“Sawwu Shufufakum” Dalam Fenomena Bermasyarakat

Penulis: Abdul Basid, Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam
Editor: Azzam Nabil H.

Setiap kali akan melaksanakan salat berjamaah, termasuk salat tarawih, imam biasanya mengingatkan dengan kalimat: “Sawwu shufufakum, fa inna taswiyata al-shaff min tamami al-shalah”, yang berarti, “Luruskan dan rapatkan saf kalian, karena meluruskan saf merupakan bagian dari kesempurnaan salat.” Ada fenomena menarik saat meluruskan dan merapatkan shaf, yaitu ada orang-orang yang menempelkan telapak kaki hingga menginjakkan kaki makmum sebelahnya, bahkan sampai “Ngangkang” untuk memenuhi “kesunahan” tersebut. Sebagian orang meyakini hal ini sesuai sunnah, sementara sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap cukup hanya merapatkan saf menyesuaikan dengan kenyamanan saat rukuk dan sujud, tanpa harus melebarkan kaki berlebihan.

Fenomena serupa juga terjadi dalam dunia politik, birokrasi dan sosial masyarakat. Pemimpin akan mengatakan rapatkan barisan, bangun soliditas, dan melangkah dengan kompak untuk meraih tujuan bersama. Orang-orang pun berusaha mendekat kepada pemimpin baru atau mencari kedekatan dengan mereka, masing-masing dengan motif yang beragam. Ada yang merasa bangga bisa dekat dengan pemimpin, tokoh masyarakat, atau pemuka agama. Ada pula yang ingin mempertahankan atau mendapatkan jabatan, mencari pengakuan sebagai orang penting, atau memperoleh akses kemudahan tertentu, dan lain sebagainya.

Disamping itu, merapatkan dan meluruskan barisan dalam salat merupakan bagian dari kesempurnaan salat dan pelaksanaan kesunnahan. Namun, hal ini tidak harus dilakukan dengan cara yang berlebihan, seperti mengangkang atau menginjak kaki jamaah lain. Bersikaplah sewajarnya, cukup dengan merapatkan ke samping tanpa perlu melebarkan kaki secara berlebihan agar makmum di belakang dapat mengisi saf dengan nyaman. Prinsip ini juga berlaku dalam kehidupan sosial, politik, birokrasi, dan organisasi. Merapatkan diri pada tujuan ideal suatu program memang penting, tetapi tidak dengan cara saling menginjak dan menyakiti satu sama lain. Tindakan yang terlalu memaksakan, seperti sikap “ngangkang” dalam barisan salat, justru bisa menghambat dan membuat orang lain merasa tidak nyaman. Dengan demikian salat dapat menjadi lebih sempurna.

Kesempurnaan salat berjamaah juga dapat dianalogikan dengan kesempurnaan pelaksanaan program dalam suatu negara, institusi, organisasi, atau masyarakat. Seperti halnya imam dalam salat yang bisa berganti setiap waktu, seperti salat dzuhur, asar, magrib, isya’, dan subuh. Pemimpin dalam kehidupan sosial pun mengalami pergantian secara berkala. Imam salat Jumat, tarawih, dan salat Idulfitri atau Iduladha bisa berbeda dengan imam salat wajib harian. Demikian pula jumlah jamaah yang mengikuti salat, bisa saja fluktuatif. Hal ini mirip dengan realitas sosial, di mana jumlah pendukung suatu pemimpin atau kebijakan bisa berubah-ubah. Namun, yang lebih utama bukan siapa pemimpinnya atau berapa banyak pengikutnya, melainkan bagaimana menjaga kesempurnaan tujuan bersama, baik dalam ibadah maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam tatanan sosial dan politik, pergantian pemimpin adalah hal yang wajar. Kepala negara, gubernur, bupati, wali kota, kepala desa, hingga ketua RT dan RW memiliki masa jabatan yang terbatas dan akan digantikan oleh penerusnya. Setiap pemimpin membawa karakter serta visi-misi yang diklaim sebagai “lebih baik” dan berusaha meninggalkan warisan (legacy) yang positif. Namun, sebaik apa pun kepemimpinan seseorang, tujuan idealnya tetaplah menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karena itu, pergantian pemimpin atau perubahan jumlah pendukung bukanlah sesuatu yang perlu dirisaukan. Yang harus dihindari adalah perilaku saling menjatuhkan atau menyakiti demi merapatkan diri ke lingkaran kekuasaan, sebagaimana dalam salat, di mana merapatkan saf tidak boleh sampai menginjak atau menyakiti jamaah lain.

Dalam salat berjamaah, makmum memiliki peran untuk mengingatkan imam jika terjadi kesalahan. Caranya adalah dengan bertasbih bagi laki-laki atau menepukkan telapak tangan bagi perempuan. Prinsip ini juga berlaku dalam kehidupan sosial dan politik. Jika seorang pemimpin melakukan kesalahan atau kebijakannya kurang tepat, masyarakat berhak mengingatkan dengan cara yang baik dan tidak merusak tatanan. Koreksi yang dilakukan dengan elegan dan konstruktif akan menjaga agar tujuan ideal suatu negara, institusi, atau organisasi tetap terjaga tanpa menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu.

Sehingga, dapat dikatakan bahwa jamaah yang baik adalah mereka yang memahami syarat dan rukun salat serta tahu bagaimana mengingatkan imam jika terjadi kesalahan. Idealnya, mereka yang berada di saf pertama adalah orang-orang yang memiliki pemahaman mendalam tentang tata cara salat. Bukan berarti orang awam dilarang berada di saf depan, tetapi dalam konteks kepemimpinan, orang yang menempati posisi strategis haruslah mereka yang benar-benar memahami rukun dan ritme organisasi. Salah menempatkan orang di posisi kepemimpinan dapat berakibat fatal. Jika seorang pemimpin yang kurang berkompeten melakukan kesalahan, ia tidak akan mampu mengoreksi dirinya sendiri atau diarahkan dengan baik oleh bawahannya. Akibatnya, tujuan ideal program bisa melenceng atau bahkan gagal tercapai

Begitulah hikmah yang bisa diambil dari pelurusan saf dalam salat oleh makmum dan seorang imam, yang dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Seperti ketika dalam menyampaikan kritik atau mengingatkan pemimpin, seharusnya tidak dilakukan dengan caci maki atau merendahkan, tetapi dengan cara yang santun, yang mana dalam salat-pun makmum mengingatkan imam dengan tasbih, bukan dengan suara keras yang mengacaukan jamaah. Meskipun ada konsep mufarraqah (memisahkan diri dari imam), yang dibenarkan dalam kondisi tertentu, namun hal itu hanya dilakukan jika ada hal krusial yang menimbulkan keraguan dalam berjamaah. Disisi lain, mufarraqah pun harus dilakukan dengan pemahaman yang matang dan tanpa menimbulkan kegaduhan.