Politik Identitas: Isu yang Tak Pernah Usai

Penulis: Syahrurizal Januarta, Editor: Azzam Nabil H.

Setelah selesainya proses pilkada beberapa waktu lalu, politik identitas masih menjadi isu yang kerap dibicarakan di lingkungan masyarakat. Hal ini dikarenakan dalam praktik berpolitik, agama seringkali diposisikan sebagai alat yang sering dimanfaatkan politisi untuk memperoleh kekuasaan. Sehingga peran agama yang seharusnya menjadi sumber moralitas murni, ketika di masa-masa politik, peran tersebut dapat berubah menjadi alat untuk mencari dukungan, yang dapat memicu tumbuhnya benih-benih perpecahan.

Fenomena semacam ini biasanya dapat berupa bentuk-bentuk klaim dari tokoh agama tertentu yang diajak oleh aktor politik, kemudian mengklaim bahwa mereka adalah satu-satunya yang bisa menjaga nilai-nilai agama, sementara pihak lawan dianggap sebagai kelompok yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama.

Politik identitas berbasis agama dapat menjadi sangat berbahaya jika dalam pelaksanaannya hanya bertujuan untuk menjatuhkan lawan melalui persaingan yang tidak sehat. Praktik semacam ini dapat merusak persatuan masyarakat yang sebelumnya hidup rukun di tengah berbagai perbedaan. Alih-alih membawa kemajuan, politik identitas justru lebih sering menciptakan polarisasi dan ketakutan antar kelompok. Akibatnya, masyarakat yang seharusnya bersatu dalam menghadapi tantangan bersama malah terpecah oleh narasi-narasi yang menyudutkan kelompok lain berdasarkan agama.

Baca juga: Mengapa Moderasi Diperlukan dalam Politik Identitas?

Efek lain dari politik identitas berbasis agama tidak hanya terbatas pada retorika, tetapi juga dapat memicu sikap intoleran, diskriminasi, hingga tindakan kekerasan. Disamping itu, tempat ibadah, seperti masjid, yang seharusnya menjadi ruang persatuan dan penguatan spiritual, terkadang justru dimanfaatkan sebagai arena kampanye terselubung. Bahkan, ayat-ayat suci sering kali disalahgunakan—bukan untuk mempererat hubungan umat dengan Tuhan, melainkan untuk meraih dukungan politik. Akibatnya, kesucian agama tercemar, dan nilai-nilai dasar agama yang mengajarkan perdamaian serta keadilan menjadi alat untuk tujuan yang bertolak belakang.

Selain itu, media sosial turut mempercepat penyebaran politik identitas. Banyak politisi memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan narasi yang memicu polarisasi keagamaan. Dalam banyak kasus, berita palsu (hoaks) yang bersifat provokatif sering digunakan untuk menanamkan rasa takut terhadap kelompok lain yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai agama tertentu. Situasi ini diperparah oleh kecenderungan masyarakat untuk hanya menerima informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka, tanpa memverifikasi kebenarannya. Hal ini semakin memperdalam jurang perpecahan di tengah masyarakat

Oleh sebab itu, sebagai masyarakat, kita perlu lebih kritis terhadap praktik-praktik politik identitas. Pemimpin yang baik tidak diukur dari seberapa religius ia mengklaim dirinya, tetapi dari kejujuran dan kemampuannya. Kepemimpinan yang baik harus mampu membawa perubahan nyata bagi masyarakat, bukan sekadar menciptakan narasi keagamaan untuk meraih suara. Seharusnya kita tidak terpaku pada klaim religiusitas semata, tetapi menilai pemimpin berdasarkan tindakan mereka yang mencerminkan nilai-nilai agama yang sesungguhnya. Kita perlu mengingat bahwa agama adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan alat untuk mencapai kekuasaan. Agama mengajarkan kita untuk hidup dengan damai, saling menghormati, dan bekerja keras untuk kebaikan bersama. Ketika agama dipergunakan hanya untuk kepentingan politik, maka kita telah mengkhianati pesan moral yang terkandung di dalamnya.

Baca juga: Refleksi Pemikiran Politik Menurut Imam Al Ghazali dalam Konteks Nilai-Nilai Islam dan Relevansinya pada Era Modern

Jika praktik politik identitas terus dibiarkan, dampaknya akan melebihi masa jabatan para politisi. Praktik ini akan mewarisi perpecahan, luka sosial, dan hilangnya rasa kepercayaan di antara kelompok masyarakat. Sehingga, di setiap tahun-tahun politik, diharapkan masyarakat dapat merenungkan mau sampai kapan praktik politik semacam ini terus berlangsung? Apakah masyarakat akan terus menormalisasi hal ini?

Sembari merenungkan hal tersebut, peran masyarakat sebagai pemilih yang bijak seperti dengan menolak ajakan yang mengarah kepada praktik politik identitas juga sangat diperlukan untuk meminimalisir adanya praktik politik identitas di tahun-tahun kedepan. Oleh sebab itu, mari kita bersama-sama menjadi pemilih yang bijak serta tetap menjaga agar agama senantiasa menjadi pemandu spiritual dan moralitas yang murni, bukan alat untuk memenangkan kekuasaan. Politik identitas yang merusak keharmonisan sosial harus dihentikan, agar kita bisa hidup dalam masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan harmonis.

Relevansi Penerapan Teori Ashabiyah Ibnu Khaldun dalam Menyikapi Pluralitas Masyarakat Indonesia

Penulis: Nimas Nadia Wafiq Muthia, Editor: Azzam Nabil H.

Peradaban Islam abad ke-14, Islam berhasil mencetak salah satu tokoh terkemuka yang pada abad modern ini memiliki banyak julukan. Tokoh tersebut merupakan Abdurrahman Abu Zaid bin Khaldun atau Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun dikenal sebagai “Bapak Sosiologi,” karena keahliannya di bidang sosiologi. Keahlian ini kemudian dijadikan Ibnu Khaldun sebagai pendekatan dalam mengkaji situasi perpolitikan pada masanya, hingga menciptakan teori politik baru, yakni Teori Ashabiyah. Teori ini menjadi salah satu bukti kecerdasannya dalam menganalisa persoalan politik dan negara, yang menurutnya merupakan kunci lahir dan terbentuknya suatu negara.

Teori Ashabiyah Ibnu Khaldun memilki dua sudut makna yang berlawanan, yaitu positif dan negatif. Pengertian Ashabiyah secara positif merujuk pada konsep persaudaraan (brotherhood) yang dalam sejarah peradaban Islam menggambarkan suatu konsep solidaritas sosial. Konsep ini menekankan pada masyarakat Islam yang saling bekerjasama, mengesampingkan kepentingan pribadi dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Sebaliknya, pengertian Ashabiyah secara negatif yaitu ashabiyah yang menimbulkan fanatisme buta yang tidak didasarkan pada aspek kebenaran (Huda, 2008). Namun, Ashabiyah Ibnu Khaldun yang dimaksudkan disini, yaitu ashabiyah sebagai solidaritas sosial atau rasa golongan yang dihubungkan oleh pertalian darah atau pertalian lain yang mempunyai arti dan tujuan yang sama. Misalnya, arti persatuan dalam konteks kenegaraan yang memiliki tujuan yang sama, yaitu mewujudkan kesejahteraan bersama.

Ibnu Khaldun menyebutkan dua kekuatan dominan dalam pembentukan suatu negara. Pertama, kekuatan-kekuatan primitif dan utama, yang oleh Ibnu Khaldun diistilahkan dengan Ashabiyah atau elemen-elemen pengikat. Ashabiyah muncul dan berkembang atas dasar rasa kekeluargaan yang kuat dan akhirnya mendorong manusia untuk berhubungan satu dengan yang lain. Lemah dan kuatnya ikatan ini, sangat memengaruhi perkembangan dan kemunduran negara. Kedua, agama. Menurut Ibnu Khaldun, agama merupakan suatu yang tanpanya solidaritas tidak bisa eksis. Agama merupakan pendukung sekaligus penguat solidaritas. Tujuan yang sama serta dilandasi dengan nilai-nilai kebaikan dan keyakinan jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan yang sekadar sama dalam tujuan. Teori pendirian negara menurut Ibnu Khaldun dapat disimpulkan berdasar pada sosiologis, juga berdasar pada agama.

Baca juga: Strategi Penaklukan Andalusia oleh Thariq bin Ziyad: Kebijakan, Taktik Militer, dan Dampak Sosial-Politik

Selanjutnya, berdasarkan penjelasan teori tersebut, apabila melihat kondisi Indonesia dengan beragamnya suku, ras, agama hingga luasnya wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke, maka diperlukan suatu unsur rasa kekeluargaan atau perasaan senasib sepenanggungan. Ke-Pluralitas-an Indonesia yang terbentang dalam 16.000 pulau, yang terbagi dalam 1300 suku bangsa yang memeluk satu agama diantara 6 agama resmi di Indonesia, sangat memerlukan satu kesadaran untuk selalu membangkitkan rasa persaudaraan serta kekeluargaan dalam satu identitas nasional, yaitu sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Teori Ashabiyah Ibnu Khaldun menawarkan solidaritas sosial yang bermula dari ikatan darah yang merupakan watak manusia, untuk kemudian Ibnu Khaldun kembangkan dalam ruang lingkup kalangan orang desa dengan kalangan orang kota. Hal ini tidak menutup kemungkinan konsep ashabiyah dapat diterapkan untuk menjawab tugas besar bersama dalam merawat persatuan bangsa.

Peran teori Ashabiyah dalam kaitannya dengan pluralitas dapat diawali melalui pembentukan sebuah negara. Ashabiyah mampu mencegah konflik dan ketidakadilan sekaligus menjaga kebersamaan masyarakat. Manusia secara individu tidak akan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, terlebih mempertahankan diri. Manusia akan secara alamiah membentuk kelompok sosial dan hidup bersama yang idealnya tidak dalam suasana konflik, permusuhan dan ketidakadilan. Ashabiyah sebagai solidaritas sosial terdiri dari suku-suku atau kelompok yang saling bekerja sama. Artinya, poin kerjasama disini menjadi sangat penting dan secara otomatis membutuhkan suatu kepemimpinan. Pemimpin yang mempunyai otoritas dan mampu mengendalikan banyaknya suku atau kelompok sekaligus menjadi penengah. Adanya kepemimpinan ini, kemudian melahirkan pihak-pihak pembantu yang berujung pada sebuah pemerintahan. Pemerintahan yang menampung aspirasi dari banyaknya suku dan melahirkan suatu keputusan bersama dalam satu wadah sebuah negara.

Selanjutnya, negara yang telah terbentuk tersebut harus mampu mempertahankan identitas negaranya atau akan mengalami kehancuran. Indonesia jika ditinjau dari sejarahnya, iri bangsa mempersatukan berbagai etnis, suku, dan agama dalam satu kesatuan negara Indonesia dengan tanpa menghilangkan identitas masing-masing. Seperti yang tertuang dalam dasar negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila. Dengan moral pertama adalah keyakinan dan kerukunan sebagai wujud dari ketaqwaan dan keimanan terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa. Merefleksikan pentingnya kerukunan antar umat beragamase Begitu pula dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XI tentang Agama yaitu dalam Pasal 29 Ayat 2 berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”

Baca juga: Refleksi Tahun Baru Islam dengan Pendidikan Kita Bangun Kemajuan Peradaban Islam

Setelah sedemikian rangkaian dalam proses pembentukan negara, yang mana pada akhirnya Indonesia menjadi sebuah “Negara Kesatuan Republik Indonesia” yang mana semboyannya Bhineka Tunggal Ika. Pembentukan negara ini telah tercapai dengan penanaman nilai-nilai persatuan seperti yang telah disampaikan di atas. Selanjutnya adalah strategi menjaga semangat persatuan tersebut tetap membara. Teori ashabiyah dapat diterapkan dalam konteks pluralisme yaitu dengan melakukan beberapa strategi yang bertujuan untuk meningkatkan solidaritas dan integrasi sosial di tengah bergamnya etnis, suku, dan agama. Strategi tersebut antara lain: Pertama, dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perbedaan. Kedua, komunikasi efektif antarbudaya yang mampu menghilangkan kesalahpahaman antarsuku dan budaya. Ketiga, integrasi institusional untuk mengatasi konflik yang mampu mempersatukan daya dan kapasitas dalam menghadapi permasalahan sehingga mengurangi resiko konflik akibat ketidakpastian atau kurangnya koordinasi.

Keempat, kolaborasi komunitas lokal, melalui aktivitas gotong royong dan bakti sosial, komunitas lokal dapat dibangkitkan untuk saling membantu dan memahami kebutuhan masing-masing. Kelima, pemberdayaan masyarakat lewat media sosial yang dapat digunakan untuk membagikan cerita inspiratif dari beragam latar belakang etnis atau agama. Melalui hastag-hastag menarik dapat memicu diskusi publik yang luas dan produktif mengenai pentingnya membangun hubungan yang harmonis. Keenam, penyelesaian sengketa melalui mediasi seperti yang telah dilakukan oleh Badan Arbitrase Nasional Republik Indonesia (BANI) dengan membantu menjaring para mediator profesional yang siap membantu menyelesaikan perselisihan antarsuku/agama lokal dengan cara yang adil dan transparan. Demikianlah, relevansi penerapan konsep ashabiyah dalam menyikapi pluralitas masyarakat Indonesia.