Gagasan Sekolah Pukul 5 Pagi, Sudahkah Berpihak pada Anak?

Beberapa waktu lalu publik dibuat ramai atas regulasi yang dikeluarkan oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Bungtilu Laiskodat, yang mengharuskan jam masuk sekolah pukul 05.30 (sebelumnya diterapkan 05.00) pagi bagi satuan pendidikan SMA sederajat di wilayah administratif yang dipimpinnya. Hal tersebut lantas mengundang respon dari berbagai pihak. Warganet via jejaring sosial yang dimilikinya, media massa cetak dan daring dengan headlinenya, lembaga negara melalui komisi-komisi, pun komunitas yang konsen dengan pemenuhan hak-hak anak, kompak menyerbu regulasi tersebut. Fenomena demikian ini tentu menarik untuk disoroti. Sebab bukan semata dari gagasannya saja yang sukses menuai polemik, melainkan persoalan ini turut pula menyeret harkat anak setingkat SMA di Provinsi NTT yang totalnya mencapai lebih kurang 319.400 di Tahun Ajaran 2022/2023 (BPS, 2022).

Dalam sebuah rilis di media massa, Viktor Laiskodat menganggap bahwa kebijakan masuk sekolah pukul 05.30 pagi adalah upaya untuk mewujudkan peningkatan mutu pendidikan bagi peserta didik. Ia juga meyakini, pembiasaan beraktivitas sejak fajar dalam konteks ini pembentukkan kedisiplinan, menjadi salah satu jalan pembuka kesuksesan bagi diri pelajar. Lewat kebijakannya, ia mengilusikan jika suatu saat nanti anak-anak NTT bisa diterima di lembaga akademi atau universitas top nasional, lebih-lebih kelas dunia. Kemudian pascalulus studi, anak-anak itu akan menjadi generasi terbaik yang bakal memimpin negeri di masa depan. Sungguh, begitu menakjubkan gagasannya itu.

Sebagai insan yang berkhidmat di dunia pendidikan, penulis tentu mengapresiasi positif langkah kepala daerah yang konsen memajukan bidang tersebut. Sikap demikian ini ditunjukkan penulis bukan tanpa alasan. Penulis mengimani soal afwah pendidikan yang berbentuk sekolah, antara lain sebagai salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kalau kata orang kebanyakan, sekolah adalah wujud investasi untuk mengubah nasib manusia di masa depan. Begitulah orang-orang berharap penuh kepada tuah bernama sekolah ini. Namun begitu, menilik pada problem gagasan yang dicetuskan Gubernur Nusa Tenggara Timur, penulis tampaknya perlu memberi “pandangan lain” sebagai respon ketidaksepakatan atas penerapan regulasi tersebut.

Pendidikan di negara kita yang diwujudkan melalui sekolah, kiwari memang sudah dipayungi konstitusi yang kuat. Alih-alih mantap dalam pelaksanaannya, justru sering kali pendidikan kita terjebak pada peraturan di tingkat regional yang sifatnya kontraproduktif. Polemik masuk sekolah pukul 05.30 pagi ini misalnya. Dari kejadian ini tentu sebagai praktisi di bidang pendidikan kita patut bersikap skeptis dengan melontarkan pertanyaan, sudahkah para pemangku kebijakan merumuskan regulasi yang berbasis kajian ilmiah? Atau barangkali melalui pertanyaan lain yang muaranya identik, sudahkah mempertimbangkan kebijakan terdahulu seperti gagasan Sekolah Ramah Anak sebagai pijakan dalam perumusan kebijakan?

Islah Kebijakan

Adagium “Pengalaman adalah guru terbaik” bagi orang-orang kita sepertinya hanya dianggap mantra penghibur diri dan pelengkap kegagalan belaka. Toh, hal itu tidak berefek signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk bagi para pengambil kebijakan. Sebab, jika gagasan Gubernur Nusa Tenggara Timur itu sudah dipikirkan sungguh-sungguh dengan para pakar dan stakeholder sekolah, tentu tidak akan banyak mengundang polemik dari berbagai kalangan bukan? Bergayut dengan hal tersebut, hemat penulis, pemimpin yang hendak memajukan daerahnya sudah semestinya merumuskan kebijakan atau regulasi yang berbasis riset. Sebagai pengingat, di Tahun 2014 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen PPPA) membidani lahirnya Sekolah Ramah Anak (SRA) guna memenuhi hak dasar anak. Warisan inilah yang idealnya dijadikan sebagai dasar perumusan kebijakan sebelum regulasi ihwal jam masuk sekolah itu ketok palu di Provinsi NTT.

Kebijakan tentang Sekolah Ramah Anak (SRA) dalam tulisan ini menjadi penting posisinya. Sebab amanat yang termuat dalam kebijakan tersebut cukup komprehensif dalam mengakomodasi kebutuhan peserta didik dari tingkat prasekolah sampai tingkat atas. Artinya, pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga sekolah sudah sepatutnya memenuhi hak-hak dasar peserta didik tanpa terkecuali. Untuk mewujudkannya, para pemangku kebijakan dan pengelola sekolah bisa mulai memetakan potensi lembaga yang dipimpin dengan memahami gagasan Sekolah Ramah Anak (SRA) secara esensial. Selain itu, perlu pula mengubah perspektif terhadap anak dari yang semula objek belajar menjadi subjek belajar.

Sekolah Ramah Anak (SRA) menjadi tameng utama bagi negara untuk melindungi hak-hak dasar anak yang sedang menempuh pendidikan. Dalam buku Pedoman Sekolah Ramah Anak (SRA) terbitan Deputi Tumbuh Kembang Anak tahun 2020 lalu, termuat hal-hal mendasar dan menyeluruh. Dua di antaranya adalah prinsip-prinsip dan kondisi yang diharapankan. Sekolah Ramah Anak (SRA) memiliki prinsip yang diturunkan dari hak dasar anak, antara lain kepentingan terbaik bagi anak, non diskriminasi, partisipasi anak, kelangsungan hidup dan perkembangan, juga pengelolaan sekolah yang baik. Prinsip-prinsip utama tersebut tercermin dalam tagline BARIISAN yang sebetulnya merupakan perwujudan dari kondisi yang diharapkan. Tagline BARIISAN ini dibentuk dari akronim kata dasar Bersih, Asri, Ramah, Indah, Inklusif, Sehat, Aman, dan Nyaman.

Teori yang menyatakan bahwa orang dewasa tak perlu menarik masa lalunya agar kembali merasakan menjadi anak-anak, tampaknya harus dilaksanakan betul oleh para pemimpin bangsa ini. Kuncinya, cukup berperspektif dan berpihaklah saja kepada anak-anak ketika merumuskan sebuah kebijakan. Lantas, regulasi yang memaksa peserta didik sekalipun mereka sudah masuk pada fase remaja akhir untuk beraktivitas di luar batas kewajaran waktu, bukankah menyalahi prinsip dasar Sekolah Ramah Anak (SRA) yang diinisiasi oleh Kemen PPPA?

Sebagai wujud refleksi dan ikhtiar menuju islah kebijakan, adanya kasus demikian ini tentu membuka peluang bagi masyarakat untuk berkontribusi langsung dalam proses pembangunan. Masyarakat dengan didukung masifnya penggunaan jejaring sosial, saat ini semakin leluasa untuk turut mengawasi, mengontrol, dan mendorong pemerintah daerah maupun pusat, agar semakin produktif dalam menelurkan kebijakan yang prorakyat. Sementara, sebagai civitas kampus UIN Gus Dur yang senantiasa menjunjung spirit kemanusiaan. Kita diharapkan oleh masyarakat luas untuk cerdas dan elegan dalam merespon keadaan jika terjadi anomali kebijakan; misalnya mengonter via tulisan.

Biodata Penulis:

*Abdul Mukhlis adalah dosen di FTIK UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan. Saat ini tinggal di Setono, Pekalongan Timur, Kota Pekalongan.