Penulis : Khairul Anwar (Dosen STAIKAP dan UIN Gus Dur Pekalongan). Editor : Kharisma Shafrani
Dalam beberapa hari terakhir, media sosial ramai dengan berita tentang debat Pilkada 2024 yang digelar di beberapa daerah. Sejumlah momen yang mengundang gelak tawa pun terjadi di debat Pilkada 2024. Ada paslon yang akan meningkatkan inflasi, ada yang akan mengubah padi jadi beras, ada yang bernyanyi riang gembira, bahkan yang lebih ekstrim ada yang menjamin pemilihnya masuk surga.
Sebagaimana yang kita tahu, pelaksanaan pemungutan suara direncanakan digelar secara serentak pada 27 November 2024. Merujuk data dari KPU RI, total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Daerah yang saya tempati, Pekalongan (kota dan kabupaten) dan Provinsi Jawa Tengah, juga turut menggelar Pilkada. Pada debatnya, saya menonton melalui layar kaca. Tiap kalimat demi kalimat yang mereka sampaikan, saya simak dengan seksama. Kata demi kata yang keluar dari mulut mereka, saya coba pahami maksudnya. Seperti pada umumnya, para paslon mengobral kalimat manis dengan kata pembuka yang sakti “kami berjanji….”.
Untuk menyakinkan rakyat agar memilihnya, para calon kepala daerah berlomba-lomba menawarkan program kerja di berbagai bidang, seperti ekonomi, pendidikan, sosial dan kesehatan. Namun, realitas menunjukkan banyak pemimpin yang ingkar janji setelah terpilih, baik di level eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Tak jarang pula yang kemudian setelah terpilih, ada kepala daerah yang terjerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus korupsi dan kasus lainnya.
Ingkar janji dan korupsi seakan menjadi “tradisi” yang sulit dihilangkan dalam khazanah perpolitikan di negeri ini. Tidak hanya kepala daerah, ingkar janji dan korupsi ini juga dilakukan para elit politik di tingkat pusat. Mereka yang duduk manis di kursi Menteri, DPR, DPD, dan serta Yudikatif, misalnya, tak luput dari perilaku ingkar janji dan korupsi. Padahal, janji adalah hutang yang harus ditepati.
Saya contohkan misalnya. Ada calon pemimpin, pada masa kampanye, yang menjanjikan akan memberantas kemiskinan dan menurunkan angka pengangguran. Namun realitanya, masih banyak warga terperangkap kemiskinan, dan masih banyak pemuda yang sulit mengakses pekerjaan. Saya contohkan lagi, ada calon pemimpin yang akan memperbaiki sektor pelayanan publik. Tapi bagaimana realitanya, pelayanan publik masih bertele-tele, njelimet, tidak informatif, kurang responsif, dan sebagainya. Dan masih banyak kasus ingkar janji lainnya yang dilakukan para pejabat publik kita.
Kadang saya sempat bertanya-tanya, ketika ada pejabat publik yang ingkar janji, dan lebih parahnya lagi melakukan praktik korupsi, seperti menggelapkan anggaran dana desa, menerima suap, jual beli jabatan, dan bentuk praktik korupsi lainnya. Dalam hati saya, juga mungkin Anda, terbesit pertanyaan “apakah mereka ini nggak paham agama? Nggak pernah ngaji?” padahal agama selalu mengajarkan kebaikan, atau “apakah mereka ini nggak takut azab kubur dan siksa neraka?”.
Okelah, hukuman di dunia mungkin nggak seberapa buat mereka, palingan kalau ketangkap hanya berujung bui. Tapi kita tahu sendiri, hukum di negeri ini bisa dibeli. Sanksi berupa 15 tahun penjara untuk pejabat yang korupsi, misalnya, itu bisa dipangkas menjadi 2 tahun penjara saja. Yang selalu jadi pertanyaan adalah apakah mereka ini nggak pernah memikirkan hukuman berat di akhirat nanti? Atau jangan-jangan pejabat publik yang korupsi dan ingkar janji ini sudah tak punya hati nurani lagi? Ibaratnya, mereka tahu bahwa bermaksiat itu dosa, tapi mereka tetap melakukannya. Islam juga secara tegas memandang korupsi sebagai perbuatan yang merugikan, menindas, dan zalim, serta tidak sesuai dengan nilai-nilai syariat (Surat An-Nisa ayat 29; Al-Baqarah ayat 188).
Padahal, seyogyanya, sebagai seorang pemimpin, ataupun pejabat publik, harus memberikan contoh dan teladan yang baik kepada umatnya, bahwa etika dan moral menjadi bagian yang sangat penting. Perilaku korupsi dan ingkar janji merupakan bentuk perilaku yang amoral. Tidak beretika. Dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagai warga negara, kita tentu berharap, Pilkada kali ini bukan hanya ajang pencitraan, umbar janji-janji manis, ajang blusukan untuk mencari simpati warga, ajang membeli suara rakyat, dan ajang perebutan kekuasaan, tapi benar-benar bisa menghasilkan para pemimpin yang berkualitas, adil, mau mengayomi rakyat, dan tidak korupsi, serta senantiasa melakukan kebaikan-kebaikan yang bertujuan mensejahterakan rakyatnya. Bukan hanya memberi kesejahteraan kepada segelintir orang saja.
Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf tentang Negara
Para pemimpin yang nanti akan lahir dari ajang Pilkada, semoga bisa menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin. Tugas utama mereka adalah bertanggungjawab terhadap rakyatnya. Ini sejalan dengan pemikiran ekonomi Abu Yusuf tentang negara.
Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim, nama lengkapnya. Ia adalah seorang pemikir ekonomi Islam yang memberikan kontribusi besar dalam pengembangan ekonomi Islam modern. Ia lahir di Kufah pada tahun 113 H (731 M) dan wafat di Baghdad pada tahun 182 H (798 M). Abu Yusuf merupakan ulama fuqaha yang hidup dalam masa kekhalifahan Harun Ar-Rasyd yang merupakan khalifah kelima dari Kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad yang memerintah selama 23 tahun, yakni dari tahun 789 hingga 803.
Baca juga : Melacak Jejak Pemikiran Islam: Pribumisasi, Inklusif, dan Transformatif sebagai Jalan Damai dan Toleran
Dalam kitabnya “Al-Kharaj” pemikiran ekonomi Abu Yusuf lebih cenderung kepada pembahasan Ekonomi makro, mungkin hal ini disebabkan karena kitab tersebut adalah jawaban dari beliau atas permintaan dari Khalifah Harun Al-Rasyd berkenaan problem-problem ekonomi yang dihadapi oleh sang khalifah. Hal ini dapat dilihat dalam paragraf kedua dalam pengantar bukunya yang berbunyi, “Amirul Mukminin, Semoga Allah menguatkannya telah meminta saya untuk menulis baginya”.
Ekonomi makro adalah sebuah ilmu ekonomi yang mempelajari perekonomian sebuah negara secara komprehensif. Nah, Abu Yusuf memiliki pemikiran ekonomi tentang negara yang menekankan pada tanggung jawab penguasa terhadap rakyatnya. Beberapa pemikiran ekonomi Abu Yusuf tentang negara diantaranya adalah:
- Penguasa wajib memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
- Penguasa harus memenuhi kebutuhan rakyat dan mengembangkan proyek yang berorientasi pada kesejahteraan umum.
- Negara bertanggung jawab untuk meningkatkan produktivitas tanah, kemakmuran rakyat, dan pertumbuhan ekonomi.
- Penerimaan negara dalam Daulah Islamiyah dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu ghanimah, adaqah, dan harta fa’I.
- Ghanimah merupakan pemasukan yang tidak tetap bagi negara karena sifatnya yang tidak rutin.
- Abu Yusuf membantah anggapan umum bahwa harga ditentukan oleh kekuatan penawaran saja.
Jika mengacu pada pemikiran Abu Yusuf, maka sudah semestinya, tak bisa ditawar lagi, pemimpin harus mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Menurut Badan Perencanaan Pembangun Nasional (BAPPENAS), kesejahteraan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Para pemimpin daerah, yang pada masa kampanye, selalu mengeluarkan pernyataan brilian “saya berjanji akan mensejahterakan rakyat..” nanti, setelah diamanahi rakyat, harus benar-benar bisa menepati janjinya. Terkait cara dan upayanya bagaimana, saya yakin pemerintah lebih paham soal ini.
Kebijakan-kebijakan dan program-program yang akan diambil harus mempertimbangkan kemaslahatan umum, lebih spesifik, menurut saya harus menguntungkan rakyat kelas menengah ke bawah. Mereka yang masih berada di pusaran kemiskinan, harus diangkat level kesejahteraannya. Mereka yang masih berada di jurang pengangguran, harus diberi akses pekerjaan seluas-luasnya. Dan lain sebagainya.
Baca juga : Islam Moderat Sebagai Kunci untuk Toleransi, Keadilan, dan Keseimbangan Sosial
Pada pemikiran kedua, yaitu penguasa harus memenuhi kebutuhan rakyat dan mengembangkan proyek yang berorientasi pada kesejahteraan umum. Proyek-proyek strategis yang dijalankan pemerintah, selama ini tidak banyak memberikan keuntungan yang berarti untuk masyarakat. Meskipun, ya, tetap bisa menarik warga untuk bekerja di sana. Tapi, dalam beberapa kasus, proyek tersebut menimbulkan masalah lain. Contoh nyata adalah terkait perampasan ruang hidup masyarakat. Perampasan ruang hidup atas nama proyek strategis nasional sudah pasti dapat memunculkan konflik. Dan sudah banyak contohnya di negeri ini.
Tak hanya masyarakat lokal yang menangis, ekosistem lingkungan juga terdampak. Ketika hutan-hutan dibabat, lahan hijau dihabisi, maka yang terjadi adalah datangnya petaka berupa bencana alam, yang lagi-lagi yang akan “menikmati” itu semua adalah masyarakat kecil.
Sudah saatnya, pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah harus berorientasi pada kesejahteraan masyarakat secara luas. Bukan yang hanya mementingkan pemilik modal dan oligarki saja. Dan semoga, kita, warga di 545 daerah, diberi kepala daerah yang amanah, bertanggungjawab, dan menjunjung tinggi nilai-nilai etis. Aamiin.