Pewarta : Ika Amiliya Nurhidayah, Editor : Amarul Hakim
Rangkaian peringatan Haul Gus Dur ke-15 telah mencapai puncaknya melalui pagelaran Panggung Budaya pada Kamis malam (13/02) di Student Center Kampus II UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.
Haul kali ini bertajuk “Refleksi Jejak Pemikiran Gus Dur dalam Kebhinekaan” yang kemudian ditekankan oleh Rektor UIN Gus Dur Prof. Dr. H. Zaenal Mustakim, M.Ag bahwa haul ini bukan sekedar untuk memperingati, namun juga meneladani sosok Gus Dur.
“Acara haul Gus Dur ini bukan hanya sebuah peringatan biasa untuk mengenang, tetapi lebih ke bagaimna nanti kita meneladani sosok yang luar biasa bernama K.H. Abdurrahman Wahid. Jangan hanya mengenang, tetapi harus bisa meneladaninya. Gus Dur itu bukan hanya tokoh, tetapi beliau adalah cahaya dalam kebhinekaan. Dengan kebijaksanaan dan keberanian nya beliau mengajarkan bahwa perbedaan itu bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk dirayakan,” jelasnya.
Baca juga : Gus Dur: Pengaruh, Perspektif, dan Pemikiran tentang Pendidikan Islam
Panggung Budaya ini turut dihadiri oleh putri sulung Gus Dur Alissa Wahid, sahabat Gus Dur Abah Kirun, murid Gus Dur Pdt. Martin Lukito Sinaga, imam Gereja Santo Yohanes Rasul Karanganyar Romo Fransiskus Asisi Teguh Santosa, pawang Jaringan Gusdurian Nasional Saiful Huda Shodiq, Rektor UIN Gus Dur Prof. Dr. H. Zaenal Mustakim, M.Ag., dan Lintas Iman Pekalongan.
Acara dimulai dengan pertunjukan 150 pemain hadroh kolosal, dilanjut dengan pembacaan tahlil akbar yang dipimpin oleh Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Pekalongan K.H. Muslikh Khudlori, M.S.I., penampilan paduan suara kolaborasi UKM El-Fata dan Paduan Suara Gereja, tausiah kebangsaan oleh Alissa Wahid, dan wejangan oleh Kirun.
Alissa Wahid memulai tausiahnya dengan pembacaan puisi tentang Gus Dur yang bertajuk “Lelaki yang Tak Punya Mata.”
Lebih lanjut, Alissa menaruh harapan besar agar sosok Gus Dur tetap hidup di UIN Gus Dur sebagai universitas yang menyematkan nama ayahnya.
“Apalah arti tempat itu disematkan nama Gus Dur jika sosoknya tidak hidup di sana?” ujarnya.
Pendeta Dr. Martin Lukito Sinaga dalam sambutannya juga turut mengajak mahasiswa dan tokoh agama yang hadir saat itu untuk kembali kenang sosok Gus Dur.
Ia mengungkapkan bahwa Gus Dur layaknya jari-jemari Tuhan yang telah membuka hati dan pikirannya.
“Gus Dur itu seperti jari-jari Tuhan. Mengapa saya sebut begitu? Mengenang seorang K.H. Abdurrahman Wahid menurut saya seperti mengenang momen yang menentukan hidup saya, yang membuka hati saya, dan membuka pikiran saya,” ujarnya.
Baca juga : Toleransi Harmoni: Jejak Gus Dur dalam Merajut Kebhinekaan
Pendeta Martin juga berharap demokrasi yang sudah dibawa oleh Gus Dur tetap terjaga dan tidak akan pernah tumbang.
“Habibie dan Gus Dur yang membawa demokrasi kita take off, jangan sampai pesawat demokrasi kita nyusruk.”