Penulis: Dr. Muhammada Ash-Shiddiqy, M.E.
Editor: Nehayatul Najwa
Sejarah Nusantara kerap menyimpan cerita penuh intrik dan konflik yang membentuk wajah peradaban. Salah satu bab yang menggambarkan dinamika kekuasaan di tanah Jawa adalah perjalanan kepemimpinan Kerajaan Demak, yang pada akhirnya mengalami perpecahan dan transisi menuju Pajang, serta kemudian Mataram. Cerita ini bukan sekadar catatan peristiwa, melainkan cermin betapa rumitnya relasi antara kekuasaan, takdir, dan moralitas, di mana “benar-salah” tak selalu hitam putih.
Lembah Intrik Setelah Raden Fatah
Setelah Raden Fatah wafat, Kerajaan Demak diemban oleh Patiunus. Namun, masa pemerintahannya hanya berlangsung singkat selama tiga tahun. Patiunus harus mengemban tugas berbahaya dalam ekspedisi ke Malaka melawan Portugis suatu misi yang kemudian menutup perjalanan kepemimpinannya. Karena keberaniannya menyeberangi lautan dalam misi tersebut, ia dikenang sebagai Pangeran Sabrang Lor. Namun, kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan menyulut gelombang intrik yang akan mengguncang struktur kerajaan.
Seharusnya, penerus yang berikutnya adalah Pangeran Kinkin. Namun, nasib berkata lain. Di sungai, sepulang sholat Jumat, Pangeran Kinkin dibunuh oleh utusan Pangeran Prawoto, yang ternyata merupakan keponakan sendiri—anak dari Pangeran Trenggono. Pembunuhan inilah yang membuat Pangeran Kinkin mendapat julukan Pangeran Sedo Lepen, menandai awal dari konflik internal yang terus bergulir.
Baca juga: Mencintai Budaya Bangsa Melalui Peringatan Hari Batik Nasional
Pertarungan Kekuatan dan Legitimasi Tahta
Setelah kepergian Pangeran Kinkin, garis suksesi seharusnya beralih kepada putranya, Pangeran Aryo Penangsang. Namun, karena masih berusia muda, tanggung jawab kepemimpinan jatuh ke Pangeran Trenggono dan dilanjutkan oleh Pangeran Prawoto. Seiring berjalannya waktu, Pangeran Aryo Penangsang pun tumbuh dewasa dan menuntut haknya atas tahta Demak serta menuntut balas atas kematian ayahandanya.
Dukungan datang dari pihak yang tak terduga; melalui restu gurunya, Sunan Kudus, Pangeran Aryo Penangsang dibekali dengan Keris Kyai Betok, senjata sakral yang diyakini membawa keberkahan dan kekuatan ilahi. Melalui utusannya, yang dikenal dengan nama Rungkut, ia membidik Pangeran Prawoto dan akhirnya berhasil membunuh sang penguasa. Tindakan ini pun menimbulkan gelombang kontroversi, karena pertumpahan darah dalam urusan kekuasaan kerap menyisakan noda yang sulit dihapuskan.
Ratu Kalinyamat: Perlawanan atas Ketidakadilan
Tidak semua pihak rela melihat tindakan berdarah tersebut tanpa perlawanan. Ratu Kalinyamat, adik dari Pangeran Prawoto, merasa sangat tersentuh oleh pembunuhan kakaknya. Dalam suatu perjalanan pulang dari Kudus ke Jepara, Ratu Kalinyamat bersama Sultan Hadirin (suaminya) mencoba mengajukan protes kepada Sunan Kudus atas ketidakadilan yang terjadi. Namun, keinginan untuk mencari keadilan malah menjadi pemicu kekerasan. Dalam perjalanan, Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadirin diserang oleh utusan Pangeran Aryo Penangsang, yang mengakibatkan wafatnya Sultan Hadirin.
Kehilangan suami membuat Ratu Kalinyamat semakin terpukul. Sesampainya di Jepara, ia memutuskan untuk meninggalkan keraton dan menetap di “Topo Wudho” di Gunung Donorojo. Dengan hati yang perih, ia bersumpah tidak akan tenang hingga darah Pangeran Aryo Penangsang terbalas, dan siapa pun yang mampu menggulingkannya akan diberikan “wahyu keprabon” untuk memimpin Kerajaan Demak. Sumpah inilah yang menggiring jalannya sejarah menuju pergantian kekuasaan yang lebih drastis.
Baca juga: Meneladani Sikap Patriotisme Pahlawan Nasional: Pangeran Diponegoro.
Pertempuran Sakral Menuju Transisi Kekuasaan
Cerita berlanjut dengan kehadiran Joko Tingkir, penguasa Pajang sekaligus ipar tertua Ratu Kalinyamat, yang akhirnya menerima tawaran untuk turun tangan. Ia mengutus Danang Sutowijoyo, yang dibekali Tombak Kyai Pleret, serta dibantu oleh Ki Ageng Penjawi dan Ki Ageng Pemanahan dua murid dari Sunan Kalijaga untuk menghadapi Pangeran Aryo Penangsang yang kini telah menjadi sosok penguasa dengan senjata keris sakti bernama Kya Brongot Setankober.
Dalam pertempuran yang dipenuhi dengan taktik siasat dan kepercayaan terhadap kekuatan sakral, Pangeran Aryo Penangsang akhirnya jatuh. Tombak Kyai Pleret menancap pada titik lemah, dan sang pangeran pun terbunuh oleh keris saktinya sendiri. Kemenangan ini bukan hanya mengakhiri masa kekuasaan Demak, melainkan juga menandai berakhirnya era konflik internal yang sudah lama menyelimuti kerajaan tersebut.
Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, Ki Ageng Penjawi dianugerahi tanah Pati, sementara Danang Sutowijoyo dan Ki Ageng Pemanahan memperoleh wilayah Alas Mentaok, yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Mataram. Sesuai janji Ratu Kalinyamat, Kerajaan Demak berakhir dan digantikan oleh Pajang.
Dari Pajang ke Mataram: Perubahan yang Tak Terelakkan
Namun, dinamika politik tidak berhenti sampai di situ. Kerajaan Pajang sendiri tidak bertahan lama. Konflik internal yang muncul antara Pangeran Benowo dan Aryo Pangiri yang diwarnai oleh intrik antara anak dan menantu membawa nasib baru bagi tanah Jawa. Pangeran Benowo, yang berkoalisi dengan Danang Sutowijoyo (yang kini dikenal sebagai Panembahan Senopati), berhasil menyingkirkan Aryo Pangiri. Dengan demikian, pajang pun secara perlahan menghilang dan transisi kekuasaan berpindah ke Kerajaan Mataram.
Perjalanan sejarah ini memberikan pelajaran mendalam tentang sifat kekuasaan yang selalu diwarnai oleh intrik, pengkhianatan, dan ambisi pribadi. Dalam kisah yang penuh “benar-salah” ini, tidak ada pihak yang sepenuhnya bersih. Setiap tindakan, baik yang diambil atas dasar kebenaran maupun kepentingan pribadi, memiliki dampak yang besar terhadap nasib umat dan jalannya sejarah.
Baca juga: Menghargai dan Memperbarui: Kontribusi Islam dalam Pelestarian Budaya Lokal
Refleksi Akhir: Hikmah di Balik Intrik dan Kekuasaan
Cerita tentang Patiunus, Pangeran Kinkin, Pangeran Aryo Penangsang, Ratu Kalinyamat, hingga Joko Tingkir menyisakan renungan bahwa dalam perjalanan sejarah, konflik kekuasaan tidak hanya soal perebutan tahta. Di balik setiap konflik terdapat ujian moral dan spiritual yang harus dijalani oleh setiap insan yang terlibat.
Intrik ini mengajarkan bahwa setiap keputusan dan tindakan memiliki konsekuensi, dan “benar-salah” seringkali bersifat relatif, tergantung sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Dalam tradisi kejawen dan ajaran para wali, keutamaan selalu diutamakan pada nilai keadilan, keikhlasan, dan kerendahan hati. Bahkan dalam masa kekacauan, pesan moral tentang keutamaan pengampunan, keadilan, dan kebijaksanaan selalu ditanamkan melalui ajaran para guru spiritual seperti Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga.
Mungkin, sejarah ini menjadi cermin bagi kita untuk selalu berhati-hati dalam menilai setiap tindakan di dunia yang penuh liku. Setiap intrik, setiap pengkhianatan, dan setiap perebutan kekuasaan, pada akhirnya harus dihadapi oleh takdir yang maha adil. Seperti kata pepatah, “Hukum waktu tidak pernah salah,” dan setiap kebenaran akan terungkap pada waktunya.
Wallahu a’lam bishawab
(والله أعلمُ بالـصـواب)