Penulis: Aiyida Indana Sohiha, Editor: Faiza Nadilah
Biografi K. H. Abdurrahman Wahid
K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), memiliki nama kecil Abdurrahman Ad-dakhil yang berarti “Sang Penakluk”. Dilahirkan pada tanggal 4 Sya’ban atau 7 September 1940, di Denanyar Jombang, Jawa Timur. Gus Dur berasal dari keluarga yang memiliki keterlibatan penting dalam gerakan nasionalis dan pendidikan Islam.
Ayah Gus Dur yaitu Wahid Hasyim, seorang menteri terkenal di pemerintahan Jakarta. Meskipun ayahnya menginginkan Gus Dur bersekolah tinggi, Gus Dur lebih suka sekolah normal dan mulai pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar KRIS di Jakarta. Walaupun mulanya pendidikan yang ditempuh bersifat sekular, Gus Dur kemudian secara sistematis mempelajari bahasa Arab dan Al-Qur’an. Setelah beberapa kali pindah sekolah, Beliau menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren Al-Munawir Yogyakarta.
Gus Dur melibatkan diri dalam kegiatan keagamaan dan pesantren, belajar di bawah bimbingan ulama seperti KH. Ali Mashum dan Kiai Khudori. Setelah menyelesaikan studi formalnya di Yogyakarta, ia pergi ke Kairo (Mesir) dengan beasiswa Departemen Agama. Meskipun awalnya senang, Gus Dur kecewa dengan sistem pendidikan di Al-Azhar dan lebih suka menjelajah dan membaca buku. Pada tahun 1966, ia melanjutkan studinya ke Irak dan kemudian pindah ke Eropa, namun kekecewaan menghampirinya.
Setelah berusaha mencari kesempatan lain Gus Dur mendapatkan peluang untuk belajar di Universitas McGill (Kanada), dan setelah pulang dari luar negeri ia menjadi guru di Jombang. Pada tahun 1971, Beliau bergabung dengan Fakultas Ushuluddin di Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang. Gus Dur menjadi Presiden keempat Indonesia dari tahun 1999 hingga 2001. Beliau menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999.
Pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid
Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang memahami dan menerima pluralitas sosial Indonesia. Meskipun dianggap nyeleneh dan eksentrik, Beliau menunjukkan kebijaksanaan dalam berbagai masalah dan menggabungkan elemen sufistik dalam komunikasinya. Tidak hanya sebagai pribadi spiritual, dia juga mendukung pluralisme sosial dan budaya yang menjadikannya seorang demokrat liberal. Meskipun memiliki latar belakang tradisional Islam, kontribusinya mencerminkan pemahaman mendalam tentang teori sosial modern dan toleransi. walaupun terkadang dianggap aneh, pemikiran dan tindakan Gus Dur memainkan peran signifikan dalam kehidupan publik dan religius Indonesia.
Gus Dur mendasarkan pemikirannya pada komitmen kemanusiaan dalam ajaran Islam, mengedepankan toleransi, dan kepedulian terhadap keharmonisan sosial. Beliau menolak formalitas Islam dalam negara dan mengadvokasi civil society sebagai paradigma baru untuk umat Islam. Pemikirannya juga mencakup neo-tradisional Islam yang menggabungkan modernisme dengan pijakan transendental kepada Tuhan. Gus Dur memandang Islam sebagai agama toleransi dan berusaha menciptakan kehidupan keagamaan yang inklusif. Konsep toleransinya didasarkan pada sikap hati dan perilaku, menghindari eksklusivisme agama. Beliau menekankan pentingnya saling menyantuni dan keadilan tanpa pandang agama.
Inklusivisme, sebagai sikap terbuka dan menghargai perbedaan, merupakan prasyarat utama bagi dialog antar agama dan peradaban. Dalam konteks Islam, inklusifitas teologis bertentangan dengan eksklusif. Mencerminkan paradigma neo-modernisme dan keinginan untuk menghindari monopoli kebenaran oleh suatu agama. Gus Dur menafsirkan kata “Al-Islam” sebagai sikap menyerah kepada Tuhan, mendukung pentingnya inklusivitas dalam membangun keharmonisan sosial.
Dalam menghadapi persoalan terorisme di Indonesia, Gus Dur mengidentifikasi akar permasalahan pada pemikiran radikal dan pendangkalan agama. Beliau menekankan perlunya deradikalisasi pemahaman Islam, menyebarkan pemahaman moderat, dan menghilangkan kesalahpahaman yang menjadi akar terorisme. Toleransi dianggap sebagai kunci untuk mengatasi ekstremisme.
Terkait dengan keputusan MUI tentang pengucapan salam Natal, Gus Dur mengecam keputusan tersebut. Dan menyatakan bahwa hal itu menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap kebebasan beragama dan melaksanakan ibadah sesuai keyakinan. Beliau menekankan pentingnya menghormati setiap keyakinan dan memperingatkan bahwa keputusan tersebut dapat memicu intoleransi dan merugikan keutuhan NKRI.
Dengan tingginya toleransi selama hidupnya, Gus Dur diakui sebagai bapak pluralisme Indonesia. Julukan tersebut pantas, mengingat pandangan inklusifnya. Salah satu kata bijaknya yang mencolok adalah, “Agama mengajarkan pesan-pesan damai, dan ekstremis memutarbalikkannya. Kita butuh Islam ramah, bukan marah”.