Penulis : Diah Karomah, Editor : Windi Tia Utami
Abdurrahman Wahid atau yang sering dikenal dengan sebutan Gus Dur, beliau lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 september 1940. Nama kecilnya adalah Abdurrahman Addakhil, beliau dikenal sebagai seorang yang humanis. Gus Dur selalu membela masyarakat yang lemah, tertindas, dan minoritas. Ada berbagai macam hal yang memengaruhinya, mengapa Gus Dur mempunyai perspektif keberpihakannya terhadap orang lemah atau sering dikenal mustad’afin. Gus Dur sebagai orang yang sederhana dan pengaruh buku-buku yang dibaca, akan memengaruhi sikapnya dalam membela orang lemah.
Begitu juga dalam pemikiran lainnya, Gus Dur banyak dipengaruhi oleh berbagai macam stimulus, misalnya situasi, buku yang ia baca, budaya, orang yang ia temui, pendidikan dan lain sebagainya. Pengalaman-pengalaman yang dimilikinya akan membentuk konsep diri Gus Dur yang memiliki pemikiran tentang pribumisasi Islam, beliau yang memiliki pemikiran kosmopolitanisme dan univeraslisme Islam. Gus Dur yang memiliki sebuah gagasan pendidikan Islam yang dituangkan dalam sebuah tulisan “Pendidikan Islam Harus Beragama” dan tulisan-tulisan lainnya tentang wacana keislaman, bisa diketahui, bagaimana proses Gus Dur menghasilkan pemikiran yang terbuka dan progresif.
Setiap orang, termasuk juga Gus Dur telah melakukan proses interpretasi terhadap stimulus yang ia terima. Apabila yang dipersepsi diri sendiri maka akan dikenal adanya persepsi diri atau self-perception. Persepsi diri dapat dimaknai sebagai interpretasi seseorang terhadap diri sendiri. Ketika melakukan persepsi, seseorang melakukan proses kognitif. Proses kognitif akan melibatkan banyak aktivitas. Mulai dari penerimaan stimulus, memproses stimulus kedalam system memori, dan menginterpretasi stimulus berdasarkan informasi yang telah disimpannya.
Proses pembentukan persepsi dimulai dari penerimaan rangsangan atau sensasi dari berbagai sumber yang diterima oleh panca indra. Persepsi diri mencakup tiga pembahasan. Pertama, konsep diri (self-concept), kedua, harga diri (self-esteem), dan ketiga,presentasi diri (self-prentation). Pada bagian ini, dijadikan dasar bagi seseorang untuk mengenali orang lain atau pihak lain. Atas dasar, setiap orang mengenali diri sendiri seperti apa gerangan dan pada akhirnya memengaruhinya dalam membawakan diri di lingkungan sekitar.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Persepsi Diri Gus Dur
Gus Dur memiliki pengalaman tentang objekserta peristiwa yang berbeda dengan orang lain. Pengalaman tersebut mampu membentuk persepsi Gus Dur terhadap informasi yang diterima kemudian diinterpretasikan. Ada banyak faktor yang memengaruhi persepsi seseorang. Toha (2003), mengklarifikasikan faktor-faktor yang memengaruhi persepsi seseorang ada dua.
Pertama Faktor Internal, Faktor internal merupakan faktor yang diperoleh dari dalam diri seseorang dalam menciptakan dan menemukan sesuatu yang kemudian bermanfaat bagi orang lain. Dalam konteks faktor inteternal pembentukan persepsi Gus Dura ada 4 hal yaitu, usia, minat, proses belajar, dan pekerjaan.
Pertama, usia merupakan umur individu yang dihitung semenjak ia dilahirkan sampi pada momentum-momentum tertentu, sampai dia meninggal. Semakin cukup umur, kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Semakin tua umur seseorang semakin konstruktif dalam menggunakan pengetahuan yang diperolehnya. Begitu juga dengan Gus Dur, semakin tua umurnya maka semakin matang juga dalam bersikap dan bertindak. Dalam perjalanan hidupnya beliau mempunyai banyak pengetahuan, pengalaman dan persinggungan dengan banyak orang. Dari pengalama termasuk informasi yang diterimanya, akan memengaruhi sikap dan tindakan Gus Dur.
Kedua, minat Gus Dur sejak kecil sudah terlihat, yaitu membaca buku. Beliau mulai tertari terhadap buku-buku ayahnya dan dorongan dari ibu beliau untuk selalu membaca buku. Selain membaca buku, beliau juga memiliki minat terhadap bermain bola dan menonton film kedua minat beliau itu sangat memengaruhi hidupnya, beliau bahkan sampai pernah tidak naik kelas.
Ketiga, proses belajar, proses belajaran Gus Dur dimulai semenjak usia dini. Pada usia lima tahun, beliau sudah lancara membaca Al-Qur’an dengan kakeknya yaitu KH. Hasyim Asy’ari, Beliau juga banyak mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Hingga pada tahun 1953, beliau masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowangan, dengan nyantri di pesantren Krapyak. Walaupun sekolah tersebut adalah sekolah yang dikelolah oleh Gereja Katolik Roma, namun sepepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Kemudia beliau melanjutkan belajarannya di pesantren Tegalrejo Magelang yang diasuh oleh KH. Chudhari. Di sana beliau banyak belajar ritus-ritus sufi dan menanamkan praktik mistik. Selain belajar ilmu agama.
Keempat, pekerjaan. perjalanan karir Gus Dur sangat panjang, beliua menjadi guru, aktivis sosial, menjadi ketua PBNU, hingga menjadi presiden. Di sela-sela itu semua pekerjaan yang jarang ditinggalkan Gus Dur adalah menulis. Beliau menulis di berbagai media, buku pengantar, makalah, dan lain sebagainya.
Kedua Faktor Eksternal, Faktor Eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri seseorang dalam menciptakan atau menemukan suatu hal. Faktor eksternal sangat erat kaitannya dengan faktor internal. Faktor eksternal terdiri dari dua hal, yaitu informasi dan pengalaman.
Pertama, informasi. informasi yang diperoleh seseorang sangat berharga melalui panca indra. Informasi pertama yang diperoleh Gus Dur adalah khazanah keilmuan pesantren. Informasi kedua yang diperoleh beliau adalah dari buku. Sedari kecil beliau sudah menjadi kutu buku.
Kedua, pengalaman. Pengalaman merupakan suatu peristiwa yang pernah dialami seseorang. Mialnya pengalama-pengalam Gus Dur ketika beliau ikut ayahnya ke Jakarta, beliau bertemu dengan tokoh-tokoh nasional, dari situ lah beliau mendapatkan banyak pengalaman.
Pemikiran Gus Dur Terhadap Pendidikan Islam
Pendidikan Islam bagi Gus Dur harus tetap mengajarkan ajaran-ajaran formal Islam sebagai sebuah keharuasan yang diterima. Ajaran formal yang dimaksud oleh Gus Dur adalah ajaran bagaimana cara melaksanakan ibadah seseuai dengan syariat Islam. Bahkan Gus Dur menyatakaan bahwa ajaran Islam harus diutamakan dalam pendidikan Islam. Pemikiran beliau tentang pendidikan Islam tertuang melalui tulisan beliau yang berjudul “Pendidikan Islam Harus Beragam” yaitu,
“…tentu saja ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus dididik mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang diubah adalah cara penyampaiannya kepada peserta didik, sehingga mereka akan mampi memahami dan mempertahankan “kebenaran”. Bahkan hal ini memiliki validitas sendiri, dapat dilihat pada kesungguhan anak-anak muda muslimin terpelajar untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai “ajaran-ajaran yang benar” tentang Islam.”
Gus Dur juga menyatakan dalam tulisan tersebut, bahwa ajaran-ajaran formal Islam dipertahankan sebagai sebuah keharusan yang diterima kaum muslim di berbagai penjuru dunia. Memang suadah semestinya, hal yang wajib disampaiakan dalam pendidikan Islam adalah ajaran-ajaran formal. Hingga peserta didik mampu memahami dan mempertahankan kebenaran. Gus Dur mencontohkan bagaimana anak-anak muda muslim terpelajar dalam menerapkan apa yang mereka anggap sebagai “ajaran-ajaran benar”. Contoh paling mudah bagi Gus Dur adalah menggunakan tutup kepala di sekolah non-agama, atau yang biasa dikenal dengan nama jilbab.
Setiap daerah memiliki budaya pendidikannya masing-masing sehingga pendidikan Islam tidak harus satu corak antara satu kawasan dengan kawasan yang lainnya. Pada prinsipnya, pendidikan Islam mengajarkan ajaran formal Islam. Dalam tulisannya “Pendidikan Islam Harus Beragam” Gus Dur ingin menyadarkan kita bahwa pendidikan Islam bukan hanya yang ada di tembok sekolah formal. Kenyataan yang ada di masyarakat pendidikan Islam sangat beragam. Sebenarnya