Tradisi Malam Likuran: Esensi Keharmonisan dan Syukur dalam Kebudayaan Desa Kutorojo

Pewarta: Akhmad Dalil Rohman, M. Syukron Ni’am, M. Fathul Huda dan Rudi Riyanto. Editor: Lulu Salsabilah.

Di tengah kesibukan bulan Ramadhan yang penuh kegiatan. Di Desa Kutorojo, tradisi yang dijalankan bukan hanya menjadi bagian dari ritual keagamaan, tetapi juga simbol kebersamaan dan kesatuan masyarakat. Tiap malam 21 Ramadhan, sebuah tradisi bernama Malam Likuran merayapi setiap sudut perdukuhan, menumbuhkan semangat gotong-royong dan persatuan yang telah mengakar dalam budaya lokal. Tradisi ini, meliputi Dusun Kutorojo, Purwodadi, Gunung Telu, dan Silawan, memiliki makna mendalam yang meleburkan spiritualitas dengan kebersamaan sosial.

Tradisi Likuran merupakan ekspresi kekaguman dan rasa syukur kepada Allah SWT menjelang malam Lailatul Qadar, yang disebut sebagai malam lebih baik dari 1.000 bulan. Dengan diikuti oleh seluruh elemen masyarakat, seperti kepala Dusun, ketua RW, ketua RT, dan masyarakat masing-masing dukuh, tradisi ini tidak hanya berkaitan dengan ibadah semata, tetapi juga melibatkan nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas. Ancak, dibuat oleh setiap rumah dengan nasi dan lauk pauk yang dikemas dalam tempat anyaman bambu dan pelapah pisang, menjadi simbol kesediaan untuk berbagi rezeki dengan sesama.

Rangkaian kegiatan yang mengiringi Tradisi Likuran menjadi momentum bagi masyarakat untuk saling menguatkan dan mengingatkan akan pentingnya kebersamaan dalam menjalani kehidupan. Suasana pembukaan yang hangat, sambutan yang membangkitkan semangat dari kepala dusun, doa bersama yang mengalirkan harapan, dan penutup yang penuh dengan rasa syukur, semuanya menjadi bukti akan kekuatan komunitas yang memperkuat ikatan batin setiap individu.

Antusiasme masyarakat dalam mengikuti Tradisi Likuran mencerminkan kekuatan spiritual dan sosial yang mengalir dalam setiap darah mereka. Ustadz Syekh, seorang tokoh agama di Desa Kutorojo, dengan keyakinan penuh menyatakan bahwa Tradisi Likuran bukan hanya sebuah kegiatan rutin, tetapi merupakan implementasi nyata dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Malam Lailatul Qadar, dengan segala keutamaannya, tidak hanya menjadi momen ibadah, tetapi juga sebagai momentum untuk memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta dan sesama manusia.

Dalam cahaya petunjuk agama, Tradisi Likuran tidak hanya menjadi ritual yang hampa makna, tetapi simbol kebesaran nilai-nilai kebersamaan dan gotong-royong yang menjadi landasan kuat sebuah masyarakat yang maju. Dalam setiap hidangan yang disajikan, bukan hanya nasi dan lauk pauk yang tersaji, tetapi juga nilai-nilai keikhlasan, kebersamaan, dan rasa syukur yang mengalir dalam setiap irama kehidupan.

Desa Kutorojo, melalui setiap warisan tradisinya, tidak hanya menumbuhkan rasa bangga akan warisan budaya. Tetapi juga memperkokoh ikatan kebersamaan yang menjadi dasar utama dalam menjalani kehidupan bersama. Di tengah gejolak modernitas, Tradisi Likuran tetap menjadi cerminan dari kekuatan spiritual dan sosial yang masih relevan dan berharga dalam menjaga kesatuan dan keharmonisan masyarakat Desa Kutorojo.