dalam nilai-nilai Islam tentang integrasi ilmu dan akhlak. Dengan demikian, guru tetap akan menjadi “ruh” pendidikan yang tak tergantikan, sementara AI berperan sebagai “jasad” yang mempermudah proses administrasi dan transfer pengetahuan.

*Ilustrasi: Artificial Intelligence (AI)