Penulis: Prof. Dr. H. Muhlisin, M.Ag., Editor: Nanang
Di Pekalongan, banyak tradisi yang populer menjelang datangnya bulan Ramadhan, salah satunya adalah Tutupan. Istilah tutupan sering digunakan oleh masyarakat untuk mengakhiri kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan tradisi yang berkembang dalam bidang sosial keagamaan. Misalnya dilakukan oleh kelompok tahlilan, majelis taklim, marhabanan, diba’an, duraran, serta berbagai macam arisan yang melibatkan komunitas tertentu.
Sebagai sebuah fenomena yang telah turun temurun, tradisi tutupan biasanya menyangkut kegiatan-kegiatan yang berlaku pada komunitas yang bersifat seremonial dan komunal. Rutinitas yang melibatkan berbagai latar belakang anggota masyarakat tersebut menggunakan acuan tahunan, dan biasanya dimulai dari bulan Syawal hingga bulan Syakban. Begitu masuk pada bulan Sya’ban, terutama setelah Nisfu Syakban, ajakan para anggota untuk mengadakan tutupan mulai bermunculan. Tradisi tutupan ada yang bersifat spontan dan ada yang bersifat terrencana.
Fenomena tutupan juga dilakukan pada satuan pendidikan non formal keagamaan seperti pendidikan Taman Pendidikan Al-Quran, Madrasah Diniyah Takmiliyah, Pondok Pesantren Salafiyah dan lainnya. Agak berbeda dengan komunitas umum, bentuk tutupan di lingkungan pendidikan non formal keagamaan lebih bersifat terencana dengan matang. Meskipun begitu, masih tetap bersifat seremonial seperti wisuda, akhirussanah dan lainnya. Berbagai kegiatan tersebut biasanya dirangkai dengan kegiatan-kegiatan yang bernuansa spiritual dan seni. Nuansa spiritual terlihat dari pembacaan zikir seperti pembacaan rotib, Yasin, Tahlil, Simtuddurar, ziyarah dan lainnya. Nuansa kesenian juga cukup menonjol seperti pagelaran musik rebana, music tradisonal, gambusan, drumb band, karnaval dan lainnya, tergantung kesepakatan yang diambil dengan mempertimbangan kondisi keuangan komunitas satun pendidikan.
Apa saja bentuk tutupan yang bersifat spontan? Biasanya, model ini dilakukan oleh komunitas kecil, atau kelompok tertentu dari berbagai usia dan pertemanan. Bentuknya dapat berupa rekreasi di suatu destiansi wisata dalam kota atau luar kota, kegiatan kumpul bareng dan sejenisanya. Kebiasaan yang biasa disepakti pada saat tutupan berupa ngobrol, bercengkerama, menikmati makan-makan dan diakhiri dengan sesi foto bersama. Selain melepas kangen dan mempererat pertemanan, tutupan dalam komunitas ini cenderung untuk semakin memantapkan semangat keakraban bersama relasinya.
Terlepas dengan jenis yang spontan atau terencana, tradisi tutupan bukan berarti menutup semua kegiatan tersebut selamanya, dan tidak akan ada lagi kegiatan tersebut. Tutupan ini bersifat sementara, karena akan fokus menjalani ibadah di bulan ramadlan. Oleh karena itu, tutupan tidak bersifat permanen dan akan dilanjutkan lagi setelah Syawalan selesai, tergantung kesepakatan anggota komunitasnya. Dalam menentukan tutupan, ada proses pengambilan keputusan bersama yang mengikat anggota komunitas secara kekeluargaan.
Berbeda dengan tradisi tutupan yang cenderung ceremonial dan komunal, ada sebagian anggota masyarakat yang memaknai tutupan dengan nuansa religius. Melalui tutupan, masyarakat diharapkan mengakhiri bulan Syakban dengan menutup rapat kebiasaan buruk yang biasa dilakukan. Menjelang bulan Ramadlan, segala bentuk perbuatan negatif ditutup, diganti dengan perbuatan yang bermanfaat. Misalnya menutup dan meninggalkan beragam kemaksiatan maupun kegiatan yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi orang lain. Dimensi ini diartikan sebagai upaya menutup jiwa dan raga dari berbagai godaan setan yang mengarah pada tindakan destruktif, sehingga secara batiniyah sudah siap memasuki bulan Ramadan dengan hati yang bersih. Melalui hati yang bersih, masyarakat dapat menyiapkan suasana ibadah Ramadan dengan khusuk.
Dengan demikian, istilah tutupan di Pekalongan merupakan tradisi lokal yang memiliki orientasi beragam, tergantung komunitas yang mengadakannya. Hal ini menunjukkan bahwa banyak praktek lokal wisdom yang berkembang di Pekalongan dan bisa jadi memiliki arti yang berbeda jika diterapkan di daerah lain. Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya yang dapat menjadi praktek pendidikan karakter publik, tergantung jenis kegiatan tutupan yang dipilihnya. Sepanjang pengetahuan saya, fenomena tutupan ini merupakan tradisi yang memiliki dampak positif bagi perkembangan komunitas lokal. Eksistensinya semakin menarik untuk dijadikan bahan kajian pengembangan budaya lokal yang dapat diselaraskan dengan nilai-nilai pendidikan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. WAllahu a’lam bi sh-shawab.