Penulis: Dini Riska Hapsari, Editor: Muslimah
Agama apa pun tidak pernah mengajarkan kekerasan terhadap anak. Dalam ajaran Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan keyakinan luhur lainnya, anak-anak adalah anugerah yang harus dijaga, dididik, dan dikasihi. Namun, kasus dugaan eksploitasi dan kekerasan terhadap anak-anak di Oriental Circus Indonesia (OCI) membuka kembali luka lama dalam perlindungan anak di negeri ini.
Meski pihak OCI mengklaim bahwa kasus tersebut telah selesai pada 1997, namun penyelidikan yang kini dilakukan oleh Direktorat Tindak Pidana Perlindungan Perempuan dan Anak serta Pemberantasan Perdagangan Orang (Dittipid PPA-PPO) Bareskrim Polri, menunjukkan bahwa penderitaan itu nyata dan berkepanjangan. Anak-anak yang seharusnya tumbuh dalam kasih sayang justru terjebak dalam lingkungan kekerasan fisik dan psikologis. Mereka dipaksa bekerja di dunia hiburan tanpa hak dasar sebagai manusia apalagi sebagai anak-anak.
Baca juga: Songsong Perdamaian Dunia Indonesia Terpilih Menjadi Dewan HAM PBB
Laporan menyebutkan, puluhan anak usia dua hingga empat tahun diduga dipisahkan dari orang tua mereka, tidak mendapat akses pendidikan, tidak memiliki identitas resmi, dan tidak diberi upah yang layak. Bahkan, proses penyerahan anak ke keluarga pemilik sirkus diduga kuat melibatkan praktik jual beli, sebuah pelanggaran hukum dan kemanusiaan yang sangat serius.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kementerian Hukum dan HAM, Munafrizal Manan, menilai kasus OCI mengandung indikasi pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Pendamping korban, Muhammad Soleh, juga mendesak pembentukan tim pencari fakta lintas kementerian agar penyelidikan bisa dilakukan secara menyeluruh dan adil. Disebutkan bahwa lebih dari 60 anak menjadi korban sistemik tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Di sisi lain, pihak OCI membantah tuduhan tersebut. Tony Sumampouw dari OCI mengakui adanya pemukulan dengan rotan, tapi menyebut hal itu sebagai bentuk disiplin. Sementara PT Taman Safari Indonesia (TSI) menyatakan secara resmi tidak memiliki hubungan hukum atau operasional dengan OCI. Namun, kesaksian para mantan pemain sirkus yang menceritakan kekerasan dan eksploitasi secara konsisten memperkuat urgensi penyelidikan independen dan transparan.
Kasus ini bukan semata soal kejadian di masa lalu. Ini adalah ujian moral dan hukum kita hari ini. Anak-anak bukanlah alat produksi, bukan pula properti yang bisa dipertukarkan. Mereka adalah manusia yang berhak atas cinta, perlindungan, dan masa depan.
Menurut Dr. Muchamad Iksan, negara harus hadir melalui penyelidikan menyeluruh dan perlindungan khusus baik dari sisi hukum maupun pemulihan psikologis. Penanganan eksploitasi anak tidak bisa dilakukan setengah-setengah. Kita perlu memastikan bahwa negara benar-benar berpihak kepada korban, bukan sekadar menjalankan proses hukum formal.
Sayangnya, praktik eksploitasi anak masih marak dalam berbagai bentuk lain. KPAI mencatat, banyak anak masih dijadikan pekerja rumah tangga, bahkan dipaksa bekerja oleh keluarga sendiri. Banyak kasus berakhir tanpa proses hukum karena laporan dicabut atau korban mendapat tekanan dari pelaku. Ketika keadilan gagal diwujudkan karena sistem yang lemah atau tidak berpihak, maka eksploitasi akan terus berulang.
Fenomena ini juga terlihat dalam penelitian Hana Saputri dari Universitas Negeri Semarang, yang mengungkap eksploitasi anak jalanan di Simpang Lima. Anak-anak ini dipaksa mengamen, kehilangan hak pendidikan, dan hidup dalam kekerasan. Mereka kehilangan masa kecil, dan lebih parah lagi, kehilangan harapan.
Dari sudut pandang keadilan sosial, pemikiran filsuf John Rawls relevan. Ia menekankan pentingnya keadilan bagi kelompok paling rentan, termasuk anak-anak. Negara tidak boleh hanya menegakkan hukum secara formal, tetapi harus berpihak pada korban. Dalam kasus pelanggaran hak anak, tidak boleh ada yang kebal hukum. Apalagi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat tidak mengenal kedaluwarsa. Maka, kasus OCI harus dijadikan contoh bahwa keadilan tetap bisa ditegakkan, meski sudah puluhan tahun berlalu.
Dalam perspektif keagamaan, perlindungan anak adalah kewajiban moral. Dalam Islam, seperti ditegaskan dalam buku Hak dan Perlindungan Anak dalam Islam (UNICEF dan Kemenag), anak berhak hidup, belajar, dan diperlakukan dengan kasih. Al-Qur’an dan hadis mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap anak. Membiarkan praktik eksploitasi anak bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga dosa sosial yang tak bisa diabaikan.
Perlindungan anak tidak bisa tercapai tanpa peran aktif masyarakat. Artikel Peran Pengadilan Agama dalam Perlindungan Hak Anak menekankan pentingnya status hukum anak untuk mencegah eksploitasi. Masyarakat perlu diedukasi tentang tanda-tanda kekerasan terhadap anak, dan diberi keberanian untuk melapor. Selain itu, lembaga pendidikan, agama, dan media massa harus mengambil peran penting dalam menciptakan kesadaran kolektif dan menumbuhkan empati sosial.
Pemerintah juga perlu merancang kebijakan perlindungan anak yang lebih kuat dan komprehensif, seperti sistem pemantauan kerja anak yang lebih ketat, penguatan layanan rehabilitasi untuk korban, dan peningkatan kapasitas penegak hukum agar lebih sensitif terhadap isu kekerasan dan eksploitasi anak. Perlindungan terhadap anak harus menyentuh semua aspek dari regulasi, penindakan, hingga pemulihan.
Kasus OCI adalah peringatan serius bagi kita semua untuk berkata: cukup sudah! Negara harus tegas menegakkan hukum, dan memastikan anak-anak mendapat hak pendidikan, identitas, kasih sayang, dan perlindungan hukum. Pemerintah perlu membentuk tim pencari fakta lintas kementerian, serta menjamin pemulihan menyeluruh bagi para korban.
Anak-anak bukan sekadar masa depan bangsa. Mereka adalah manusia yang hidup hari ini dan layak dilindungi hari ini juga. Keadilan untuk mereka bukan hanya tuntutan hukum, tetapi juga panggilan hati dan tanggung jawab sosial kita bersama.
