Pandangan Islam tentang Hadiah Natal dalam Menjalin Kerukunan Umat Beragama

Penulis: Sirli Amry, Editor: Azzam Nabil H

Bulan Desember merupakan bulan yang sangat dinantikan oleh umat kristiani. Mengapa demikian? Karena pada tanggal 25 Desember, mereka menyambut perayaan besarnya, Hari Natal, hari raya umat kristiani. Dalam natal, saling bertukar kado sebagai hadiah adalah salah satu ciri khas perayaannya. Tradisi ini merupakan simbol penghormatan dan kasih sayang antara sesama umat kristiani. Selain itu, pemberian hadiah merupakan bentuk cara mereka mengungkapkan kegembiraan perayaan Hari Natal.

Lalu, Bagaimana jika seseorang yang menerima hadiah natal tersebut adalah orang muslim? Seperti apa hukumnya dalam perspektif islam?

Dikutip dari laman Jombang NU Online bahwa hukum menerima hadiah natal dari umat kristiani adalah boleh. Dalam hal ini, menerima kado dari umat kristiani bukan berarti kita meyakini atau memberikan pembenaran terhadap keyakinan agama lain, melainkan sebuah bentuk toleransi dengan saling menghormati perayaan antar umat beragama. Syekh Zakaria Al-Anshari dalam kitabnya Asna Al-Mathalib Fi Syarhi Raudhi Al-Thalib Juz II halaman 480 menjelaskan:

(وَيَجُوزُ قَبُولُ ‌هَدِيَّةِ ‌الْكَافِرِ) لِلِاتِّبَاعِ

Artinya: “Diperbolehkan menerima hadiah (kado) dari orang kafir karena ittiba’ (ikut sunnah kanjeng nabi).”

Menurut Syekh Zakaria Al Anshari, menerima hadiah dari orang kristen dengan tujuan mengikuti sunnah nabi Muhammad SAW (ittiba’) hukumnya adalah diperbolehkan. Selain penjelasan dari beliau terkait diperbolehkannya menerima hadiah dari saudara non-muslim, Ulama Lembaga Fatwa Mesir pun berpendapat bahwa menerima dan membawa hadiah kepada umat kristiani pada hakikatnya tidak dilarang dalam hukum Islam. Hal ini termasuk dalam bentuk perilaku moral yang baik. Pun demikian dengan hadiah yang diterima, tidak menjadi masalah jika hadiah tersebut bukanlah hadiah yang haram atau yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Baca Juga:  Menghargai dan Memperbarui: Kontribusi Islam dalam Pelestarian Budaya Lokal

Nabi Muhammad SAW pun pernah menerima hadiah dari non-muslim yang bahkan tidak hanya sekali. Kisah ini tercantum dalam hadits Riwayat Imam Al-Tirmidzi sebagai berikut:

 حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَعِيدٍ الْكِنْدِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ ثُوَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ كِسْرَى أَهْدَى لَهُ فَقَبِلَ وَأَنَّ الْمُلُوكَ أَهْدَوْا إِلَيْهِ فَقَبِلَ مِنْهُمْ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Sa’id Al Kindi berkata, telah menceritakan kepada kami, Abdurrahim bin Sulaiman dari Isra’il dari Tsuwair dari Bapaknya dari Ali berkata, “Raja Kisra memberikan hadiah kepada beliau lalu beliau menerimanya, dan Raja-raja juga memberikan hadiah kepada beliau lalu beliau menerimanya.”

Kisah Nabi Muhammad SAW kala menerima hadiah dari Kisra dan para raja menunjukkan bahwa hadiah dapat membangun hubungan sosial yang baik di kedua belah pihak. Islam memandang hadiah sebagai sarana untuk mempererat jalinan persaudaraan antar sesama umat manusia, bukan sebagai bagian dari ritual beribadah. Dengan memberikan hadiah, diharapkan dapat tercipta hubungan yang harmonis, saling menghormati, serta menambah eratnya persaudaraan antar sesama.

Baca Juga:  Potret Keharmonisan Toleransi dalam Keberagaman Agama di Desa Linggoasri

Nabi menerima hadiah tersebut tentu bukan karena motif keagamaan, melainkan bentuk penghargaan dan penerimaan niat baik dari pemberinya. Hal ini memperlihatkan bahwa hadiah dalam konteks ini bermakna universal dan mampu melampaui perbedaan agama, budaya, dan status sosial. Selama hadiah yang diterima tidak bertentangan dengan prinsip dan syariat, hukum menerima hadiah dalam Islam adalah diperbolehkan. Karena hal ini merupakan bagian dari adab dan etika dalam bermuamalah.

Membahas tentang bermuamalah, Allah tidak melarang umat Islam untuk menjaga hubungan baik dengan non-muslim. Hal ini tercantum jelas dalam Surat Mumtahanah (60) ayat 8 sebagai berikut:

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ۝٨

Artinya: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”

Baca Juga: Potret Keharmonisan Agama di Indonesia : Surabaya Suguhkan 6 Tempat Ibadah yang Berdampingan

Ayat ini menegaskan tentang pentingnya bersikap adil dan berbuat baik kepada non-muslim yang tidak memerangi umat Islam. Penting pula bagi orang awam seperti kita untuk memahami lebih dalam mengenai perspektif Islam dengan bijak dan toleran dalam rangka menjalin kerukunan antar umat beragama. Sikap bijak dan toleran seperti saling memberi hadiah membantu kita untuk menjaga harmoni dan kedamaian di tengah masyarakat yang beragam. Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa berbuat baik kepada sesama manusia. Menerima hadiah dari non-muslim dalam perayaan Natal, bukanlah bentuk pengakuan keyakinan agama lain, melainkan wujud dari akhlak mulia dan adab bermuamalah yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

Pemahaman yang keliru mengenai batasan-batasan ini sering kali memicu kesalahpahaman dan konflik yang sebenarnya dapat dihindari jika setiap individu memahami ajaran Islam dengan lebih mendalam. Oleh karena itu, bersikap bijak, memahami konteks, dan merujuk pada sumber-sumber terpercaya dalam ajaran Islam sangat penting untuk membangun hubungan yang harmonis dan penuh saling pengertian antarumat beragama.