Harmoni Budaya: Adaptasi Masyarakat Non-Hindu dalam Pertunjukan Ogoh-Ogoh

Penulis: Maulana Akhmad Nurfauzi, Editor: Kharisma Shafrani, Amarul Hakim

Seni adalah produk dari tingkah laku manusia yang dilakukan secara sadar, yang didasari oleh pikir serta olah rasa. Seni pertunjukan adalah aspek-aspek yang divisualisasikan dan diperdengarkan mampu mendasari suatu perwujudan yang disebut sebagai seni pertunjukan. Pertunjukan memiliki tiga unsur pokok yaitu pertunjukan adalah peristiwa yang secara ketat atau longgar bersifat terancang, sebagai sebuah interaksi sosial dengan ditandai kehadiran fisik para pelaku dan peristiwa pertunjukan terarah pada ketrampilan dan kemampuan olah diri jasmanai serta rohaniatau kedua-duanya.

Ogoh-ogoh adalah karya seni patung yang menggambarkan kepribadian butha kala. Dalam ajaran Hindhu Dharma, butha kala mempresentasikan kekuatan alam semesta (Butha) dan waktu (kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Perwujudan patung ogoh ogoh yang dimaksud adalah sosok butha kala yang sering digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan, biasanya diwujudkan dalam bentuk raksasa. Selain wujud raksasa, ogoh-ogoh biasanya digambarkan dengan makhluk-makhluk atau hewan yakni seperti gajah, naga, kera, babi, dan sebagainya.

Ogoh-ogoh merupakan boneka atau patung yang beraneka rupa yang menjadi simbolisasi unsur negatif, sifat buruk, dan kejahatan yang ada di sekeliling kehidupan manusia. Boneka tersebut dahulu terbuat dari kerangka bambu yang dilapisi kertas. Seiring waktu, kebanyakan ogoh-ogoh saat ini dibuat dengan bahan dasar sterofoam karena menghasilkan bentuk tiga dimensi yang lebih halus. Pembuatan ogoh-ogoh ini dapat berlangsung sejak berminggu-minggu sebelum Nyepi. Waktu pembuatan ogoh-ogoh dapat bervariasi bergantung pada ukuran, jenis bahan, jumlah SDM yang mengerjakan, dan kerumitan desain dari ogoh-ogoh tersebut. Fungsi utama ogoh-ogoh yakni digunakan sebagai representasi butha kala yang dibuat menjelang hari Nyepi. Setelah ogoh ogoh dibuat, kemudian diarak beramai-ramai keliling desa pada satu hari sebelum hari Nyepi.

Pertunjukan ogoh-ogoh dilaksanakan sesuai kondisi alam dan sumber daya manusia yang ada di Desa Linggoasri. Bentuk boneka ogoh-ogoh yang dibuat di Desa Linggoasri memiliki tinggi sekitar 2,5 m dan lebar sekitar 1,5 m. Ogoh-ogoh pada pertunjukan tahun ini terdiri dari 2 boneka. Boneka yang pertama merupakan perwujudan manusia raksasa yang memiliki dua mata besar, mulut lebar dan bergigi taring, berwarna hijau, berkuku panjang, dan berambut panjang tebal. Manusia yang tergambar pada boneka tersebut merupakan sifat manusia yang serakah, mudah marah, dengki, dan jahat. Pada kaki manusia tersebut ditumpangi kepala hewan kera. Kera dipilih karena kera sendiri dipandang memiliki sifat yang licik. Boneka kedua digambarkan menyerupai tubuh manusia yang berkepala babi. Pemilihan hewan babi sebagai bentuk boneka ogoh-ogoh ini dikarenakan sifat babi yang ganas, serakah dan dianggap tidak baik. Tubuh patung kedua tidak jauh berbeda dengan boneka yang pertama, hanya saja ukuran boneka yang kedua ini lebih sedikit kecil.

Ogoh-ogoh juga dimaknai sebagai simbol wujud keangkaramurkaan. Ogoh-ogoh yang diarak bertujuan sebagai simbol penyerapan segala sifat buruk atau segala sesuatu yang tidak baik masuk ke dalam boneka ogoh-ogoh tersebut, kemudian ogoh-ogoh dimusnahkan dengan harapan bahwa segala sifat buruk yang ada pada diri manusia. Pertunjukan ogoh-ogoh masuk dalam rangkaian tawur kesanga dalam upacara Nyepi yang diawali dengan ngidung yakni menyanyikan lagu-lagu jawa oleh semua umat di dalam pura.

 

Strategi Adaptasi Masyarakat NonHindu Pada Pertunjukn Ogoh-Ogoh

Adaptasi merupakan sebuah sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya. Spradley menyatakan bahwa proses adaptasi dipengaruhi oleh persepsi dan interpretasi seseorang terhadap suatu objek yang selanjutnya menuju pada sistem kategorisasi dalam bentuk respon atas kompleksitas suatu lingkungan. Jadi strategi adaptasi merupakan cara seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan atau keadaannya melalui proses persepsi dan interpretasi yang kemudian akan menghasilkan suatu kategorisasi yakni sikap yang dipilih dalam mengatasi peristiwa-peristiwa yang akan datang.

Tokoh masyarakat yakni para pemuda Desa Linggo Asri yang terkumpul dalam organisasi karang taruna mempersepsikan bahwa pertunjukan ogoh-ogoh merupakan warisan budaya yang berwujud kesenian, yang ditampilkan dalam bentuk seni pertunjukan secara turun temurun yang bersifat keagamaan. Pertunjukan ogoh-ogoh dianggap mampu memberikan nilai sikap peduli terhadap budaya yang dimiliki di tanah air khusunya di Desa Linggo Asri. Selain itu, pertunjukan ogoh-ogoh dianggap sebagai pertunjukan yang menghibur dan tidak mengandung unsur sara sehingga bisa dinikmati semua umur. Perbedaan agama menyebabkan perbedaan kepercayaan juga keyakinan, serta berbeda ajaran dalam menyembah Tuhan Sang Pencipta. Meskipun dengan keyakinan yang sama bahwa manusia menyembah Tuhan Yang Esa, namun jelas terdapat perbedaan dalam tata cara beribadah antar umat yang berbeda agama. Hal ini sangat dirasakan oleh tokoh-tokoh agama di Desa Linggo Asri. Pertunjukan ogoh-ogoh merupakah salah satu wujud perayaan pelengkap ibadah bagi umat Hindu, namun tidak bagi umat Islam. Meskipun perbedaan sangat dirasakan, tetapi tokoh agama Desa Linggo Asri menanggapinya secara positif. Tokoh- tokoh agama Islam di Desa Linggo Asri mempersepsikan bahwa pertunjukan ogoh-ogoh dijadikan sebagai sarana pelengkap ibadah yang umat Hindu jalankan, dan sebagai pemenuhan emosi akan kebutuhan seni setiap individu. Pertunjukan ogoh-ogoh yang dijadikan pelengkap yang memiliki makna simbolis dalam perayaan Nyepi umat Hindu yakni sebagai pengusir roh-roh jahat dan hal-hal buruk yang ada pada diri manusia itu sendiri dan lingkungannya, dianggap oleh para tokoh agama Islam Desa Linggo Asri merupakan suatu hal baik karena membuang segala hal buruk adalah suatu tindakan yang baik, dan pertunjukan tersebut tidak sampai merugikan umat lainnya yang berbeda kepercayaan, justru adanya pertunjukan mampu menyalurkan perasaan seni tiap-tiap masyarakat yang menyaksikan pertunjukan khusunya masyarakat Desa Linggo Asri. Tokoh pemerintahan di Desa Linggo Asri terdiri dari beberapa masyarakat Islam dan masyarakat Hindu. Tokoh pemerintahan nonHindu mempersepsikan bahwa pertunjukan ogoh-ogoh merupakan warisan budaya yang memiliki nilai-nilai sosial. Dengan adanya pertunjukan ogoh-ogoh, masyarakat Desa Linggo Asri bisa berkumpul bersama dalam rangka persiapan maupun ketika pertunjukan berlangsung. Hal ini menjadikan seluruh masyarakat Desa Linggo Asri berbaur menjadi satu sebagai wujud kerukunan antar umat yang berbeda agama. Selain merekatkan ikatan kerukunan antar warga, pertunjukan ogoh-ogoh dianggap sebagai kesenian yang menghibur. Setiap warga tanpa ada batasan jenis kelamin, agama ataupun usia bisa menyaksikan pertunjukan.